(( Menanggapi Fatwa Kyai Haji Mahrus Ali Soal Haramnya Ayam Dan Telur ))
Kyai Haji Mahrus Ali Hafizhahullah adalah salah seorang Ulama nusantara, beliau adalah Ulama Ahlus Sunnah yang dulu sempat menganut ajaran Asy'ariyah dan penggemar amalan bid'ah. Namun Allah Ta'ala memberinya hidayah dan petunjuk kepada 'Aqidah Shahihah dan Manhaj Saliimah sehingga beliau kembali kepada ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang hakiki dan berupaya teguh berdakwah diatas Manhaj Salaful-Ummah.
Beliau di kenal sebagai mantan Kyai NU, beliau banyak menulis kitab-kitab fenomenal membantah dan membongkar kesesatan ajaran bid'ah yang banyak di praktekkan oleh saudara kita dari kalangan kaum Nahdhiyyin yang dulu di anutnya. Caci maki dan tuduhan dusta pun tidak jarang beliau dapatkan (baik langsung maupun tidak langsung) sebagai konsekuensi dari perjuangan seorang Da'i dalam amar makruf nahi mungkar.
Baru-baru ini, jagad ilmiah di kejutkan dengan sejumlah pendapat beliau yang di anggap "nyeleneh" oleh sebagian Ahli Ilmu dan asatidzah,bahkan sempat terlibat perang opini dengan Saudara kita Ustadz Aly Raihan Al-Mishry, tersebar di dunia maya bahwa seolah beliau "Mengharamkan Makan Ayam dan Telur", dsb.
Kalau kita baca dengan cermat tulisan beliau di blog beliau "mantankyainu.blogspot.com", di sana beliau TIDAK TEGAS MENGHARAMKAN telur. Tapi menjelaskan sikapnya yang hati-hati sehingga tidak mau makan telur.
Jelas sangat berbeda antara MENGHARAMKAN dan sikap "saya tidak makan telur".
Rasulullah tidak makan dhab (kadal gurun pasir), tapi beliau tidak mengharamkan itu.
Kyai Haji Mahrus Ali menyebutkan beberapa riwayat yang mendukung sikapnya tidak makan telur. Tapi semua riwayat itu bukan qarinah (indikasi) TEGAS yang berimplikasi mengharamkan makan telur. Bandingkan dengan ayat semisal ini: "Hurrimat 'alaikumul maitata wad dama wa lahmal khinzir wa..." Oleh karena itu hal ini tidak menjadi pendapat fiqih yang kuat sejak dulu sampai kini.
Menurut guru kami Syaikh Abu Muhammad At-Tholibi, sejak lama pendapat di masyarakat NU Jatim bahwa sebagian orang mengharamkan telur dengan alasan hal ini "sama dengan membunuh janin". Alasan begini dapat dibantah dengan riwayat bahwa sembelihan terhadap induk hewan dianggap menyembelih janinnya sekalian. Di sini janin yang masih dalam kandungan bisa dihukumi "tersembelih".
Secara dzatiyah, telur tentu beda dengan makhluk hidup. Tidak ada hukum Syariat yang menegaskan: "memecahkan telur sama dengan membunuh makhluk hidup". Karena telur adalah bakal yang belum tentu jadi makhluk hidup.
Alasan "membunuh janin" akan menjadi problem tatkala kita bicara telur ikan. Sering terjadi dalam perut ikan terdapat ribuan telur. Padahal Syariat islam tegas menghalalkan ikan & belalang.
Andaikan alasan "membunuh janin" diterima; maka MENYEMBELIH HEWAN jatuhnya lebih haram lagi dari sekedar memakan telur.
Mengapa ??
Ya, Karena menyembelih makhluk hidup (seperti ayam, kambing, rusa, onta, dan lainnya) bisa dianggap MEMBUNUH SUMBER telur & janin. Dengan demikian maka hukum qurban dan makan hewan menjadi haram. Lalu jadilah kita kaum vegetarian seperti orang Budha (karena alasan mereka tidak makan binatang juga mirip itu).
Sehingga menurut guru kami Asy-Syaikh Abu Muhammad Abi Syakir bahwa hukum memakan telur adalah Halal/mubah. Kalau kita terima argumen yang terhormat Kyai Haji Mahrus Ali, maka memakan binatang sembelihan lebih haram lagi; karena merekalah yang MEMPRODUKSI TELUR/JANIN. Kalau hasil produksinya haram; produsennya lebih haram lagi.
SOAL MENGHARAMKAN AYAM.
Kyai Haji Mahrus Ali mengaku tidak makan ayam, dengan asumsi ia termasuk makanan haram karena bercakar. Kurang lebih begitu.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma ia berkata:
"Rasulullah melarang kita mengonsumsi setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang memiliki cakar."
(HR.Muslim, Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i).
Tapi dalam Al-Qur'an juga disebutkan bahwa burung termasuk jenis binatang buruan (as-shaid). Bani Israil juga diberi Al Manna (sejenis burung puyuh). Padahal ia juga punya "cakar".
Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa ayam termasuk jenis makanan halal. Dasarnya adalah Riwayat dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu'anhu ia berkata: "Aku melihat Rasulullah memakan ayam." (HR.Bukhari Muslim. Dibahas di kitab Fatawa Hindiyah, Al-Anwar, Al Mughni, Al Muharrar, Nailul Authar, Al Mausu'ah, Al Khaniyyah).
Jadi, ayam secara khusus adalah halal.
Mungkin awal kesalahan ini dari pemahaman tentang "cakar". Sepintas melihat kuku ayam tak ubahnya seperti cakar. Tapi yang dimaksud cakar dalam pembahasan fikih ialah kuku tajam yang dipakai membunuh lawan/mangsa seperti yang dimiliki burung elang. Hal ini sesuai penafsiran para ulama Hanafiyah, bukan tanpa penjelasan para Ulama. Adapun Ulama Malikiyah lebih longgar lagi,hatta burung bercakar tajam boleh.
Sedangkan dalil atas penghalalannya, maka setahu kami bahwa tidak setiap yang dihalalkan itu meski terdapat nash yang menghalalkannya, akan tetapi tidak ada dalil yang mengharamkannya justru itu daliilun 'ala tahliilihi, Wallaahu A'lam.
Zadaanallahu 'Ilman Naafi'an Wa 'Amalan Shoolihan Mutaqobbalan.
Mungkin ini sudut pandang sedehana dari kami, adapun pendapat yang berbeda dari Kyai Haji Mahrus Ali,maka tidak mengurangi rasa hormat dan ta'zhim kami sebagai penuntut Ilmu kepada seorang maha guru yang kami cintai, Allaahul-Musta'an Wal-'Ilmu 'Indallah..
Al-Faqir Abu Husein At-Thuwailibi.
Kyai Haji Mahrus Ali Hafizhahullah adalah salah seorang Ulama nusantara, beliau adalah Ulama Ahlus Sunnah yang dulu sempat menganut ajaran Asy'ariyah dan penggemar amalan bid'ah. Namun Allah Ta'ala memberinya hidayah dan petunjuk kepada 'Aqidah Shahihah dan Manhaj Saliimah sehingga beliau kembali kepada ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang hakiki dan berupaya teguh berdakwah diatas Manhaj Salaful-Ummah.
Beliau di kenal sebagai mantan Kyai NU, beliau banyak menulis kitab-kitab fenomenal membantah dan membongkar kesesatan ajaran bid'ah yang banyak di praktekkan oleh saudara kita dari kalangan kaum Nahdhiyyin yang dulu di anutnya. Caci maki dan tuduhan dusta pun tidak jarang beliau dapatkan (baik langsung maupun tidak langsung) sebagai konsekuensi dari perjuangan seorang Da'i dalam amar makruf nahi mungkar.
Baru-baru ini, jagad ilmiah di kejutkan dengan sejumlah pendapat beliau yang di anggap "nyeleneh" oleh sebagian Ahli Ilmu dan asatidzah,bahkan sempat terlibat perang opini dengan Saudara kita Ustadz Aly Raihan Al-Mishry, tersebar di dunia maya bahwa seolah beliau "Mengharamkan Makan Ayam dan Telur", dsb.
Kalau kita baca dengan cermat tulisan beliau di blog beliau "mantankyainu.blogspot.com", di sana beliau TIDAK TEGAS MENGHARAMKAN telur. Tapi menjelaskan sikapnya yang hati-hati sehingga tidak mau makan telur.
Jelas sangat berbeda antara MENGHARAMKAN dan sikap "saya tidak makan telur".
Rasulullah tidak makan dhab (kadal gurun pasir), tapi beliau tidak mengharamkan itu.
Kyai Haji Mahrus Ali menyebutkan beberapa riwayat yang mendukung sikapnya tidak makan telur. Tapi semua riwayat itu bukan qarinah (indikasi) TEGAS yang berimplikasi mengharamkan makan telur. Bandingkan dengan ayat semisal ini: "Hurrimat 'alaikumul maitata wad dama wa lahmal khinzir wa..." Oleh karena itu hal ini tidak menjadi pendapat fiqih yang kuat sejak dulu sampai kini.
Menurut guru kami Syaikh Abu Muhammad At-Tholibi, sejak lama pendapat di masyarakat NU Jatim bahwa sebagian orang mengharamkan telur dengan alasan hal ini "sama dengan membunuh janin". Alasan begini dapat dibantah dengan riwayat bahwa sembelihan terhadap induk hewan dianggap menyembelih janinnya sekalian. Di sini janin yang masih dalam kandungan bisa dihukumi "tersembelih".
Secara dzatiyah, telur tentu beda dengan makhluk hidup. Tidak ada hukum Syariat yang menegaskan: "memecahkan telur sama dengan membunuh makhluk hidup". Karena telur adalah bakal yang belum tentu jadi makhluk hidup.
Alasan "membunuh janin" akan menjadi problem tatkala kita bicara telur ikan. Sering terjadi dalam perut ikan terdapat ribuan telur. Padahal Syariat islam tegas menghalalkan ikan & belalang.
Andaikan alasan "membunuh janin" diterima; maka MENYEMBELIH HEWAN jatuhnya lebih haram lagi dari sekedar memakan telur.
Mengapa ??
Ya, Karena menyembelih makhluk hidup (seperti ayam, kambing, rusa, onta, dan lainnya) bisa dianggap MEMBUNUH SUMBER telur & janin. Dengan demikian maka hukum qurban dan makan hewan menjadi haram. Lalu jadilah kita kaum vegetarian seperti orang Budha (karena alasan mereka tidak makan binatang juga mirip itu).
Sehingga menurut guru kami Asy-Syaikh Abu Muhammad Abi Syakir bahwa hukum memakan telur adalah Halal/mubah. Kalau kita terima argumen yang terhormat Kyai Haji Mahrus Ali, maka memakan binatang sembelihan lebih haram lagi; karena merekalah yang MEMPRODUKSI TELUR/JANIN. Kalau hasil produksinya haram; produsennya lebih haram lagi.
SOAL MENGHARAMKAN AYAM.
Kyai Haji Mahrus Ali mengaku tidak makan ayam, dengan asumsi ia termasuk makanan haram karena bercakar. Kurang lebih begitu.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma ia berkata:
"Rasulullah melarang kita mengonsumsi setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang memiliki cakar."
(HR.Muslim, Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i).
Tapi dalam Al-Qur'an juga disebutkan bahwa burung termasuk jenis binatang buruan (as-shaid). Bani Israil juga diberi Al Manna (sejenis burung puyuh). Padahal ia juga punya "cakar".
Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa ayam termasuk jenis makanan halal. Dasarnya adalah Riwayat dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu'anhu ia berkata: "Aku melihat Rasulullah memakan ayam." (HR.Bukhari Muslim. Dibahas di kitab Fatawa Hindiyah, Al-Anwar, Al Mughni, Al Muharrar, Nailul Authar, Al Mausu'ah, Al Khaniyyah).
Jadi, ayam secara khusus adalah halal.
Mungkin awal kesalahan ini dari pemahaman tentang "cakar". Sepintas melihat kuku ayam tak ubahnya seperti cakar. Tapi yang dimaksud cakar dalam pembahasan fikih ialah kuku tajam yang dipakai membunuh lawan/mangsa seperti yang dimiliki burung elang. Hal ini sesuai penafsiran para ulama Hanafiyah, bukan tanpa penjelasan para Ulama. Adapun Ulama Malikiyah lebih longgar lagi,hatta burung bercakar tajam boleh.
Sedangkan dalil atas penghalalannya, maka setahu kami bahwa tidak setiap yang dihalalkan itu meski terdapat nash yang menghalalkannya, akan tetapi tidak ada dalil yang mengharamkannya justru itu daliilun 'ala tahliilihi, Wallaahu A'lam.
Zadaanallahu 'Ilman Naafi'an Wa 'Amalan Shoolihan Mutaqobbalan.
Mungkin ini sudut pandang sedehana dari kami, adapun pendapat yang berbeda dari Kyai Haji Mahrus Ali,maka tidak mengurangi rasa hormat dan ta'zhim kami sebagai penuntut Ilmu kepada seorang maha guru yang kami cintai, Allaahul-Musta'an Wal-'Ilmu 'Indallah..
Al-Faqir Abu Husein At-Thuwailibi.
Artikel Terkait
Saya kok blum bisa paham yaa!!!
BalasHapusmasyaAllah Mantan Kiai NU ini, benar-benar warok! jangankan yang haram yg subhad di tinggalkan. insyaAlloh Ilmu bermanfaat dari buku2 Mantan kiai NU.
BalasHapushttp://tanbihun.com/fikih/bahsul-masail/lemahnya-argumentasi-kyai-mahrus-ali-mantan-kyai-nu-tentang-haramnya-ayam/
BalasHapus