Senin, Mei 04, 2015

Jawabanku untuk Idrus Ramli ke 46


 
Salah Paham Terhadap Ibnu Katsir
Muhammad Idrus Ramli menyatakan lagi:
Demikian kisah tersebut, sebagaimana dikutip oleh al Hafizh Ibnu Katsir dalam konteks kebolehan bertawasul dengan orang yang sudah meninggal. Kutipan kiah di atas cukup sebagai dalil bagi kebolehan tawasul dengan orang yang sudah meninggal, karena riwayat tersebut dikutip oleh al Hafizh Ibnu Katsir, yang merupakan salah seorang Ibnu Taimiyyah yang sangat mengagungkan gurunya, bahkan beliau menyebut gurunya dengan sebutan Syaikhul Islam.[1]
Komentar (Mahrus Ali):
Dalam keterangan Muhammad Idrus Ramli tersebut, seolah-olah mengatakan bahwa Ibnu Katsir membolehkan tawasul dengan orang-orang yang sudah mati. Padahal Ibnu Katsir hanya menyatakan;
وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَة مِنْهُمْ الشَّيْخ أَبُو مَنْصُور الصَّبَّاغ فِي كِتَابه الشَّامِل الْحِكَايَة الْمَشْهُورَة عَنْ الْعُتْبِيّ تفسير ابن كثير - (ج 3 / ص 437)
Sungguh, segolongan ulama di antaranya Syaikh Manshur as Shabbagh dalam kitab yang memuat hikayat yang populer dari Al Utbi ini.
Hanya itulah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, dan beliau tidak menyatakan sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli bahwa Ibnu Katsir membolehkan tawasul dengan orang-orang yang sudah mati. Jika demikian yang dikatakan oleh Muhammad Idrus Ramli, maka itu adalah penafsirannya sendiri, dan kita tidak mengetahui apakah hati Ibnu katsir sesuai dengan rekaan Muhammad Idrus Ramli atau sebaliknya.
Syaikh Muhammad Shalil Al Munajjid berkata:
لاَ شَكَّ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ كَثِيْرٍ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَئِمَّتِهِمْ اْلمَعْرُوْفَ عَنْهُمْ صِحَّةُ اْلاِعْتِقَادِ وَسَلاَمَةُ الْمَنْهَجِ ، وَلَكِنْ ذَكَرَهُ لِلْقِصَّةِ فِي تَفْسِيْرِهِ لاَ يَعْنِي احْتِجَاجَهُ بِهَا ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْ جِنْسِ مَا يَذْكُرُهُ مِنَ اْلإِسْرَائِيْلِيَّاتِ وَاْلأَخْبَارِ الْمُنْقَطِعَةِ اَّلتِي جَرَتْ عَادَةُ أَهْلِ اْلعِلْمِ بِنَقْلِهَا وَرِوَايَتِهَا لِمُنَاسَبَتِهَا ِللْبَابِ ، دُوْنَ أَنْ يَكُوْنَ مُجَرَّدُ ذَلِكَ دَلِيْلاً عَلَى احْتِجَاجِهِمْ بِهَا ، حَتىَّ يَصْرَحُوا بِذَلِكَ ؛ فَلَيْسَ صَحِيْحاً أَنَّهُ مَا ذَكَرَهَا إِلاَّ لِيَسْتَدِلَّ بِهَا عَلَى صِحَّةِ التَّوَسُّلِ
Tidak diragukan lagi bahwa Al Hafidh Ibnu Katsir –rahimahullah- termasuk ulama Islam dan termasuk tokoh-tokoh yang akidahnya benar., manhaj-nya selamat. Beliau menyebutkan kisah tersebut dalam tafsirnya, tetapi bukan berarti menjadikannya sebagai hujjah. Hal ini semisal dengan apa yang disebutkan oleh beliau dari hikayat Israiliyat, riwayat-riwayat yang terputus yag biasanya dikutip oleh ahlul ilmi, kemudian diriwayatkan karena sesuai dengan babnya. Namun, bukan berarti hikayat tersebut bisa dijadikan hujjah oleh mereka sehingga mereka sendiri menjelaskan demikian. Jadi, tidak benar jika Ibnu Katsir menyebutkan ini sebagai dalil yang membolehkannya tawasul dengan orang yang sudah mati.
قَالَ الشَّيْخُ صَالِحٌ آلُ الشَّيْخِ :
" وَابْنُ كَثِيْرٍ لمَ يَرْوِهَا ، وَإِنَّمَا قَالَ فِي "تَفْسِيْرِهِ" : " ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ الشَّيْخُ أَبُو مَنْصُوْرٌ الصَّبَّاغُ فِي كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ اْلعُتْبِي... " وَمَا هَذِهِ بِرِوَايَةٍ ، وَإِنَّمَا هُوَ نَقْلٌ.
وَابْنُ قُدَامَةَ فِي "الْمُغْنِي" لَمْ يَرْوِهَا ، وَإِنَّمَا حَكَاهَا بِصِيْغَةِ التَّضْعِيْفِ (3/557) فَقَالَ : " وَيَرْوِى عَنِ اْلعُتْبِي... ". وَلَيْسَتْ هَذِهِ رِوَايَةً ، إِنَّمَا نَقَلَ بِصِيْغَةِ التَّمْرِيْضِ وَهِي تُفِيْدُ التَّضْعِيْفَ " اِنْتَهَى "هَذِهِ مَفَاهِيْمُنَا" (ص 80-81).
وَاللهُ أَعْلَمُ.
Syaikh Shalil Alu Syaikh berkata, “ Ibnu Katsir sendiri tidak meriwayatkannya, beliau hanya mengatakan dalam kitab tafsirnya, ‘Sekumpulan ulama di antaranya Syaikh Abu Manshur as Shabbagh menyebutkan dalam kitabnya yang di dalamnya terdapat kisah terkenal dari Al Utbi. Namun, beliau bukan meriwayatkannya, tetapi hanya mengutip saja.’”
Ibu Qudamah dalam kitab Al Mughni pun bukan meriwayatkan, tetapi hanya mengisahkan dengan kalimat yang menunjukkan lemahnya 557/3. Beliau menyatakan, “Diriwayatkan dari Al Utbi.” Kalimat yang seperti ini bukan berarti meriwayatkan, tetapi hanya mengutip dengan “kata yang tidak sehat”, dan ini berarti melemahkannya. Lihat Mafahimuna 80 – 81. Wallaahu a’lam.


[1] Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sadar? Hlm. 38
Artikel Terkait

1 komentar:

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan