Kedustaan yang Nyata
Muhammad Idrus Ramli menulis sebagai berikut:
Penolakan terhadap hadits dhaif dalam konteks apapun baru muncul pada pertengahan abad ke-20 yang lalu, digulirkan oleh Syaikh Nashir Al Albani, ulama Wahabi dari Yordania, dan diikuti oleh mayoritas ulama wahabi di Indonesia termasuk Mahrus Ali, sedangkan pengamalan hadits dalam konteks fadhail al a’mal dan sesamanya sudah berlangsung sejak lebih dari seribu tahun yang lalu, dan disetujui oleh dua ulama rujukan utama golongan Wahabi. Sebagai bukti bahwa para ulama sebelum Al Albani mengakui otoritas hadits dhaif dalam konteks fadhail al a’mal adalah banyaknya hadits-hadits dhaif dalam kitab-kitab mereka, termasuk dalam kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab al Najdi, dan anak cucunya.[1]
Penolakan terhadap hadits dhaif dalam konteks apapun baru muncul pada pertengahan abad ke-20 yang lalu, digulirkan oleh Syaikh Nashir Al Albani, ulama Wahabi dari Yordania, dan diikuti oleh mayoritas ulama wahabi di Indonesia termasuk Mahrus Ali, sedangkan pengamalan hadits dalam konteks fadhail al a’mal dan sesamanya sudah berlangsung sejak lebih dari seribu tahun yang lalu, dan disetujui oleh dua ulama rujukan utama golongan Wahabi. Sebagai bukti bahwa para ulama sebelum Al Albani mengakui otoritas hadits dhaif dalam konteks fadhail al a’mal adalah banyaknya hadits-hadits dhaif dalam kitab-kitab mereka, termasuk dalam kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab al Najdi, dan anak cucunya.[1]
Komentar (Mahrus Ali):
Dalam keterangan tersebut dikatakan bahwa penolakan hadits dhaif
dalam konteks apapun baru muncul pada pertengahan abad ke-20. Ini sangat lucu, bukan perkataan serius, bahkan mungkin ini
hanya gurauan, atau mimpi di siang bolong. Tak layak dikatakan oleh seorang
tokoh seperti Idrus Ramli. Pantas sekali
di katakan oleh orang awam.
Imam Bukhari (lahir pada tahun 194 H), beliau dengan
tegas mengatakan tidak ingin mengamalkan hadits dhaif untuk fadhilah
amal.
Begitu juga Imam Muslim (206-261 H), dan Abu Zar’ah Al
Razi (wafat pada hari Senin tahun 264 H).
Saran saya kepada Muhammad Idrus Ramli adalah hentikanlah
kedustaan dan jujurlah dalam menyampaikan ilmu atau menulis buku. Jangan
gegabah tetapi berhati-hatilah . Karena buku dibaca banyak orang, bukan hanya
satu atau dua orang saja. Jika, buku tersebut diterbitkan di Surabaya maka akan
menyebar ke kota-kota lain di Nusantara, bahkan bisa jadi ke luar Indonesia,
sejak diterbitkan dan entah sampai kapan, tidak ada yang mengerti kecuali
Allah.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan