Rabu, Maret 20, 2013

Tokoh tokoh Indonesia yang menyatakan Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah Ushuliyah tidak sesat dan merupakan bagian dari Islam



Para pembaca….
Ada pihak pihak yang menuduh syi’ah sesat, ada yang menuduh NU sesat, itu semua tuduhan yang cuma merusak islam.. Web MPTTS merajut persatuan umat islam, dukunglah web ini !! MPTTSS = Majelis Persatuan Tauhid Tasawuf Sunni Syi’ah
.
Ulama dari Indonesia yang meneliti Syi’ah di antaranya adalah Prof Dr H Abu Bakar Atjeh (beliau adalah seorang ahlu sunnah) yang karyanya diterbitkan dengan judul “Syi’ah Rasionalisme dalam Islam” yang dalam bukunya beliau mengutip pendapat Prof. Hamka yang menyebutkan bahwa madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas muslim Indonesia lebih dekat dengan madzhab Syi’ah. Dalam bukunya tidak disebutkan peran Abdullah bin Saba’ dalam pendirian Islam, malah beliau menunjukkan bahwa syi’ah dilahirkan oleh Rasulullah S.A.W.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Marzuki Alie [SP/Hendro Situmorang]
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Marzuki Alie

Ketua DPR: Aliran Syiah Tidak Sesat
Senin, 27 Agustus 2012 | 14:40

Marzuki Ali (Ketua DPR RI):“ Syi’ah itu mahzab yang diterima di negara manapun diseluruh dunia, dan tidak ada satupun negara yang menegaskan bahwa Islam Syi’ah adalah aliran sesat “(okezone.com)

Ketua DPR RI Marzuki Alie menegaskan, aliran syiah di Indonesia bukan aliran sesat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa aliran ini  tidak sesat.

Hal itu dikatakan Marzuki Alie  di Jakarta, Senin (27/8), menjawab pers terkait kerusuhan di Sampang, Madura, Jawa Timur.

Menurut Marzuki, kalau MUI sudah mengeluarkan fatwa itu tidak sesat,  maka persoalan sekarang adalah kenapa masih muncul konflik?  Itu pasti sosialisasi keputusan MUI yang masih kurang.

“Itu tugas Kementerian Agama dan MUI,” katanya. Kalau pun sosialisasi sudah dilakukan dan masih juga konflik terulang, kata dia, maka pasti ada yang salah di tahapan sosialisasinya.
Taushiyah Sesepuh Bangsa Prof.Dr.KH. Ali Yafie Untuk Umat Islam

KH. Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia):“Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas bermazhab Syiah sebagai negara Islam dalam wadah OKI tersebut, berarti Iran diakui sebagai bagian dari Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh dunia Islam, yang tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam.”(tempointeraktif)
Muhammad Jusuf Kalla
10th Vice President of Indonesia

Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI):
“ Harus ada toleransi terhadap perbedaan karena perbedaan adalah rahmat ” (tempo.co)
Mahfud MD: Madura Rukun, Salawat Sunni Pun Sebut Syiah

MAHFUD MD TERIMA CEDERA MATA DARI JAKOB OETAMA -
.
Mahfud MD: Madura Rukun, Salawat Sunni Pun Sebut Syiah

 Muhammad Mahfud MD (Ketua MK):“ Kalau saya mengatakan semua keyakinan itu tidak boleh diintervensi oleh negara. Keyakinan itu tak boleh diganggu orang lain, kecuali dia mengganggu keyakinan orang lain,”(Okezone.com)
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD lahir dan dan besar di pondok pesantren di Madura. Sejak kecil hingga dirinya kini menjadi tokoh nasional, tak pernah ada konflik Sunni dan Syiah di Madura.

Kini Mahfud pun heran, kenapa ada konflik Syiah dan Sunni di Madura. Saking rukunnya, warga Sunni pun saat bersalawat juga menyebut ahlul bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW) yang selama ini dipercaya oleh Syiah sebagai penerus kekhalifahan.

“Saya orang Madura, sejak bayi hingga umur 16 tahun saya hidup dan besar di Madura. Dari dulu tidak ada konflik Sunni dan Syiah. Itu baru muncul 2010. Di Madura tidak pernah dipermasalahkan aliran-aliran itu. Semuanya hidup berdampingan secara damai. Di Madura juga ada gereja, kelenteng. Dari dulu orang Madura berbeda-beda agama dan aliran, tapi tidak ada apa-apa,” ujar Mahfud MD saat memberi ceramah dalam acara Halal Bihalal Karyawan Kompas Gramedia di Halaman Gedung Oranye Kompas Gramedia, Jakarta, Kamis (6/9/2012).

Ditambahkan Mahfud, orang Madura  baru marah jika istrinya digoda orang lain. “Selama ini tidak ada apa-apa. Yang masalah, kalau istri diganggu orang,” ujar Mahfud sambil tersenyum.

Menurut Mahfud, konflik Syiah dan Sunni di Madura itu terjadi baru belakangan ini. Mahfud yang besar di pondok pesantren, menceriterakan hidup rukunnya Syiah dan Sunni yang sampai digunakan dalam salawat.

“Saat bersalawat, orang Sunni juga mengakui (kekhalifahan) Syiah. Contohnya ahlul bayt itu kerap disebut dalam salawat. Dan selama ini enggak apa-apa,” jelas Mahfud.

Bahkan dalam doa warga Sunni di Madura juga menyebut detail keturunan Nabi Muhammad yang dipercaya menjadi khalifah. “Itu enggak apa-apa, tidak ada masalah selama ini,” lanjut Mahfud.

Seperti diketahui, kaum Sunni mengakui bahwa khulafur rasyidin atau empat khalifah yakni Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Ustman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Sedangkang kaum Syiah hanya mengakui Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah. Kaum Syiah menganggap, penerus sah kepemimpinan Muhammad SAW adalah Ali dan lalu diteruskan imam yang suci dari kalangan Ahlul Bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW).

Menurut dia, masalah keyakinan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk negara sekalipun.

“Kalau saya mengatakan semua keyakinan itu tidak boleh diintervensi oleh negara. Keyakinan itu tak boleh diganggu orang lain, kecuali dia mengganggu keyakinan orang lain,” jelasnya.
.
Menurut Mahfud MD budaya NU mengamalkan ajaran Syiah seperti Ahlul Kisa (Keutamaan Rasulullah, Sayyidah Fatimah, Sayidina Ali b. Abi Thalib, Sayidina Hasan dan Sayidina Husayn) yang menjadi hafalan masyarakat Sampang dan NU pada umumnya.
 Ayatullah Ali Taskhiri dan Syekh Molavi Eshak Madani mengapit Prof. Dr. Umar Shihab
Ayatullah Ali Taskhiri dan Syekh MolaviEshak Madani mengapit Prof. Dr. Umar Shihab

Fatwa Politik
fatwa MUI Pusat tahun 1984 tentang bahaya Syiah sebagai sebagai fatwa berbau politik. Alasannya, 5 tahun sebelumnya Iran baru saja melakukan revolusi dan Indonesia takut revolusi itu akan ke negaranya.

“MUI tahun 1984 keluarkan fatwa untuk waspadai Syiah, jelas itu adalah suatu konotasi politik. Fatwa MUI Pusat adalah fatwa politik,” terangnya.

“Slamet Effendi (Ketua PBNU dan Ketua MUI Pusat, red) di Depdagri menjelaskan latar belakang fatwa waspada Syiah yang dikeluarkan pada tahun 1984. Sebab baru saja Iran itu revolusi dan Indonesia takut revolusi itu akan ke negaranya,” jelasnya tambahnya.

Saat bertemu dengan para pelajar Indonesia di Qom (Selasa, 13 Oktober 2009) beliau tidak bisa menyembunyikan rasa harunya ketika mendapatkan kesempatan dan taufik dari Allah Swt. untuk berziarah pertama kalinya ke makam kakek beliau, Imam Ali ar-Ridha. Bagi beliau, sosok Imam Ridha adalah teladan bagi seluruh umat Islam.

Tokoh Islam yang sejak kecil bercita-cita untuk mempersatukan barisan kaum Muslimin ini menghimbau para pelajar Indonesia di Iran supaya menjadi dai-dai yang menyerukan persatuan dan menghindari timbulnya perpecahan di tengah umat Islam. Beliau sangat anti terhadap gerakan takfiriah (usaha mengkafirkan sesama muslim) hanya karena perbedaan masalah furu’ (masalah cabang alias tidak prinsip). Beliau sangat mengapresiasi upaya serius ulama-ulama Iran di bidang pendekatan antara pelbagai mazhab Islam.

Untuk mengetahui lebih jauh pandangan Prof. Dr. KH. Umar Shihab, berikut ini kami melakukan wawancara singkat dengan beliau. Dengan harapan, semoga kerukunan beragama dan bermazhab di tanah air tercinta berjalan dengan baik dan tidak terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama dan mudah-mudahan tercipta suasana saling memahami dan ukhuwah islamiah antara pelbagai mazhab Islam.

Setelah melihat Iran dari dekat, bagaimana pandangan dan kesan Anda?

Iran merupakan tempat perkembangan pengetahuan, khususnya pengetahuan agama. Ini ditandai dengan banyaknya perpustakaan besar di sana-sini. Sekiranya saya masih muda, niscaya saya akan belajar di sini.

Beberapa bulan yang lalu adik saya, Quraish Shihab, juga datang ke Iran guna memenuhi undangan Lembaga Pendekatan Mazhab Islam. Sepengetahuan saya, hanya Iran satu-satunya negara yang secara resmi memiliki lembaga yang peduli terhadap persatuan antara mazhab-mazhab Islam. Iran secara getol menyerukan persatuan antara sesama umat Islam, apapun mazhab mereka. Kalau saja negara-negara Islam meniru strategi pendekatan mazhab yang dilakukan Iran niscaya tidak ada pengkafiran, dan kejayaan dan kemenangan Islam akan terwujud.

Bagaimana seharusnya kita menyikapi isu ikhtilaf antara Syiah dan Ahlussunah?

Saya orang suni, tapi saya percaya Syiah juga benar. Sebagaimana saya percaya bahwa mazhab Hanafi dan Maliki juga benar. Saya tidak mau disebut sebagai pembela Syiah, tapi saya pembela kebenaran. Jangankan mentolerir kekerasan antarmazhab yang MUI tidak pernah mengeluarkan “fatwa sesat dan kafir” terhadap mazhab tersebut, kepada Ahmadiah yang kita fatwakan sebagai ajaran sesat pun kita tidak mengizinkan dilakukannya kekerasan terhadap mereka.

Kita tidak boleh gampang mengecap kafir kepada sesama muslim hanya karena masalah furu’iah (masalah cabang/tidak utama). Antara Syafii dan Maliki terdapat perbedaan, meskipun Imam Malik itu guru Imam Syafii. Ahmadiah kita anggap sesat karena mengklaim ada nabi lain sesudah Nabi Muhammad saw, sedangkan mazhab ahlulbait (Syiah) dan ahlusunah sama meyakini tidak ada nabi lain sesudah Nabi Muhammad saw.

Perbedaan itu hal yang alami dan biasa. Imam Syafii, misalnya, meletakkan tangannya di atas dada saat melaksanakan salat. Namun saat berada di Mekkah—untuk menghormati Imam Malik—beliau meluruskan tangannya dan tidak membaca kunut dalam salat subuhnya. Orang yang sempit pengetahuannya yang menyalahkan seseorang yang tangannya lurus alias tidak bersedekap dalam salatnya.

Sebagian kalangan menganggap Syiah sebagai mazhab sempalan dan tidak termasuk mazhab Islam yang sah? Bagaimana pendapat Anda?

Orang yang menganggap Syiah sebagai mazhab sempalan tidak bisa disebut sebagai ulama. Syiah dan ahlusunah tidak boleh saling menyalahkan. Masing-masing ulama kedua mazhab tersebut memiliki dalil. Syiah dan ahlusunah mempunyai Tuhan, Nabi, dan Alquran yang sama. Orang yang mengklaim bahwa Syiah punya Alquran yang berbeda itu hanya fitnah dan kebohongan semata.

Saudara Prof. Muhammad Ghalib (Guru Besar Tafsir dan Sekretaris MUI Sulsel, Makassar yang ikut bersama beliau ke Iran) akan membawa Alquran cetakan Iran yang konon katanya berbeda itu ke tanah air. Saya sangat kecewa kalau ada salah satu ulama mazhab membenarkan mazhabnya sendiri dan tidak mengapresiasi mazhab lainnya. Salat yang dilakukan oleh orang-orang Syiah sama dengan salat yang dipraktikkan Imam Malik.

Apa pesan Anda terhadap kami sebagai pelajar-pelajar agama?

Pesan pertama dan utama saya, peliharalah persatuan dan kesatuan antara umat Islam. Banyak ayat dalam Alquran yang mengecam perpecahan dan perselisihan di antara sesama umat Islam, seperti usaha menyebarkan fitnah dan percekcokan di tubuh umat Islam dll. Kita harus menjadi pelopor persatuan dan tidak membiarkan perpecahan terjadi di tubuh umat Islam. Contoh ideal persatuan dan persaudaraan antara sesama muslim adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansar.

Pesan kedua, persatuan yang ditekankan dalam ajaran Islam bukan persatuan yang pura-pura atau untuk kepentingan sesaat, namun persatuan yang bersifat kontinu dan sepanjang masa. Kita tidak boleh terjebak dalam fanatisme buta. Saya saksikan sendiri di Iran, khususnya di Qom, banyak orang-orang alim yang sangat toleran. Saya tahu persis di Iran ada usaha serius untuk mendekatkan dan mencari titik temu antara mazhab-mazhab Islam yang tidak ditemukan di tempat lain.

Saya mengunjungi perpustakaan di Qom dan saya melihat usaha keras para ulama di bidang pendekatan antara mazhab Islam. Saya tekankan bahwa setiap ulama mazhab memiliki dalil atas setiap pendapatnya dan pihak yang berbeda mazhab tidak boleh menyalahkannya begitu saja. Sebagai contoh, kalangan ulama berbeda pendapat berkaitan dengan hukum mabit (bermalam) di Mina. Ada yang mewajibkannya dan ada pula yang menganggapnya sunah. Jangankan antara Syiah dan ahlusunah, antara sesama internal ahlusunah sendiri pun terdapat perbedaan, misalnya antara Syafii dan Hanafi. Jadi, perpecahan itu akan melemahkan kita sebagai umat Islam.

Pesan ketiga, sebagai pemuda, jangan berputus asa. Allah Swt. memerintahkan kita untuk tidak berputus asa. Belajarlah bersungguh-sungguh karena menuntut ilmu itu suatu kewajiban. Hormatilah guru-guru Anda karena mereka adalah ibarat orang tua bagi Anda. Menghormati guru sama dengan menghormati orang tua Anda. Harapan kita dan umat Islam terhadap Anda begitu besar. Kami berterima kasih atas semua pihak yang membantu Anda di sini, terutama guru-guru Anda.

Saya menghimbau para pelajar Indonesia di Iran—setelah mereka pulang—hendaklah mereka menjadi dai-dai yang menyerukan persatuan di antara umat. Islam menekankan persatuan sesama muslim dan tidak menghendaki timbulnya fitnah, seperti apa yang dilakukan oleh Rasul saw. saat beliau memerintahkan untuk menghancurkan Masjid Dirar. Karena tempat itu dijadikan pusat penyebaran fitnah dan usaha untuk memecah belah umat.

Seringkali karena fanatisme, kita melupakan persatuan. Orang yang memecah belah umat patut dipertanyakan keislamannya. Sebab, orang munafiklah yang bekerja untuk memecah belah umat. Dan orang-orang seperti ini sepanjang sejarah pasti ada dan selalu ada hingga hari ini. Sejak kecil saya bercita-cita untuk mempersatukan sesama umat Islam. Dan di akhir hayat saya, saya tidak ingin melihat lagi perpecahan dan pengkafiran sesama Islam.

KH Nur Iskandar Sq (Ketua Dewan Syuro PPP):“ Kami sangat menghargai kaum Muslimin Syiah, ”
rhoma irama jadi calon presiden

Rhoma Irama ( Seniman dan Mubaligh ):“Tuhan kita sama, nabi kita sama, kiblat kita sama, sholat kita sama, puasa kita sama, zakat kita sama, haji kita sama, kenapa harus saling mengkafirkan” (tempo.co)

Rektor IAIN Sunan Ampel Prof Dr Abd A’la Surabaya.
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Abd A’la menegaskan bahwa aliran Syiah yang dianut warga Sampang bukanlah aliran sesat. “Masalah keyakinan Syiah itu sudah clear, tidak sesat, Syiah bagian dari Islam,” kata A’la kepada Tempo, Minggu, 27 Agustus 2012.

Menurut A’la, jika Syiah dianggap sesat maka sama artinya dengan tidak mengganggap negara Iran sebagai negara Islam. “Iran itu mayoritas Syiah dan dianggap negara Islam. Apa kita akan mengingkari hal itu,” ujarnya.

Memang terdapat banyak aliran dalam Syiah, namun dari kacamata A’la, di dunia ini hanya mengakui satu aliran Syiah yang sesat yaitu Syiah Ghulam. Sedangkan yang ada di Indonesia, kata A’la, bukanlah aliran Ghulam.

A’la juga minta ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak gampang melabeli sesat kepada aliran tertentu.

Selain itu, A’la juga minta seluruh tokoh masyarakat mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Seorang tokoh yang hanya menebarkan kebencian untuk memaksakan suatu keyakinan merupakan tokoh yang tak mengetahui hakikat dari Islam itu sendiri.

A’la lantas menukil salah satu ayat dari surat Yunus ayat 99 yang berbunyi. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi beriman semua?”.

A’la juga minta pemerintah tak gegabah dalam merelokasi warga Syiah Sampang. “Relokasi malah akan menjadikan Syiah eksklusif, dan ini justru bahaya.”

Konflik yang melibatkan Syiah, tambah A’la, mayoritas bukan karena perbedaan keyakinan melainkan adanya faktor lain, seperti faktor politik maupun konflik keluarga. Dia mencontohkan terbunuhnya Husain bin Ali, serta peperangan antara Muawiyah dan Ahlul Bait yang semuanya bernuansa politik.

Karenanya, konflik antara Syiah dan warga Sampang diduga juga bukan karena adanya perbedaan keyakinan. “Kan sebentar lagi ada Pilkada, saya tidak bermaksud mengecilkan masalah, tapi faktor politik seringkali memicu,” tutur A’la.

Apalagi antara Syiah dan NU, kata A’la pula, sebenarnya memiliki banyak ritual yang sama. Ritual pujian ala NU, misalnya, adalah meniru ritual ala Syiah.

Tetapi Islam juga mengajarkan bahwa perbedaan juga rahmat. Jangan mudah saling mengkafirkan atau begitu mudah menuduh sesat dan mengabaikan perbedaan yang sudah ditakdirkan pada ummat Islam. Dakwah Islam tidaklah dengan kekerasan tetapi dengan bil hikmah.

Pihaknya menegaskan, Syiah Sampang itu bukanlah aliran sesat. Pasalnya, masalah keyakinan Syiah itu sudah klir dan tidak sesat. Syiah dianggap sebagai bagian dari Islam, seperti halnya Sunni.

“Jika dianggap Syiah sesat, maka sama artinya dengan tidak mengganggap negara Iran sebagai negara Islam. Iran itu mayoritas Syiah dan dianggap negara Islam. Apa kita semua akan mengingkari hal itu,” ujarnya.

Memang ada banyak aliran dalam Syiah, namun dari pandangan dirinya, di dunia ini hanya mengakui satu aliran Syiah yang sesat yaitu Syiah Ghulam. Dan yang ada di Indonesia, katanya bukanlah aliran Ghulam.

Pihaknya juga meminta ormas islam seperti NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak gampang memberi labe atau fatwa sesat kepada aliran tertentu.

Selain itu, pihaknya meminta seluruh tokoh masyarakat mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Seorang tokoh yang hanya menebarkan kebencian untuk memaksakan suatu keyakinan, dinilai merupakan tokoh yang tak mengetahui hakikat dari Islam itu sendiri.

Slamet Effendy Yusuf (Ketua PB NU) tentang syi’ah :“ Caranya terus menjaga persamaan sesama Umat Islam, bukan mencari perbedaannya,”(republika.co.id)

Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf membantah keras, jika Fatwa MUI merupakan pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai tempat.“Sejak awal, MUI tidak pernah mentolerir kekerasan. Namun sikap MUI jelas, bahwa Ahmadiyah itu aliran sesat, di luar Islam. Bukan hanya Bahtsul Matsail NU yang menilai Ahmadiyah sesat, tapi ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, bahkan ulama di dunia pun menilai Ahmadiyah sebagai ajaran yang menyesatkan,” ujar Slamet yang juga Ketua PBNU ini  menanggapi Insiden Ciekusik, Pandeglang, Banten, usai Diskusi “Peluang Kita Memperbaiki Wajah Kebebasan Beragama” di kantor Kontras, Jakarta, Senin (7/2/2011).
Amien Rais
Amien Rais
Amien Rais
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ke-10
Masa jabatan
1999–2001
Amien Rais: “Sunnah dan Syi’ah adalah madzhab-madzhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam

Amin Rais (Mantan Ketua PP Muhammadiyah):“Sunnah dan Syi’ah adalah madzhab-madzhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam “(satuislam.wordpress.com)
Jumat, 20 Juli 2007

baca juga : Amien Rais : “tradisi intelektual dan berfikir di Iran itu tidak pernah berhenti, di perpustakaan di Iran pun juga 80% lebih buku-bukunya itu karangan sunni. Jadi mengapa orang sunni itu alergi kepada syiah dan sementara syiah juga alergi kepada sunni”

baca juga : Amien Rais : “Islam di tangan tokoh-tokoh ulama syiah itu menjadi lain, Islam yang moving Islam yang menggerakkan yang merubah gitu dan itu yang saya kira yang kita perlukan. Jadi dari sunni nggak usah malu untuk belajar dari syiah”

Pada pembukaan Konferensi 6 BKPPI se-Timur Tengah ini digelar juga empat orasi ilmiah dan diskusi dengan mengusung berbagai tema. Orasi ilmiah pertama dari Prof. Amien Rais sekaligus seremonial pembukaan acara konferensi BKPPI kali ini diiringi dengan pembacaan doa. Dalam orasinya mantan ketua MPR ini menjelaskan bahwa mengapa bangsa Indonesia yang sesungguhnya kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya ini justeru masih tertinggal jauh dibanding Negara-negara lainnya, ia mengatakan karena Indonesia selama ini telah kehilangan kemandiriannya. Hilangnya kemandirian ini lanjut Amien, berdampak pada hilangnya juga kebanggaan nasional. Orang Indonesia di luar negeri malu untuk mengaku sebagai orang Indonesia ketika ditanya orang asing. Pada akhirnya karena kemandirian dan kebanggaan terhadap bangsa sudah hilang maka pelan-pelan kedaulatan bangsa pun akan hilang. Inilah masalah yang paling fundamental tambahnya, dan diperlukan keberanian dari para pemimpin bangsa untuk bersikap tegas terhadap Negara-negara asing yang berusaha melakukan korporatografi kepada Indonesia yang menjadi penyebab hilangnya kedaulatan ekonomi bangsa ini.

Dr. Bambang Pranowo staff Menhan yang menggantikan Juwono Sudarsono yang tidak bisa memnuhi undangan panitia konferensi menyoroti masalah posisi Indonesia di tengah percaturan politik dunia dengan berbagai ancaman dan tantangannya seperti globalisasi, perdagangan bebas dan perubahan-perubahan social kemasyarakatan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia  membuktikan pentingnya rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa sebagai sebuah kekayaan yang perlu dipertahankan.

Sementara itu Husein Heryanto dosen ICAS lebih banyak mengupas masalah pentingnya budaya dan system nilai masyarakat sebagai sebuah benteng kokoh pertahanan Indonesia.

Konferensi kali ini diisi pula oleh orasi ilmiah lain dari Dr. Mashitoh Chusnan dari DEPDIKNAS yang menggantikan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo yang berhalangan hadir. Dr Mashitoh menyinggung masalah Human Development Index (HDI) Negara -negara Islam yang lemah khususnya Indonesia yang saat ini berada pada peringkat 112 dari 175 negara dunia. Umat Islam di Negara-negara berkembang menurut Dr Mashitoh itu  miskin, bodoh dan dijajah secara ekonomi, pada saat yang sama Negara-negara Islam yang kaya minyak masih di bayangi masalah hedonisme sehingga belum bisa mengangkat SDM muslim oleh karena itu lanjutya Negara-negara muslim termasuk Indonesia dituntut harus segera menguasai IPTEK dan penguasaan dalam bidang ekonomi sehingga bisa lepas dari keterjajahan ekonomi Negara-negara barat.

Hadir dalam konferensi beberapa rektor dari universitas kenamaan Islam di Indonesa, Pof.DR.HM Ridwan Nasir.MA [Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya], Prof. DR. Abdul Jamil [Rektor  IAIN Wali Songo, Semarang], Prof. DR. Fuad Amsyari.Phd [Guru Besar Universitas Airlangga/ UNAIR, Surabaya] yang dalam konferensi kali ini berkesempatan menyampaikan orasi, lebih banyak menyoroti masalah alumni Timur Tengah yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia seperti diungkapkan oleh Rektor IAIN Wali Songo Semarang Prof. Abdul Jamil.“Alumni timur tengah yang pulang ke Indonesia merupakan sebuah resources bagi bangsa tetapi pertanyaannya adalah apakah  mereka mampu mengambil posisi dalam proses national building berbekal ilmu-ilmu keislaman yang dikantongi dari timur tengah, ditambah lagi dengan stigma sebagian orang yang mengatakan alumni timur tengah itu pikirannya belum bisa diajak untuk maju”. Demikian statemen beliau dalam salah satu diskusi yang dipandu oleh Muladi Mughni (delegasi Pakistan).

Sementara itu Purkon Hidayat, perwakilan HPI Iran yang satu  meja diskusi dengan para rector tersebut lebih banyak  menyinggung masalah pola pemikiran barat yang masuk ke wilayah-wilayah pemikiran Islam dan menghegemoni kerangka pemikiran banyak pemikir Islam kemudian menawarkan sebuah solusi atas masalah ini dengan memeprkenalkan figure dan pengalaman Imam Khomeini.

Indonesia Masih Gerbong, Belum Bisa Jadi Lokomotif

Amien Rais beserta keluarga tiba di Iran Minggu 15 Juli 2007 memenuhi undangan Panitia Pelaksana Konferensi BKPPI Se Timur Tengah dan sekitarnya untuk mengisi orasi ilmiah di acara konferensi ini dan sekaligus membukanya. Amien Rais dalam pembukaan konferensi yang bertemakan “Membangun Kemandirian  Bangsa Menuju Indonesia yang Berkeadilan”  mengatakan bahwa kewajiban membangun dan merekonstruksi bangsa dan negara pada hakikatnya adalah kewajiban keagamaan dan bukan sekedar  kewajiban kewarganegaraan, politik atau keduniaan. “Saya tidak setuju dengan teman yang mengatakan biarlah di dunia ini kita umat Islam menjadi umat pinggiran, umat kalahan dan bangsa-bangsa muslim itu menjadi bangsa pelengkap penderita tapi insyaallah di akhirat kita berbondong-bondong  masuk surga, saya kira itu pikiran yang ngawur. Itu adalah manifestation of defeatation, itu adalah manifestasi kebangkrutan, kekalahan, kepecundangan, tidak mau berjuang dan kemudian agama dijadikan opium, dijadikan pelipur lara dan  dijadikan candu penenang”. “Sebenarnya kalau kita bergerak membangun bangsa sesungguhnya itu kewajiban qur’aniah dan kewajiban keagamaan kita”. tegasnya.

Bangsa Indonesia sudah sejak lama ingin membangun dirinya, tetapi sampai sejauh ini belum dianggap berhasil dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir telah mengalami kemajuan yang cukup pesat seperti India dan Cina. Padahal menurut Amien negara-negara tersebut adalah negara yang tidak beragama dan jelas bukan negara muslim, selain itu negara kita memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Tetapi mengapa Indonesia tidak maju-maju juga. Indonesia ini masih gerbong belum bisa menjadi lokomotif, tegasnya. Pertanyaan mengapa Indonesia masih belum bisa sejajar dengan negara-negara lain menurut Amien Rais ada tiga faktor yang menyebabkannya. “Sesuai dengan tema konferensi kita kali ini, selama ini kita sudah agak lama kehilangan kemandirian, jadi self confidence sudah agak lama hilang dari khazanah bangsa Indonesia baik masyarakat umum dan mungkin juga sampai ke pemimpinnya”.

Menurut Amien sebuah bangsa yang telah kehilangan kemandiriannya akan kehilangan juga kebanggaan nasional, jika kedua komponen ini telah hilang maka kehilangan kedaulatan bangsa menjadi sesuatu yang tidak begitu terasa lagi. Ini adalah masalah bottom line, masalah yang paling fundamental, gara gari kita kehilangan kemandirian dan kebanggaan nasional sebenarnya pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan nasional di berbagai dimensi kehidupan”. Kedaulatan ekonomi Indonesia adalah salah satu kedaulatan bangsa yang mulai hilang dan memiliki contoh yang mencolok pada kasus Indonesia, dijualnya berbagai asset nasional, pertambangan-pertambangan yang keuntungannya justeru dikuasai asing dan berbagai indikator lain yang menguatkan hal tersebut.
Arsip Konferensi BK-PPI se-Timur Tengah di Qom Iran (Selasa, 17 Juli 2007)

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif
Buya Syafii: Kebenaran Bukan Milik Individu
Senin, 2 Januari 2012 07:31 wib

Buya Syafii Ma’arif (Cendikiawan Muslim, Mantan Ketua PP Muhammadiyah):

“Kalau Syiah dikalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima,” (okezone.com)
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengutuk keras aksi pembakaran terhadap pondok pesantren Syiah di Kecamatan Karang Penang, Sampang. Terlebih jika aksi pembakaran tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan keagamaan
.
Menurut pria yang lebih akrab dipanggil Buya ini, hal semacam itu harus dihentikan. Sebab kebenaran bukanlah milik individu apalagi kelompok. “Saya rasa sikap yang tidak baik, ada monopoli kebenaran,” ujar Buya kepada okezone, Minggu (1/1/2012).Buya pun heran terhadap tindakan anarkistis sebagian masyarakat lantaran menganggap Syiah bertentangan dengan Islam. Padahal kata dia, Syiah diakui sebagai mazhab kelima dalam Islam. “Kalau Syiah dikalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima,” jelasnya
.
Dia pun menyatakan bahwa setiap orang sekalipun atheis berhak hidup. Hal yang terpenting kata dia, bisa hidup rukun dan toleran. “Jadi perbuatan-perbuatan semacam itu harus dihentikkan, apalagi di Sampang itu bersaudara, masak agama memecah belah,” paparnya.Dia meyakini para pemeluk agama yang melakukan tindakan anarkistis bukanlah penganut agama yang diridhai. “Menurut saya semacam itu bukan agama yang autentik,”

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin

Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah):“ Tidak ada beda Sunni dan Syi’ah. Dialog merupakan jalan yang paling baik dan tepat, guna mengatasi perbedaan aliran dalam keluarga besar sesama muslim” (republika.co.id)

 Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan tak ada perbedaan besar antara dua mazhab besar dalam Islam Sunni dan Syiah, sebuah pernyataan sejuk yang menutup pintu perpecahan dan adu domba yang bisa menghancurkan harmoni Muslimin Indonesia. Din berkata baik Sunni dan Syiah mengakui Tuhan dan Rasul yang sama. “Soal itu perlu diluruskan agar tidak memecah persaudaraan umat Islam
.
 MAY 5, 2008

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan persatuan umat Islam, khususnya antara kaum Sunni dan Kaum Syiah, mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan umat agama itu.

“Kejayaan umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok umat Islam tersebut,” kata Din dalam siaran persnya yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

Din Syamsuddin mengikuti Konperensi Islam Sedunia yang sedang berlangsung di Teheran, 4-6 Mei. Konperensi dihadiri sekitar 400 ulama, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah dari berbagai belahan dunia.

Din yang berbicara pada sesi pertama bersama enam tokoh Islam lainnya menegaskan bahwa antara Sunni dan Syiah ada perbedaan tapi hanya pada wilayah cabang (furu’iyat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah).

Keduanya berpegang pada akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajat penghormatan terhadap Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, kata dia, kedua kelompok harus terus melakukan dialog dan pendekatan. Seandai tidak dicapai titik temu maka perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi.

“Seluruh elemen umat Islam, dalam kemajemukannya, perlu menemukan ‘kalimat sama’ dalam merealisasikan misi kekhalifahan di

muka bumi,” katanya.

Kemudian dalam menghadapi tantangan dewasa ini, kata Din, umat Islam perlu menemukan dalam dirinya “musuh bersama”. “Dua hal ini, ‘kalimatun swa’ (kalimat sama) dan ‘aduwwun sawa’ (musuh bersama) adalah faktor kemajuan umat,” kata Din.

“Musuh bersama” itu, kata Din, terdapat di dalam diri umat Islam yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. (Republika 5 Mei 2008)

Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj Bicara Tentang Syiah

Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj Membolehkan Syiah
Dibawah ini adalah sebuah tulisan yang diambil sepenuhnya dari majalah SYI’AR yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi’ah dan budayanya serta relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin terhadap tudingan golongan tertentu.

Tulisan yang judul aslinya tentang “Ja’fari Mazhab Resmi Islam ke-5” saya ambil dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi’ar.

Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.

Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam.

TENTANG SUNNI-SYIAH

Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.

Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.

Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.

Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.

Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.

Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.

Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.

Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.

Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.

Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?

Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.

Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.

Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?

Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.

Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.

Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.

Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.

Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?

Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.

Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.

Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?.

TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?

Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.

Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.

Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.

Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.

Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.

Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.

NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?

Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.

Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?

Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.

Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu.

Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.

Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?

Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.

Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?

Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.

TENTANG MAULID NABI SAW

Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?

Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.

Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.

Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.

Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?

Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?

Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”

Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.

Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.

TENTANG KULTUR SYIAH dan NU

Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?

Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.

Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.

Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?

Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah).

Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.

Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?

Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.

Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?

NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.

Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu.

Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?

Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.

Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran.

Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul.

Bagaimana NU memahami Wahabi?

Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.

Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?

Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.

Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.

Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.

Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.

Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia
.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.

Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.

Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.

qurais-shihab.jpg

kata Quraish, banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai. Tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, banyak yang merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain. Ia tidak menampik fakta banyak ulama masa silam yang juga terjebak kebodohan, sehingga mempengaruhi umat di masa kini. Makanya, sikap kritis mesti diperlukan untuk menelaah kembali semua pemikiran di masa silam demi menemukan titik-titik kesamaan di masa kini
.
“Kalau kita mau cari perbedaan supaya kita konflik, akan banyak sekali ditemukan. Namun, apa tujuannya kita berkonflik? Kita semakin membatasi diri kita. Lebih baik kita mencari titik kesamaan supaya kita bersatu sebagai sesama umat Islam,“ katanya
.
Prof. DR. Quraish Shihab : “Siapa yang tidak mengagungkan Imam Husain maka diragukan keimanannya.”
.

DR. Quraish Shihab saat menerima tamu dari Iran yang bermadzab Syiah

Jakarta -

Kita tidak dapat menjangkau seluruh makna arba’în. Kita tidak tahu persis mengapa angka 40 hari itu yang dipilih; bukan 30, bukan 20, bukan juga 100. Tapi yang jelas angka 40 disebut di dalam Al-Quran sebanyak empat kali. Nabi Musa AS tadinya dijanjikan untuk “bertemu” dengan Allah, tapi kemudian Allah menyempurnakannya: … Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam (QS. Al-A’râf [7] : 142). Seorang manusia oleh Al-Quran juga dinyatakan bahwa manusia mencapai kesempurnaannya. Hatta idzâ balagha asyuddahu wa balagha arba’în sannah (QS. Al-Ahqâf [46] : 15). Bani Israil pun yang dihukum Tuhan, disebutkan bahwa mereka dihukum Tuhan tersesat selama 40 tahun.
.

Dalam hadis-hadis pun kita temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun, mengakui sabda Nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.” Karena itu dari kalang Sunni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun Al- Arba’în An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis 40 hadis pilihan. Kita menemukan di dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan “Barang siapa yang shalat 40 kali— dalam riwayat lain 40 hari —di Madinah Rasul, maka ia terbebas dari kemunafikan.”

.

Kita menemukan misalnya dalam hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah angka kesempurnaan. Jika demikian kalau kita memperingati tokoh yang telah berlalu, yang kita ingin teladani pada masa keempatpuluhnya, maka sebenarnya salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan keteladan kita kepada beliau. Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah, Allah SWT memerintahkan kita untuk merenung. Berulang-ulang dalam Al- Quran, tidak kurang 200 kali, kata “merenung”, “mengingat” terulang di dalamnya

.

Banyak hal yang perlu direnungkan. Sejak dulu misalnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa agar mengingatkan kaummya: Wa dzakkirhum bi ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (QS. Ibrâhîm [14] : 5), maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari Allah adalah hari gugurnya Sayyidina Husain. Saya terkadang berpikir, kalau unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâhsya’âirillâh? Kalau Ka’bah, al-hadya, al- qalâid (binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk disembelih saat haji), semua dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran rasanya kalau ada tokoh, baik yang disebut di dalam Al-Quran maupun yang tidak, selama dia tokoh, heran kalau dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari sya’âirillâh. (bagian dari syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat menjadi salah satu dari sya’airillah?
.
.
Seperti kita baca dalam Al-Quran: Barang siapa yang mengagungkan sya’âirillâh (syiar-syiar Allah) maka sesungguhnya itu adalah tanda ketakwaan dari hati (QS. Al-Hajj [22] : 32). Itu sebabnya kita merayakan maulid Nabi, itu sebabnya kita mengagungkan tokoh-tokoh. Itu sebabnya sebagaimana kita bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad, sebagaimana kita menyambut tokoh- tokoh yang kita agungkan, kita pun wajar bersedih dalam batas-batas yang dibenarkan agama, dengan kepergian siapa yang mesti kita cintai.

.

Syi’âr – sya’âir – sya’irah seakar dengan kata syu’ûr, rasa. Setiap yang menjadi syiar mesti menimbulkan rasa. Ketika pada hari Idul Adhha misalnya, kita melihat kambing, domba atau sapi yang dijadikan syiar oleh Allah, maka ketika itu dia tidak menjadi syiar kalau dia tidak menjadi tanda kebesaran Allah dan tidak timbul di dalam hati Anda rasa kekaguman akan kebesaran Allah. Ketika kita menjadikan seorang tokoh sebagai syiar, maka harus timbul rasa di dalam hati Anda. Rasa hormat, rasa kagum dan boleh jadi rasa menyesal kenapa kita tidak hidup pada masa beliau (Imam Husain) dan ikut berjuang bersama beliau.
.

Hal ketiga yang ingin saya kemukakan, mengapa kita mengagungkan Sayyidina Husain? Tentu akan sangat panjang uraian kalau kita berbicara tentang beliau. Kita hanya bisa menunjuk dengan jari telunjuk; kita tidak dapat merangkul semua dari keistimewaan beliau. Untung kata orang menunjuk ke suatu gunung yang tinggi terkadang lebih mampu untuk menggambarkannya dari pada usaha kedua lengan untuk merangkul dunia ini. Kita hanya ingin menunjuk dan menyinggung sedikit dari banyak yang diakui oleh seluruh muslim, apapun mazhabnya baik Sunni atau Syiah, dan yang terdapat dalam semua kitab menyangkut Sayyidina Husain.
.

Pertama, beliau dan Sayyidina Hasan adalah Sayyid Syabâb Ahli Jannah (Pemimpin Pemuda Penghuni Surga), semua mengakui. Ada hal yang menarik dari dua sosok agung ini. Sepintas terlihat bahwa kepribadiannya bertolak belakang. Sayyidina Hasan mau damai, Sayyidina Husain revolusioner. Kelihatannya bertolak belakang, tapi sebenarnya tidak bertolak belakang. Semua bersumber dari didikan ayah beliau, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan semua yang dari Imam Ali bersumber dari Rasulullah SAW. Semua diajarkan untuk membela agama dan mempertahankannya sambil melihat kondisi yang sedang dialami.
.

Kondisi yang dihadapi oleh Imam Hasan sudah berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Imam Husain. Ketika masa Sayyidina Hasan diperlukan kedamaian yang bersyarat. Tetapi ketika kedamaian yang bersyarat itu ternodai, situasi berubah dan tampillah Sayyidina Husain.  Kalau begitu, ketika Sayyidina Husain bersedia gugur walau dengan memberi pilihan kepada pengikutnya untuk mundur ketika dikepung, beliau juga dalam perjuangannya bukan menuntut kekuasaan. Yang beliau inginkan ketika itu adalah syu’ûr, rasa, kepekaan terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya. Yang beliau inginkan ketika itu adalah tumbuh suburnya ajaran ini yang sejak masa ayah beliau sudah mulai menjauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasul.
.
 Abbas Al-Aqqad, seorang ulama Mesir yang diakui otoritas keilmuannya, menulis dalam buku Abqarîyat ‘Ali mengatakan bahwa kendati Sayyidina Ali merasa bahwa beliau wajar untuk menjadi  khalifah setelah Rasul, tetapi beliau tidak ingin menuntut itu sebelum umat menyerahkannya kepada beliau. Ditulis oleh ulama-ulama Syiah, salah satunya di dalam buku Ashlu Syî’ah wa Ushulihâ, bahwa Sayyidina Ali menerima kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Umar, kepimpinan dalam urusan kenegaraan karena beliau melihat bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan jalan Rasulullah. Walaupun dalam buku itu dikatakan beliau tidak menyerahkan soal imamah keagamaan. Sekali lagi saya ingin katakan, ketika Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain dan sebelumnya Sayyidina Ali, beliau tidak pernah berpikir untuk duduk sebagai penguasa. Ini ‘kan suatu ajaran yang perlu kita camkan sekarang ini.

.
Hal terakhir yang saya ingin kemukakan dalam konteks berbicara tentang Imam Husain adalah bahwa beliau, menurut Nabi SAW, adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, penghulu, tokoh yang terutama dari para syuhada. Saya tidak ingin membatasi pengertian syuhada itu hanya dalam arti orang yang gugur membela agama. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahîd. Syahid itu kata yang patronnya bisa berarti objek dan bisa berarti subjek. Syahâdah adalah kesaksian. Kalau dia berarti subjek maka syahîd berati yang menyaksikan, kalau dia berarti objek berarti bahwa beliau yang disaksikan.
.

Keguguran dan darah yang terpancar memang menjadi saksi akan ketulusan perjuangan beliau. Tapi karena kita tidak ingin membatasi arti syahadah hanya pada pengertian gugur di medan juang, itu juga berarti ketika kita menjadikan beliau sebagai syahîd (yang disaksikan), berarti kita ikut menyaksikan dihadapan Allah berdasarkan pada pengetahuan kita bahwa beliau tokoh dan di sisi lain kita menyaksikan beliau sebagai teladan kita dalam hidup. Itu sebabnya dalam Quran disebutkan: Wa kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasatha litakûnû syuhadâ ‘alâ an-nâs wa yakûna ar- rasûl ‘alaikum syahîda. Dan Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan agar kamu menjadi teladan-teladan atas manusia, sedang Rasul adalah teladan kamu (QS. Al-Baqarah [2] : 143)
.

Mengapa saya berkata begitu? Karena kita tidak pernah berkata bahwa hidup ini hanya di dunia; kita berkata hidup di dunia ini adalah perjuangan sepanjang masa. Kita perlu teladan- teladan yang baik, dan keteladan Imam Husain itu berlanjut hingga sekarang. Itu sebabnya tadi dikatakan sampai sekarang masih jutaan orang berkunjung ke Karbala, sampai sekarang saya tahu persis di Mesir, Masjid Imam Husain itu dikunjungi orang; yang berkunjung bukan hanya orang Syiah tapi juga Sunni yang mengelilingi bagaikan bertawaf di sana. Mengagungkan Imam Husain karena perjuangannya sehingga kita dapat berkata, “Siapa yang tidak mengagungkan beliau (Imam Husain) maka diragukan keimanannya.” Aqûlu qauli hadzâ wastaghfirullâh lî walakum. (Deleteisrael/ICC.doc)
.

Sumber: Ceramah disampaikan oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab dalam acara Peringatan Arbain Imam Husain di Islamic Cultural Center, Jakarta, pada tanggal 16 Februari 2009 (20 Shafar 1430 H).

Ketua PP Muhammadiyah Prof H Syafiq A Mughni MA PhD mengatakan bahwa Syiah bukan ajaran sesat, hanya dalam Syiah lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan sahabat nabi Ali bin Abi Thalib.

“Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu”. Namun di sisi lain Syafiq A Mughni menyampaikan bahwa Muhammadiyah tidak sependirian dengan Syiah.

Menurut Syafiq, perbedaan yang sangat menonjol terkait Syiah itu masalah kepemimpinan setelah Nabi Muhammad.

“Dari sudut ajaran Islam, saya memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam Islam,”menanggapi konflik Syiah di Sampang, Madura, Jatim.Ketua PP Muhammadiyah Surabaya.

Ia juga mengatakan kepada Syiah dan aliran keagamaan yang lain untuk saling menghormati dan membangun kehidupan berbangsa lebih baik.

“Kepada Syiah dan aliran atau paham apapun sebaiknya justru saling menghormati dan menghargai untuk membangun kehidupan yang lebih baik,” jelas Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Ketua PP Muhammadiyah Prof H Syafiq A Mughni MA PhD berpendapat masalah Syiah dalam Islam sebenarnya hanya berbeda dalam persoalan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

“Dari sudut ajaran Islam, saya memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam Islam. Itu biasa dalam Islam dan justru harus menjadi alasan untuk saling menghormati dan menghargai sesama Islam,” katanya kepada ANTARA di Surabaya (29/8/2012).

Menurut mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu, hal yang tidak bisa disepakati terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau perbedaan politik terkait kekhalifahan pasca-Nabi Muhammad SAW.

“Perbedaan dengan Syiah dalam politik (kepemimpinan) itu memang berdampak pada beberapa amaliah keagamaan. Dalam amaliah keagamaan, Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu,” kata Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Muhammadiyah : Syi’ah Hanya Beda Kepemimpinan
Sementara dilansir di Republika (29/8/2012), Ketua PP Muhammadiyah Prof H Syafiq A Mughni MA PhD berpendapat masalah Syiah dalam Islam sebenarnya berbeda dalam persoalan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Menurut mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tersebut, hal yang tidak bisa disepakati umat Islam lainnya terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau perbedaan dalam aspek politik. Demikian la
Ia sendiri tidak sepandapat dengan Syi’ah, tapi menurutnya, perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam Islam. Ia juga menghimbau agar saling menghormati dan menghargai untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan perbedaan dengan Syiah dalam politik atau kepemimpinan itu memang berdampak pada beberapa amaliah keagamaan.

Pandangan Prof .DR. Azyumardi Azra Mengenai Syiah

 Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Cendikiawan Muslim, Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta):

“Syiah adalah bagian integral dari umat Islam dan tidak ada perbedaan yang prinsipil dan fundamental dalam Syiah dan Sunni, kecuali masalah kepemimpinan politik”

“ Fatwa haram atau sesat Syiah itu tidak diperlukan, baik secara teologis, ibadah dan fiqh karena pertaruhannya Ukhuwah Islamiyah di Indonesia,”(republika.co.id)
Pandangan Prof .DR. Azyumardi Azra Mengenai Syiah

Dalam kenyataan, antara Syiah dengan ahlu Sunnah, lebih banyak persamaannya ketimbang perbedaannya. Sedikit perbedaan hanya menyangkut hal yang tidak prinsipil. Misalnya, mengenai imamah (kepemimpinan) mau pun dalam hal fiqhiyah, perbedaan dalam hal furu’iyah (ranting), bukan pokok.

Karena itu, Syiah tidak bisa disebut sekte (diluar Islam, menjadi agama tersendiri). Untuk memahami Syiah, harus mengetahui akar sejarahnya. Secara sederhana, dalam bahasa Arab, syiah berarti golongan, kelompok, atau partai. Dalam pengertian istilahi, mengacu kepada kelompok atau golongan yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Terutama setelah terjadinya peristiwa politik pada masa sahabat. Mungkin ironis, kelahiran Syiah terkait kepada persoalan politik ketimbang persoalan keagamaan.

Jadi umat Islam sejak awalnya bertikai karena persoalan politik bukan persoalan yang murni bersifat keagamaan. Banyak orang berpendapat bahwa ini sifat dari politik atau kekuasaan yang memang panas. Membuat orang cenderung tidak terkendali dan terpecah.

Awal Kelahiran Syi’ah

Kelahiran Syiah berkaitan dengan pertikaian antara para pendukung Ali bin Abi Thalib dengan Utsman bin Affan. Pada masa khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, dikalangan umat Islam sudah mulai terjadi perpecahan dan pertikaian, terutama disebabkan Khalifah Utsman ini dipandang terlalu lemah. Saya (penulis) tidak begitu yakin apakah Khalifah Utsman sengaja melakukan praktik nepotisme.

Tapi saya kira hal ini lebih disebabkan Khalifah Utsman seorang yang sangat wara’, ‘alim, dalam kepemimpinannya lurus. Kelurusan dan keikhlasan dia dimanfaatkan kerabatnya untuk merebut posisi kekuasaan yang ada. Dan inilah yang menimbulkan protes dari Muslim lain. Sehingga akhirnya terjadilah perlawanan dan penentangan terhadap Khalifah Utsman, kemudian Khalifah Utsman dikepung dirumahnya dan beliau akhirnya dibunuh.

Saat itu juga Ali bin Abi Thalib dikukuhkan oleh sebagian sahabat sebagai khalifah keempat. Pengangkatan dan pembaiatan Ali bin Abi Thalib ditentang oleh dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Siti Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., dengan alasan belum waktunya Ali diangkat sebagai khalifah. Kelompok kedua dari keluarga Umayyah, dipimpin oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.

Putra Abi Sufyan yang dulu pernah menjadi musuh Rasulullah s.a.w. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan berasal dari keluarga Utsman yang secara umum disebut keluarga Umayyah. Sehingga pada akhirnya untuk pertama kali, terjadilah peperangan diantara pendukung Ali (yang kemudian dikenal dengan Syiah) dengan orang-orang yang dibawah pimpinan Siti Aisyah. Siti Aisyah memimpin perang Jamal.

Beliau mengendarai unta. Diantara pendukungnya, termasuk Thalhah dan Zubair bin Awwan. Siti Aisyah dikalahkan oleh Ali bin Abi Thalib dan dikembalikan ke rumahnya, tidak diapa-apakan. Tapi yang lebih sengit lagi adalah peperangan diantara para pendukung Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Puncaknya pada perang Siffin.

Para pendukung Ali hampir menang tapi dengan tipu muslihat tertentu, para pendukung Mu’awiyyah mengangkat tahkim (tanda perdamaian) sehingga pendukung Ali tertipu sehingga Khalifah Ali dalam sebuah pertemuan (kesepakatan) diturunkan dan pada saat yang sama Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dikukuhkan menjadi khalifah baru. Inilah masa awal bangkitnya sebuah dinasti, yaitu dinasti Umayyah.

Perubahan Sistem Politik Islam

Pada waktu itu pulalah terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (sistem pemilihan, siapa yang paling ‘alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu’awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap dipakai tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi).

Jadi, Mu’awiyyah lebih hebat lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sangat dekat dengan Rasulullah s.a.w. hanya menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu’awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh. Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Mereka kemudian menjadi kelompok yang kuat, yang dikenal dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling menonjol dan khas sebetulnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara aliran Syiah dengan Sunnah adalah dalam bidang pemikiran politik.

Hak kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Jadi imam berbeda-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berbeda-beda, ada Syiah moderat (mayoritas), ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu’awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan adalah hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. karena sebetulnya wahyu dipesankan oleh Allah melalui Jibril untuk disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada Muhammad s.a.w.

Yang ekstrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As’ariyah, atau Syiah Imamiyah, yaitu imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja’far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin Ja’far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang ditunggu.Dalam tradisi Syiah, imam mempunyai posisi politik yang tinggi, terutama sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan hanya sebagai orang yang memiliki otoritas dalam keagamaan, imam shalat, tetapi sekaligus sebagai pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan adalah milik imam. Dan imam adalah orang yang ma’shum (bebas dari dosa).

Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih. Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini sebetulnya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan mengikat. Atau lebih dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul ‘Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah.

Meski pun dalam prakteknya, berbeda dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya memberikan pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan.

Sejauh yang dijelaskan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan pertikaian politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah adalah soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sangat sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam.

Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah setelah RII 1979 merasa frustrasi karena umat Islam tidak mau bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia muncul gagasan, tirulah konsep imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an muncul konsep atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian kalangan ahlu sunnah wal jamaah mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman.

Tapi harus segera dikatakan, kalau ada gerakan Indonesia yang memakai konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah adalah konsep kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dipahami, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia.

Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and political leadership.

Imam, menurut Sunni tidak memainkan peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.

Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan. Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu’tazilah.

Suatu aliran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di abad ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama rasional. Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa, tidak menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak perlu berupaya.

Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu’tazilah.Jadi, Mu’tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti pandangan itu. Tentu saja ada perbedaan seperti itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa saja yang dipandang ma’shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma’shum hanya Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menganggap para imamnya yang duabelas ma’shum.

Dalam pandangan orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih, karena melalui kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabann ya. Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabann ya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.

Persamaan Dalam Tasawuf

Di dalam bidang tasawuf saya malah melihat tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain.

Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya shalat, harus dicari asrar shalat.

Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan fungsi, apakah makna terdalam dari shalat?

Buya Hamka sangat menekankan tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaki. Jadi kalau baca Tasawuf Modern, itu adalah tasawuf ‘amali, tasawuf akhlaki. Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf ‘amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.

Di dalam bidang fiqih, sesungguhnya tidak banyak perbedaan. Yang sering muncul, katanya, dalam Syiah aliran tertentu, mengizinkan kawin mut’ah. Tapi secara umum orang Syiah juga menolak. Dalam fiqih Ja’fari memberi peluang untuk kawin mut’ah. Tetapi kalau saya lihat, syarat-syaratnya sangat berat, tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Hanya dalam kasus-kasus yang sangat istimewa saja kawin mut’ah terjadi.

Artikel Ditulis oleh Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Mubaligh. Naskah ini berasal dari Majelis Pengajian Ahad Pagi, pada tanggal 3 Juni 2001 di Masjid Raya.

Prof. DR. Komaruddin Hidayat:
Iran dan Syiah Memiliki Kontribusi Besar dalam Peradaban Islam

“Siapa saja yang tidak mengakui keberadaan Syiah pada hakikatnya tidak memiliki pengenalan sedikitpun dengan sejarah Islam. Karena tidak satupun ulama Sunni yang mengingkari peran dan kontribusi besar Iran dalam peradaban Islam.”

Iran dan Syiah Memiliki Kontribusi Besar dalam Peradaban IslamMenurut Kantor Berita ABNA, Prof. DR. Komaruddin Hidayat pemikir dan cendekiawan muslim Indonesia yang juga menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 2006 dalam wawancaranya dengan wartawan the Jakarta Post menegaskan, “Siapa saja yang tidak mengakui keberadaan Syiah pada hakikatnya tidak memiliki pengenalan sedikitpun dengan sejarah Islam. Karena tidak satupun ulama Sunni yang mengingkari peran dan kontribusi besar Iran dalam peradaban Islam.”

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta):

“ Syiah merupakan bagian dari sejarah Islam dalam perebutan kekuasaan, dari masa sahabat, Karenanya akidahnya sama, Alqurannya, dan nabinya juga sama,”(republika.co.id)

GUSDUR

gus dur mesir
Syiah dan NU mirip
.
Almarhum Gus Dur dulu pernah mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah, Syiah itu NU plus Imamah. Bukan tanpa alasan statemen itu dilontarkan, memang NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan

Almarhum Gus Dur yang sebagai ulama besar sekaligus Ketua Umum NU semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa NU adalah golongan Syi’ah yang minus imamah

Menurut Sumber : Majalah Berita Mingguan GATRA Edisi : 25 November 1995 ( No.2/II ) bahwa Kiai Bashori mengatakan pernah mendengar pidato Gus Dur di Bangil, Jawa Timur, menyebut Ayatullah Khomeini sebagai waliyullah atau wali terbesar abad ini. Padahal, menurut pendapat ahlusunah waljamaah, jelas bahwa Syiah itu menyimpang dari Islam. Maka Kiai Bashori bertanya, “Bagaimana sih sebenarnya akidah sampeyan tentang Syiah ini?” . Menurut Effendy Choiri, yang dikenal sebagai pendukung Gus Dur, jawaban Gus Dur sebagai berikut: dari segi akidah, memang beda antara Syiah dan Sunni. Saya melihat Khomeini itu waliyullah bukan dalam konteks akidah, melainkan dalam konteks sosial. Khomeini adalah satu-satunya tokoh Islam yang berhasil menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan lain-lain. Jadi soal akidah kita tetap beda dengan Syiah.

Dan baru-baru ini Ketua Umum NU Said Aqil Siroj juga mengakui bahwa NU banyak kemiripan dan sampai membela mati-matian Syi’ah di Indonesia

berikut ini kutipan kutipan tulisan  dari twitter  ulil abshar abdalla yang saya peroleh dengan susah payah :
Ulil Abshar Abdalla
@ulil Ulil Abshar Abdalla
“Syiah punya keyakinan yg beda dgn Sunni. Sunni punya keyakinan yg beda dgn Mu’tazilah. Apakah kalau beda keyakinan terus saling menista?”..

.
Ulil Abshar Abdalla

@ulil Ulil Abshar Abdalla
”Kalau orang Syiah punya akidah yg beda dgn kaum Sunni, maka akidah mereka tak bisa dianggap menodai akidah Sunni. Beda bukan menodai”…

.
Ulil Abshar Abdalla

@ulil Ulil Abshar Abdalla
”Sekte Syiah dan Sekte Sunni berbeda. Tak ada ulama manapun yg minta Syiah atau Sunni jadi agama sendiri di luar Islam”

Sumber:

Komentarku ( Mahrus ali): 

Kalau saya tinjau dari ajaran Syi`ah, kesyirikan,kebid`ahan dan bagaimana pendapat Ibn Taimiyah, Imam Syafii dll, maka tetap Syi`ah adalah sekte ahli bid`ah yang lebih banyak kesyirikannya dari pada ahli bid`ah di Indonesia.
Lihat lagi disini:

ari 27, 2012

Syi`ah mirip Yahudi, kata tokoh Salafy

Syiah itu dipelihara Amerika


Syi`ah Iran mau rebut Mekkah dan Medinah


Penyimpangan akidah Syi`ah


Kesyirikan Syi`ah ke 2



Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan