Jumat, November 21, 2014

Jawabanku ke 18 untuk para komentator di FB ku .



Kata pengantar :
Setiap orang yang menyampaikan ajaran Rasulullah SAW pasti akan mengalami nasib sebagaimana beliau. Saya teringat ayat ini:
مَا يُقَالُ لَكَ إِلاَّ مَا قَدْ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِنْ قَبْلِكَ إِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغْفِرَةٍ وَذُو عِقَابٍ أَلِيمٍ
Tidaklah ada yang dikatakan kepadamu itu selain apa yang sesungguhnya telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelum kamu. Sesungguhnya Tuhan kamu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang pedih. Fusshilat 43
Itulah karakter masarakat di manapun berada dan kapanpun. Bila kebenaran yang menyelisihi  ajaran yang berlaku di masarakat di sampaikan akan mengalami berbagai hujatan dan celaan. Tapi bila di sampaikan ajaran salah yang di anggap benar dan sama dengan lingkungan atau golongan, maka akan di terima dengan baik.
Rasul menyampaikan ajaran yang benar di tolak dan pemimpin golongan menyampaikan ajaran salah yang di anggap benar di dukung. Saya ingat ayat:
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ وَازْدُجِرَ(9)
Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: "Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman  Al qamar 9
Dan inilah jawabanku ke 18 terhadap para komentator di fbku.


HUKUM TAFARRUDNYA SEORANG RAWI
Pak kyiai Mahrus Ali berdalil dalam melemahkan hadist ini dengan tafarrdunya Zahdam Al-jarmy, kemudian beliaupun beliau pun membawakan perkataan DR Abu Lubabah At thahir Shalih Husain yang Aslinya itu terdapat pada kitab Muqaddimah Ibnu Shalah 1/80
Berkata Ibnu Shalah dalam kitabnya Muqaddimah ulumul hadist 1/80:
وَإِطْلَاقُ الْحُكْمِ عَلَى التَّفَرُّدِ بِالرَّدِّ أَوِ النَّكَارَةِ أَوِ الشُّذُوذِ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ

“Mengghukumi perawi yang secara sendirian meriwayatkan tertolak , dikatakan mungkar , syadz memang ada dlm perkataan kebanyakan ahli hadis”
Akan tetapi perkataan Ibnu Shalah tersebut hanya berlaku bagi Thabaqoh yang berada di Shigar tabi’iin dan orang-orang, adapun untuk Thabaqah kibar At-Tabi’in dan para sahabat maka tafaarud nya mereka sama sekali tidak membahayakan
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Anda menyatakan:
Akan tetapi perkataan Ibnu Shalah tersebut hanya berlaku bagi Thabaqoh yang berada di Shigar tabi’iin dan orang-orang, adapun untuk Thabaqah kibar At-Tabi’in dan para sahabat maka tafaarud nya mereka sama sekali tidak membahayakan".
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Perkataanmu itu benar, tidak salah .dan itu bukan pendapat ulama dulu, tapi ulama belakangan.  Walaupun begitu, perkataanmu itu adalah manfaat pada saya dan berbahaya padamu sendiri. Yaitu Zahdam bukan termasuk kibarut tabiin  yang tafarrudnya  tidak berbahaya . Zahdam  adalah tingkat tiga pertengahan  tabiin. Lihat  mausuah ruwatut  tabiin  2039.
Jadi kalimatmu itu mendukung saya untuk menyalahkanmu .
Lihat pula perkataan pakar – pakar hadis  dahulu yang sangat berbeda dengan keterangan anda .
بل إن الإمام أحمد بن حنبل جعل مصطلح الغريب دليلا على الوهم، فقد نقل عنه محمد بن سهل بن عسكر أنه قال: « إذا سمعت أصحاب الحديث يقولون: «هذا الحديث غريب» أو« فائدة» فاعلم أنه خطأ، أو دخل حديث في حديث، أو خطأ من المحدث، أو ليس له إسناد، وإن كان قد رواه شعبة وسفيان»3.
Bahkan imam Ahmad bin Hambal  menjadikan istilah gharib sebagai tanda kekeliruan.  Sungguh  Muhammad bin Sahal bin Askar mengutip dari Imam Ahmad  bahwa beliau menyatakan: Bila  kamu  mendengar ahli hadis  berkata: Ini hadis gharib , atau faidah , ketahuilah ia adalah kekeliruan, atau hadis  masuk  dalam  hadis lain, atau kekeliruan dari  ahli hadis  atau orang yang menceritakannya  atau ia tidak punya sanad sekalipun diriwayatkan oleh Sufyan atau Syu`bah. 3
Imam Ahmad bin Hambal lahir pd tahun 164 H wafat pada tahun 264 H. termasuk tokoh yang banyak meriwayatkan dari tabaul atba`  termasuk tingkatan ke 10 . Jadi masih dekat generasi murid – murid tabi`in masih menyatakan seperti itu. Beliau menyatakan bahwa kebanyakan  hadis tafarrud adalah lemah. Dan kita tidak diperkenankan untuk berpegangan kepadanya  atau menulisnya.
Abu bakar al bardiji  berkata:
المنكرهو الذي يحدث به الرجل عن الصحابة ، أو عن التابعين ، عن الصحابة ، لايعرف ذلك الحديث ـ متن الحديث ـ إلا من طريق الذي رواه ، فيكون منكرا
Hadis  munkar adalah hadis yang  di sampaikan oleh  seorang lelaki  dari  sahabat atau  dari tabi`in dari sahabat. Hadis  itu atau redaksinya   tidak dikenal kecuali   dari orang tsb , maka  hadis itu adalah munkar.
(3) شرح علل الترمذي (2/ 653ـ654) وانظر التعديل والتجريح للباجي (1/302)
Al bardiji adalah penghuni Baghdad yang dilahirkan  230 H , jadi masih berdekatan dengan Imam Ahmad. Beliau juga menyatakan hadis yang tafarrud termasuk munkar. Sekalipun dari Tabiin.

Al Hakim berkata:
فأما الشاذ فإنه الحديث يتفرد به ثقة من الثقات وليس للحديث أصل متابع لذلك الثقة
Adapun hadis  Syadz ( ganjil ) adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi terpercaya  dari  beberapa perawi terpercaya. Dan hadis itu tidak memiliki asal yang mendukung kepada  perawi  terpercaya itu.
معرفة علوم الحديث ص 119
Ma`rifat  ulumil hadis.
DR Abd Kadir al Muhammadi menulis:  
الدكتور عبد القادر المحمدي

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=
ومن يتتبع صنيع الأئمة المتقدمين في تعليلهم لأحاديث الثقات يرى أنهم يصرحون بذلك فيقولون لك مثلاً : انفرد به مالك ولم يتابع ؟ أو أخطأ فيه شعبة إذ رواه موصولاً والجماعة رووه ولم يتابع على وصله، من يتتبع كل ذلك يجد أنَّ الإمام ابن الصلاح ومن نحا نحوه في مفهوم التفرد قد ضيقوا واسعاً ، وتحدث عن جزئية من جزئيات التفرد ، فمقاييس القبول أو الرد في الأفراد ليست أحوال الرواة كونهم ثقات أو ضعفاء ، بل هناك قرائن تدلل على كون أفراد الثقات تقبل هنا ، وترد هناك ، وإلا لأصبح قيد انتفاء الشذوذ والنكارة في حد الحديث الصحيح من قبيل اللغو ! ، والذي حدا بالحافظ ابن الصلاح أن يقول ذلك هو : أنَّ المتأخرين يتعاملون مع الأسانيد مجردة عن المتون – غالباًإذ فصلوا الأسانيد عن المتون، وأصبح تصحيحهم الحديث يعتمد على صحة السند،وهذا خلاف منهج الأئمة المتقدمين(.
Barang siapa yang mengamati  perbuatan para  pakar – pakar hadis yang dahulu  dalam memberikan cacat kepada hadis – hadis dari perawi terpercaya, bahwa mereka menjelaskan seperti itu lalu mereka berkata padamu , misalnya:
Imam Malik sendiri  yang meriwayatkannya dan tiada perawi lain yang mendukung.
Syu`bah keliru ketika meriwayatkan nya dengan bersambung sanadnya. Pada  hal jamaah meriwayatkannya . Dan tidak mendukung  atas sanad yang bersambung yang diriwayatkan oleh Syu`bah itu.
Barang siapa yang mengamati hal itu akan menjumpai bahwa Imam Ibn Shalah dan orang yang sepaham dengannya dlm memahami tafarrud  telah menyempitkan perkara yang luas. Dan beliau memperbencangkan masalah detil – detil tafarrud itu. Jadi ukuran di terima atau ditolaknya karena  seorang perawi  , bukan dipandang dari kondisi perawi itu terpercaya atau tidak.
Bahkan ada tanda – tanda yang menunjukkan bahwa perawi – perawi  terpercaya itu diterima disini dan di tolak disana.
Bila tidak, maka sarat tiada keganjilan da nyeleneh dalam definisi  hadis sahih termasuk tiada gunanya. Al Hafidh Ibn Shalah menyatakan  seperti itu karena faktor bahwa kebanyakan  ulama belakangan ini selalu menilai  sanad bukan redaksi hadis. Mereka memisahkan antara sanad dan redaksi hadis itu. Jadi penilaian  sahih mereka  terhadap suatu hadis hanya terfokus pada sanad yang sahih. Dan  ini beda sekali dengan manhaj para pakar  hadis yang dulu.
Jasim Dawud menyatakan:
-        حرصهم على النص على ما يوجد في الأسانيد من تفرد وغرابة ونكارة، وأن وجود التفرد مظنة قوية على خطأ الراوي وإن كان ثقة
-         
Ulama dahulu suka sekali kepada nas atas apa yang terdapat  dalam sanad  berupa tafarrud , redaksi nyeleneh atau ganjil . Dan sesungguhnya keberadaan tafarrud  dugaan yang kuat atas  kekeliruan perawi sekalipun  terpercaya.
DR Abd Kadir al Muhammadi  dalam karyanya  al tafarrud fi al riwayah :
فالمتقدمون يعلون الأحاديث التي ينفرد بها الراوي ولو كان ثقة، إذا كان هذا الحديث ليس معروفاً عندهم.
Ulama  hadis yang dulu menyatakan  cacat kepada hadis  - hadis  yang hanya seorang perawi yang meriwayatkan sekalipun  terpercaya bila  hadis tsb tidak populer.
Hadis Rasul makan  Ayam adalah termasuk hadis yang hanya seorang perawi yang meriwayatkannya ( tafarrud ). Jadi termasuk cacat, bukan hadis yang sahih. Juga  tidak populer saat itu.
البيقونية لابن العثيمين - (ج 1 / ص 1)
أولها( الصحيح) وهو مااتصل    إسناده ولم يشذ أويعل
Yang pertama  adalah sahih.  Ia adalah hadis yang sanadnya bersambung, tidak syadz dan tidak pula cacat.
Zahdam sendiri adalah orang Kufah – Irak. Tafarrudnya  dalam meriwayatkan hadis  Rasulullah SAW makan Ayam adalah bisa membikin hadisnya  cacat.
ولهذا نقول إنه ينبغي لطالب العلم أن ينظر أن من قرائن الإعلال والرد للأحاديث، في تفردات الكوفيين والعراقيين على وجه العموم،
مجلة البحوث الإسلامية

Karena ini, kami katakan: Layak sekali bagi thalib ilm untuk melihat bahwa sebagian tanda cacat dan tertolaknya beberapa hadis adalah tafarrudnya perawi Kufah dan Irak secara umum ( seperti Zahdam – orang Basrah ).
Majalah buhus Islamiyah.
Abu Musa al asy ari sendiri pernah menjabat sebagai  wali – seperti  wali kota. 
ولي الكوفة، ولي البصرة، الأمير : ولي زبيد، ولي عدن[1]
Beliau pernah menjadi  wali  di Kufah , Basrah , Zubaidah  dan And.
Jadi sahabat – sahabat  dan tabiin di Medinah  tidak mengerti Rasulullah SAW makan Ayam  sampai mereka meninggal dunia.  Anehnya  kita telah paham hadis  tsb di saat kita  hidup dan belum mati. Kita  seolah lebih tahu tentang Rasulullah SAW  dari pada  para sahabat. Pada  hal mereka bergaul dengan beliau dan kita hanya tahu kabarnya saja.
Anda menyatakan lagi:
Berkata Syeih Mahir Yasiin Al-Fahl dalam kitabnya atsar iktlaful mutun wal asaniid fii ikhtilaaf Al-fuqohaa 1/130

تفرد في الطبقات المتقدمة :كطبقة الصَّحَابَة ، وطبقة كبار التَّابِعِيْنَ ، وهذا التفرد مقبول إذا كَانَ راويه ثقة

“Tafarrud pada thobaqoh muqoddimah, seperti thobaqoh shahabat dan thobaqoh kibaarut taabiin, maka tafarrud ini di terima tetkala rawinya tsiqqoh.”
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Syaikh Mahir Yasiin Al-Fahl adalah ulama belakangan , ia lahir di tahun  1971. Termasuk  ulama  hadis belakangan. Jadi maklum sekali pendapatnya beda dengan  ulama  hadis  yang dulu. Dan saya ikut  ulama  hadis yang dulu saja.
Bila  kita ikut kaidah yang anda bawakan itu, maka Zahdam tidak termasuk kibarut tabiin . Tapi dia adalah  thabqah wustho minat tabiin. ( Tingkatan 3 tengah  dari tabiin ). Jadi kalau kaidah itu anda datangkan untuk memenangkan pendapatmu, ternyata senjata makan tuan. Kaidah itu malah mendukung saya. Yaitu Zahdam tidak termasuk kibarut tabiin yang tafarrudnya ( menyendirinya dalam meriwayatkan ) di terima. Tapi harus di tolak.  Lihat dalam mausuah ruwatil hadis  2039.
Anda menyatakan:
Bahkan Ibnu Shalah yang berkata seperti itu sendiri tidak menolak tafarrudnya seorang rawi secara mutlak melainkan terdapat perinciannya
Beliau berkata:
“Apabila seorang rawi bersendirian di dalam periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabit-nya, maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud (tertolak).
2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang bersendirian ini :
1. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
2. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.”
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Sebetulnya mudah sekali saya menjawabnya, tapi maaf karena redaksi arabnya tidak di tampakkan, entah mengapa  di sembunyikan. Pada hal lebih  fair di tampakkan. Dan saya hawatir ada pengurangan , penambahan yang kurang pas. Saya malas menjawabnya.
Saya hanya menyatakan; Redaksi  hadis Rasulullah SAW makan Ayam ini termasuk nyeleneh sekali, tiada hadis lain yang mendukung. Dan  ini menurut pakar  hadis adalah  cacat bukan keistimewaan . ia  tertolak.

Anda menyatakan;
Lalu bagaimana sebenarnya status tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut??
Ketahuilah bahwa tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut sama sekali tidak membahayakan hadist Abu Musa diatas dengan alasan:
1. Bahwa Zahdam Al-Jarmy bukanlah bukan termasuk Shigor tabi’in karena beliau banyak meriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya, Abu Musa al-Asy’ary, Ibnu Abbas ,Imrob bin Husain dan lain-lain.
2. Zahdam Al-Jarmy adalah seorang rawi yang tsiqot, dan perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim,
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar:

إن تفرد الثقة المتقن يعد صحيحاً غريباً ، وإن تفرد الصدوق ومن دونه يعد منكراً

“ Apabila Seorang rawi yang Tsiqoh Dan Mutqin bersendirian dalam meriwayatkan hadist maka hadistnya dinilai Shahih Gharib, Dan apabila seorang rawi yang statusnya Shodduq maka hadistnya di nilai Munkar.” Lihat Miznul I’tidal 3/144
Terjemahan keliru . Mestinya sbb:
“ Apabila Seorang rawi yang Tsiqoh dan Mutqin bersendirian dalam meriwayatkan hadist maka hadistnya dinilai Shahih Gharib, Dan apabila seorang rawi yang statusnya Shodduq  dan  sebawahnya bersendirian  maka hadistnya di nilai Munkar.” Lihat Mizanul I’tidal 3/144
Yang saya tulis  dengan miring dan huruf tebal itulah kekeliruan terjemahannya.
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Keterangan dari Ibn Hajar itu sekedar pendapat, mungkin benar, mungkin keliru dan bertentangan dengan keterangan sbb:
Dalam Syarah  Abu Dawud  karya  al  aini  41/1 dijelaskan:
 
شرح أبي داود للعيني - (ج 1 / ص 41)
جاء بعد هذه الكلمة في " توجيه النظر " : " وأما الحديث الغريب فإنه لا يحتج به ولوكان من رواية الثقات من أئمة العلم "
Dalam  " Taujihun nadhar " ada kalimat setelah kalimat itu  :
Adapun hadis gharib ( nyeleneh)  tidak boleh dibuat pegangan  sekalipun  dari riwayat perawi – perawi terpercaya dari kalangan imam – imam ilmu ( tokoh – tokoh  ulama ).
Sebetulnya masalahnya sangat sederhana. Kalau para  sahabat dan istri – istri  Rasulullah SAW tidak pernah memotong Ayam atau  Burung , maka  kita ikut mereka lebih selamat dari pada kita memakannya  dengan dalil  Zahdam yang masih dipertentangkan atau  kalimat mikhlab dipelintir artinya. Masih  banyak daging yang  di halalkan  seperti daging Sapi, kambing  Unta dan ikan. Saya hawatir  termasuk ayat ini:
وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Al Maidah  62
Mayoritas Yahudi melakukan  hal itu dan amat jeleklah perbuatan mereka, sekarang mayoritas  umat Islam juga terjangkit penyakit seperti itu kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan mengikuti sariatnya dan sedikitlah mereka. Anehnya  umat Islam yang mengikuti prilaku Yahudi itu di anggap baik. Pada hal paling  jelek.
Anda menyatakan:
3.dalam riwayat Zahdam Al-Jarmy tidak ada satupun riwayat yang menyelisihinya
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Tapi ia juga tidak didukung oleh hadis lain, dan ini tanda kelemahan. Lihat komentar  Imam Tirmidzi ketika ada hadis yang tidak didukung  oleh hadis lain, namun  bukan masalah  hadis Zahdam ini sbb: 
وقال الترمذي بعد أن ذكره معلقا عن ضمرة ( لم يتُابع ضمرة على هذا الحديث ، وهو حديث خطأ عند أهل الحديث ) (8)
Imam Tirmidzi berkata setelah menyebut hadis  tanpa sanad  dari Dhomroh :  Sesungguhnya Dhomroh meriwayatkan hadis  ini tanpa ada dukungan  dari hadis lain. Ia adalah hadis yang keliru menurut  ahli hadis.
(8) إكمال تهذيب الكمال (7/37)
Hadis Rasulullah SAW makan  Ayam itupun tidak didukung hadis lain. Malah ada hadis  yang lebih sahih menyelisihinya  yaitu  hadis  Rasul melarang  hewan yang bercakar itu. Tapi di selewengkan artinya  oleh mereka yang menghalalkannya.  
Anda menyatakan:
Lalu bagaimana dengan hadist Ibnu ‘Abbas ???
Hadist Abu Musa ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadist Ibnu Abbas yang di bawakan pak kyiai dalam mengharamkan ayam kemarin, karena memang MIKHLAB yang di maksud Ibnu Abbas itu bukanlah ayam?
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Lantas bahasa arab yang berlaku Mikhlabud dajaj itu apa artinya ? kalau bukan cakar Ayam. Jadi  sudah tentu hadis Zahdam itu bertentangan dengan hadis Ibn Abbas.
Anda menyatakan lagi:
Dan tidak ada seoarang ulamapun yang mentafsirkan mikhlab pada hadist itu dengan ayam kecuali seorang ulama nyeleneh dari indonesia yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddits Mahrus Ali.
Jadi mana mungkin bisa di pertentangkan antara kedua hadist itu.
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Tapi banyak ulama  yang membenarkan arti mikhlab dalam kamus yaitu cakar secara mutlak bukan hanya yang memangsa, tapi cakar Ayam pun dimasukkan.  Dan tiada ulama yang mengkritisi atau menyalahkan bahasa harian mikhlabud dajaj.
Jadi aneh juga anda menghalalkan  Ayam, dalilnya pentafsiran ulama  tentang mikhlab adalah yang memangsa. Pendapat ulama  itu  tidak bisa menghalalkan atau mengharamkan.  Hanya al  quran dan hadis  sahihlah yang mengharamkan atau menghalalkan. Apakah anda  tidak ingat ayat :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
Apakah mereka mempunyai  sekutu - sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.  Syura 21
Saya berpegangan kepada hadis larangan hewan bercakar secara mutlak, lalu anda membolehkan Ayam dengan  dalil pentafsiran ulama  tentang mikhlab.
Jadi hadis Rasulullah SAW makan Ayam  itu di katakan tidak bertentangan dengan hadis larangan hewan bercakar kalau cakarnya  di takwil dulu, di artikan tidak apa adanya, tapi dengan cara meng ada – adakan arti . Yaitu  cakar yang memangsa.
Dua hadis itu dikatakan bertentangan kalau cakar diartikan apa adanya. Saya juga ingat ayat ini:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Maidah 13

Anda menyatakan:
Dan kesimpulan dari pembahasan kita ini bahwa hadist Abu Musa Al-Jarmiy ini adalah SHAHIH dari tinjauan ilmu hadist dan musthalah, dan tidak ada seorang maklukpun di kolong langit ini yang melemahkannya melainkan seorang ahli yang merasa dirinya telah menjadi muhaddist yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddist Mahrus Ali.
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Itulah kesimpulan pembahasanmu menurut ilmu hadis dan musthalah.  Lantas apakah para  pakar hadis yang dulu yang melemahkan hadis yang  tafarrud, tiada yang mendukung  dari hadis lain, syadz itu apakah mereka tidak menggunakan ilmu hadis ? Ini yang harus di kaji ulang. Jadi yang melemahkan hadis  tafarrud , apalagi kalimat  mudraj  dalam hadis " Rasul makan Ayam " itu adalah kalangan ahli hadis yang dulu, bukan saya sendirian.
Ikutilah hadis ini:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Orang yang terbaik diantaramu adalah masaku kemudian  orang – orang setelah mereka lalu generasi sesudahnya Muttafaq alaih

Inilah jawaban yang saya tulis di Tambak sumur Sidoarjo Jatim untuk menjawab  
Ustadz Agus Susanto Bin Sanusi yang menulis naskahnya di Madinah Nabawiyah 7 Muharram 1436


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan