Jawabanku ataas keritikan Ust Abu al-jauzaa’
Tentang urunan korban sapi
Jawaban ini di tulis oleh H Mahrus ali
Maaf saya terlambat menjawab , karena banyak kesibukan , apalagi saya sedang di beri tugas oleh penerbit progressif Surabaya untuk mengoreksi karya Ust Yazid – buku beliau - Fiqhul lughoh – yang akan di terbitkan . Maaf sering kali , teman – teman memberikan komentar di blog Ust Abu al-jauzaa’ tapi tidak bisa masuk atau tidak bisa di tayangkan .
Permasalahan yang menjadi motif bantahan Ust Abu al-jauzaa’ adalah masalah kurban sapi yang hadisnya saya lemahkan sbb :
Ibnu Abbas ra berkata :
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيرِ عَشَرَةً
Kami bersama Rasulullah SAW dlm suatu perjalanan , lalu tibalah Idul adha, kami bergabung untuk tujuh orang dengan satu lembu dan sepuluh orang dengan satu onta [1]
Tirmidzi menyatakan , hasan ghorib.
قال أبو عيسى حديث بن عباس حديث حسن غريب لا نعرفه إلا من حديث الفضل بن موسى \1503\
Abu Isa ( Imam Tirmidzi) berkata :Hadis Ibnu Abbas ini hasan nyeleneh , kami tidak tahu kecuali dari hadis Al Fadhel bin Musa.
Kalimat ini menunjukkan bahwa hadis tsb hanya melalui jalur sanad itu. Bila ada yang lain , mesti Imam Tirmidzi akan tidak memberikan komentar seperti itu.
Imam Ahmad sendiri yang meriwayatkannya tidak menyatakan hadis tsb sahih. Begitu juga Imam Nasai , tidak berani menyatakan hadis tsb sahih . Bahkan Imam Tirmidzi masih menyatakan hasan tapi nyeleneh.
Riwayatnya terdapat Al Fadhel bin Musa yang suka menyampaikan hadis nyeleneh dan Husain bin Waqid yang suka ngelantur . Korban urunan tidak ada tuntunannya
إِنَّ هَذَا الْحَدِيْثَ مَنْسُوْخٌ بِمَا تَقَدَّمَ
Sesungguhnya hadis tsb mansukh dengan hadis yang dahulu , kata Syekh Hasan bin Husain in Assyek
Ibnu Qudamah berkata :
هُوَ فِي اْلقِسْمَةِ لاَ فِي اْلأُضْحِيَّةِ.
Itu untuk pembagian saja bukan untuk kurban [2]
Sanad hadis tsb sbb :
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ حُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ عَنْ عِلْبَاءَ بْنِ أَحْمَرَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
Perawi bernama Husain bin Waqid yang menjadi sebab lemahnya hadis tsb . Lihat komentar ulama sbb :
وَقَالَ اْلعُقَيْلِى : أَنْكَرَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدِيْثَهُ .
Al Uqaili berkata : Imam Ahmad ingkar kepada hadis Husain bin Waqid.
وَقَالَ السَّاجِى : فِيْهِ نَظَرٌ ، وَهُوَ صَدُوْقٌ يَهِمُ ،
Assaji berkata: Perawi bernama Husain bin Waqid masih perlu di kaji ulang riwayatnya . Dia adalah lelaki yang suka berkata benar tapi hayal / ngelantur.
Kalimat Yahimu dari wahima dlm kamus arab Indonesia di artikan salah atau hayal .
Dalamm kamus al muhith di katakan sbb :
الوَهْمُ من خَطَراتِ القَلْبِ، أو مَرْجُوحُ طَرَفَيِ المُتَرَدَّدِ فيه
Waham adalah lintasan hati , (boleh di kata bayang – bayang atau angan – angan , hayal ) atau dua sisi yang di ragukan masih marjuh atau tidak benar. Kamus al muhitt 293/3.
Bagaimana kedudukan orang yang punya auham atau ngelantur , berhayal dlm meriwayatkan hadis ini , Ibn Hajar al Haitsami berkata :
وَلِذَلِكَ قَالَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرَ: "صَدُوْقٌ لَهُ أَوْهَامٌ". فَمِثْلُهُ يُحَسَّنُ حَدِيثُهُ إِذَا اعْتَضَدَ.
Karena itu , Al hafidh Ibn Hajar berkata tentang perawi yang suka berkata benar tapi ngelantur atau berhayal : Hadis riwayatnya di hasankan kalau ada hadis lain yang mendukungnya .[3]
Sekarang lihat perkataan Ust Abu al-jauzaa’ sbb :
Maka, saya tidak tahu, darimana kesimpulan perkataan : Husain bin Waqid yang suka ngelantur. ‘Ngelantur’ adalah satu kata yang berkonotasi negatif dan ‘kasar’. Akankah Al-Husain bin Waaqid yang dikatakan Adz-Dzahabiy seorang ‘aalim, shaahibul-hadiits ini dianggap sebagai ‘tukang ngelantur’ ? Justru orang yang menyimpulkan Al-Husain suka nglantur inilah yang pantas dikatakan sedang ‘nglantur’.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Siapakah yang mengatakan , Husain bin wakid suka ngelantur , apakah saya atau kah Ibn Hajar sendiri . Perkataanmu mengarah kepada Ibn Hajar yang mengatakan begitu .Lihat dlm kitab mausuah ruwatil hadis 1358 . Saya tidak akan berbuat kebohongan dan saya ingin jujur dlm menyampaikan ilmu sekalipun saya harus bertentangan dengan ajaran budaya .
Pantas , bila hadis tsb tidak populer di kalangan sahabat , buktinya Imam Malik tidak mengenalnya , pada hal beliau adalah tokoh ahli Medinah . Abu bakar , Umar , Usman , Ali dan seluruh sahabat tidak kenal dengan hadis tsb , konon dari Ibnu Abbas dan hanya beliau yang katanya meriwayatkannya karena sanadnya hanya melalui Fadlel bin Musa dan Husain bin Waqid .
قَالَ أَحْمَدُ : أَحَادِيْثُهُ مَا أَدْرِى إِيشْ هِىَ .
Ahmad menyatakan : Hadis – hadisnya aku tidak mengerti , apa itu ?
Komentarku ( mahrus ali ) seolah beliau kurang cocok dengannya .
قَالَ أَحْمَدُ : فِى أَحَادِيْثِهِ زِيَادَةٌ ، مَا أَدْرِى أَىْ شَىْءٍ هِىَ ، وَ نَفَضَ يَدَهُ .
Imam Ahmad juga menyatakan , hadis riwayat Husain bin Waqid banyak tambahan , aku tidak mengerti apa itu lalu mengibaskan tangannya.
Imam Bukhari dan Muslim tidak berani memasukkan hadis tsb ( hadis unta untuk sepuluh orang ) dlm kitab sahihnya.
Imam Tirmidzi sendiri yang meriwayatkan hadis menyatakan tidak berani menyatakan hadis tsb sahih , tapi hasan nyelénéh.lihat dlm kitab sunannya 905.
Imam Ahmad yang meriwayatkannya tidak menyatakan hadis tsb sahih , begitu juga Imam Nasai.
Tentang Fadhel bin Musa ada keterangan sbb :
قَالَ ابْنُ حَجَرَ : ثِقَةٌ ثَبْتٌ وَرُبَّمَا أَغْرَبَ
Ibnu Hajar berkata : Dia perawi terpercaya , tsabt ( hapalannya kuat dan tepat ) terkadang menyampaikan hadis – hadis yang tak di kenal ( gharib atau asing , dan nyelenah , kataku ).
وَقَالَ عَبْدُ اللهِ أَيْضًا : سَأَلْتُ أَبِى عَنِ اْلفَضْلِ وَ أَبِى تُمَيْلَةَ ، فَقَدَّمَ أَبَا تُمَيْلَةَ وَقَالَ : رَوَى اْلفَضْلُ مَنَاكِيْرَ . اهـ .
Abdullah ( anak Imam Ahmad ) juga berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang Fadhel dan Abu Tumailah , lalu beliau mendahulukan Abu Tumailah lalu berkata : Fadhel meriwayatkan banyak hadis mungkar . [4]
Ust . Abu al-jauzaa’ menyatakan lagi :
Sungguh sangat tidak fair jika kemudian Al-Fadhl dengan ketsiqahan dan ketsabatannya dihukumi : suka menyampaikan hadis nyeleneh. Jangan-jangan orang yang mengucapkan itulah yang lebih pantas disebut nyleneh.
Lantas, apa gerangan yang membuat Al-Fadhl ini dikatakan : suka menyampaikan hadis nyeleneh. Subhaanallaah, Al-Fadhl bin Muusaa mempunyai maqam ta’dil yang tinggi (tsiqah tsabat).
Di sini, ‘Aliy bin Al-Madiiniy menyendiri dalam jarh kepada Al-Fadhl Sungguh sangat tidak fair jika kemudian Al-Fadhl dengan ketsiqahan dan ketsabatannya dihukumi : suka menyampaikan hadis nyeleneh. Jangan-jangan orang yang mengucapkan itulah yang lebih pantas disebut nyleneh.
As-Saajiy berkata : “Fiihi nadhar, ia seorang yang shaduuq namun banyak ragu”
Komentarku ( mahrus ali ) :
Bukankah yang mengatakan bahwa Al Fadhel bin Musa suka mentengahkan hadis – hadis yang nyeleneh , asing adalah Ibnu hajar sendiri . saya jangan di serang , lalu anda hanya menutup mata bahwa perkataan tsb dari Ibnu Hajar . Bahkan Imam Ahmad juga menyatakan dia suka menyampaikan hadis – hadis yang mungkar .
Komentarku ( Mahrus ali ): Barang kali hadis tsb yang menyatakan unta bisa untuk sepuluh orang itu termasuk kekeliruan perawi itu . Sabarlah , dan kita harus tunduk pada kebenaran lalu mencabut pendapat kita yang keliru .
Ust Abu al-jauzaa’ menyatakan lagi sbb :
Ia menulis hadits dari Ayyuub As-Sikhtiyaaniy dan Ayyuub bin Khuuth. Semua riwayat munkar pada dirinya berasal dari jalur periwayatan Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar. Ayyuub yang dimaksud di sini adalah Ayyuub bin Khuuth, bukan Ayyuub As-Sikhtiyaaniy”.
Komentarku ( Mahrus ali ) : Arabnya sbb : Syaikh Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf al Mizzi menyatakan :
فَكُلُّ (حَدِيْثٍ) مُنْكَرٍ عِنْدَهُ عَنْ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، إِنَّمَا هُوَ أَيُّوْبُ بْنُ خُوْطٍ وَلَيْسَ هُوَ أَيُّوْبَ السُّخْتِيَانِي " (تهذيب: 1 / 403).
Setiap hadis mungkar pada Al Fadhel bin Musa dari Husain bin Waqid dari Ayyub dari nafi` dari Ibnu Umar , adalah Ayyub bin Huth , bukan Ayyub assuhtiyani . Tahdzibul kamal 403/1 .
Maksudnya disini bukan seluruh hadis Husain bin Waqid yang mungkar hanya dari Ayyub dari nafi` dari Ibnu Umar tapi pernyataannya itu menjelaskan maksud Ayyub di situ adalah Ayyub bin Huth bukan Ayyub Assukhtiyani . Bukan tiada riwayat Husain yang mungkar kecuali dari jalur perawi Ayyub tadi. Jadi ia hanya menjelaskan Ayyub tsb siapa , bin Huth apakah Assukhtiyani. Lihat pernyataan Imam Ahmad sbb :
وَقَالَ : رَوَى اْلفَضْلُ مَنَاكِيْرَ . اهـ .
Al fadhel meriwayatkan banyak hadis mungkar . [5]
Ust Abu al-jauzaa’ menyatakan lagi :
Hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ini hasan.
[Dishahihkan oleh Ibnul-Qaththaan dalam Al-Wahm wal-Iihaam 5/410, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Ahmad 3/129, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/466-467, dan dihasankan oleh Basyar ‘Awwaad dalam Takhrij Sunan Ibni Maajah 4/558-559. Ibnul-Mulaqqin berkata : “Seluruh rijaal-nya tsiqaat” – sebagaimana dalam Al-Badrul-Muniir 9/304. Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya kuat (qawiy) sesuai persyaratan Muslim” – sebagaimana dalam Takhriij Shahih Ibni Hibbaan, 9/318].
Komentarku ( Mahrus ali )
Di sahihkan oleh siapapun , tetap jalur periwayatannya dari dua orang ini : Al fadhel bin Musa dari Husain bin Waqid.
Imam Ahmad , Nasai ,dan Imam Tirmidzi sendiri tidak berani mensahihkan , lalu apakah Imam Bukhari , Muslim yg tidak berani memasukkan hadis tsb dlm kitab sahihnya itu di anggap mensahihkannya . Pernahkah Imam BUkhari , Tirmidzi , Muslim , Abu Dawud dan seluruh penyusun kutub tis`ah menyatakan hadis tsb sahih ?
Oh , jelas tidak akan anda temukan .
Kalau di kumpulkan analisa saya dan Ust Abul Ja`za` tentang perawi Husain bin Waqid dan Fadhel bin Musa di mana beliau menyatakan keduanya terpercaya dan hadisnya bisa di terima atau boleh di katakan sahih . sedang saya mengambil sisi ulama yang menyatakan bahwa keduanya termasuk di antara perawi yang banyak meriwayatkan hadis mungkar . Bila terjadi sedemikian ini , di manapun anda temukan maka kita ikut kaidah yang umum diantara ahli hadis sbb :
وَالْقَاعِدَةُ أَنَّ الْجَرْحَ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ
Kaidahnya adalah penilaian sisi kejelekan / cacat terhadap perawi lebih di dahulukan dari pada penilaian sisi baik atau pernyataan bahwa perawi itu tsiqah dll .
Komentarku ( Mahrus ali ) Itulah pernyataan ahli hadis yang di kutip oleh syaikhuna Abd Aziz bin Abdullah bin Baz dlm kitab Majmu` fatawa bin Baz 348/36.
Jadi kalau di lihat dari kaidah ini , sudah jelas , hadis tsb termasuk kekeliruan dua perawi itu dalam menyampaikan kalimat hadis . Dan unta untuk sepuluh orang ini jelas termasuk kacau redaksi hadisnya . Ini sebagai tanda kelemahan hadis yang tak terbantahkan kecuali bagi orang dungu bin jahil. Seorang penyair berkata sbb :
وَذُو اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنٍ 000000( مُضْطَرِبٌ) عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ
Perbedaan sanad atau matan ( redaksi ) hadis adalah termasuk kacau menurut ahli mustholah hadis
Ust Abu al-jauzaa’ menyatakan lagi :
Ibnu ‘Abbaas mempunyai syaahid dari hadits Jaabir radliyallaahu ‘anhum; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa (dan lafadh hadits ini miliknya), ia berkata : Aku membacakan kepada Maalik, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah, (yaitu) seekor onta dari tujuh orang, dan seekor sapi dari tujuh orang”.
Dalam riwayat lain :
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ
Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Khaitsamah, dari Abuz-Zubair, dari Jabir. Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : “Kami pernah pergi berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berserikat tujuh orang pada seekor onta dan sapi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1318].
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Dua hadis tsb anda gunakan untuk mendukung hadis Ibnu Abbas yang menyatakan seekor unta untuk sepuluh orang dan dua hadis itu ternyata menjelaskan seekor unta untuk tujuh orang , apakah sama , lalu bisa di buat pendukung . Bila tidak sama , maka sudah tentu tidak bisa di buat pendukung . Pikirkan dengan hati yang lapang dan luas , atau jeli anda akan tahu bahwa pernyataan anda itu perlu di kaji ulang dan perlu di simpan saja tidak perlu di sampaikan untuk publik , nanti publik akan tahu bahwa anda keliru .
Di samping itu, kedua hadis terakhir ini menjelaskan penyembelihan ternak untuk dam haji atau Umrah , bukan untuk kurban . lalu bagaimanakah keduanya di buat dalil kurban urunan sapi . Ini salah pemahaman dan salah alamat bila di buat postingan. Mana dalil kurban urunan , sampai ahir pembahasan anda tidak menyampaikan.
Ust Abu al-jauzaa’ Yogja menyatakan lagi :
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata : “Hadits ‘Ikrimah, Al-Husain bin Waaqid telah bersendirian dengannya dalam periwayatan dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar. Dan hadits Jaabir lebih shahih darinya” [As-Sunan Al-Kubraa, 5/235].
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Bila hadis Jabir yang lebih sahih , lalu apakah masih tetap boleh kurban unta untuk sepuluh orang ,. Bila boleh lalu untuk apakah Al baihaqi menyatakan hadis jabir lebih sahih . Pada hal hadis jabir itu bukan untuk korban tapi untuk bayar dam umrah atau haji . Dan secara peraktek para sahabat dan nabi sendiri tidak pernah berkurban dengan urunan untuk beli sapi .
Ust Abu al-jauzaa’ menyatakan lagi :
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
يَجُوْزُ أَنْ يَشْتَرِكَ سَبْعَةً فِي بَدَنَةٍ أَوْ بَقَرَةً ِللتَّضْحِيَةِ , سَوَاءٌ كَانُوْا كُلُّهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ وَاحِدٍ أَوْ مُتَفَرِّقِيْنَ , أَوْ بَعْضُهُمْ يُرِيْدُ اللَّحْمَ ، فَيُجْزِئُ عَنِ الْمُتَقَرِّبِ , وَسَوَاءٌ أَكَانَ أُضْحِيَةً مَنْذُوْرَةً أَمْ تَطَوُّعًا , هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ اْلعُلَمَاءِ
“Diperbolehkan berserikat tujuh orang untuk seekor onta atau seekor sapi dalam udlhiyyah (sembelihan). Sama saja apakah mereka semuanya itu satu keluarga atau lain keluarga, atau sebagian di antara mereka menginginkan dagingnya. Dan hal itu telah mencukupi bagi anggota keluarga pengkurban. Sama saja, apakah sembelihan nadzar atau sembelihan sunnah/tathawwu’. Ini adalah madzhab kami. Dan dengannya Ahmad dan jumhur ulama berpendapat” [Al-Majmuu’, 8/372].
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Kekeliruan dlm mengartikan pernyataan Imam Nawawi ini nyata benar, yaitu Udlhiyah di artikan sembelihan , pada hal arti sebenarnya bukan sembelihan tapi kurban.Apakah sama kurban dengan sembelihan . Jelas beda jauh . Sembelihan mutlak , boleh juga maksudnya pemotongan ternak korban , bayar dam atau di potong untuk makan makanan bersama.
Imam Nawawi juga menyatakan seperti itu dari pendapatnya sendiri tanpa dalil. Jadi hanya sekedar pendapat boleh di pakai atau di buang . Imam Syafii sendiri pernah berkata :
مَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ فَبَلَغَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ مَا قُلْتُ، فَالْقَوْلُ مَا قَالَهُ صلى الله عليه وسلم
Sekalipun saya sudah mengatakan sesuatu atau telah ku bikin suatu kaidah , lalu ada hadis Rasulullah SAW yang bertentangan dengan apa yang aku katakan , maka perkataan yang benar adalah sabda Rasulullah SAW . [6]
Ust Abu al-jauzaa’ berkata lagi :
Lajnah Daaimah pernah berfatwa :
تجزئ البدنة والبقرة عن سبعة ، سواء كانوا من أهل بيت واحد أو من بيوت متفرقين ، وسواء كان بينهم قرابة أو لا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أذن للصحابة في الاشتراك في البدنة والبقرة كل سبعة في واحدة ، ولم يفصل ذلك
“Diperbolehkan berkurban onta dan sapi dari tujuh orang. Sama saja apakah mereka itu berasal dari satu keluarga atau berasal dari lain keluarga. Sama saja, apakah di antara mereka terdapat ikatan kekerabatan ataupun tidak. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa slalam mengjinkan para shahabatnya untuk berserikat atas onta dan sapi, masing-masing tujuh orang untuk seekornya. Dan beliau tidak memerinci lebih lanjut akan hal itu” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 11/401].
Ternyata korban dengan unta atau sapi tidak memiliki dalil yang sahih , tapi sekedar qiyas .Pada hal qiyas bukan suatu landasan atau dalil. Dan ajaran agama ini berlandaskan al quran atau sunnah sahihah . Berdalil dengan qiyas untuk menentukan suatu hukum bisa menyesatkan dan perlu dalil juga bahwa qiyas di perbolehkan sebagai landasan hukum . Dan agama ini akan rusak karena dalil tidak dipakai lalu qiyas di jadikan hujjah bagi kita hingga ahir zaman . Ibn Rusydi berkata :
فَقَاسَ الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيْفَةَ الضَّحَايَا فِي ذَلِكَ عَلَى الْهَدَايَا
Imam Syafii dan Abu Hanifah mengkiyaskan korban dalam hal tsb atas hadyu yang di hadiyahkan kepada Ka`bah ( atau dam ) . Bidayatul mujtahid 349/1
Ibnu Abdis salam berkata :
وَهَذَا فِي الْهَدْيِ وَيُقَاسُ عَلَيْهِ الْأُضْحِيَّةُ بَلْ قَدْ وَرَدَ فِيهَا نَصٌّ فَأَخْرَجَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ
Ini dlm masalah hadyu , bukan kurban . Bila untuk kurban , maka sekedar qiyas kepadanya. Bahkan menurut beliau lebih dari itu , yaitu ada nas . Imam Tirmidzi dan Nasa`I meriwayatkan hadis Ibnu Abbas . Subulus salam 324/6 .
Komentarku ( Mahrus ali )
Maksud nas riwayat Tirmidzi dan Nasa`I adalah hadis Ibnu Abbas dari jalur Al Fadhel yang telah kita bahas tadi.
وَقَالَ قُدِّسَ سِرُّهُ أَيْضاً ((وَقَدْ كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ يَقْدِرُوْنَ عَلَى اْلقِيَاسِ وَلَكِنَّهُمْ تَرَكُوا ذَلِكَ أدباً مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
Al arif billah Assya` rani semoga Allah mensucikan sirrinya berkata : Sungguh salafus sholeh dari kalangan sahabat dan tabi`in enggan berkiyas sekalipun mereka mampu untuk melakukannya karena berakhlak terhadap Rasulullah SAW
Imam Bukhori membikin bab :
بَاب مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ مِمَّا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي أَوْ لَمْ يُجِبْ حَتَّى يُنْزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَلَمْ يَقُلْ بِرَأْيٍ وَلَا بِقِيَاسٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ )
Nabi SAW ditanya tentang sesuatu yang tiada dalilnya dalam al Quran lalu beliau berkata :” Tidak tahu “ atau tidak menjawab hingga wahyu diturunkan . Beliau tidak berpendapat atau menggunakan qiyas
Jadi kita harus kembali bagaimana tata cara para sahabat dlm berkurban yaitu dengan kambing bukan sapi sebagaimana hadis :
Atho` bin Yasar berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al anshori : “Bagaimanakah korban diwaktu Rasulullah SAW , beliau menjawab:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى
Seorang lelaki befrkorban kambing untuk dia dan keluarganya ,lalu mereka makan dan di berikan kepada orang lain hingga orang – orang berbangga – banggan sebagaimana kamu lihat . [7] Imam Tirmidzi menyatakan hadis tsb hasan sahih .Imam Ahmad dan Ishak mengharuskan korban kambing .Pendapat kambing untuk satu orang hanyalah pendapat Abdullah bin Al Mubarak. Korban kambing menurut hadis tsb boleh untuk satu keluarga .Mereka boleh makan , juga boleh di sedekahkan .
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ *
Jangan menyembelih kecuali kambing yang sudah berumur setahun, kecuali bila sulit di peroleh, kamu boleh menyembelih kambing domba yang berumur enam bulan keatas [8]
Paling mudah dan bisa dikatakan referensi terpercaya adalah domba korban yang di turunkan oleh Allah untuk Nabi Ibrahim. Bila kita memotong sapi untuk korban maka mana dalilnya ? .
Dan masih banyak modal saya untuk menjelaskan masalah ini , namun saya cukupi sekian dulu . Dan nanti pada suatu saat bisa saya lanjutkan lagi .
Ust Abu al-jauzaa’ berkata lagi :
Perkataan ‘al-ustadz’ tersebut di atas (yang saya nukil berwarna merah) sangat layak ditinjau ulang. Seandainya ‘al-ustadz’ mengkritik hadits dengan baik, ilmiah, dan mempergunakan bahasa-bahasa yang elegan, saya rasa, itu akan jauh lebih baik.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Saya akan menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang mudah di paham , dan buku – buku saya yang laku di pasaran sudah cukup sebagai bukti bahwa keterangan saya itu ilmiyah dan selalu berlandaskan suatu dalil dan saya akan mengkritik siapapun yang salah . saya tidak akan membiarkan kesalahan menyesatkan masyarakat awam . Inilah bahasa saya dari pada elegan yang menyesatkan dan keliru mengartikan kalimat arab.
Ingat ! Berilah komentar dengan mengkelik slect profile , lalu pilih anonymous , lalu tulis namamu dlm kolom komentar , lalu tulis komentar apa yang anda inginkan dan pakailah bahasa yang baik jangan kotor .
Kurang jelas boleh telp 03192153325. atau email darulqurani@yahoo.co.id atau dengarkan cd pengajian ku.
Artikel Terkait
Terima kasih atas infonya.
BalasHapusTelah saya jawaban beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) akan artikel di atas. Ada dua point sebenarnya yang beliau anggap bid’ah dalam masalah hewan kurban. Pertama, adalah masalah berkurban selain kambing, dan yang kedua adalah masalah berserikatnya. Saya akan jawab secara ringkas sebagai berikut :
selengkapnya baca komentar di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/12/urunan-sapi-untuk-kurban-tidak-ada.html
BalasHapusatas kejahilan mahrus ali ini....
Terima kasih atas infonya.
BalasHapusTelah saya jawaban beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) akan artikel di atas. Ada dua point sebenarnya yang beliau anggap bid’ah dalam masalah hewan kurban. Pertama, adalah masalah berkurban selain kambing, dan yang kedua adalah masalah berserikatnya. Saya akan jawab secara ringkas sebagai berikut :
1. Allah ta’ala berfirman :
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” [QS. Al-Hajj : 28].
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [QS. Al-Hajj : 34].
Bahiimatul-an’aam dalam ayat tersebut maknanya (dalam bahasa ‘Arab) adalah domba, sapi, atau onta. Udlhiyyah tidaklah sah kecuali dengan tiga jenis binatang in. Ini adalah pendapat jumhur ulama [lihat Al-Mughniy 11/99, Al-Ma’uunah 1/658, dan Mukhtashar Ikhtilafil-‘Ulamaa oleh Ath-Thahawiy 3/224]. Bahkan Ibnu Rusyd dalam Bidaayatul-Mujtahid 2/435 dan Ash-Shan’aniy dalam Subulus-Salaam 4/176 menukil adanya ijma’ akan hal tersebut.
Apa yang saya tulis di atas, saya nukil dari melalui perantaraan Tanwiirul-‘Ainain hal. 366 (karya Abul-Hasan Al-Ma’ribiy).
Dikatakan oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy bahwa Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih mengharuskan berkurban kambing. Saya kira ini harus diteliti kembali. Penulis kitab Al-Inshaaf fii Ma’rifatir-Raajih minal-Khilaaf ‘alaa Madzhab Al-Imam Al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal (4/73) menyebutkan bahwa binatang yang paling afdlal untuk hadyu dan udlhiyyah adalah onta, kemudian sapi, kemudian kambing. Mungkin beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) berkesimpulan dari perkataan At-Tirmidziy :
BalasHapusوالعمل على هذا عند بعض أهل العلم وهو قول أحمد وإسحاق واحتجا بحديث النبي صلى الله عليه وسلم أنه ضحى بكبش فقال هذا عمن لم يضح من أمتي وقال بعض أهل العلم لا تجزئ الشاة إلا عن نفس واحدة وهو قول عبد الله بن المبارك وغيره من أهل العلم
“Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama', dan inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Keduanya berdalil dengan hadits Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam, Bahwasanya beliau pernah berkurban dengan seekor kambing, lalu beliau bersabda: "Ini untuk orang-orang yang belum berkurban dari umatku." Sebagian ulama' berpendapat bahwa seekor kambing tidak cukup kecuali untuk satu orang. Dan ini adalah pendapat Abdullah bin Al-Mubaarak dan selainnya dari kalangan para ulama'" [selesai].
Ini jelas wahm dari beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy). At-Tirmidziy menyebutkan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih bukan untuk membatasi. Lagi pula, tidak ada pernyataan : mengharuskan korban kambing seperti dikatakan oleh Ustadz Mahrus Aliy. At-Tirmidziy mengatakan hal di atas adalah untuk menyebutkan perbedaan di kalangan ulama apakah sembelihan kambing (udlhiyyah/korban) itu mencukupi satu keluarga ataukah tidak. Dan memang hadts yang disebutkan At-Tirmidziy berbicara tentang itu.
Adapun pendapat Maalik bin Anas, beliau menyebutkan sendiri dalam Al-Muwaththa’ :
واحسن ما سمعت في البدنة والبقرة والشاة الواحدة ان الرجل ينحر عنه وعن أهل بيته البدنة ويذبح البقرة والشاة الواحدة هو يملكها ويذبحها عنهم ويشركهم فيها
“Perkataan paling baik yang pernah aku dengar tentang (kurban) seekor onta, sapi, dan kambing, bahwasannya seorang laki-laki boleh menyembelih untuk dirinya dan keluarganya seekor onta, sapi, dan kambing. Dialah pemiliknya, dan ia sembelih untuk keluarganya juga, serta menyertakan mereka dalam sembelihan kurban tersebut” [selesai].
Jika Ustadz Mahrus ‘Aliy telah menyebutkan pendapat Asy-Syaafi’iy dan Abu Hanifah tentang pembolehan kurban sapi dan onta (dengan menukil Bidaayatul-Mujahid 1/349), dan di sini saya sebutkan madzhab Maalik dan Ahmad; maka nampaklah bagi Pembaca budiman dimana sebenarnya posisi imam empat dalam masalah pembolehan korban sapi dan onta.
Adapun perkataan Ibnu Qudaamah yang dinukil oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy :
فهو في القسمة لا في الأضحية إذا ثبت هذا
“Ia adalah dalam pembagian saja, bukan dalam udlhiyyah; seandainya hadits itu tsabit”.
Maka, Ibnu Qudaamah memaksudkannya dalam hadits Raafi’. Apa itu hadits Raafi’ yang dimaksudkan Ibnu Qudaamah ? Hadits itu sebagai berikut :
BalasHapusحَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَكَمِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ فَأَصَابَ النَّاسَ جُوعٌ فَأَصَابُوا إِبِلًا وَغَنَمًا قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُخْرَيَاتِ الْقَوْمِ فَعَجِلُوا وَذَبَحُوا وَنَصَبُوا الْقُدُورَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقُدُورِ فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ قَسَمَ فَعَدَلَ عَشَرَةً مِنْ الْغَنَمِ بِبَعِيرٍ فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌ فَطَلَبُوهُ فَأَعْيَاهُمْ وَكَانَ فِي الْقَوْمِ خَيْلٌ يَسِيرَةٌ فَأَهْوَى رَجُلٌ مِنْهُمْ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ اللَّهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hakam Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Sa’iid bin Masruuq, dari ‘Abaayah bin Rifaa’ah bin Raafi’ bin Khadiij, dari kakeknya, ia berkata : "Kami bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam di Dzul Hulaifah ketika sebagian orang terserang lapar lalu mereka mendapatkan (harta rampasan perang berupa) unta dan kambing. Saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berada di belakang bersama rombongan yang lain. Orang-orang yang lapar itu segera saja menyembelih lalu mendapatkan daging sebanyak satu kuali. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membagi rata dimana bagian setiap sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta. Namun ada seekor unta yang lari lalu mereka mencarinya hingga kelelahan. Sementara itu diantara mereka ada yang memiliki seekor kuda yang lincah lalu ia mencari unta tadi dan memburunya dengan panah hingga akhirnya Allah menakdirkannya dapat membunuh unta tersebut. Beliau bersabda: "Sesungguhnya bintang seperti ini hukumnya sama dengan binatang liar. Maka apa saja yang kabur dari kalian (lalu didapatkannya,) perlakuklanlah seperti ini......" [HR. Al-Bukhaariy].
Intinya, tidak nyambung dengan hadits yang dibahas. Dan memang hadits itu tidak membicarakan udlhiyyah. Adapun Ibnu Qudamah sendiri menguatkan mencukupinya seekor onta atau kambing untuk tujuh orang yang berserikat, yang kemudian menukil pendapat para shahabat dan tabi’iin yang menyepakati hal itu seperti Ibnu ‘Abbaas, ‘Aaisyah, ‘Athaa’, Thaawus, Saalim, Al-Hasan, ‘Amru bin Diinaar, Ats-Tsauriy, Al-Auzaa’iy, Asy-Syaafi’iy, Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Saya harap, Ustadz Mahrus ‘Aliy membaca bagian ini.
2. Kemudian dalam masalah pembahasan hadits, Pembaca dapat melihat bagaimana beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) hanya fokus pada jarh saja tanpa mempertimbangkan sisi ta’dil-nya. Ini bukanlah manhaj penilaian yang ‘adil terhadap perawi sebagaimana dikenal oleh para ahli hadits.
3. Mengenai masalah perkataan ghariib, saya kira Ustadz Mahrus ‘Aliy telah sangat berlebihan dalam membela pendapatnya yang sudah nyata-nyata salah. Ghariib, secara bahasa merupakan sifat musyabbahah yang bermakna al-munfarid, atau jauh dari kerabat. Namun menurut istilah ilmu hadits, hadiits ghariib berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian [Taisiru Mushthalahil-Hadiits, hal. 27].
Saya contohkan hadits ghariib dalam permasalahan ini, yaitu hadits yang sudah sangat terkenal di telinga kita :
BalasHapusإنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى
“Amal-amal itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu tergantung dari apa yang ia niatkan”.
Hadits ini termasuk hadits ghariib muthlaq. Ia hanya diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab; dari ‘Umar, ia hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah; dari ‘Alqamah, ia hanya diriwayatkan oleh Ibraahiim At-Taimiy; dan dari Ibraahiim, ia hanya diriwayatkan oleh Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy. Baru setelah Yahyaa, ia diriwayatkan oleh banyak perawi [lihat ulasan Ibnu Rajab dalam Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam untuk hadits no. 1].
Apakah hadits di atas lemah karena faktor ke-gharib-an ? Ingat, Ustadz Mahrus ‘Aliy menjadikan faktor keghariban sebagai kelemahan hadits. Sependek pengetahuan saya, ndak ada ulama hadits mu’tabar yang melemahkannya.
Juga, apakah hadits di atas bisa disebut sebagai “hadits nyeleneh” (meminjam istilah dari istilah Ustadz Mahrus ‘Aliy) ?
Gharabah itu tidak sepenuhnya menjadi hal yang menjatuhkan hadits. Dilihat dulu ketsiqahannya.
Dalam hadits kurban yang dibahas di atas, perawi yang disorot oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy (yaitu Al-Fadhl bin Muusaa) adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat. Oleh karena itu, keghariban hadits yang dibawakannya tersebut tidaklah mengapa.
Ustadz Mahrus ‘Aliy berkata :
Bukankah yang mengatakan bahwa Al Fadhel bin Musa suka mentengahkan hadis – hadis yang nyeleneh , asing adalah Ibnu hajar sendiri . saya jangan di serang , lalu anda hanya menutup mata bahwa perkataan tsb dari Ibnu Hajar .
Yang mengatakan “suka mengetengahkan hadits-hadits nyeleneh” adalah Anda sendiri. Adapun Ibnu Hajar mengatakan : Tsiqah tsabat, kadang meriwayatkan hadits ghariib. Telah lewat pembahasan makna gharib dalam musthalah, dan saya persilakan pada para Pembaca yang pakar bahasa Indonesia apakah sesuai istilah ‘nyleneh’ dengan ghariib sebagaimana yang telah lewat penjelasanannya. Selain itu, Ustadz Mahrus ‘Aliy juga menggunakan kata suka. Ini ekuivalen dengan sering. Dalam At-Taqriib, Ibnu Hajar menggunakan kata rubamaa , dimana dalam peristilah jarh dan ta’dil ini digunakan untuk makna kadang-kadang atau sedikit. Hal itu digunakan untuk membedakannya dengan istilah : yughrib (sering meriwayatkan hadits-hadits gharib), misalnya. Sama juga dengan sifat kesalahan (khatha’). Beda antara istilah rubamaa akhtha’ dengan yukhthi’ atau katsiirul-khathaa’. Para Pembaca tahu akan tahu sekarang letak ketidakadilan penilaian Ustadz Mahrus ‘Aliy terhadap Al-Fadhl bin Muusaa ini.
Tentang perkataan Imam Ahmad bahwa Al-Fadhl ini meriwayatkan hadits-hadits munkar (manaakir); maka dalam peristilahan mutaqaddimiin, ia dapat bermakna ghariib. Oleh karenanya Ibnu Hajar menghukuminya dengan : ‘kadang meriwayatkan hadits ghariib’.
4. Tentang Al-Husain bin Waaqid, yang dikatakan oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy ini suka nglantur. Sama seperti di atas, beliau ini mengartikannya bukan dengan pemahaman yang dikenal dalam ilmu hadits. Wahm dalam ilmu hadits berarti keliru atau ragu. Perawi yang disifati dengan wahm, maka itu menunjukkan kelemahan dalam hapalannya, karena ada kekeliruannya atau keraguan dalam periwayatan haditsnya. Bandingkan jika kita artikan ngelantur yang berkonotasi pada berangan-angan. Sangat jauh.
Kembali pada pembahasan Al-Husain. Ia disifati Ibnu Hajar dengan shaduuq lahu auhaam (yang saya artikan : jujur, namun mempunyai beberapa keraguan – atau bisa juga : jujur, namun mempunyai beberapa kekeliruan). Di atas telah saya sebutkan bahwa sumber utama penyifatan wahm itu adalah dari Imam Ahmad. Telah juga saya sebutkan bahwa wahm Al-Husain yang disebutkan dalam kitab jarh wa ta’dil adalah hadits-hadits dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar. Adapun Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa itu bukan pembatas.
BalasHapusSaya (Abul-Jauzaa’) berkata : Tidak masalah dengan apa yang dikatakan Ustadz Mahrus ‘Aliy tersebut. Akan tetapi, tolong disebutkan di sini penjelasan dari ahli hadits tentang wahm Al-Husain yang lain selain dari jalan Ayyub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar.
Atau,…. (jika berkaitan dengan hadits dalam bahasan ini), tolong berikan bukti kepada saya bahwa Al-Husain bin Waaqid telah keliru dalam periwayatan hadits berserikat kurban sapi/onta ini.
Tentu saja ini diperlukan. Telah saya sebutkan bahwa selain adanya pengingkaran Imam Ahmad terhadap hadits Al-Husain bin Waaqid, Imam Ahmad juga berkata : “Laa ba’sa bihi”, dan beliau memujinya dengan kebaikan [Al-Jarh wat-Ta’dil 3/no. 302]. ‘Abdullah bin Ahmad pun mengatakan bahwa ayahnya tidak mengingkari riwayat Al-Husain yang berasal dari Ibnu Buraidah [Al-‘Ilal no. 497]. Artinya apa ? Tidak semua hadits yang diriwayatkan oleh Al-Husain itu diingkari atau dilemahkan oleh Imam Ahmad.
Syaikh Ar-Raajihiy berkata : “Apabila dikatakan pada seorang perawi : Shaduuq lahu auhaam, maka tidak mengapa dengannya, dan status haditsnya itu adalah hasan lidzaatihi….” [http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=4534].
Dan Ibnu Hajar sendiri menyebutkan saat menyebutkan Al-Husain bin Waaqid dalam Thabaqaatul-Mudallisiin tingkat 1 :
الحسين بن واقد المروزي أحد الثقات من اتباع التابعين وصفه الدارقطني وأبو يعلى الخليلي بالتدليس
“Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy, salah seorang tsiqaat dari kalangan atbaa’ut-taabi’iin. Ad-Daaruquthniy dan Al-Khaliiliy menyifatinya dengan tadlis” [selesai].
Kembali pada permasalahan sebelumnya. Apakah ada keterangan atau bukti yang menunjukkan bahwa Al-Husain dalam periwayatan dari ‘Ilbaa’ bin Ahmad Al-Yasykuriy telah melakukan wahm ? Dari dua tulisan Ustadz Mahrus Aliy sebelumnya, nampaknya beliau gagal memberikan bukti kecuali hanya asumsi belaka bahwa hadits ini merupakan bagian wahm dari Al-Husain.
5. Ustadz Mahrus ‘Aliy dalam menguatkan pendapatnya tersebut (dalam pelemahan hadits kurban sapi dan onta) berkata :
Imam Ahmad sendiri yang meriwayatkannya tidak menyatakan hadis tsb sahih. Begitu juga Imam Nasai , tidak berani menyatakan hadis tsb sahih . Bahkan Imam Tirmidzi masih menyatakan hasan tapi nyeleneh.
……………
Imam Ahmad , Nasai ,dan Imam Tirmidzi sendiri tidak berani mensahihkan , lalu apakah Imam Bukhari , Muslim yg tidak berani memasukkan hadis tsb dlm kitab sahihnya itu di anggap mensahihkannya . Pernahkah Imam BUkhari , Tirmidzi , Muslim , Abu Dawud dan seluruh penyusun kutub tis`ah menyatakan hadis tsb sahih ?
Oh , jelas tidak akan anda temukan .
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Sungguh sayang jika orang sekaliber Ustadz Mahrus ‘Aliy berhujjah dengan kalimat di atas !!!!
Sejak kapan ada kaedah bahwa hadits yang tidak diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dan Muslim berarti tidak shahih ? Sejak kapan kitab Sunan An-Nasaa’iy, Sunan At-Tirmidziy, Sunan Abi Daawud, Sunan Ibni Maajah, Al-Muwaththa’ Maalik, Musnad Ahmad, dan Sunan Ad-Daarimiy mensyaratkan keshahihan dalam semua hadits yang dibawakannya ?
Oleh karenanya, para Pembaca akan banyak mendapatkan hadits yang tidak dikeluarkan dalam Shahihain dan tidak dikomentari apapun oleh para penulis kitab hadits yang sembilan. Dan itu sama sekali bukan menandakanbahwa hadits itu pasti dla’if !!
At-Tirmidziy telah menghukumi hadits itu hasan ghariib. Adapun Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan telah menshahihkannya.
6. Ustadz Mahrus ‘Aliy menyebutkan kaedah : Jarh lebih didahulukan daripada ta’diil.
BalasHapusSaya katakan : Itu benar. Tapi kaedah itu belum titik dan masih ada kelanjutannya. Ada beberapa syarat sehingga kaedah itu dapat berlaku. Salah satunya adalah, jarh-nya harus mufassar (dijelaskan sebabnya). Dapat kita lihat, jarh yang dialamatkan kepada Al-Fadhl dan Al-Husain, berikut pembahasannya. Pendek kata, tidak pada tempatnya Ustadz Mahrus ‘Aliy membawakan kaedah ini untuk menjatuhkan hadits Al-Fadhl dan Al-Husain, kecuali memang beliau dapat memberikan bukti kongkrit sebagaimana yang saya minta di atas, bukan sekedar asumsi-asumsi.
7. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan pengambilan hukum dari hadits Jaabir adalah qiyas. Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Benar, tidak salah. Dan itulah yang dilakukan oleh jumhur ulama. Dan itu adalah qiyas shahih. Nampaknya, Ustadz Mahrus ‘Aliy – semoga saya salah – mengambil pandangan menolak qiyas dalam hukum dimana ini adalah pendapat yang lemah yang ternukil di kalangan ulama (= merupakan pendapat masyhur Dhahiriyyah).
Akan tetapi, pendapat bolehnya berserikat onta dan sapi itu tidak sekedar qiyas, namun berdasarkan dalil sebagaimana di atas.
8. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa saya keliru mengartikan udlhiyyah dengan ‘sembelihan’.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Ini adalah kritik konstruktif dari beliau, dan saya ucapkan banyak terima kasih untuk itu. Sebenarnya, saya memaksudkan udlhiyyah itu dalam konteks sembelihan kurban, karena memang saya dari awal sampai akhir membahas kurban. Dan saya menukil perkataan An-Nawawiy dan juga Lajnah Daaimah dalam rangka penjelasan tentang kurban. Ma’ruf saya kira makna udlhiyyah itu adalah hewan kurban.
Sebagai informasi saja, dalam beberapa nash, digunakan kata ‘sembelihan’ untuk makna udlhiyyah (hewan kurban) atau yang semisalnya. Contoh :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa dua hari : Yaumul-Fithr (‘Iedul-Fithri) dan Yaumun-Nahr (Hari Penyembelihan/’Iedul-Adlhaa).
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْيَوْمُ الْآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Ini adalah dua hari yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa padanya : Hari dimana kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari dimana kalian memakan hewan sembelihan kalian (=udlhiyyah/hewan kurban)”.
Dan yang lainnya.
Namun, apa yang dikatakan Ustadz Mahrus ‘Aliy itu lebih tepat, dan akan saya perbaiki sesuai dengan kritikan beliau tersebut (sebagaimana terlihat dalam artikel di atas).
9. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa beliau masih banyak ‘modal’ untuk menguatkan pendapat beliau tersebut (yaitu berkurban dengan kambing).
Saya (Abul-Jauzaa’) katakan : Saya tidak pernah mengingkari kurban dengan kambing. Dan memang banyak dalil yang mendukung hal itu. Akan tetapi pembahasannya di sini bukanlah apakah diperbolehkan berkurban kambing atau tidak, namun bolehkan berkurban selain kambing ? dan kemudian berserikat padanya ?
10. Sebenarnya ada beberapa hadits lemah lain yang dapat menjadi syahid hadits di atas. Namun saya kira, hadits Ibnu ‘Abbaas pun telah mencukupi.
Itu saja yang dapat saya tanggapi dari jawaban Ustadz Mahrus ‘Aliy. Lebih dan kurang, mohon dimaafkan.
Sudah di jawab dalam postingan berikutnya sampai polemik ke delapan bacalah .
BalasHapusAssalamualaiku ust,Alhamdullillah,setelah ana baca artikel di atas ana begitu kagum dengan dialog ust abul jauzaa dan ust mahrus,menurut ana sangat ilmiah sekali,benginilah harusnya kita menyikapi suatu makalah,ana pribadi amat berterima kasih pada ustadz ustadz,mungkin ini bisa jadi contoh untuk para komentator yg lain.
BalasHapusapalagi di blog ust ini banyak koment2 yang ngawur,gak ilmiah,yg hanya berlandaskan hawa nafsu saja.
harapan ana moga ust mahrus jangan pernah bosan untuk selalu berbagi ilmu,wawasan dan pengetahuan...
lebih dan kurang mohon dimaafkan...barokallahu fik