Seandainya kita berpendapat bahwa
hadits di atas dengan kitiga jalur sanadnya adalah dha’if, hadits tersebut
masih tetap bisa dijadikan pijakan, sebab antara hadits yang satu dengan yang
lain bisa saling menguatkan, sehingga posisinya naik pada peringkat
selanjutnya, yaitu hasan. Bahkan ada seorang ulama bernama
Majdi Ghassan yang menulis satu risalah khusus mengkaji hadits ini, dan ia
namakan al- Qaul al-Fashl al-Musaddad Fi Sihhah Hadits Ya Muhammad.
Komentar (Mahrus Ali):
Sebetulnya hadits lemah bisa naik
peringkat menjadi hadits hasan tidak menjadi kesepakatan ulama ahli hadits,
tetapi hanya pendapat sebagian dari mereka.
Lihat perkataan Jamal bin Muhammad
As Sayyid, sebagai berikut:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ إِلَى أَنَّ
الْحَدِيْثَ يَقْوَى بِمَجْمُوْعِ طُرُقِهِ، وَيَصِلُ إِلَى دَرَجَةِ الْحَسَنِ،
قَالَ ذَلِكَ: اْلعَلاَئِي5، وَاْلقَسْطَلاَّنِي6، وَالسَّخَاوِي7، وَ
اْلقَاسِمِي8، وَغَيْرِهِمْ.
Segolongan ulama berpendapat bahwa
derajat hadits itu menjadi kuat dengan seluruh jalur-jalurnya , dan bisa naik
derajatnya menjadi hasan. Demikianlah, apa yang dikatakan oleh Al Ala’I,
Qasthalani, Sakhawi, Al Qasimi, dan lain-lain. (Lihat di kitab Ibnu Qayyim,
Wujuhuduhu fi Khidmatis Sunnah 528/1). Namun,
bila jalur-jalur tersebut memiliki kelemahan yang sama, yakni kelemahannya
hanya dari satu perawi saja, maka jalur-jalur yang banyak tersebut tidak bisa
mengangkat ke derajat hasan. Lihat ualasannya berikut ini:
التَّبْيِيْنُ لِجَهَالاَتِ
الدُّكْتُوْرِ - (ج 1 / ص 270)
فَإِنَّ كَثْرَةَ الطُّرُقِ
الضَّعِيْفَةِ تَرْتَقِي بِالْحَدِيْثِ إِلَى دَرَجَةِ الْحَسَنِ، أَوِ الصِّحَّةِ،
إِذَا كَانَ مَوَاضِعُ الضُّعْفِ فِيْهَا مُخْتَلِفَةٌ، أَمَّا ِإذَا كَانَ
مَدَارُ الطُّرُقِ كُلِّهَا عَلَى رَجُلٍ مُخْتَلَفٍ فِيْهِ، فَإِنَّ تَعَدُّدَ
الطُّرُقِ حِيْنَئِذٍ لاَ اعْتِبَارَ لَهُ.. وَهَذَا هُوَ اْلوَاِقعُ فِي
ْالإِسْنَادِ الَّذِي أَوْرَدَهُ عَنْ أَبِي يَعْلَى
Sesungguhnya banyaknya jalur
periwayatan yang lemah bisa menaikkan derajatnya menjadi hasan, atau sahih
apabila kelemahannya berbeda. Namun, bila sumber kelemahannya sama dari satu
orang lelalki yang masih khilaf, maka banyaknya jalur periwayatan menjadi tidak
ada gunanya. Inilah kenyataan dalam sanad yang dicantumkan dari Abu Ya’la.
(Lihat di kitab Attabyin Lihajalatit Doctor 270/1).
Komentar (Mahrus Ali):
Jalur-jalur yang Anda sebutkan untuk
Ibnu Umar memanggil nama Muhammad ketika kakinya kesemutan ( mati rasa ) banyak dan tidak sedikit. Tetapi satu
kelemahan ada pada seoramg lelaki yang bernama Abu Ishak. Oleh karena itu,
jalur yang banyak itu menjadi tidak ada gunanya dan hadits tersebut tetap
menjadi hadits lemah, tidak bisa
terangkat menjadi hasan, apalagi sahih yang bisa dijadikan hujjah. Tolong
pahamilah ini dan jangan diabaikan.
Hadits tentang Ibnu Umar memanggil
Rasulullah itu pun bertentangan dengan ayat:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ
دُونِ اللهِ مَنْ لاَ يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ
دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
Dan, siapakah yang lebih sesat
daripada orang-orang yang berdoa kepada selain Allah, yang tidak bisa
memperkenankan doanya sampai hari kiamat, dan mereka lalai dari (memperhatikan)
doa mereka? (QS. Al Ahqaf: 5).
Dalam buku “Membongkar ….”
Karya LBM NU Jember didapati keterangan yang membolehkan memanggil-manggil
mayat Nabi atau wali, padahal ayat tersebut menyatakan orang yang melakukan ini
adalah orang yang paling sesat,
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan