Rabu, Mei 22, 2013

Salah Kaprah

Salah Kaprah – Tingkat bahasan: Menengah &...
Yusuf Syaiful Usef 22 Mei 23:46
Salah Kaprah
– Tingkat bahasan: Menengah & Lanjutan
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
الحمد لله، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين أما بعد
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, keluarga, sahabatnya dan seluruh orang yang mengikuti sunnahnya hingga hari kiamat, amiin.
Kenikmatan terbesar yang telah Allah limpahkan kepada umat ini ialah kenikmatan disempurnakannya agama Islam, sehingga tidak lagi membutuhkan tambahan, dan juga tidak perlu dikurangi, Allah berfirman:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.” (Al Maidah 3)
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dengan perkataannya: “Disempurnakannya agama Islam merupakan kenikmatan Allah Ta’ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi agama lainnya, dan tidak pula perlu seorang nabi selain Nabi mereka sendiri shollallahu’alaihiwasallam. Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, tidak ada sesuatu yang haram, melainkan sesuatu yang beliau haramkan, dan tidak ada agama melainkan ajaran agama yang telah beliau syari’atkan. Setiap yang beliau kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak mengandung kedustaan sedikitpun, dan tidak akan menyelisihi realita.” [Tafsirul Qur’an Al ‘Adlim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/12]
Ayat ini, sebagaimana telah diketahui, diturunkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada hari Arafah, pada Hajjatul Wada’. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, ia mengisahkan: Orang-orang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab rodiallahu’anhu: Sesungguhnya kalian membaca satu ayat, seandainya ayat itu turun pada kami kaum Yahudi, niscaya (hari diturunkannya ayat itu) akan kami jadikan hari I’ed (perayaan). Maka Umar berkata: sungguh aku mengetahui kapan dan dimana ayat itu diturunkan, dan dimana Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam berada disaat ayat itu diturunkan, yaitu di padang arafah, dan kami juga sedang berada di padang arafah, yaitu firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.” (Riwayat Al Bukhari)
Berdasarkan ayat ini, dan juga dalil-dalil lainnya Imam Malik rahimahullah, berkata:
من أحدث في هذه الأمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خان الرسالة لأن الله تعالى يقول: حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير لله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم وخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم . (المائدة 3) فما لم يكن يومئذ دينا لا يكون اليوم دينا. رواه ابن حزم في كتابه الإحكام.
“Barang siapa pada zaman sekarang mengada-adakan pada ummat ini sesuatu yang tidak diajarkan oleh pendahulunya (Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya), berarti ia telah beranggapan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah mengkhianati kerasulannya, karena Allah Ta’ala berfirman: “Diharamkan bagimu bangkai, darah… pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. Maka barang siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang” (Al Maidah 3) sehingga segala yang tidak menjadi ajaran agama kala itu (zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya) maka pada hari ini juga tidak akan menjadi bagian dari ajaran agama”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hazem dalam kitabnya Al Ihkam)
Imam As Syafi’i berkata: “Tidaklah pernah terjadi suatu kejadian yang menimpa manusia yang beragama dengan agama Allah, melainkan telah ada dalam Kitab Allah (Al Qur’an) dalil/petunjuk menuju jalan kebenaran padanya.” [Ar Risalah oleh Imam As Syafi’i, 1/20]
Benar, kita dapatkan agama kita ini, yaitu agama Islam benar-benar sempurna dari segala sisi pandang, dan segala pertimbangan, sebagaimana yang telah di tegaskan dalam ayat di atas. Oleh karena itu syari’at Islam senantiasa relevan dengan berbagai perkembangan dan perbedaan yang dilalui oleh umat manusia dan jin. Betapa tidak, agama ini adalah agama yang telah Allah jadikan sebagai agama seluruh umat, semenjak diturunkan kepada Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam hingga akhir zaman. Dan hal merupakan salah satu keistimewaan agama kita, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi kita Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya:
عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أعطيت خمسا لم يعطهن أحد من الأنبياء قبلي، نصرت بالرعب مسيرة شهر، وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا، وأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل، وأحلت لي الغنائم، وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة، وبعثت إلى الناس كافة، وأعطيت الشفاعة). متفق عليه
“Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah, ia menuturkan: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Aku telah diberi lima hal (kelebihan/keistimewaan) yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi-pun sebelumku, yaitu: Aku diberi pertolongan dengan rasa takut (yang dicampakkan di hati musuh-musuhku, walau mereka masih sejauh) perjalanan satu bulan, dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid ( tempat shalat) dan juga sebagai sarana bersuci, sehingga barang siapa dari umatku yang masuk padanya waktu shalat, maka hendaknya ia mendirikan shalat (dimanapun ia berada), dan dihalalkan bagiku harta rampasan perang, dan dahulu para nabi diutus hanya kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia, dan (yang kelima) aku dikaruniai As Syafa’at.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan kepada kita metode yang paling efektif dan selamat dalam mengetahui dan memahami syari’at Allah Ta’ala, yaitu dengan mengetahui, memahami dan menguasai batasan-batasan yang telah Allah Ta’ala turunkan dalam setiap urusan, beliau berkata:
“Telah diketahui bahwa Allah subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya batasan-batasan halal dan haram melalui firman-Nya. Dan Allah juga telah mencela orang-orang yang tidak mengetahui batasan-batasan yang telah Allah wahyukan kepada Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam. [Sebagaimana ditegaskan dalam surat At Taubah, ayat 97]
Dan batasan-batasan yang telah Allah wahyukan adalah kalamullah, sehingga batasan-batasan syari’at Allah adalah senantiasa memperhatikan setiap batasan nama-nama/istilah yang dengan nama/istilah tersebut hukum halal dan haram ditetapkan. Dan itulah batasan-batasan syari’at yang diwahyukan kepada Rasulullah-Nya, dan batasannya adalah kandungannya yang telah ditetapkan dalam ilmu bahasa atau syari’at (definisi syari’at. pent), sehingga tidak ada yang masuk ke dalamnya sesuatu apapun yang bukan bagian darinya, dan tidak pula dikecualikan sesuatu apapun yang merupakan bagian darinya… Dan nama-nama yang memiliki batasan-batasan dalam kalamullah dan Rasul-Nya ada tiga macam:
1. Nama-nama yang memiliki batasan-batasan (definisi/pengertian) secara bahasa (diistilahkan dalam ilmu ushul fiqih dengan hakikat lughowiyyah. pent), misalnya kata: matahari, bulan, daratan, lautan, malam, siang. Barang siapa yang mengartikan nama-nama ini dengan selain kandungannya, atau mengkhususkannya pada sebagian kandungannya, atau mengeluarkan sebagian kandungannya, maka ia telah melampaui batasannya.
2. Nama-nama yang memiliki batasan-batasan (definisi/pengertian) dalam syari’at (diistilahkan dalam ushul fiqih dengan hakikat syari’iyah. pent), misalnya kata: shalat, puasa, haji, zakat, iman, islam, taqwa dan yang serupa. Cakupan nama-nama ini terhadap kandungannya serupa dengan cakupan nama-nama jenis pertama terhadap kandungannya dalam ilmu bahasa.
3. Nama-nama yang memiliki batasan-batasan (definisi/pengertian) dalam al ‘urfu adat-istiadat (diistilahkan dalam ushul fiqih dengan hakikat ‘urfiyah. Pent). Allah Ta’ala dan juga Rasul-Nya tidaklah pernah memberikan batasan/definisi terhadap nama-nama jenis ini selain definisi yang telah dikenal dalam adat, dan juga tidak pernah ada definisinya dalam ilmu bahasa, misalnya kata: safar, sakit yang membolehkan untuk mengambil rukhshah, safah pandir dan gila yang menjadi penyebab hukum hajer (pembatasan perilaku seseorang)….. Cakupan nama-nama ini terhadap kandungannya serupa dengan cakupan nama-nama pada dua jenis pertama terhadap kandungannya.”
[I’ilamul Muwaqi’in oleh Ibnul Qayyim 2/485-486]
Dengan demikian, setiap nama atau kata yang disebutkan dalam syari’at (Al Qur’an dan Hadits), maka harus diperhatikan dengan seksama, apakah nama atau kata tersebut memiliki definisi/pemahaman yang berbeda-beda bila ditinjau dari tiga jenis definisi di atas. Bila terjadi perbedaan, maka definisi menurut syari’at harus didahulukan dibanding definisi lainnya, dan bila pemahaman suatu kata terjadi perbedaan antara definisi dalam ilmu bahasa dan adat kebiasaan masyarakat, maka definisi/pemahaman masyarakat terhadap kata tersebut lebih didahulukan dibanding pemahaman menurut ilmu bahasa, kecuali bila ada qorinah (alasan) yang menjadikannya harus diartikan sesuai dengan makna kata tersebut dalam bahasa arab. [Lihat Raudhotun Nadlir 2/10, Irsyadul fuhul1/112]
Sebagai contoh penerapannya: Kata (الصلاة), dalam kamus-kamus bahasa, kata ini bermaknakan: doa’, akan tetapi dalam syari’at bermaknakan lain, yaitu sebuah ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. [Lihat As Syarhul Mumti’ 2/5]
Hal ini jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam sebuah hadits:
عن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها. رواه أبو داود، وله شواهد كثيرة
Dari Abu Malik Al ‘Asy’ari, rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sungguh akan ada sekelompok orang dari ummatku yang minum khomer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya”. (HR Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid)
Kalau kita lihat dalam kamus-kamus bahasa arab, kita akan dapatkan bahwa yang dinamakan khomer secara bahasa, adalah perasan (jus) anggur yang memabokkan. Sehingga kalau kita memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan khomer hanya berdasarkan pemahaman bahasa, maka kita akan katakan bahwa jus selain anggur bukan khomer, walaupun memabokkan, alkohol yang memabokkan bukan khomer, karena tidak terbuat dari anggur dst.
Oleh karena itu, sebagian orang yang mengharamkan minuman memabokkan yang terbuat dari selain anggur, terpaksa menggunakan dalil qiyas. Padahal kalau kita memahami kata khomer secara istilah syar’i, kita tidak perlu terhadap dalil qiyas dalam mengharamkan minuman tersebut, sebagaimana dijabarkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [’Ilamul Muwaqi’in 2/486]
Sebagai buktinya, mari kita simak dan renungkan hadits berikut:
عن بن عمر رضي اله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : كل مسكر خمر وكل مسكر حرام. رواه مسلم
“Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: (Setiap yang memabokkan adalah khomer, dan setiap yang memabokkan adalah haram”. (HR Muslim)
Dalam hadits Abi Malik Al ‘Asy’ary di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting:
1. Kata khomer dalam syari’at memiliki makna khusus, sehingga setiap minuman yang terdapat padanya makna tersebut, dinamakan khomer, walaupun masyarakat menamakannya dengan nama lain.
2. Bahwa yang menjadi pedoman (manathul hukmi) dalam menghukumi suatu masalah adalah hakikatnya (realita), bukan sekedar penamaan.
3. Hakikat khomer dalam syari’at tidak berubah hanya sekedar perubahan nama, atau dengan kata lain, nama tidak dapat merubah hakikat.
4. Ketiga hal diatas berlaku pula pada kata-kata (istilah-istilah) lain dalam syari’at, misalnya: riba, mudhorobah, mubtadi’, kafir, fasik, mukmin, muhsin, zakat, dll.
Sebagai contoh lain, mari kita simak ayat berikut:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر
”Dan makan dan minumlah kamu hingga menjadi jelas bagimu (perbedaan) benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al Baqarah 187)
Al Bukhory meriwayatkan dari sahabat Sahel bin Sa’ad rodiallahu’anhu:
قـال أنـزلت : وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود . ولـم ينـزل من الفجر فكان رجال إذا أرادوا الصوم، ربط أحدهم في رجله الخيط الأبيض والخيط الأسود، ولم يزل يأكل حتى يتبين له رؤيتهما، فأنـزل الله بعد مِنَ الْفَجْر، فعلموا أنه إنما يعني الليل والنهار
“Tatkala Allah menurunkan firman-Nya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum menurunkan firman-Nya “Yaitu fajar”, sehingga sebagian orang apabila hendak berpuasa, ia mengikatkan di kakinya benang putih dan benang hitam. Dan ia terus makan, hingga telah terlihat dengan jelas baginya kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya “yaitu fajer”, sehingga mereka mengetahui bahwa yang dimaksud ialah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang.”
Dan dalam riwayat lain, dari sahabat Adi rodiallahu’anhu, ia berkata:
قال أخذ عدي عقالا أبيض وعقالا أسود، حتى كان بعض الليل، نظر فلم يستبينا، فلما أصبح قال: يا رسول الله، جعلت تحت وسادي، قال: إن وسادك إذا لعريض إن كان الخيط الأبيض والأسود تحت وسادتك. رواه الشيخان واللفظ للبخاري
“Adi mengambil tali putih dan tali hitam, dan pada tengah malam, ia melihat kepada (keduanya), dan keduanya tidak jelas olehnya. Kemudian tatkala esok hari, ia (bertanya kepada Rasulullah, seraya) berkata: Wahai Rasulullah, aku letakkan (kedua benang tersebut) di bawah bantalku, maka Rasulullah bersabda: Sungguh bantalmu sangat lebar, bila benang putih (waktu siang) dan benang hitam (waktu malam) berada di bawah bantalmu.” (HRS Bukhory dan Muslim)
Sebagai contoh lain yang sering kita dengar dan mungkin kita alami sendiri, yaitu kata titipan/tabungan (Al Wadi’ah) dan hutang (Ad Dain), silahkan anda pergi ke bank-bank yang ada di negri kita atau di negri lain, anda pasti akan dapatkan fenomena manipulasi istilah, sehingga hutang dinamakan dengan tabungan/titipan. Oleh karena penamaan ini tidak merubah hakikat, kita dapatkan para ulama’ mengharamkan bunga tabungan (deposito), dan menghukuminya sebagai riba, karena pada hakikatnya, yang dinamakan dengan tabungan (deposito) adalah hutang, bukan tabungan atau titipan atau wadi’ah.
Sebagai contoh lain, kata hukum (Al Hukmu), betapa banyak orang yang membatasi makna kata ini pada peradilan dan undang-undang pemerintah, sehingga berbagai ayat dan hadits serta keterangan ulama’ yang menjelaskan haramnya berhukum dengan selain hukum Allah hanya ditujukan kepada mereka (pemerintah). Adapun berbagai peradilan dan keputusan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok atau organisasi, tidak pernah dipermasalahkan. Inilah salah satu perbedaan antara metode berfikir orang khowarij dengan metode berfikir ahlis sunnah wal jama’ah.
Wahai saudaraku, marilah kita lihat dan simak kembali dengan seksama ayat-ayat, hadits-hadits, dan keterangan para ulama’ seputar masalah ini, agar kita sampai pada kesimpulan yang benar. Dan sekedar sebagai bahan acuan saja, mari kita bersama-sama simak perdebatan antara orang-orang khowarij dengan anak paman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, Abdullah bin Abbas rodiallahu’anhu, beliau berkata kepada mereka:
أخبروني ماذا نقمتم على ابن عم رسول الله صلى الله عليه و سلم وصهره والمهاجرين والأنصار؟ قالوا ثلاثا، قلت: ما هن قالوا: أما إحداهن: فإنه حكم الرجال في أمر الله، وقال الله تعالى: إن الحكم إلا لله وما للرجال وما للحكم، …. فقلت: أما قولكم: حكم الرجال في أمر الله فأنا أقرأ عليكم ما قد رد حكمه إلى الرجال في ثمن ربع درهم في أرنب ونحوها من الصيد، فقال: يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم –إلى قوله- يحكم به ذوا عدل منكم فنشدتكم الله أحكم الرجال في أرنب ونحوها من الصيد أفضل أم حكمهم في دمائهم وصلاح ذات بينهم؟ وأن تعلموا أن الله لو شاء لحكم ولم يصير ذلك إلى الرجال. وفي المرأة وزوجها، قال الله عز وجل: إن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها أن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما فجعل الله حكم الرجال سنة مأمونة. رواه أحمد والطبراني والبيهقي وصححه الحاكم.
“Kabarkan (katakan) kepadaku, apa yang kamu benci (musuhi) dari anak paman Rasulullah (Ali bin Abi Tholib rodiallahu’anhu), sekaligus menantunya, dan juga dari kaum Muhajirin dan Anshar? Mereka berkata: Tiga perkara, Aku berkata: Apakah ketiga perkara itu? Mereka berkata: Adapun yang pertama: Sesungguhnya dia telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama) Allah, apa hubungan manusia dengan hukum (Allah)?! … Maka aku berkata: Adapun anggapan kalian, bahwa dia (Ali) telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama) Allah, maka akan aku sebutkan untuk kalian beberapa masalah yang keputusannya diserahkan kepada manusia, yaitu dalam masalah yang seharga ¼ dirham, sebagai harga seekor kelinci dan binatang buruan yang serupa dengannya, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. ..s/d .. menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu” (QS Al Maidah 95), Aku sumpah kalian, apakah hukum (keputusan manusia pada seekor kelinci dan yang serupa, lebih utama, ataukah keputusan mereka pada hal yang berhubungan dengan (pertumpahan) darah dan perdamaian antara mereka? Dan hendaknya kalian juga tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan menurunkan keputusan-Nya, dan tidak menyerahkannya kepada manusia. Dan dalam urusan seorang suami dan istrinya, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu” (QS An Nisa’ 35), Allah (pada ayat ini) menjadikan keputusan manusia sebagai jalan yang harus ditempuh.” (HRS Ahmad, At Thobrony, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Hakim)
Dalam perdebatan ini kita dapat melihat dengan jelas, bahwa berhukum dengan hukum Allah, bukanlah kewajiban para pemerintah semata, akan tetapi kewajiban setiap orang. Oleh karena itu kita dapatkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kita berhukum dengan hukum Allah, datang dengan teks yang bersifat umum.
Fenomena ini mengharuskan kita mendalami dan mengkaji setiap kata dan istilah yang ada dalam syari’at, dan memahaminya sesuai dengan yang dimaksudkan dalam syariat, bukan hanya sekedar mengetahui arti kata tersebut menurut bahasa arab, agar kita dapat sampai kepada sebuah keputusan hukum yang benar dalam masalah tersebut.
Bila hal ini telah diketahui, maka hendaknya setiap tholibul ilmi senantiasa mempelajari kandungan setiap istilah yang ditetapkan dalam syari’at. Sebagaimana hendaknya setiap muslim menggunakan istilah-istilah yang telah ditetapkan dalam syari’at serta menghindari istilah-istilah hasil rekayasa manusia, walaupun sekilas terlihat indah dan memikat.
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafy berkata:
“Mengungkapkan kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang diajarkan dlam syari’at Nabi dan yang diturunkan oleh Allah, adalah metode/manhaj Ahlis sunnah wal Jama’ah. Adapun Al Mu’athilah (julukan bagi setiap sekte yang menafikan nama & sifat Allah Ta’ala. pent) senantiasa berpaling dari nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah dan disabdakan oleh Rasul-Nya. Sebagaimana mereka juga enggan untuk mentadaburi maknanya. (Bukan hanya demikian, bahkan) Mereka juga menjadikan makna-makna dan istilah-istilah yang mereka rekayasa sebagai standar kebenaran yang harus diyakini dan dipegangi. Adapun penganut kebenaran, As Sunnah dan Iman, senantiasa berkeyakinan bahwa firman Allah dan sabda Rasul-Nya adalah kebenaran yang wajib unutk diimani dan diyakini, sedangkan ucapan-ucapan mereka (mu’atthilah) kalau tidak ditinggalkan secara keseluruhan atau dijabarkan kandungannya dengan terperinci, kemudian dihakimi dengan Al Kitab dan As Sunnah, bukan malah dijadikan sebagai tolok ukur bagi (kebenaran) Al Kitab dan As Sunnah.” [Syarah Al ‘Aqidah At Thahawiyyah , oleh Ibnu Abil ‘Izzi 63. SIlahkan baca juga Majmu’ Fatawa 6/36-37, dan Minhajus Sunnah oleh Ibnu taimiyyah 2/554]
Berangkat dari ini, saya ingin sedikit mengingatkan saudara-saudaraku tentang beberapa ungkapan indah nan manis yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang, dan kebanyakan dari mereka tidak memahami atau tidak menyadari akan kandungannya. Walau demikian, kebanyakan mereka telah menjadikannya sebagai dasar utama dalam beragama dan berinteraksi.
A. Ushul & Furu’
Sering kali orang dengan perasaan lugu dan tanpa ada beban apa-apa mengatakan bahwa syari’at terbagi menjadi dua bagian: ushul & furu’. Akan tetapi, pernahkah kita pada suatu hari bertanya, apa perbedaan antara kedua permasalahan ini? Apakah definisi masalah ushul? Dan apakah definisi masalah-masalah furu’? Apakah manfaat dan tujuan dari pembagian ini? Adakah pengaruhnya dalam kehidupan beragama seorang muslim atau bahkan seorang thalibul ilmi?
Bila kita adakan penelitian ilmiyyah seputar makna dan penggunaan kedua istilah ini, niscaya kita akan mendapatkan kebingungan, dimana tidak satupun dari orang yang menggunakan istilah ini dapat menyebutkan dafinisi yang ilmiyyah dan benar bagi keduanya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ulama’ salaf mengatakan: Pembedaan antara permasalahan ushul dan furu’ hanyalah pendapat Ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalaam yaitu orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyyah dan orang-orang yang membeo dengan mereka. Dan kemudian pendapat ini berpindah kepada sebagian orang yang kemudian membahasnya dalam ilmu ushul fiqih, sedangkan mereka tidak mengetahui hakikat pendapat ini tidak juga kandungannya.”
Mereka juga menyatakan: “Sebagaimana pembedaan antara permasalahan ushul dan furu’ adalah bid’ah dan diada-adakan dalam agama Islam, pembedaan ini juga tidak ada dalilnya dari Al Kitab, tidak juga dari As Sunnah, tidak juga dari Ijma’, bahkan tidak juga seorangpun dari ulama’ dan para imam salaf yang mengatakannya. Dengan demikian pembedaan ini nyata-nyata bathil secara logika. Sebab orang-orang yang membedakan antara permasalahan ushul dari permasalahan furu’ tidak dapat membedakan antara keduanya dengan perbedaan yang benar dan dapat memisahkan antara keduanya. Mereka hanya menyebutkan tiga atau empat perbedaan yang semuanya bathil.
Dari mereka ada yang mengatakan: Permasalahan ushul ialah berbagai masalah ilmiyyah I’itiqadiyyah yang hanya diwajibkan untuk diketahui dan diyakini semata. Sedangkan permasalahan furu’ ialah berbagai masalah amaliyyah yang harus diamalkan.
Ulama’ salaf mengatakan bahwa: pembedaan ini adalah bathil, karena ada sebagian dari masalah amaliyyah permasalahan-permasalahan yang mengingkarinya dianggap kafir, misalnya: wajibnya shalat lima waktu, zakat, puasa bulan ramadhan, haramnya zina, riba, tindak kedhaliman, dan keji. Dan sebaliknya ada dari masalah ilmiyyah (I’itiqadiyyah) permasalahan-permasalahan yang berselisih padanya tidak dianggap berdosa, seperti perselisihan antara para sahabat: apakah Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam pernah melihat Allah? Demikian juga perselisihan mereka tentang sebagian hadits: apakah hadits tersebut pernah disabdakan oleh Nabi atau tidak? Dan apakah maknanya? Demikian juga perselisihan mereka pada sebagian kalimat apakah itu bagian dari Al Qur’an atau tidak? Demikian juga perselisihan mereka tentang makna sebagian ayat Al Qur’an dan As Sunnah, apakah Allah dan Rasul-Nya menginginkan demikian atau demikian? Demikian juga perselisihan sebagian orang tentang sebagian permasalahan yang amat pelik misalnya: permasalahan Al jauharul Fard, kesamaan antara organ (Ajsaam), kekekalan hal-hal maknawi (الأعراض) dan yang serupa dengannya maka pada permasalahan semacam ini tidak ada yang dikafirkan juga tidak difasiqkan.
Ulama’ salaf juga menyatakan: Dan pada permasalahan amaliyyah-pun terdapat ilmu (keyakinan) dan amalan, sehingga bila kesalahan pada permasalahan tersebut diampuni, maka kesalahan pada permasalahan ilmiyyah semata yang tidak mengandung amalan lebih layak untuk diampuni.
Dari ahlul kalam ada yang berpendapat: Permasalahan ushul ialah permasalahan yang padanya terdapat dalil yang qath’i sedangkan permasalahan furu’ adalah permasalahan yang padanya tidak terdapat dalil qath’i.
Ulama’ salaf menyatakan: Perbedaan ini juga salah, karena pada banyak dari permasalahan amaliyyah didapatkan dalil-dalil yang qath’i menurut orang yang mengetahuinya, walaupun selain mereka tidak mengetahuinya. Dan sebagian permasalahan amaliyyah ada yang telah disepakati sebagai permasalahan yang qath’i, diantaranya keharaman muharramat yang nyata dan jelas, kewajiban amal-amal wajib yang nyata dan jelas. Kemudian setelah itu seandainya ada orang yang mengingkari permasalahan tersebut karena kebodohan atau suatu takwil, maka ia tidak dikafirkan hingga ditegakkan hujjah atasnya. Sebagaimana sebagian orang pernah menghalalkan khamer pada zaman khilafah Umar, diantara mereka ialah Qudamah, mereka beranggapan bahwa khamer halal bagi mereka. Para sahabat tidak langsung memvonis mereka kafir, hingga mereka menjelaskan kepada mereka kesalahannya, dan kemudian merekapun bertaubat dan kembali… Dan firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an:
ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا (البقرة 286) قال الله تعالى: قد فعلت
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami jikalau kami lalai atau kami tersalah.” (Al Baqarah 286) Allah Ta’ala berfirman: Aku telah melakukannya.
Maka barang siapa yang berpendapat bahwa orang yang tersalah dalam permasalahan yang qath’i atau zhanni telah berbuat dosa, maka ia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ ulama’ terdahulu, ditambah lagi permasalahan dianggap sebagai qath’i atau zhanni adalah suatu hal yang nisbi selaras dengan keadaan orang yang meyakininya, dan bukanlah sifat yang senantiasa melekat pada permasalahan tersebut. Karena mungkin saja seseorang meyakini beberapa hal yang telah ia ketahui dengan pasti atau berdasarkan riwayat orang yang ia percayai, sedangkan orang lain tidak mengetahui hal tersebut secara qath’i tidak juga secara zhanni.
Sebagian mereka ada yang membedakan antara keduanya dengan perbedaan ketiga, yaitu: Permasalahan qath’i ialah permasalahan ilmiyyah yang akal manusia dengan sendirinya dapat mengetahuinya, sehingga permasalahan tersebut dikatagorikan sebagai permasalahan ushul, orang yang menyelisihinya dianggap kafir atau fasiq. Sedangkan permasalahan furu’ ialah permasalahan yang hanya dapat diketahui dengan dalil-dalil syari’at. Mereka mencontohkan permasalahan ushul dengan: permasalahan sifat Allah dan takdir, dan permasalahan furu’ dengan permasalahan syafa’at, keluarnya pelaku dosa besar dari neraka.
Maka dikatakan kepada orang yang mengutarakan pendapat ketiga ini: Kebalikan dari pendapat anda itulah yang semestinya lebih layak sebagai pembeda, karena kekufuran, kefasiqan adalah hukum-hukum syari’at, dan bukan hukum-hukum yang dapat diketahui hanya berdasarkan akal. Sehingga orang kafir adalah orang yang dianggap kafir oleh Allah dan Rasul-Nya, dan orang fasiq adalah orang yang dianggap fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya……dst. (Minhajus Sunnah oleh Ibnu taimiyyah 5/88-95, baca juga Majmu’ Fatawa 13/126)
Ditambah lagi, pada praktek kehidupan umat islam, pembagian ini tidak ada gunanya, sebab Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk menjalankan syari’at Islam secara sempurna, yaitu dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
إذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم وإذا نهيتكم عن شيء فدعوه
“Bila aku perintahkan kamu dengan sesuatu, maka lakukanlah perintahku semampumu, dan bila aku melarang kamu dari sesuatu, maka tinggalkanlah laranganku.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak pernah memilah-milah syari’at islam, dan mensikapinya dengan sikap yang berbeda-beda, sebagai contoh:
Tatkala Khalifah Umar bin Khatthab rodiallahu’anhu ditusuk oleh seorang majusi beberapa kali tusukan, sehingga ia mengalami luka parang, maka kaum muslimin pada masa itu pada berdatangan dan menjenguk beliau, dan diantara yang menjenguk beliau adalah seorang pemuda. Ketika pemuda itu telah berpaling dari Khalifah Umar rodiallahu’anhu, beliau melihat pakaiannya dalam keadaan menyentuh tanah (isbal -ed). Melihat yang demikian itu, Khalifah Umar berkata kepada yang hadir di majlis beliau:
ردوا علي الغلام، قال: ابن أخي، ارفع ثوبك، فإنه أنقى لثوبك، وأتقى لربك
“Panggil kembali anak muda tersebut! Wahai anak saudaraku, tinggikanlah pakaianmu, sesungguhnya dengan demikian itu akan menjadikan pakaianmu lebih bersih, dan engkau menjadi lebih bertaqwa kepada Tuhan-mu.” (Bukhari)
Bila hal ini telah diketahui dengan baik, maka pada zaman ini ada beberapa istilah baru yang serupa dengannya, dan sering diucapkan oleh umat Islam tanpa ada satu orang pun yang dapat menyebutkan makna dan perbedaan yang benar antara kedua istilah tersebut. Kedua istilah tersebut adalah: As Tsawabit & Al Mutaghayyirat.
Adakah perbedaan antara keduanya? Bukankah syari’at Islam telah sempurna, dan syari’atnya tidak boleh dirubah-rubah? Tidakkah orang-orang yang mengucapkan ucapan ini mengingat dan memahami firman Allah Ta’ala:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak pula bagi seorang mukminah bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab 36)
Dan juga sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, niscaya akan ditolak.” (Bukhari dan Muslim)
Apakah shalat, puasa, zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, haji, halal & haram yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam dapat dirubah-rubah sesuai dengan kehendak setiap orang dan setiap masyarakat? Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Dan pembagian yang serupa dengan ini adalah pembagian permasalahan agama menjadi dua bagian: masalah-masalah manhaj & dan masalah selain manhaj. Orang yang membagian permasalahan agama menjadi dua bagian semacam ini tidak mampu menyebutkan definisi yang jelas dan benar bagi masing-masing bagian.
Kata “manhaj” sering digunakan oleh ulama’, akan tetapi tidak secara mutlak seperti ini, mereka menggunakannya dengan batasan-batasan yang jelas, misalnya: manhaj ahlis sunnah dalam pergaulan antara penguasa dengan rakyat, manhaj ahlis sunnah dalam berdakwah, manhaj ahlis sunnah dalam berjihad, manhaj ahlis sunnah dalam berdalil, manhaj ahlis sunnah dalam beribadah dst.
Adapun penggunaan kata/istilah manhaj secara mutlak tanpa batas, maka tidak dikenal dalam dalil, dan juga dalam ucapan para ulama’.
-Bersambung pada poin Salah Kaprah berikutnya, insya Allah-
 
 
Komentarku ( Mahrus ali): 
Saya telah membaca artikel  diatas, bukan langsung saya tayangkan tanpa saya kaji dulu. Tapi saya baca perpoin, benar atau salah menurut dalil selalu menjadi fokus perhatian saya. Bukan kebenaran menurut hukum Thaghut atau ajaran golongan yang terkadang  salah total menurut hukum Allah. Ternyata saya jumpai kebenaran dan saya tidak menemukan kekeliruan didalamnya.
   Kita layak sekali untuk melepaskan segala ajaran yang tidak Islami dan mengambil ajaran Islam secara kaffah bukan sebagiannya di ambil dan sebagian yang lain di lemparkan ke tong sampah. Atau sebagiannya di junjung dan lainnya di injak. Kita ikut ayat ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ(208)
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Baqarah

Blog husus pengajian: http://mahrusali2.blogspot.com/
Blog ke tiga
Peringatan:Mesin pencari diblog tidak berfungsi, pergilah ke google lalu tulislah:  mantan kiyai nu    lalu teks yang kamu cari
Mau nanya hubungi kami:
088803080803( Smartfreand ). 081935056529 (XL ) atau  08819386306   ( smartfreand )
Alamat rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1
                           Waru Sidoarjo
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan