REPUBLIKA.CO.ID, Di kalangan sarjana Muslim, Ibnu Hazm dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki keunikan dalam kajian-kajiannya.
Ia memiliki metodologi sendiri dalam memahami agama yang berbeda dengan para ulama fikih lainnya.
Pada mulanya ia mempelajari fikih mazhab Maliki karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika Utara menganut mazhab ini.
Al-Muwattha' sebagai kitab fikih rujukan bagi pengikut mazhab Maliki dipelajarinya dari gurunya, Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Tidak hanya al-Muwattha', Ibnu Hazm pun mempelajari kitab Ikhtilaf Imam Malik.
Tak hanya kedua kitab tersebut, Ibnu Hazm juga mempelajari kitab-kitab lainnya. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari kitab lain mendorongnya untuk mendalami kitab fikih yang dikarang oleh Imam Syafi'i dan murid-muridnya.
Akan tetapi, di mazhab ini pun ia tidak bertahan lama. Selanjutnya ia tertarik dan pindah ke mazhab Az-Zahiri setelah ia mempelajari kitab fikih karangan Munzir bin Sa'id Al-Balluti, seorang ulama mazhab Az-Zahiri.
Ibnu Hazm menolak qiyas (dalil analog) sebagai salah satu landasan hukum syariat. Menurutnya, ada tiga macam hukum yang secara tegas ditetapkan oleh agama dan terdapat di dalam Alquran, hadits, dan ijmak sahabat, yaitu wajib, haram, dan mubah.
Baginya, tidak ada tempat bagi ra'yu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum yang dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu Alquran, hadits, ijmak sahabat, dan zahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti saja.
Sebagai ganti qiyas, Ibnu Hazm mengajukan metode istishab untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak jelas hukumnya di dalam nash (Alquran dan hadits). Konsekuensi dari metode istishab-nya itu, Ibnu Hazm menolak teori fikih (qa'idah al-fiqh) yang menyatakan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaannya.
Teori lain yang ditolaknya adalah teori yang menyatakan bahwa hukum itu berputar sesuai dengan ada atau tidak adanya sebab (illat). Menurut Ibnu Hazm, Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Nabi SAW diutus dengan seperangkat tata nilai hukum dan peraturan yang sesuai untuk semua manusia yang hidup pada masa lampau, kini, dan masa yang akan datang.
Hukum Tuhan, menurut Ibnu Hazm, hanya satu serta dapat dipergunakan di setiap waktu, tempat, dan keadaan serta tidak berubah dengan ada atau tidak adanya sebab. Ia juga menjelaskan bahwa hukum itu hanya dapat berubah jika ada nash lain yang membatalkannya. Selama nash lain tidak ada, hukum itu tetap sah dan wajib dilaksanakan.
Untuk mensosialisasikan metodenya itu, Ibnu Hazm sering menggelar forum kajian dan menuangkan berbagai pandangannya ini ke dalam sebuah media tulisan. Hanya saja, cara yang dilakukan Ibnu Hazm sangat provokatif sehingga tidak disenangi oleh kaum Muslimin. Hal tersebut tidak terlepas dari sikapnya yang dikenal keras dalam mempertahankan pendapat.
Karena sikapnya seperti itu, tak heran jika para ulama pada zamannya mengkritik habis-habisan sikapnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Hazm mempunyai gaya bahasa tersendiri terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.
Sementara Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menjelaskan bahwa Ibnu Hazm sangat sering mencela ulama dengan pena dan lisannya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat pada zaman tersebut membencinya. Ia juga menilai Ibnu Hazm sebagai orang yang kebingungan dalam hal furu' (fikih) yang tidak berpegang pada qiyas.
Ia memiliki metodologi sendiri dalam memahami agama yang berbeda dengan para ulama fikih lainnya.
Pada mulanya ia mempelajari fikih mazhab Maliki karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika Utara menganut mazhab ini.
Al-Muwattha' sebagai kitab fikih rujukan bagi pengikut mazhab Maliki dipelajarinya dari gurunya, Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Tidak hanya al-Muwattha', Ibnu Hazm pun mempelajari kitab Ikhtilaf Imam Malik.
Tak hanya kedua kitab tersebut, Ibnu Hazm juga mempelajari kitab-kitab lainnya. Hasil pemahaman Ibnu Hazm dari kitab lain mendorongnya untuk mendalami kitab fikih yang dikarang oleh Imam Syafi'i dan murid-muridnya.
Akan tetapi, di mazhab ini pun ia tidak bertahan lama. Selanjutnya ia tertarik dan pindah ke mazhab Az-Zahiri setelah ia mempelajari kitab fikih karangan Munzir bin Sa'id Al-Balluti, seorang ulama mazhab Az-Zahiri.
Ibnu Hazm menolak qiyas (dalil analog) sebagai salah satu landasan hukum syariat. Menurutnya, ada tiga macam hukum yang secara tegas ditetapkan oleh agama dan terdapat di dalam Alquran, hadits, dan ijmak sahabat, yaitu wajib, haram, dan mubah.
Baginya, tidak ada tempat bagi ra'yu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum yang dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu Alquran, hadits, ijmak sahabat, dan zahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti saja.
Sebagai ganti qiyas, Ibnu Hazm mengajukan metode istishab untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak jelas hukumnya di dalam nash (Alquran dan hadits). Konsekuensi dari metode istishab-nya itu, Ibnu Hazm menolak teori fikih (qa'idah al-fiqh) yang menyatakan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaannya.
Teori lain yang ditolaknya adalah teori yang menyatakan bahwa hukum itu berputar sesuai dengan ada atau tidak adanya sebab (illat). Menurut Ibnu Hazm, Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Nabi SAW diutus dengan seperangkat tata nilai hukum dan peraturan yang sesuai untuk semua manusia yang hidup pada masa lampau, kini, dan masa yang akan datang.
Hukum Tuhan, menurut Ibnu Hazm, hanya satu serta dapat dipergunakan di setiap waktu, tempat, dan keadaan serta tidak berubah dengan ada atau tidak adanya sebab. Ia juga menjelaskan bahwa hukum itu hanya dapat berubah jika ada nash lain yang membatalkannya. Selama nash lain tidak ada, hukum itu tetap sah dan wajib dilaksanakan.
Untuk mensosialisasikan metodenya itu, Ibnu Hazm sering menggelar forum kajian dan menuangkan berbagai pandangannya ini ke dalam sebuah media tulisan. Hanya saja, cara yang dilakukan Ibnu Hazm sangat provokatif sehingga tidak disenangi oleh kaum Muslimin. Hal tersebut tidak terlepas dari sikapnya yang dikenal keras dalam mempertahankan pendapat.
Karena sikapnya seperti itu, tak heran jika para ulama pada zamannya mengkritik habis-habisan sikapnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Hazm mempunyai gaya bahasa tersendiri terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.
Sementara Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menjelaskan bahwa Ibnu Hazm sangat sering mencela ulama dengan pena dan lisannya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat pada zaman tersebut membencinya. Ia juga menilai Ibnu Hazm sebagai orang yang kebingungan dalam hal furu' (fikih) yang tidak berpegang pada qiyas.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nidia Zuraya
Judul asli:
Hujjatul Islam: Ibnu Hazm, Ulama Negarawan dari Spanyol (3-habis)
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam artikel tsb dikatakan:
Baginya, tidak ada tempat bagi ra'yu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum yang dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu Alquran, hadits, ijmak sahabat, dan zahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti saja.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Penolakan Qiyas ini sangat tepat bukan agak salah, lalu kembali kepada dalil bukan kepada pendapat – pendapat tanpa dalil.Imam Bukhari juga menolak Qiyas. Beliau berkata:
بَاب مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ مِمَّا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي أَوْ لَمْ يُجِبْ حَتَّى يُنْزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَلَمْ يَقُلْ بِرَأْيٍ وَلَا بِقِيَاسٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ )
Nabi saw ditanya tentang sesuatu yang tiada dalilnya dalam al Quran lalu beliau berkata: ” Tidak tahu “ atau tidak menjawab hingga wahyu diturunkan. Beliau tidak berpendapat atau menggunakan qiyas Untuk lebih jelasnya lihat dlm artikel sbb:
Dalam artikel tadi juga dikatakan:
Sebagai ganti qiyas, Ibnu Hazm mengajukan metode istishab untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak jelas hukumnya di dalam nash (Alquran dan hadits). Konsekuensi dari metode istishab-nya itu, Ibnu Hazm menolak teori fikih (qa'idah al-fiqh) yang menyatakan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaannya.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Tentang hukum selalu berobah sesuai dengan kondisi,maka tiada dalilnya. Menurut saya, sejak dulu hukum itu tetap, tidak boleh sekarang haram, besok halal, disini halal lalu di Amirika haram. Bila demikian, maka sangat keliru bukan agak benar dan hukum harus tetap, kapan atau dimanapun. Ajaran al Quran tetap berlaku mulai dulu sampai sekarang. Allah berfirman:
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا(73)وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا(74)إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا
Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.. Al Isra`
Orang yang merobah hukum, bukan orang yang komitmen kepada hukum Allah, akan mendapat dua kali siksaan bukan siksaan di dunia maupun di akhirat. Karena itu, hukum harus di tegakkan sesuai dengan apa yang di wahyukan bukan sesuai dengan kondisi dan situasi. Dan hukum tidak boleh di robohkan kapan atau dimanapun.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan