Sameeh.net -Tulisan ini aku tujukan ke hadapan Yang Mulia Kiyai
Haji Muhammad Idrus RamliHafizahullah. Anggap saja tulisan ini sebagai
“surat cintaku” kepadamu. Bukannya aku tidak mengenal kantor Pos, bukan
pula aku tak punya ongkos, tapi sengaja kutulis surat ini di sini, agar
saudara-saudaraku dan juga saudara-saudaramu dapat membaca surat ini.
Meskipun surat ini kutujukan kepadamu, tapi tidak ada secuil rahasia pun
dalam surat ini.
Idrus Ramli yang dirahmati Allah, sebelum berpanjang kalam, izinkan aku
untuk memperkenalkan diriku padamu. Bukan berarti aku begitu penting
untuk engkau kenal, tapi aku hanya menjalankan firman Tuhanku, bahwa
kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal.
Sama halnya seperti dikau yang tak mengenal diriku, pada hakikatnya aku
pun tidak mengenal dirimu, aku cuma tahu sedikit saja tentang dirimu.
Baiklah, perkenalkan, Aku ini orang Aceh yang lahir di Aceh dan
bernenek-moyang Aceh.
Idrus Ramli yang berbahagia, kemarin (10 September 2015) orang-orang di
“negeriku” telah melaksanakan satu acara yang mereka sebut sebagai
“Parade Ahlussunnah Waljama’ah”. Dalam surat ini, aku tak hendak
mengomentari acara tersebut, tersebab aku tahu bahwa itu adalah hak
mereka sebagai warga negara. Mereka mau buat parade, karnaval, maraton,
jalan santai atau apapun namanya, itu tidaklah menjadi urusanku. Cuma
saja, aku “dengar-dengar”, dikau turut hadir dalam acara itu.
“Sayangku” Idrus Ramli, aku menulis surat ini singkat saja, karena aku
tahu engkau tidak punya cukup waktu untuk berlama-lama membaca surat
ini. Aku sangat paham akan jadwalmu yang “super sibuk”, hari ini engkau
diundang ke Aceh, mungkin besok lusa engkau di undang ke Papua.
Kesibukanmu dapat kumaklumi karena engkau adalah “Singa Aswaja” di Asia
Tenggara, demikian khabaran yang kudengar dari kawan-kawanmu.
Begini Idrus Ramli, dalam acara “parade” itu, aku melihat beberapa
spanduk yang berisikan penolakan terhadap Wahabi, PKI dan Syi’ah.
Seperti aku katakan di atas, itu bukan urusanku, karena spanduk itu
milik mereka dan yang menulis pun mereka. Cuma saja, aku merasa heran
kepada dirimu yang turut memposting foto-foto itu di akunfacebookmu.
Engkau nampaknya sangat setuju dengan tulisan-tulisan itu. Secara tidak
langsung, engkau telah ridha jika Wahabi disederajatkan dengan PKI dan
Syi’ah. Meskipun engkau paham, bahwa Wahabi bukanlah Syi’ah, dan Syi’ah
pun bukan Wahabi. Aku yakin seyakin yakinnya bahwa dikau juga paham
bahwa Wahabi bukanlah PKI, dan PKI bukanlah Wahabi. Tapi engkau terlihat
sangat berbahagia memposting foto-foto itu di facebookmu.
Idrus Ramli yang berbahagia. Soal kedatanganmu ke Aceh, pada prinsipnya
tidaklah menjadi urusanku, karena engkau memakai biayamu sendiri. Aku
juga paham bahwa kedatanganmu bukanlah “murni” kehendakmu, tapi hanya
sekedar memenuhi undangan. Tapi, kemarin engkau pasti telah mendengar
dan membaca di spanduk-spanduk bahwa Wahabi tidak layak hidup di Aceh.
Dalam hal ini, aku melihat keterlibatanmu sudah terlalu jauh. Engkau
telah turut campur dalam urusan rumah tangga kami (Aceh) yang semestinya
bisa terselesaikan tanpa kehadiranmu.
Idrus Ramli yang dimuliakan Allah, terkait kebencianmu terhadap Wahabi,
itu adalah hakmu, tiada yang mampu melarangmu untuk menebar kebencian
terhadap Wahabi. Silahkan dikau membenci Wahabi, tapi lakukan itu di
tanahmu sendiri (Jawa), jangan engkau “tebar kebencian” di tanah kami
(Aceh). Jika pun Wahabi ingin diusir dari Aceh, maka biarlah itu menjadi
urusan masyarakat Aceh, tanpa perlu engkau melibatkan diri.
Idrus Ramli “sayangku”, saat ini kaum muslimin di Papua tengah diuji.
Engkau tentu ingat beberapa waktu lalu mesjid mereka dibakar. Datanglah
ke sana untuk memberi peringatan kepada pihak-pihak yang telah
“mengganggu” saudara-saudara kita. Engkau juga pasti tahu, bahwa kaum
muslimin di Suriah juga hidup dalam kesusahan dan terpaksa mengungsi
menghidari perang akibat kekejaman si Basyar yang telah melampau batas.
Datangilah mereka, bantu mereka, semangati mereka, karena mereka adalah
saudara-saudara kita seiman. Dan yang terpenting, lupakanlah Aceh!
Sebelum aku mengakhiri surat ini, aku pertegas kembali bahwa surat ini
aku tujukan kepada engkau seorang wahai Idrus Ramli “tersayang”, bukan
untuk yang lain. Idrus Ramli “cintaku”, di akhir surat ini, aku berharap
agar engkau tidak lagi “mengusik” kebersamaan kaum muslimin di tanah
kami (Aceh). Biarkan Aceh kami hidup damai. Kami sudah lelah berperang.
Pergilah, pergilah, dan pergilah engkau, pulang ke “negerimu”.
Banda Aceh, 10 September 2015
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan