by Jumal Ahmad
Secara bahasa Murji’ah memiliki arti: Mengakhirkan, sebagaimana dalam firman Allah swt surat al-A’raf ayat 111 kata arjihhu berarti akhirhu,
arti lainnya adalah mengharap, sebagaimana firman Allah swt surat
an-Nisa’ ayat 104 dan surat Nuh ayat 13, selain itu Murji’ah berarti
‘takut’, Al-Azhari menyebutkan perihal kata Raja’ yang mempunyai arti takut yaitu apabila lafadz Raja’ bersama dengan huruf nafi.[1]
Secara Istilah diambil dari arti
bahasanya yaitu mengakhirkan atau meremehkan. Maksudnya adalah
mengakhirkan amal yang berkenaan dengan keimanan dan menempatkannya pada
kedudukan yang kedua dari iman dengan kata lain tidak menganggap amal
bagian dari iman sebagaimana perkataan orang-orang yang mengklaim bahwa
maksiat tidak berpengaruh apapun pada keimanan seseorang begitu pula
ketaatan tidak bermanfaat apapu apabila yang mengerjakannya adala
seseorang yang kafir.[2] Dari sekian banyak pengertian dari Irja’, pengertian inilah yang paling rajih untuk ditempatkan pada zaman sekarang.
Dalam perjalanannya, faham ini memiliki
beberapa tokoh yang sebagaimana disebutkan oleh para ulama adalah
Ghailan, Jahm bin Shafwan, Yunus as-Samari, Abu Tsauban, Husain bin
Muhammad an-Najjar, Muhammad bin Syabib, Bisyr al-Muraisi dan Muhammad
bin Kiram.[3]
Selanjutnya ada pokok-pokok pemikiran dan
aqidah dari faham Murji’ah ini yang secara garis besar dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
- Pengertian Iman adalah hanya meyakini atau mengetahui dalam hati atau ucapan dengan lisan.
- Bahwa amal bukan termasuk dalam hakikat iman dan tidak termasuk bagian dari iman.
- Iman tidak dapat bertambah dan berkurang, karena keyakinan pada sesuatu tidak termasuk di dalamnya penambahan atau pengurangan.
- Maksud kufur kepada Allah adalah dikarenakan ketidaktahuan manusia kepada Allah swt sedangkan iman adalah cukup mengetahui Allah saja.
- Orang yang berbuat dosa besar tidak akan di hukum di dunia, tetapi ia akan dihukum di akhirat nanti.
- Manusia sebagai pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya di akhirat nanti.[4]
Dalam sejarah kemunculannya didapatkan bahwa orang yang pertama kali membicarakan masalah irja’
adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah, beliau meninggal pada tahun
99 H sebagaimana pernyataan dari Ibnu Sa’ad. Dikisahkan bahwa Zadzan
dan Maisarah datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran sebuah
buku yang ia tulis tentang irja’, maka Al-Hasan berkata pada Zadzan,
“Wahai Abu Umar, sungguh aku lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak
menulis buku tersebut”.
Buku yang ditulis oleh Al-Hasan ini
hanyalah irja’ tentang sahabat yang ikut serta dalam fitnah perselisihan
yang terjadi setelah wafatnya Abu Bakar dan Umar. Ibnu Hajar dalam
bukunya yang ia tulis karena terilhami dengan kejadian Al-Hasan yang
berjudul ‘Perkara Irja’ menyebutkan dalam buku tersebut bahwa yang
dimaksud dengan irja’ yang dibawa oleh Al-Hasan adalah irja yang tidak dicela oleh Ahlus Sunnah, yaitu irja yang berkenaan dengan iman.[5]
Faham-faham yang berbahaya dari kelompok Murji’ah
Dalam masalah iman
Secara ringkas bisa digambarkan bahwa
pengertian iman menurut kelompok Murji’ah adalah pembenaran dengan hati
dan pernyataan dengan lisan saja. Mereka tidak memasukkan amal dari
bagian makna iman. Mereka berkata: Iman adalah pembenaran dan
kemaksiatan tidak akan membahayakan iman. Barang siapa yang mengucapkan
kalimat syahadat kami hukumi Islam, tanpa peduli apa yang ia katakan
atau perbuat setelahnya.
Selain itu mereka mengatakan bahwa amal
tidak termasuk dalam syarat iman, dan sebagaimana diketahui bahwa syarat
sah adalah sesuatu yang jika tidak ada akan meniadakan yang disyarati
dan sebaliknya. Maka murji’ah menganggap bahwa seseorang bisa disebut
muslim sekalipun ia tidak pernah beramal karena amal menurut mereka
tidak masuk ke dalam syarat sah tetapi hanya syarat kesempurnaan saja,
sehingga syarat sah iman menurut murji’ah hanya cukup dengan membenarkan
(tashdiq) dalam hati dan lisan.
Konsep murji’ah di atas menyelisihi ijma’
salaf bahwa iman meliputi amal, lisan dan niat, sebagaimana perkataan
Imam Syafi’i dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah bahwa telah menjadi
konsesus atau ijma’ dari sahabat, tabi’in dan setelah mereka bahwa iman
adalah perkataan, amal dan niat yang tidak terpisahkan satu sama dengan
yang lainnya.
Dalam masalah takfir
Ulama salaf berpendapat bahwa seseorang
yang melakukan dosa mukafarah, baik dengan ucapan, perbuatan atau
kedua-duanya, maka ia menjadi kafir akibat ucapannya atau perbuatannya
itu. Salafus shalih tidak mensyaratkan adanya istihlal untuk mengkafirkan pelaku dosa mukaffarah[6]. Apa yang menurut nash kafir, maka salaf pun mengkafirkannya.
Salafus shalih mensyaratkan adanya istihlal[7] pada pelaku dosa ghairu mukaffarah[8]
seperti peminum khamr atau pezina atau pembunuh. Perbuatan dosa di atas
adalah termasuk dosa-dosa besar. Pelunya tidak kafir jika melakukan
salah satu atau beberapa atau semua dosa di atas. Tetapi jika pelakunya
menganggap halal (boleh) melakukan dosa-dosa di atas, maka orang itu
menurut salaf dikafirkan.
Berbeda dengan Murji’ah, mereka menetapkan syarat istihlal
untuk pelaku dosa apa saja, baik dosa mukaffarah atau ghairu
mukaffarah. Mereka tidak mengkafirkan pelaku dosa yang oleh pembuat
syariat dikafirkan.
Pengaruh faham Murji’ah dalam tubuh umat
- Lemahnya kekuatan iman dalam tubuh umat Islam. Hal ini terjadi sebagai akibat dari peremehan terhadap amalan jawarih yang akan berakibat melemahnya iman dalam hati, semuanya pasti mengetahui antara amalan hati dan jawarih terdapat ikatan yang kuat dan antara keduanya saling mempengaruhi.
- Lemahnya kekuatan materi dalam tubuh umat Islam. Hal ini terjadi karena sebab-sebab yang menjadikan umat Islam dapat mengambil manfaatnya telah diremehkan yaitu jihad fi sabilillah, penegakan syariat islam, amar ma’ruf dan nahi mungkar, yang semua ini jika diremehkan bahkan hilang akan membuat umat Islam lemah dari segi materi.
- Lemahnya amar ma’ruf dan nahi mungkar disebabkan peremehan terhadap urgensi amalan jawarih bagi hati dan jiwa.
- Meremahkan usaha penegakan syariat Islam, hal ini terjadi karena penegakan syariat termasuk dalam amalan jawarih dan termasuk buah dari iman dan amalan jawarih hanyalah syarat dari sempurnanya iman saja.
- Membuka pintu peluang bagi orang-orang zindiq dan fasiq untuk menghina Islam, Allah dan Rasul-Nya karena kekufuran amal perbuatan harus didasari penghalalan dahulu (istihlal).
- Lemahnya pemahaman tentang tauhid dari mayoritas manusia, hal ini disebabkan karena dalam faham Murji’ah kalimat tauhid seperti la ila illallah hanyalah pemanis mulut belaka tidak muncul dari hati, sehingga meninggalkan konsekuensi dari kaliamt tauhid yaitu hanya beribadah kepada Allah swt saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan sesembahan selain Allah swt dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw dalam seluruh segi kehidupan.
- Berdekat-dekatan dengan thaghut bahkan mereka menganggap penguasa yang telah merampas hak-hak Allah swt dalam berhukum sebagai ulil amri atau waliyul amri, sekalipun mereka dengan terang-terangan telah merubah hukum Allah swt dengan hukum buatan manusia, hukum positif.
Buku-buku yang kami sarankan untuk dibaca guna pendalaman masalah ini
- Dar’ul fitnah an ahlis sunnah oleh Dr. Bakar bin Abdullah Abu Zaid
- Jawab fil Iman wa Nawaqidhihi oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak
- Asilah wa Ajwibah fil Iman wal kufri oleh Dr. Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi.
- Masailul Iman oleh Dr. Shalih Fauzan
- Al-Jami’ fi thalabi ilmu as-syarif oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz terutama buku ke 7-10
- Mewaspadai Penyimpangan Neo Murji’ah oleh Anung Al Hamat, Lc, Mpd,i
Referensi:
-Iwaji, Ghalib bin Ali; Firaqun Muashirah; Riyadh, Maktabah Leinah, cet I, tahun 1993
-Sa’ad Hamdan, Sarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Riyadh, Dar Thayyibah, cet II tahun 1985
-Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
-DR Zaid bin Muhammad Makki, Maqalatul Firaq jilid II
. Tartibul Qamus al-Muhith: II/313, al-Misbah al-Munir: 84, Firaqun Muashirah: II/745
. Firaqun Muashirah, Ghalib bin Ali Iwaji: II/746
. Syarh Ushul I’tiqad: I/26-28
. Ensiklopedia, Golongan, kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan
Gerakan Islam, Dr. Abdullah Mun’im Al-Hafni, hal.809-810. Firaqun
Muashirah, Ghalib bin Ali Iwaji: II/746
. Sarh Ushul I’tiqad: I/26-27
. yaitu dosa-dosa yang dilakukan karena meninggalkan kewajiban atau
melakukan yang haram dan penetapannya berdasar pada dalil syar’i.
. Istihllal yaitu menjadikan apa yang Allah haramkan menjadi halal atau dengan kata lain mengharamkan apa yang Allah halalkan.
. yaitu dosa-dosa besar yang pelakunya dikenai hukuman had di dunia
atau ancaman di akhirat, dan tidak disebutkan oleh nash tentang
kekafiran pelakunya dan tidak dikenai sanksi murtad, pelakunya tidak
dikafirkan kecuali jika ia menentang atau menghalalkan perbuatan
tersebut.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan