Syaikh Muhammad Nawawi bin
‘Umar Al-Bantani (1230-1314) yang digelari Sayyid Ulama Al-Hijaz oleh penduduk
Taimur (Al-A’lam VI/318 karya Az-Zarkali) dan Syaikh ‘Utsman bin
Yahya (…-1333), mufti Batavia, ikut serta memberantas ajaran sufi yang sedang
marak di Syarq Aqsha (Timur Jauh/Indonesia). Keduanya
bersepakat untuk memadamkan ajaran sufi yang tengah marak di Nusantara.
Dalam buku Beberapa
Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke19disebutkan (hlm. 121)
disebutkan, “Ketika seorang Arab dari Batavia di Indonesia –negeri di mana
tarekat tersebar secara sangat luas-, yaitu Sayid Usman bin Yahya, mengirim
suatu brosur yang polemis dan tajam terhadap ‘sistem yang durhaka’ ini supaya
Syekh Nawawi menyetujui isinya, memang ulama Banten ini tidak mau menolak untuk
menyokong posisi Sayid ini dengan beberapa kata yang manis.”
Brosur bantahan Sayyid ‘Utsman bin Yahya tersebut bertajuk An-Nashihat
‘ala Niqat. Di antara kata pengantar terhadap buku ini, Al-Bantani berkata,
“Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan
mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang
benar, maka maqbul; dan jika tiada begitu maka tentulah seperti yang
terjadi banyak di dalam anak-anak murid Syekh Ismail Minangkabau.”
Selanjutnya beliau berkata mengomentari tata cara dzikir
mereka yang aneh dan adanya faktor duniawi dari pimpinan tarekat (baca:
mursyid), “Maka bahwasannya mereka itu bercela akan zikr Allah dengan (…) dan
mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk di dalam tarekat. Mereka
itu hingga, bahwasanya mereka itu mencegah akan ikut bersembahyang padanya dan
bercampur makan padanya dan mereka benci padanya istimewa pada Syekh Ismail itu
hanyasanya mengambil ia akan tarekat itu : asalnya karena kumpul harta buat
bayar segala hutangnya. Maka ia di dalam asal itu mau jual agama
dengan dunia adanya…”
Syekh Isma’il yang disebut Muhammad Nawawi di atas adalah Isma’il
bin ‘Abdullah Al-Minkabawi Al-Jawi Al-Khalidi An-Naqsyabandi. Dia adalah
seorang tokoh tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang berpengaruh di
Minangkabau dan sekitarnya. Dia sendiri memiliki sebuah karangan
tentang tarekat silsilah Naqsyabandiyyah bertajuk Qashidah Nazhm fi
Silsilah Ath-Thariqah An-Naqsyabandiyyah. (Lihat Faidh Al-Malik
Al-Wahhab I/203-204, Al-Mukhtashar min Nasyr An-Nur wa
Az-Zuhar hlm. 131-132, danA’lam Al-Makkiyyin II/931)
Terakhir dalam artikel ringkas ini adalah bantahan dan tahdziran dari
Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif Al-Khathib Al-Minangkabawi (dalam teks Arab
tertulis: Al-Minkabawi), seorang imam, khathib, dan pengajar di Masjidil Haram
asal Minangkabau. Barangkali dari sekian ulama yang mentahdzir dan
‘menelanjangi’ ajaran sufi secara keseluruhan dengan tegas adalah Ahmad
Al-Khathib. Beliau ini terkenal dengan sikap kerasnya dalam memerangi penyakit
TBC (thatayyur,
bid’ah, dan churafat), termasuk dalam hal ini adalah
praktek ajaran sufi yang menjamur di negerinya.
Polemiknya dengan ulama-ulama sufi di negerinya sangat terkenal.
Terlebih polemiknya dengan Muhammad Sa’ad Munqa (1277-1339), Khathib ‘Ali (w.
1353), Sulaiman Ar-Rasuli (w. 1390), dan konco-konconya yang biasa disebut
dengan “kaum tuo” yang sedemikian gigih mempertahankan “jobnya” itu.
Itulah salah satu isi buku saya yg akan terbit tentang gugatan
terhadap ajaran – ajaran Sufi
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan