Rabu, Agustus 03, 2011

Petis Sekardangan, Siapa Suka? ‎


 




Wisnu Dewabrata ‎ menulis sbb:
BARU beberapa saat memasuki kawasan Kelurahan Sekardangan, ‎Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim), aroma gurih petis udang menyergap ‎penciuman. Buat orang yang doyan makan petis, bisa jadi selera ‎makannya langsung bangkit. Bahkan, dalam bayangannya bisa langsung ‎muncul sepiring nasi hangat mengepul, lauk pauk di atas piring, plus ‎racikan sambal petis berwarna kehitaman di dalam cobek batu. Semua ‎siap untuk disantap. ‎
Tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali industri rumah tangga petis ‎udang diproduksi di kelurahan ini. Ada yang bilang, kerajinan petis sudah ‎ada sejak tahun 1960-an. Ada lagi yang mengatakan, malah sejak zaman ‎Jepang (tahun 1942-an) warga Sekardangan sudah berjualan petis di ‎Pasar Wonokromo, Surabaya. Menurut H Tobroni (52), salah seorang ‎pengusaha petis yang meneruskan bisnis orangtuanya, para pembuat ‎petis berjalan kaki ke pasar Wonokromo, sembari menggendong bakul ‎atau menyungginya. ‎
Seperti juga H Tobroni, para pengusaha petis yang ada di sini mengaku ‎melanjutkan bisnis warisan yang puluhan tahun lalu dimulai para orangtua ‎mereka. Dengan demikian, para pengusaha petis yang ada saat ini adalah ‎generasi kedua industri rumah tangga petis udang di Kelurahan ‎Sekardangan. ‎
Wisnu Dewabrata ‎
‎"Saya mewarisi usaha almarhum ayah sejak tahun 1980-an. Waktu itu alat ‎produksinya masih manual. Bahan baku kepala udang ditumbuk memakai ‎palu dan lumpang kayu. Produksi petisnya pun masih sedikit dan hanya ‎dipasarkan di sekitar Sidoarjo atau Surabaya," ujarnya.
Setidaknya ada delapan pengusaha petis di kawasan ini dengan ‎kemampuan produksi beragam. Rata-rata produksi harian mereka ‎mencapai tiga sampai tujuh kuintal petis. Selain itu, wilayah ‎pemasarannya pun sudah semakin berkembang. Jika dulu hanya dijual di ‎seputar Sidoarjo dan Surabaya, saat ini pemasarannya menjangkau ‎beberapa kota di Jatim seperti Surabaya, Mojokerto, Malang, Probolinggo, ‎Jember, Banyuwangi, Mojosari, dan bahkan DKI Jakarta. ‎
‎"Akan tetapi, kebanyakan pesanan dari Jakarta berasal dari orang Jatim ‎sendiri yang kebetulan tinggal di sana. Memang tidak semua orang tahu ‎atau doyan makan petis. Di Jatim sendiri tidak semua daerah suka makan ‎petis," ujar Hasanuddin (34) salah seorang pengusaha petis merek UD ‎Mandiri. ‎
‎***‎
BAIK H Tobroni maupun Hasanuddin mewarisi usaha ini sejak 20 tahun ‎lalu. Namun, berbeda dengan orangtua mereka, industri petis udang saat ‎ini menggunakan mesin giling bertenaga diesel untuk menggiling bahan ‎baku kepala udang. Sedikitnya setiap pengusaha memiliki dua sampai tiga ‎mesin. "Jika dibanding pengolahan secara manual, kemampuan ‎produksinya juga jauh meningkat, lebih dari 30 persen," ujar Tobroni.
‎"Untuk menghasilkan 4,5 kuintal petis dibutuhkan bahan baku 1,2 ton ‎kepala udang. Proses pembuatannya selama 24 jam, mulai dari merebus ‎kepala udang, penggilingan, pemerasan, dan pemasakan air perasan ‎hingga menjadi kaldu. Setelah dicampur dengan gula pasir dan bumbu-‎bumbu lain, adonan diaduk hingga mengental di atas api hingga berwarna ‎kehitaman," jelas H Abdul Mudjib yang juga memproduksi petis udang di ‎Kelurahan Sekardangan. ‎
Sebenarnya tidak sulit memperoleh bahan baku kepala udang. Masalah ‎satu-satunya kini adalah ketergantungan pada musim panen udang. ‎Setiap produsen biasanya memiliki pemasok sendiri, kebanyakan adalah ‎pabrik pengolahan dan pengepakan udang untuk ekspor. Pabrik ‎pengolahan seperti ini memang banyak terdapat di Surabaya maupun ‎Sidoarjo. ‎
‎"Harganya murah antara Rp 200 sampai Rp 300 per kilogram. Bisa murah ‎karena kepala udang ini sebenarnya dianggap limbah oleh pabrik. Hitung-‎hitung kami membantu mereka mengolah limbah. Tetapi, konsekuensinya ‎kami harus selalu siap menampung berapa pun sisa limbah kepala udang ‎mereka," ujar Tobroni.
Setiap produsen menghasilkan dua macam petis, jenis super dan jenis ‎ekstra, yang masing-masing dijual dengan harga berbeda. Jenis super ‎dijual Rp 70.000 per 10 kg sementara jenis ekstra Rp 52.000 per 12 kg. ‎
‎"Perbedaannya pada proses pembuatan, petis jenis super dibuat dari ‎kaldu kepala udang yang diperas pertama kali, sedangkan jenis ekstra ‎adalah hasil perasan yang kedua. Petis yang dihasilkan dari perasan ‎kedua ini lebih kasar daripada jenis super," jelas Tobroni. ‎
Dalam sehari omzet rata-rata setiap produsen petis Desa Sekardangan ‎bisa mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Bahkan, ketika petis ini ‎sampai di tangan para pengecer langganan, keuntungan bisa berkali lipat. ‎‎"Dari setiap kaleng blek petis isi 10 kilogram dan 12 kilogram mereka bisa ‎untung Rp 100.000. Keuntungan diperoleh karena petis tersebut dikemas ‎ulang ke dalam paket-paket yang lebih kecil dan diberi merek," ujar ‎Hasanuddin. ‎
Kalau ternyata lebih menguntungkan, lantas mengapa para produsen ini ‎tidak mengemas dan memasarkan sendiri produk petis buatan mereka? ‎‎"Niat sudah ada, tetapi modal dan tenaga belum memungkinkan. ‎Sepertinya kami akan melakukan secara bertahap," ujar Hasanuddin.
Kedua hal di atas, baik modal maupun tenaga kerja, memang masih ‎menjadi persoalan bagi beberapa produsen petis. Dengan rata-rata ‎pekerja 10 hingga 15 orang, jumlah itu dirasa hanya mencukupi ‎kebutuhan tenaga untuk proses produksi. Padahal, untuk mengerjakan ‎pengemasan setidaknya diperlukan beberapa tambahan tenaga kerja lagi. ‎
Setiap produsen harus menyediakan modal produksi Rp 3 juta sampai Rp ‎‎4 juta setiap hari. "Hingga sekarang saya masih mengandalkan modal ‎yang diputar sendiri, dan tidak berminat mengajukan pinjaman kredit ke ‎bank. Saya malas mengurus prosedurnya yang berbelit-‎

Komentarku ( Mahrus ali ) : Saya dan keluarga saya dulu di Telogojero , Sidomukti  , Giri Kebomas Gresik suka sekali dengan petis , bahkan ibu saya selalu suka petis dan tidak enak makanan tanpa sambal petis.  Saya di pesantren pun suka sekali dengan petis . Tapi kebanyakan  santri di pesantren saya dulu lebih banyak mengkosumsi terasi  dari pada petis.
         Setelah dari Mekkah  pun  , saya  masih suka dengan petis , baru lima tahun terahir ini  , saya  dan keluarga saya tidak mengkosumsinya .Sebab , petis itu di buat dari kepala – kepala udang yang banyak tahinya lalu  di rebus bersamaan dengan tahi itu , lalu di jadikan petis. Dan Untuk udang sendiri , saya masih mengikuti Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa  hewan laut yang bisa di makan  hanya ikan . jadi udang tidak boleh di makan .  Dan saya sendiri tidak mengetahui dalilnya  untuk memakan  udang . Saya cari si kitab – kitab fikih syafi`iyah , Hambaliyah Bahkan  di kitab – kitab syarah hadis, saya tidak menjumpai ulama  yang menghalalkannya . terus siapakah yang berani menghalalkan  udang lalu mau bertanggung jawab , dan tidak cukup dengan  tanggung jawab saja , tapi keluarkan dalilnya. Untuk hadis yang menyatakan semua hewan laut halal  masih perlu di kaji ulang , bahkan  ada ulama yang menyatakan  palsu.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan