Eramuslim.com | Media Islam Rujukan, Secara substansi, siaran televisi di Indonesia perlu dikontrol, tetapi
bukan persoalan halal atau haram. Karena, sejarah ketentuan halal dan haram
adalah proyek uang. Semua produsen makanan dan minuman harus menyetor ke
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pernyataan itu disampaikan pengamat budaya Ratna Sarumpaet kepada itoday (02/8) menanggapi rencana MUI yang akan mengeluarkan sertifikat halal untuk acara atau siaran di layar kaca.
“Secara substansi saya setuju, siaran televisi kita ini perlu ada kontrol, tetapi bukan halal atau haram. Sejarah halal dan haram adalah proyek uang, bukan berarti gratis. Semua produsen makanan dan minuman harus nyetor ke MUI. Selama ini uang halal-haram MUI itu ke mana? Apa pernah kita tahu?” tegas Ratna.
Menurut Ratna, sertifikasi halal bagi acara televisi akan memunculkan blunder, karena saat ini sudah ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Seharusnya KPI berperan. Tetapi KPI tidak berfungsi seperti FPI (Front Pembela Islam). Di mana KPI baru bertindak jika ada masalah. Seharusnya, tidak hanya dilihat dari kesalahan yang terjadi tetapi harus dibuat konsep dan aturan yang jelas,” tegas Ratna.
Kendati mengkritik rencana MUI itu, Ratna mengakui banyak tayangan di televisi yang tidak pantas disiarkan. “Mayoritas isi televisi kita kurang mendidik. Sinetron-sinetron itu juga tidak mendidik. Siaran televisi itu proyek kapitalis. Namun demikian, saya tidak mengatakan saya setuju dengan MUI. Saya hanya punya kepedulian yang sama, hanya saja belum berembug dengan MUI,” tegas Ratna.
Pernyataan itu disampaikan pengamat budaya Ratna Sarumpaet kepada itoday (02/8) menanggapi rencana MUI yang akan mengeluarkan sertifikat halal untuk acara atau siaran di layar kaca.
“Secara substansi saya setuju, siaran televisi kita ini perlu ada kontrol, tetapi bukan halal atau haram. Sejarah halal dan haram adalah proyek uang, bukan berarti gratis. Semua produsen makanan dan minuman harus nyetor ke MUI. Selama ini uang halal-haram MUI itu ke mana? Apa pernah kita tahu?” tegas Ratna.
Menurut Ratna, sertifikasi halal bagi acara televisi akan memunculkan blunder, karena saat ini sudah ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Seharusnya KPI berperan. Tetapi KPI tidak berfungsi seperti FPI (Front Pembela Islam). Di mana KPI baru bertindak jika ada masalah. Seharusnya, tidak hanya dilihat dari kesalahan yang terjadi tetapi harus dibuat konsep dan aturan yang jelas,” tegas Ratna.
Kendati mengkritik rencana MUI itu, Ratna mengakui banyak tayangan di televisi yang tidak pantas disiarkan. “Mayoritas isi televisi kita kurang mendidik. Sinetron-sinetron itu juga tidak mendidik. Siaran televisi itu proyek kapitalis. Namun demikian, saya tidak mengatakan saya setuju dengan MUI. Saya hanya punya kepedulian yang sama, hanya saja belum berembug dengan MUI,” tegas Ratna.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Labelisasi haram atau halal bagi non muslim menyakitkan,
bagi kaum muslimin menyenangkan bahkan di harapkan. Non muslim lebih suka makan
yang di haramkan oleh agama. Dan kaum muslimin
lebih suka makan makanan yang di halalkan dan menghindari makanan yang
di haramkan.
Labelisasi itu seolah mengikat mereka, dan
mendiskriditkan mereka. Ini yang tidak disukai oleh non muslim bukan muslim.
Non muslim itu ingin mengkafirkan kaum muslimin
bukan membikin kaum muslimin tambah mantap imannya, tapi di ajak agar kaum
muslimin juga membenci ajaran agamanya. Lihat ayat ini:
إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً
وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ
تَكْفُرُونَ(2)
Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak
sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.Mumtahanah 2
Baca lagi disini:
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan