Jumat, Januari 04, 2013

Hadis - hadis populer tapi lemah ke 38



9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki

إِنَّ لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ تَخْطُوْهَا رَاحِلَتُهُ سَبْعِيْنَ حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا سَبْعَ مِئَةِ حَسَنَةٍ

“Sesungguhnya orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan 70 kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya. Sementara orang yang berhaji dengan berjalan kaki, dengan setiap langkah yang ia langkahkan mendapatkan 700 kebaikan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 3/15/2, dan Adh-Dhiya` dalam Al-Mukhtarah, 204/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 496)5

10. Keutamaan thawaf

مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Siapa yang thawaf di Baitullah 50 kali, maka ia terlepas dari dosa-dosanya sehingga keberadaannya laksana hari ia dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa-dosa).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1/164 dan selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5102)

طَوَافُ سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً

“Thawaf tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi (sia-sia) di dalamnya sebanding dengan membebaskan budak.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali), diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035)

11. Hari Arafah

عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ

“Arafah adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnad-nya, hal. 93, Ad-Daraquthni, 257, Ad-Dailami 2/292. Lihat Ad-Dha’ifah no. 3863)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau Ijabatus Sa`il (hal. 567) berkata: “Adapun yang ditulis oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah, ketika membacanya benar-benar menenangkan hati kami (karena tepat dan telitinya penghukuman beliau terhadap hadits, pen.).”
2 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits ini maudhu’, tampak sekali kebatilannya) karena membuat anggapan telah diwahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menunaikan perkara yang disebutkan dalam hadits berupa haji, ziarah kubur, dan berperang, bisa menggugurkan pelakunya dari hukuman bila ia bermudah-mudahan dalam meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang lain. Ini merupakan kesesatan. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amat jauh dari mengucapkan perkataan yang menimbulkan anggapan yang salah. Bagaimana lagi dengan ucapan yang secara jelas menunjukkan kesesatan?!” (Adh-Dha’ifah, 1/370)
3 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Qa’idah Al-Jalilah (hal. 57) berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya dhaif. Tidak ada satupun yang bisa dijadikan sandaran dalam agama ini. Karena itu, ahlu Shihah dan Sunan (ulama yang menyusun kitab Shahih dan Sunan) tidak ada yang meriwayatkannya sedikit pun. Yang meriwayatkan hadits-hadits semacam itu hanyalah ulama yang biasa membawakan hadits-hadits dhaif seperti Ad-Daraquthni, Al-Bazzar, dan selain keduanya.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan hadits di atas. Setelah itu beliau berkata: “Hadits ini kedustaannya jelas sekali. Hadits ini menyelisihi agama kaum muslimin. Karena orang yang menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya dan beriman kepada beliau, berarti orang itu termasuk shahabat beliau. Terlebih lagi bila orang itu termasuk orang-orang yang berhijrah kepada beliau dan berjihad bersama beliau. Telah pasti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Maka demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak dapat mencapai satu mud infak salah seorang mereka, dan tidak pula setengahnya.”
Seseorang yang hidup setelah shahabat, tidaklah bisa sama dengan shahabat hanya dengan mengerjakan amalan-amalan wajib yang diperintahkan seperti haji, jihad, shalat lima waktu, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan amalan yang tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin (yaitu menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Tidak pula disyariatkan untuk safar (menempuh perjalanan jauh) untuk mengerjakannya, bahkan dilarang. Adapun safar menuju ke masjid beliau guna mengerjakan shalat di dalamnya maka hal itu mustahab (disenangi).” (Lihat Adh-Dha’ifah, 1/123-124)
4 Memulai ihram dan mengucapkan talbiyah
5 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Bagaimana bisa hadits ini dianggap shahih, sementara yang ada justru sebaliknya? Di mana telah shahih riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji dengan berkendaraan. Seandainya berhaji dengan jalan kaki itu lebih afdhal, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memilih hal itu untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, jumhur ulama berpendapat bahwa haji dengan berkendaraan itu lebih utama, sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim.” (Adh-Dha’ifah, 1/711-712)


Dan kliklah 4 shared mp3 atau di panahnya.




Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan