تغليق التعليق (2/ 217)
وَصلى جَابر وَأَبُو سعيد فِي
السَّفِينَة قَائِما وَقَالَ الْحسن تصلي قَائِما مَا لم تشق على أَصْحَابك تَدور
مَعهَا وَإِلَّا فقاعدا
أما فعل جَابر وَأبي سعيد فَقَالَ أَبُو
بكر بن أبي شيبَة فِي المُصَنّف حَدَّثنا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَنْ
حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ عَنِ الصَّلاةِ فِي السَّفِينَةِ فَقَالَ عَبْدُ
الله ابْن أبي عتبَة مولى أنس وهومعنا جَالِسٌ سَافَرْتُ مَعَ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ وَجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حُمَيْدٌ
وَأُنَاسٍ قَدْ سَمَّاهُمْ فَكَانَ إِمَامُنَا يُصَلِّي بِنَا فِي السَّفِينَةِ
قَائِمًا وَنُصَلِّي خَلْفَهُ قِيَاما وَلَوْ شِئْنَا لأَرْفَأْنَا أَيْ
أَرْسَيْنَا وَخَرَجْنَا
………….., Anas di tanya tentang shalat di kapal, lalu Adullah bin
Abi Utbah – maula Anas yang duduk bersama kami berkata: Aku pergi bersama Abu
Sa`id al Khudri, Abud Dar`da` dan Jabir bin Abdillah……….., lantas Humaid
berkata: ……… juga beberapa orang yang disebut namnya. Imam kita
saat itu berjamaah shalat bersama kami di kapal dengan berdiri , dan
kami melakukan shalat di belakangnya dengan berdiri. Seandainya kita mau, kita
bisa hentikan kapal itu dan kita keluar.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Imam Bukhari menyampaikan hadis tsb
tanpa sanad, Dan hadis atau atsar yang sedemikian ini belum tentu sahih.
Syaikh Dr Mahmud Thahan sebagai
berikut
:
الْحدِيْثُ الْمُعَلَّقُ مَرْدُوْدٌ؛ ِلأَنَّهُ
فَقَدَ شَرْطًا مِنْ شُرُوطِ اْلقَبُولِ، وَهُوَ اتِّصَالُ السَّنَدِ، وَذَلِكَ بِحَذْفِ
رَاوٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ إِسْنَادِهِ، مَعَ عَدَمِ عِلْمِنَا بِحَالِ ذَلِكَ الرَّاوِي
الْمَحْذُوْفِ
Hadits mu’allaq adalah tertolak
karena tidak adanya salah satu syarat hadits maqbul (yang diterima) yaitu
tersambungnya sanad. Karena dalam hadits mu’allaq ada satu rawi atau lebih yang
dihilangkan, padahal kita tidak tahu keadaan rawi yang dihilangkan. ( Taisir
hal 85
)
Imam Asy Suyuthi didalam Tadribur
Rawi berkata :
(الرَّاِبعَةُ مِنْ مَسَائِلِ الصَّحِيْحِ
(مَا رَوَيَاهُ) أي الشَّيْخَانِ (بِالإِسْنَادِ الْمُتَّصِلِ فَهُوَ الْمَحْكُوْمُ
بِصِحَّتِهِ، وَأَمَّا مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ وَاحِدٌ أَوْ أَكْثَرُ)
وَهُوَ الْمُعَلَّقُ، وَهُوَ فِي الْبُخَارِي كَثِيْرٌ جِدًّا، كَمَا تَقَدَّمَ عَدَدُهُ،
وَفِي مُسْلِمٍ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ فِي التَّيَمُّمِ
Masalah keempat dari masalah masalah
ash shahih : Apa yang diriwayatkan oleh Asy Syaikhan ( Bukhari dan Muslim ) dengan
sanad yang bersambung maka dipastikan akan keshahihannya, adapun yang
dihilangkan diawal sanad satu atau lebih dari rawi dan disebut sebagai mu'allaq
maka didalam Al Bukhari terdapat banyak sekali sebagaimana jumlahnya telah disebutkan
diawal, sedangkan dalam Muslim terdapat pada satu tempat didalam bab
Tayamum." ( Tadribur Rawi hal 120 )
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dari perkataan Imam Suyuthi jelas menyatakan bahwa hadis
muallaq sekalipun dalam sahih
Bukhari dan Muslim tetap di nyatakan tidak sahih.
Ada
perawi dalam kisah Jabir menjalankan shalat d kapal bernama Humaid termasuk yunior tabiin, dia adalah perawi terpercaya
yang suka tadlis dan Zaidah mencelanya karena dia masuk ke pintu para amir. ( senang masuk ke pintu – pintu
amir ).
مرتبته عند الذهبـي : وثقوه ، يدلس عن
أنس
Martabatnya menurut Dzahabi : Mereka
menyatakan dia terpercaya, tapi
mentadlis dari Anas. ( menyelinapkan perawi lain dari Anas ).
و قال أبو بكر البرديجى : و أما حديث
حميد ، فلا يحتج منه إلا بما قال حدثنا أنس .
Abu bakar al bardiji berkata: Adapun hadis Humaid, maka tidak
boleh dibuat pegangan kecuali dia
menyatakan haddasana Anas. Mausuah
ruwatil hadis. 1544.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Atsar yang menerangkan bahwa sahabat
Jabir, Abud darda` dan Abu Said al Khudri
menjalankan shalat di kapal dengan berdri
itu tidak bisa dibuat pegangan, lepaskan saja menurut Abu bakar al Bardiji. Bila dipaksa berpegangan dengannya maka menyesatkan. Dan ia tidak boleh dibuat
landasan untuk memperkenankan shalat wajib di kapal. Apalagi untuk
memperbolehkan shalat wajib di karpet masjid. Jarang kitab = kitab hadis yang menjelaskannya dengan sanadnya yang
bersambung kepada Anas . Setahu saya , mushannaf Ibnu Abi Syaibah itu. Anggap
saja kisah itu tidak ada agar tidak membingungkan atau dibuat pegangan lalu
kita menjalankan shalat di kapal dengan dasar
atsar itu.
Bila kisah itu sahih, sekedar perbuatan sahabat yang mungkin benar
dan mungkin salah. Dan perbuatan sahabat atau perkataannya bukan pedoman
mutlak, atau pedoman husus. Apalagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
tidak pernah menjalankan shalat berjamaah di kapal selama hidupnya walaupun sekali, bukan dua atau tiga.
Lalu mana pegangan kita bila kita tiap hari menjalankan shalat wajib di
kapal. Dan kapan pegangan itu bisa kita temukan. Ternyata kita tidak punya pegangan,alias kita
menjalankan sesuatu tanpa dalil. Tapi bikin – bikin sariat
sendiri bukan dari Allah atau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam .Dan ini jelas larangan al Quran tidak samar lagi.
Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui dalilnya . Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya. Al isra` 36.
Saya belum menjumpai dalil untuk shalat wajib
di kapal atau dikendaraan mulai dulu
sampai sekarang.Mulai di Saudi sampai di
Indonesia ini. Entah sampai kapan. Bila saya menjumpai , maka saya akan berpegangan kepadanya. Saya tidak akan melepaskan dalil untuk berpegangan
kepada pendapat manusia, baik orang alim
atau jahil. Pendapat – pendapat itu saya
buang dan saya ambil dalil saja.
Dan saya ingin menjumpai dalil
itu , tapi belum dapat. Entah bila ada teman yang mengetahuinya, saya
akan senang dan itulah yang saya cari
bila diberitahukan kepada saya. Dan jangan disimpan untuk diri sendiri.
Atsar itu tafarrud pada Humaid,dan
tiada tabiin secara keseluruhan yang mengerti
atsar atau bahwa Jabir pernah menjalankan shalat berjamaah di kapal
kecuali Humaid yang mudallis itu. Dan
sedemikian ini bisa di nilai bahwa kisah
itu adalah kisah yang munkar, syadz sekali atau unik, nyeleneh sekali. Karena
itu, buang saja dan tidak usah di ambil lagi untuk pegangan kita dalam masalah
shalat.
Kita yang berada di darat saja, jarang yang mau untuk menjalankan salat
di tanah tanpa tikar atau sajadah, apalagi di kapal atau kereta api. Ada juga
kisah sbb:
عَن عَاصِم الْأَحول قَالَ سَأَلت
الْحسن وَابْن سِيرِين وعامرا عَن الصَّلَاة فِي السَّفِينَة فكلهم يَقُول ((إِن
قدر على الْخُرُوج فَليخْرجْ غير الْحسن فَإِنَّهُ قَالَ إِن لم يؤذ أَصْحَابه))
……………….Dari Ashim al ahwal berkata:
Aku bertanya kepada Al Hasan, Ibn Sirin
dan Amir tentang shalat di kapal. Seluruhnya mengatakan: Bila
kamu mampu untuk keluar , maka keluarlah
selain al Hasan yang berkata: “Bila tidak menyakiti teman – temannya”
Taghliqut ta`liq 218/2
Komentarku ( Mahrus ali ):
Maksudnya di suruh keluar agar
menjalankan shalat di tanah bukan dalam kapal. Jangan keluar lalu menjalankan
shalat di sajadah atau tikar, maka akan sama saja dengan shalat didalam kapal.
Bila tidak bisa keluar dari kapal,
jangan naik kapal, nanti salatmu hancur. Dan kamu tidak bisa menjalankan shalat
di tanah. Tapi naiklah kapal terbang saja atau cari kapal yang lebih cepat agar
masalah salatmu tidak terbengkelai. Bila naik kapal, cari jam pemberangkatan yang
cocok hingga anda bisa sampai di
pelabuhan dan waktu shalat masih ada.
Lebih baik kita rugi uang dari pada
kita tidak bisa menjalankan
shalat yang cocok dengan tuntunannya.
Jangankan begitu, saya saja kalau
pergi ke Jakarta, saya tidak mau naik kereta api, sebab masalah shalat mesti
akan terbengkelai dan saya tidak bisa menjalankan shalat di tanah. Saya harus naik kapal terbang meski
sama istri atau teman. Enak lebih cepat dan salatnya bisa di jalankan di tanah.
Ustadz Manshur al Buraidi mengatakan:
أجمع العلماء أنه لا يجوز أن يصلي أحد
فريضةً على الدابة من غير عذر ، وأنه لا يجوز له
ترك القبلة إلا فى شدة الخوف8، لحديث عَامِرِ
بْنِ رَبِيعَةَ ، قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيّ وَهُوَ عَلَى
الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ،
وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي
الصَّلاةِ الْمَكْتُوبَةِ .رواه البخاري ومسلم . وروى ابن
عُمَرَ وَجَابِر مثله ، وَقَالَ جَابِر : فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّىَ
الْمَكْتُوبَةَ نَزَلَ ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
Ulama telah ijma` tidak
diperkenankan menjalankan shalat wajib di atas binatang ( unta atau lainnya )
tanpa ada uzur. Tidak diperkenankan meninggalkan menghadap kiblat kecuali dalam
keada an sangat takut karena ada hadis
Amir bin Rabi`ah yang berkata: Aku
melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjalankan shalat sunat di atas kendaraannya dengan berisarat dengan kepalanya dan menghadap kemana saja. Namun hal itu
tidak di lakukan oleh beliau dalam shalat wajib. HR Bukhari dan Muslim.
Ibnu Umar dan Jabir juga
meriwayatkan hadis yang sama denganya.
Jabir sendiri berkata: Bila
berkehendak untuk menjalankan shalat wajib, maka beliau turun dan menghadap
kiblat.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Ternyata Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ketika menjalankan shalat sunat di kendaraan tapi ketika
melakukan shalat wajib beliau turun untuk sujud ke tanah tanpa sajadah. Disini
malah Jabir sendiri yang meriwayatkannya. Makanya beda dengan kisah yang munkar dan syadz itu dimana Jabir menjalankan shalat
di kapal.
Kesimpulan:
Jangan lakukan shalat di kapal, tapi
lakukanlah di tanah.
Saya belum menjumpai hadis yang
memperkenankan menjalankan shalat wajib di kapal sampai sekarang. Karena itu,
saran saya jangan lakukan shalat di kapal atau masjid yang berkarpet tapi
ikutilah tuntunan shalat yang asli bukan yang yang palsu yaitu shalat di tanah.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan