Minggu, November 06, 2011

Komentarku atas artikel Sarkub tentang salat Id di masjid

Luqman Firmansyah
Hukum sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rosulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.
Imam As-Syaukani berkata: “Ketahuilah bahwasanya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mengerjakan dua shalat Ied ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Ied. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”
“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Sholat Ied tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Ied juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam juga melakukan shalat Ied di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata: “Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ….” (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )
Mengerjakan sholat Ied di musholla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.
Dasar sholat Ied di masjid
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال: أصاب الناس مطر في يوم عيد على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلّم فصلى بهم في المسجد
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: “Orang-orang pernah kehujanan pada hari raya di masa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau shalat bersama mereka di Masjid”.
[Sunan Abi Dawud (I/ 686), Bab “Yushallie bin-nasi (al-‘ied) fiel masjidi idza kana yaum mathar”, Sunan Ibnu Majah (I/ 416), Bab “Ma ja-a fie shalatil ‘iedi fiel masjidi idza kana mathar”, Sunan Al-Kubra lil Baihaqie (III/ 31), Bab “Shalatul ‘ied fil masjidi idza kana ‘udzr min matharin aw ghairuhu”, Al-Mustadrak Al-Hakim (I/ 295), Bab “Shalatul ‘iedain fie yaumi matharin”].
Dalam Kitab Al-Umm, Imam Syafi’ie rahimahullah mendasari pendapatnya dengan perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang pernah shalat ‘ied di Masjid ketika hujan, sebagaimana Atsar di bawah ini;
ان عمر بن الخطاب صلى بالناس في يوم مطير في المسجد، مسجد النبي صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab pernah sholat bersama orang-orang ketika hujan di Masjid (yaitu di) Masjid Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam.
ان أبان بن عثمان صلى بالناس في مسجد النبي صلى الله عليه وسلم يوم الفطر في يوم مطير ثم قال لعبد الله بن عامر حدثهم فأخذ يحكي عن عمر بن الخطاب فقال عبد الله: صلّى عمر بن الخطاب بالناس في المسجد في يوم مطير في يوم الفطر
Sesungguhnya Aban bin ‘Utsman shalat bersama orang-orang di Masjid Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam pada hariraya ‘iedul fithri ketika hujan, kemudian ia menceritakannya kepada ‘Abdullah bin ‘Amir, lalu ‘Abdullah bin ‘Amir menceritakan perihal Umar bin Al-Khaththab, beliau berkata: Umar bin Al-Khaththab pernah shalat bersama orang-orang di Masjid ketika hujan pada hariraya ‘iedul fithri.
[Sanad Atsar ini dapat dilihat langsung dalam Kitab Al-Umm I/ 234, sebagaimana di bawah ini:
1. Atsar pertama diriwayatkan melalui jalur: Ar-Rabie’ – As-Syafi’ie – Ibrahim bin Muhammad Al-Fazarie – Shalih bin Muhammad bin Zaidah langsung bercerita bahwa Umar bin Al-Khaththab pernah … dst.
2. Atsar kedua diriwayatkan melalui jalur: Ar-Rabie’ – As-Syafi’ie – Ibrahim bin Muhammad Al-Fazarie – Ja’far bin Muhammad – ‘An Rajulin (dari seseorang) langsung bercerita bahwa Aban bin ‘Utsman pernah … dst].
Imam As-Syafi’i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan sholat Ied) karena sholat Ied di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan sholat Ied di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya sholat di Masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama”
Dari fatwa Imam As-Syafi’i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani telah membuat kesimpulan seperti berikut: “Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang”. (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Sebenarnya, melaksanakan sholat Ied hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jama’ah. Akan tetapi menyelenggarakan sholat Ied lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jama’ah.
Sekali lagi, fokus utama dalam hukum sholat Ied ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.
Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallohu a’lam bish-Showab

Sumber:http://www.sarkub.com/2011/hukum-shalat-ied-di-masjid/

Komentarku ( Mahrus ali ):

Dalam artikel itu di katakan:

عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال: أصاب الناس مطر في يوم عيد على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلّم فصلى بهم في المسجد
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: “Orang-orang pernah kehujanan pada hari raya di masa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau shalat bersama mereka di Masjid”.
[Sunan Abi Dawud (I/ 686), Bab “Yushallie bin-nasi (al-‘ied) fiel masjidi idza kana yaum mathar”, Sunan Ibnu Majah (I/ 416), Bab “Ma ja-a fie shalatil ‘iedi fiel masjidi idza kana mathar”, Sunan Al-Kubra lil Baihaqie (III/ 31), Bab “Shalatul ‘ied fil masjidi idza kana ‘udzr min matharin aw ghairuhu”, Al-Mustadrak Al-Hakim (I/ 295), Bab “Shalatul ‘iedain fie yaumi matharin”].
ان عمر بن الخطاب صلى بالناس في يوم مطير في المسجد، مسجد النبي صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab pernah sholat bersama orang-orang ketika hujan di Masjid (yaitu di) Masjid Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam.
[Sanad Atsar ini dapat dilihat langsung dalam Kitab Al-Umm I/ 234, sebagaimana di bawah ini:
1. Atsar pertama diriwayatkan melalui jalur: Ar-Rabie’ – As-Syafi’ie – Ibrahim bin Muhammad Al-Fazarie – Shalih bin Muhammad bin Zaidah langsung bercerita bahwa Umar bin Al-Khaththab pernah … dst.
2. Atsar kedua diriwayatkan melalui jalur: Ar-Rabie’ – As-Syafi’ie – Ibrahim bin Muhammad Al-Fazarie – Ja’far bin Muhammad – ‘An Rajulin (dari seseorang) langsung bercerita bahwa Aban bin ‘Utsman pernah … dst].
Komentarku (Mahrus ali ):
Rujuklah di artikel ini:

SALAT IED DI MASJID,HADISNYA PALSU

Saya  kutip sedikit dari artikel di blog saya tsb sbb

Syaikh Muhammad Nashiruddin al albani berkata:

وَالْجَوَابُ: إِنَّ هَذِهِ الْرِّوَايَةَ ضَعِيْفَةٌ جِدّا لِأِنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيْزِ هَذَا وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ الْقَاضِيْ. قَالَ الْبُخَارِيُّ: " مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ " وَقَالَ الْنَّسَائِيُّ: " مَتْرُوْكٌ "

Jawabannya: Riwayat  ini sangat lemah karena Muhammad bin Abdul Aziz, ini adalah Muhammad bin Abd al-Aziz bin Umar bin Abdul Rahman bin Auf - Hakim.

Al-Bukhari berkata: "hadis mungkar " dan Nasai mengatakan “ Perawi yang di tinggalkan “

وَقَدْ أَخْرَجَهَا الْشَّافِعِيُّ فِيْ " الْأُمِّ " ( 1 / 207 ) مِنْ طَرِيِقٍ أُخْرَى عَنْ أَبَانَ بِدُوْنِ الْحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ وَالْتَّعْلِيْلُ الْمَوْقُوْفُ عَلَى أَنَّ سَنَدَهُ ضَعِيْفٌ جِدَّا أَيْضا لِأَنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ إِبْرَاهِيْمَ شَيْخُ الْشَّافِعِيِّ وَهُوَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ يَحْيَىَ الْأَسْلَمِيِّ

Di riwayatkan  oleh Shafi`i di " Al um" (1 / 207) dari jalan lain  dari Aban  tanpa hadis marfu` dan illatnya adalah maukuf ( Bukan Hadis dari Nabi SAW  ). Sanadnya sangat lemah, karena ia dari  riwayat  Ibrahim Syekh-Shafi`i, yaitu  Ibrahim Bin Muhammad bin Abu Yahya al-Aslami

وَهُوَ كَذَّابٌ وَقَالَ مَالِكُ لَمْ يَكُنْ ثِقَةً فِيْ الْحَدِيْثِ وَلَا فِيْ دِيْنِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ الْحَافِظُ فِيْهِ فِيْ " الْتَّقْرِيْبِ ": " مَتْرُوْكٌ "

Dia pembohong dan Imam Malik mengatakan: Dia tidak di percaya dalam meriwayatkan hadis  atau agama, oleh karena itu, Al-Hafiz berkata dalam "At taqrib": "  Perawi yang di tinggalkan"

Komentarku ( Mahrus ali )

Saya terangkan bahaya perawi pendusta atau  yang di tinggalkan kalangan ulama ahli hadis  sbb:

مُقَدِّمَةُ ابْنِ الْصَّلَاحِ - (جَ 1 / صَ 24)

قَالَ إِذَا قَالُوْا " مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ،أَوْ ذَاهِبُ الْحَدِيْثِ وَ كَذَّابٌ " فَهُوَ سَاقِطُ الْحَدِيْثِ، لَا يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ

 

Mukaddimah Ibn Sholah - (Juz 1 / hal. 24)

Dia( Ibn Sholah ) mengatakan jika mereka  ( ahli hadis )  mengatakan ( tentang perawi hadis ) " Di tinggalkan hadis atau orang yang bicaranya tentang hadis sia –sia  atau pembohong". Maka dia jatuh hadisnya ( hadisnya di buang ), tidak boleh  menulis nya ( Hadisnya  tidak boleh di tulis(.

Anda menyatakan:
Imam As-Syafi’i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan sholat Ied) karena sholat Ied di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan sholat Ied di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya sholat

Komentarku ( Mahrus ali ):

Mana dalilnya? Tiada dalil kecuali hadis palsu tadi. Apakah kita boleh menjalankan sesuatu tanpa dalil? Jelas di larang dong. Lihat ayat sbb:

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".[1]
Dan ingatlah hadis sbb:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ *
Berhatilah  terhadap perkara baru. Sesungguhnya tiap perkara baru adalah bid`ah dan setiap bid`ah adalah sesat. [2]

Selama hidupnya, Rasulullah SAW  menjalankan salat Id di lapangan. Alasan masjid bisa menapung atau tidak, itu sekedar akal – akalan tanpa dalil dan agama  adalah mengikuti tuntunan bukan menentangnya lalu bikin tuntunan sendiri yang menyelesihi tuntunan Rasul. Ini penyesatan yang jelas bukan kebenaran yang samar.

Dalam artikel itu di katakan:

Dari fatwa Imam As-Syafi’i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani telah membuat kesimpulan seperti berikut: “Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang”. (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Komentarku ( Mahrus ali ):
  Perkataan Ibnu hajar itu dalam rangka memberikan penjelasan perkataan Imam Syafii  yang tanpa dalil itu. Bukan kesimpulan beliau yang menjadi acuan. Lihat perkatan beliau sebelumnya:

فتح الباري لابن حجر - (ج 3 / ص 378)

 وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى اِسْتِحْبَابِ الْخُرُوجِ إِلَى الصَّحْرَاءِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ وَأَنَّ ذَلِكَ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي الْمَسْجِدِ ، لِمُوَاظَبَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ مَعَ فَضْلِ مَسْجِدِهِ

Dengan hadis itu bisa di ambil dalil sunat keluar ke tanah lapang karena  Rasulullah SAW  selalu berbuat seperti itu, pada hal masjid beliau memiliki keutamaan. Fath Bari karya Ibnu Hajar 3/378.

Imam Syafii sendiri bila pendapatnya bertentangan dengan hadis juga memerintah agar di tinggalkan  sebagaimana perkataan beliau sbb:

Imam Syafii menyatakan:
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي.
Bila ada hadis sahih, maka  lemparkan perkataanku ke tembok. Bila kamu lihat hujjah telah berada di jalan, maka  itulah perkataan ku 
 لاَ تُقَلِّدْ دِينَك الرِّجَالَ فَإِنَّهُمْ لَنْ يَسْلَمُوا مِنْ أَنْ يَغْلَطُوا.
Dalam masalah agama,jangan ikut orang, sebab  mereka mungkin juga salah. 
Imam Malik berkata:
إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُصِيبُ وَأُخْطِئُ فَاعْرِضُوا قَوْلِي عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
        Aku hanyalah manusia, terkadang pendapatku benar, di lain waktu kadang salah. Karena itu, cocokkan perkataanku ini dengan kitabullah dan hadis Rasulullah.



[1] Namel 64
[2] HRAbu Dawud  / Assunnah /4607. Darimi /Muqaddimah /95
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan