Lanjutan yang lalu
وَقَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي
( اقْتِضَاءِ الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ 2 / 289 - 290 ) : « ذَكَرَهَا طَائِفَةٌ
مِنْ مُتَأَخِّرِي الْفُقَهَاءِ ، عَنْ أَعْرَابِيٍ أَنَّهُ أَتَى قَبْرَ النَّبيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَتَلاَ هَذِهِ اْلآيَةَ ، وَأَنْشَدَ بَيْتَيْنِ :
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِاْلقَاعِ أَعْظُمُهُ... فَطَابَ ِمنْ طِيْبِهِنَّ اْلقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي اْلفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ... فِيْهِ اْلعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَاْلكَرَمُ
وَلِهَذَا اسْتَحَبَّ طَائِفَةٌ مِنْ مُتأخِّرِي اْلفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِي وَأَحْمَدَ ، مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاحْتَجُّوا بِهَذِهِ الْحِكَايَةِ الَّتِي لاَ يَثْبُتُ بِهَا حُكْمٌ شَرْعِيٌّ ، لاَ سِيَمَا فِي مِثْلِ هَذَا اْلأَمْرِ الَّذِي لَوْ كَانَ مَشْرُوْعًا مَنْدُوْبًا ؛ لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ أَعْلَمَ بِهِ وَأَعْمَلَ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ ».
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِاْلقَاعِ أَعْظُمُهُ... فَطَابَ ِمنْ طِيْبِهِنَّ اْلقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي اْلفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ... فِيْهِ اْلعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَاْلكَرَمُ
وَلِهَذَا اسْتَحَبَّ طَائِفَةٌ مِنْ مُتأخِّرِي اْلفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِي وَأَحْمَدَ ، مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاحْتَجُّوا بِهَذِهِ الْحِكَايَةِ الَّتِي لاَ يَثْبُتُ بِهَا حُكْمٌ شَرْعِيٌّ ، لاَ سِيَمَا فِي مِثْلِ هَذَا اْلأَمْرِ الَّذِي لَوْ كَانَ مَشْرُوْعًا مَنْدُوْبًا ؛ لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ أَعْلَمَ بِهِ وَأَعْمَلَ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ ».
Ibnu.
Taimiyyah berkata dalam kitab “Iqtdha’us Shirat al Mustaqim”, “Sebagian
kalangan dari pakar fikih akhir-akhir ini menyebutkan kisah tersebut dari
seorang Arab Badui yang datang ke kuburan Nabi, kemudian membca ayat tersebut
seraya melagukan dua bait:
يَا
خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ فِي الْتُرْبِ أَعْظُمُهُ
فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ اْلقَاعُ وَ اْلأَكَمُ
نَفْسِي
اْلفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ
فِيْهِ اْلعَفَافُ وَ فِيْهِ الْجُوْدُ وَ اْلكَرَمُ
Wahai orang yang terbaik yang
tulang–tulangnya terpendam di bumi,
Lantas, lembah dan tanah undukan
menjadi harum.
Diriku tebusan untuk kuburan yang
engkau berdiam padanya
Di dalamnya kesucian, kedermawanan, dan kemuliaan.[1]
Di dalamnya kesucian, kedermawanan, dan kemuliaan.[1]
وَلِهَذَا اسْتَحَبَّ طَائِفَةٌ مِنْ مُتأخِّرِي
اْلفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِي وَأَحْمَدَ ، مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاحْتَجُّوا
بِهَذِهِ الْحِكَايَةِ الَّتِي لاَ يَثْبُتُ بِهَا حُكْمٌ شَرْعِيٌّ ، لاَ سِيَمَا فِي
مِثْلِ هَذَا اْلأَمْرِ الَّذِي لَوْ
كَانَ مَشْرُوْعًا مَنْدُوْبًا ؛ لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ أَعْلَمَ
بِهِ وَأَعْمَلَ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ ». ».
Maka
dari itu, segolongan dari ahlli fikih pada masa terakhir dari kalangan
pendukung Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyunnahkan demikian. Dan, mereka ber-hujjah
dengan kisah yang tidak bisa dijadikan landasan hukum syara’. Apalagi
dalam masalah seperti ini –yang seandainya telah diyariatkan atau disunnahkan-,
maka para sahabat dan tabi’in terlebih dahulu mengetahui dan terlebih dahulu
mengamalkan daripada yang lainnya.[2]
DR. Sholahuddin
mengatakan bahwa hadits tersebut dijadikan dalil oleh kaum Syi’ah untuk
membolehkan tawasul kepada mayat.[3]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, ”Ini
adalah sanad yang lemah dan gelap, aku tidak mengetahui tentang Ayyub Al Hilali
atau perawi yang sebelumnya.”
Abu Zaid Aaroqosyi dicantumkan oleh Adz Dzahabi dalam
kitab Al Muqtana fii Sardil Kuna 155/2, tetapi tidak disebukan namanya,
dan beliau menyatakan, ”Dia tidak dikenal. Kisah tersebut munkar dan sangat
buruk. Cukuplah, orang Badui tersebut tidak diketahui identitasnya.” Sayangnya,
Ibnu Katsir menyebutnya kemudian disambut baik oleh orang-orang yang
mementingkan diri sendiri, ahli bid’ah, dan mementingkan hawa nafsu.
Imam Shobuni juga menyebutnya dalam kitab Mukhtashor 410/1
Kisah yang terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir
tersebut tidak disandarkan kepada salah satu hadts yang terkenal, tetapi hanya
disandarkan kepada Al Atbi yang tidak dikenal dan tidak ada yang menyebutnya
dalam hikayat ini.
وَهِيَ
حِكَايَةٌ مُسْتَنْكَرَةٌ ، بَلْ بَاطِلَةٌ ، ِلمُخَالَفَتِهَا اْلكِتَابَ
وَالسُّنَّةَ ، وَ لِذَلِكَ يَلْهَجُ بِهَا اْلمُبْتَدِعَةُ ، ِلأَنَّهَا تُجِيْزُ
اْلاِسْتِغَاثَةَ بِالنَّبِي صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَطَلَبَ
الشَّفَاعَةَ مِنْهُ بَعْدَ وَفَاتِهِ ، وَهَذَا مِنْ أَبْطَلِ اْلبَاطِلِ ، كَمَا
هُوَ مَعْلُوْمٌ ، وَقَدْ تَوَلَّى بَيَانَ ذَلِكَ شَيْخُ اِْلإسْلاَمِ ابْنُ
تَيْمِيَّةَ فِي كُتُبِهِ وَ بِخَاصَّةٍ فِي " التَّوَسُّلِ وَاْلوَسِيْلَةِ
" ، وَ قَدْ تَعَرَّضَ لِحِكَايَةِ الْعَتْبِي هَذِهِ بِاْلإِنْكَارِ ،
فَلْيُرَاجِعْهُ مَنْ شَاءَ الْمَزِيْدَ مِنَ اْلمَعْرِفَةِ وَاْلعِلْمِ
Kisah ini
adalah hikayat yang munkar bahkan keliru, karena bertentangan dengan Al Quran
dan hadits, karena itu ahli bid’ah sanat senang dengan adanya hadits tersebut,
sebab di dalam hadits ini menerangkan bolehnya meminta tolong kepada Nabi
Muhammad, meminta manfaat kepadanya setelah beliau wafat. Ini adalah hal yang
amat keliru sebagaimana yang telah kita ketahui. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam kitab-kitabnya, di antaranya dalam kitab Tawassul wal Wasilah
telah menjelaskan tentang hal tersebut, dan beliau mengingkari kisah Al Utbi
ini.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan