Fase ke 26 tentang larangan jama`
Ada sang ustadz menulis sbb:
2. Sholat Dijamak Karena Sakit
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Muslim di atas serta
yang diriwayatkan Muslim, Nasa’i, Abu Daud, dan Tirmidzi. Dengan teks hadis
عن ابن عباس قال :صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم, الظهر
والعصر جميعا بالمدينة فى غير خوف ولا سفر, قال ابو الزبير : فسالت سعيدا لم فعل
ذلك؟ فقال سالت ابن عباس كما سالتنى فقل : ارادا ان لايحرج احدا من امتى
Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah saw pernah shalat di
Madinah dengan menjama’kan Dluhur dan ashar tidak dalam keadaan takut dan
perjalanan. Abu az-Zubaer salah seorang perawi tersebut berkata : “saya
bertanya kepada Said mengapa Rasulullah berbuat demikian maka Said menjawab
saya pernah menanyakan pertanyaan seperti itu kepada Ibnu Abbas. Ia menjawab
Rasulullah ingin agar tidak memberatkan ummatnya.”
Para ulama berbeda pendapat tentang interpretasi terhadap
hadis ini dan dan tentang kebolehan menjamak shalat tanpa uzur imam an-Nawawi
menyebutkan beberapa pendapat :
Tirmizdi mengatakan tidak terdapat dalam kitab saya suatu
hadis yang disepakati untuk tidak diamalkan yaitu hadis Ibnu Abbas tentang
shalat jamak di Madinah tanpa adanya keadaan takut atau hujan. Kemudian an-Nawawi
membenarkan pendapat at-Tirmizdi mengenai hadis Ibnu Abbas.
Ada pula yang menafsirkan sebagai jama’ pada pertemuan dua
waktu, yaitu beliau mengakhirkan shalat pertama pada penghujung waktunya dan
segera memulai shalat kedua pada awal waktunya.
Ada pula yang mentakwil hadis ini dengan sakit. Artinya, jamak
boleh dilakukan ketika berada di tempat (tidak musafir) apabila dalam keadaan
sakit. an-Nawawi memilih pendapat ini.
Sebagaian ulama membolehkan jama’ tanpa uzur kalau ada
keperluan penting sepanjang tidak dibiasakan terus menerus. Pendapat ini
dipegang oleh Ibnu Sirin, Asyhab dari mazhab Maliki, al-Qaffal dan as-Syasyi al-Kabiri
dari mahzab Syafi’i, dan segolongan ahli hadis dan ini dipilih oleh Ibnu al-Munzir.
Ibnu mundzir mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk
mentakwil hadis Ibnu Abbas itu dengan uzur tertentu, karena Ibnu Abbas sendiri
menegaskan maksud Rasulullah melakukan yang demikian, yaitu untuk memberikan
kelapangan pada umatnya.
Catatan. Bahwa hadis tentang jamak shalat bukan dalam
perjalanan itu tidak dilakukan dengan qasar, jadi hanya jama’ saja. (Tanya
Jawab Tim Tarjih) Adapun orang sakit, seperti sakit perut atau semisalnya boleh
melakukan jama’, tidak denagn qasar (ringkas). Sebagai pilihan boleh melakukan
shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) diakhir waktu, kemudian kemudian
melakukan shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) di awal waktu. Untuk
menghilangkan kesusahan.
Barang siapa takut akan pingsan, pusing, demam, pada waktu
shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) maka shalat yang kedua itu dimajukan ke
shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib), jama’ taqdiem.
Sebagai kongklusi dari jama’ bagi orang yang sakit itu
sesungguhnya shalat yang dijama’ disebabkan takut akan tidak sadar (hilang akal),
atau apabila jama’ itu lebih menolong dan memudahkan dan waktunya pada shalat
yang pertama atau secara taqdiem. (Fiqh Islam wa Adillatuhu)
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/tata-cara-sholat-jamak-dan-qhasar/
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Hadis di atas sdh di bhs di fase ke 8 , sebagian
keterangannya sbb:
نصب الراية لأحاديث الهداية مع حاشيته بغية الألمعي في
تخريج الزيلعي (2/ 194)
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَّا، وَلَا مِنْهُمْ، بِجَوَازِ
الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ، قَالَ: فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَعْنَى الْجَمْعِ مَا
ذَكَرْنَاهُ مِنْ تَأْخِيرِ الْأُولَى، وَتَعْجِيلِ الْأُخْرَى، قَالَ: وَأَمَّا
عَرَفَةُ، وَجَمْعٌ فَهُمَا مَخْصُوصَانِ بِهَذَا الْحُكْمِ، انْتَهَى كَلَامُهُ.
Intinya: Imam Abdullah bin Yusuf az zaila`i menyatakan tidak
ada ulama dari madzhab Hanafi atau lainnya yg memperkenankan jamak di rumah. Jadi hadis itu menunjukkan
jamak suri .
http://mantankyainu2.blogspot.co.id/2017/12/fase-ke-8-larangan-jamak.html
Sang penulis berkata:
Ada pula yang mentakwil hadis ini dengan sakit. Artinya, jamak
boleh dilakukan ketika berada di tempat (tidak musafir) apabila dalam keadaan
sakit. an-Nawawi memilih pendapat ini”.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jg pernah sakit parah dan beliau jg tdk
menjamak salat , jg tdk memerintahkan sahabatnya untuk jama` salat. Hadisnya
sbb:
مختصر صحيح الإمام البخاري (1/ 216)
[وكانت عائشة تحدِّثُ أن النبي - صلى
الله عليه وسلم - قال بعدما دخل بيتَه، واشْتَدَّ [به 7/ 71] وجعُه: هَريقوا عليَّ
من سبع قِرَبٍ لم تُحلَلْ أَوْكِيَتُهُنَّ، لَعلِّي أعهدُ إلى الناس، وأُجلِسَ في
مِخضب لحفصة زوجَ النبي - صلى الله عليه وسلم -، ثم طفقنا نصُبُّ عليه من تلك
القِرَب حتى طفِق (وفي روايةٍ: جَعَلَ) يشير إلينا أن قد فَعَلْتُنَّ، ثم خرج إلى
الناس] [فصلى لهم، وخطبهم].
Intinya , beliau sakit parah dan masih ttp berjamaah dan tdk
menjamak.
Bila kita menjamak
karena sakit , mk kita tdk punya dalil yg bolehkan jama` karena sakit. Kita
akan kufur pd ayat 103 Nisa` yg menyatakan
salat itu punya waktu sendiri , tdk boleh di jama`.
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا أَكَادُ أُدْرِكُ
الصَّلَاةَ مِمَّا يُطَوِّلُ بِنَا فُلَانٌ فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْ يَوْمِئِذٍ
فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ مُنَفِّرُونَ فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ
فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الْمَرِيضَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ
(BUKHARI - 88) : Dari Abu Al Mas'ud Al Anshari berkata, seorang
sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, aku hampir tidak sanggup shalat yang
dipimpin seseorang dengan bacaannya yang panjang." Maka aku belum pernah
melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi peringatan dengan lebih marah
dari yang disampaikannya hari itu seraya bersabda: "Wahai manusia, kalian
membuat orang lari menjauh. Maka barangsiapa shalat mengimami orang-orang
ringankanlah. Karena diantara mereka ada orang sakit, orang lemah dan orang
yang punya keperluan".
Muttafaq alaih .
Di kalangan sahabat , orang sakit juga ikut berjamaah dan
tdk menjama`, dan tidak ada yg menjama`. Lalu mengambil teladan dari mn orang
yg memperkenankan jama` salat bg orang sakit.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan