🌿
Sore itu seperti biasa, usai sholat asar kami standby di pinggir makam-makam tertentu di Kuburan Baqi' (Madinah Munawwarah). Makam-makam tertentu yang oleh sebagian jamaah haji (peziarah) dikeramatkan. Maaf ya, ini bukan untuk minta-minta kepada isi kuburan tersebut seperti sebagian masyarakat Indonesia di kuburan Ampel, Surabaya (syirik tau...), sebaliknya tugas kami berdiri di sana adalah sebagai Mutarjim (penerjemah) plus dai, menghalau jamaah haji yang tidak sekedar berziarah. Ya, sebagian mereka tidak sekedar berziarah ke Kuburan Baqi' tapi juga untuk minta-minta kepada si empunya makam.
Sore itu seperti biasa, usai sholat asar kami standby di pinggir makam-makam tertentu di Kuburan Baqi' (Madinah Munawwarah). Makam-makam tertentu yang oleh sebagian jamaah haji (peziarah) dikeramatkan. Maaf ya, ini bukan untuk minta-minta kepada isi kuburan tersebut seperti sebagian masyarakat Indonesia di kuburan Ampel, Surabaya (syirik tau...), sebaliknya tugas kami berdiri di sana adalah sebagai Mutarjim (penerjemah) plus dai, menghalau jamaah haji yang tidak sekedar berziarah. Ya, sebagian mereka tidak sekedar berziarah ke Kuburan Baqi' tapi juga untuk minta-minta kepada si empunya makam.
Maklum banyak
jamaah haji yang berziarah tanpa bekal ilmu dan tauhid yang benar, maka
tak aneh jika sebagian mereka ada yang 'menuhankan' isi kuburan.
Berziarah kubur yang seyogyanya sebagai ajang mengingat mati berubah
menjadi tempat meminta rejeki.
Ada yang lain? Ya, selain itu sebagian mereka juga ada mengambil tanah Baqi' dengan alasan masing-masing walau dilarang setengah mati. Caranya pun beragam. Selain dengan terang-terangan, ada yang berpura-pura menjatuhkan pulpen, tasbih, jam tangan lalu mengambilnya sembari memungut tanah. Kalau tanah itu sekedar sebagai kenangan, is okay. Tapi mereka meyakininya sebagai tanah syurga -menurut pengakuan mereka- dan seabreg keyakinan bathil lainnya. Padahal tanah Baqi', tanah gersang, seperti tanah pada umumnya bahkan tanah di negara mereka jauh lebih subur. Jika untuk kenang-kenangan, apa tidak ada yang lebih keren? Ceret aladin misalnya, khas Timur Tengah dll.(sorry ya bukan promosi ceret, he he he). Juga seandainya tanah Baqi' diambil oleh jumlah mereka yang begitu banyak, apa tidak habis? Lantas mau dikubur di mana jenazah yang lain?
Masih ada? Oya ini penting juga. Tidak jarang para Mutarjim menemukan bungkusan plastik yang berisi kacang ijo plus sepotong kertas yang terlipat. Potongan kertas terlipat? Ya, kertas yang bertuliskan nama pasangan seperti yang pernah saya temukan dari manusia berpaspor Indonesia yang sedang membuang plastik berisi dua item di atas. Karena dikira saya orang Turky ( hahaha ), dia main buang saja. Tertangkap tangan dan langsung saya sapa berbahasa Indonesia, ia kaget. Karena penasaran isi kertas itu, tanpa menunggu detik kubuka, eh isinya: Karto vs Suginem semoga berjodoh. Pada kertas lain yang saya temukan: Tanto dan Sari semoga punya anak.
Dengan lembut (cie...), kujelaskan bahwa jodoh di tangan Allah, yang memberi anak, rejeki adalah Allah, kenapa tidak langsung minta kepada-Nya? Apalagi sekarang Bapak di tempat mulia، tanah Haram (Masjid Nabawi, di Raudoh), pada bulan mulia (bulan haji), berdoa kepada Allah, insya Allah mustajab. Mendengar uraian indah nan renyah (cie... emangnya krupuk made in Lombok), ia menganguk-anggukkan kepala.
"Maaf, saya melakukan itu karena pesan dari rumah," katanya coba memberi alasan.
"Kalau pesan untuk mendoakan mereka, bagus," kataku menekankan, "kalau pesan ber-aroma syirik, jangan, bisa-bisa pahala haji Bapak terhapus."
"Matur nuwun, matur nuwun, mas," katanya senang. Jowo dasar, he he
Lalu kacang ijo? di Kuburan Baqi', banyak sekali burung-burung bebas berterbangan. Selain berziarah, banyak jamaah haji menyempatkan diri untuk memberi makan burung-burung itu.Tentu bukan tanpa alasan, selain sebagai kenang-kenangan, ada yang beralasan supaya burung-burung itu menyampaikan hajatnya kepada Allah. Ah, yang benar Wan?! Iya, ini menurut pengakuan mereka. Tanya saja nanti di musim haji akan datang ( he he he ).
Kacang ijo itu, dari peziarah yang jumlahnya di atas 500 orang, kalau masing-masing membawa satu plastik lalu dikumpulkan, lebih dari satu karung setiap hari. Kalau dibuat bubur lalu dijual, wah dapat riyal banyak tuh!
Ini nih pesan yang ditunggu-tunggu terkait judul risalah ini. Seperti yang sudah diatur oleh Ketupat (ketua panitia), setiap Mutarjim memiliki tempat masing-masing. Ada yang di pinggir makam A, B, C, dll. Saya yang kebetulan ditugaskan di makam A, segera mengambil posisi sambil berpayungkan sorban dan payung, maklum takut tambah hitam (he he). Di pinggir makam itu ada beton setinggi setengah meter (bukan batu nisan lho! ). Barangkali sekedar tanda jarak yang hanya dipahami oleh pegawai Baqi'.
Kadang-kadang kalau capek berdiri, saya duduk di atasnya. Suatu ketika karena di posisi saya peziarah agak sepi, saya meninggalkannya sebentar untuk menghalau peziarah yang memungut tanah di tempat yang berjarak kurang lebih lima meter (?) dari tempat saya. Ketika balik ke tempat semula, saya terperanjat. Sosok makhluk Indonesia (orang Indonesia lagi, lagi-lagi orang Indonesia) duduk di atas beton itu sambil menghisap knalpot, eh rokok. Sedikit emosi sih, tapi saya tahan karena ingat pesan Syaikh, tetap lembut dalam situasi apapun karena peziarah umumnya awam.
Siapa yang tidak emosi melihatnya, datang berziarah bukannya untuk ingat mati, mendoakan orang-orang yang ada di kuburan, eh malah merokok. Tapi lumrah sih di Indonesia, jangankan merokok, pacaran pun di atas kuburan. Abis sepi sih, bisa dokter-dokteran (eh kok nglantur). Tapi ini di Saudi, di tanah Haram, di Baqi'!
Saya hampiri pelan-pelan bak mau menangkap burung.
"Astagfirullah... Bapak bukannya ke sini untuk ingat mati, tapi malah merokok. Tolong matikan rokoknya, nanti ketahuan askar (tentara) Bapak bisa ditangkap," tegurku lembut sambil menahan emosi.
Mendengar teguran saya, lebih-lebih kata "askar", ia langsung buru-buru melumat api rokoknya sambil menyembunyikannya.Masih dalam suasana merasa bersalah, ia mengejutkanku dengan pertanyaan yang menggelitik sekaligus langka.
"Kubur Malaikat Jibril alaihissalam di mana ya?"
"Emang Bapak tahu kapan ia meninggal?" jawabku balik bertanya sambil menahan tawa.
"Oo, jadi belum meninggal ya, saya dipesan dari rumah untuk menanyakan kuburnya," jawabnya sambil menahan rasa malu.
"Untuk apa, Pak?"
"Yaa, katanya untuk minta jadi perantara kepada Allah."
"Tidak puas minta-minta kepada kuburan orang-orang saleh, kubur Jibril AS yang dicari," hatiku membatin.
Saya ber-asumsi (semoga tidak tepat), inilah gambaran sebagian besar keyakinan bathil ummat Islam, terutama ummat Islam Indonesia.
💥 Oleh: Marwan Abu Abdil Malik, Lc. حفظه الله تعالى وغفر الله له ولوالديه
dinukil via grup Halaqoh Wirausaha 3 oleh Abu Azam El Anshory
Ada yang lain? Ya, selain itu sebagian mereka juga ada mengambil tanah Baqi' dengan alasan masing-masing walau dilarang setengah mati. Caranya pun beragam. Selain dengan terang-terangan, ada yang berpura-pura menjatuhkan pulpen, tasbih, jam tangan lalu mengambilnya sembari memungut tanah. Kalau tanah itu sekedar sebagai kenangan, is okay. Tapi mereka meyakininya sebagai tanah syurga -menurut pengakuan mereka- dan seabreg keyakinan bathil lainnya. Padahal tanah Baqi', tanah gersang, seperti tanah pada umumnya bahkan tanah di negara mereka jauh lebih subur. Jika untuk kenang-kenangan, apa tidak ada yang lebih keren? Ceret aladin misalnya, khas Timur Tengah dll.(sorry ya bukan promosi ceret, he he he). Juga seandainya tanah Baqi' diambil oleh jumlah mereka yang begitu banyak, apa tidak habis? Lantas mau dikubur di mana jenazah yang lain?
Masih ada? Oya ini penting juga. Tidak jarang para Mutarjim menemukan bungkusan plastik yang berisi kacang ijo plus sepotong kertas yang terlipat. Potongan kertas terlipat? Ya, kertas yang bertuliskan nama pasangan seperti yang pernah saya temukan dari manusia berpaspor Indonesia yang sedang membuang plastik berisi dua item di atas. Karena dikira saya orang Turky ( hahaha ), dia main buang saja. Tertangkap tangan dan langsung saya sapa berbahasa Indonesia, ia kaget. Karena penasaran isi kertas itu, tanpa menunggu detik kubuka, eh isinya: Karto vs Suginem semoga berjodoh. Pada kertas lain yang saya temukan: Tanto dan Sari semoga punya anak.
Dengan lembut (cie...), kujelaskan bahwa jodoh di tangan Allah, yang memberi anak, rejeki adalah Allah, kenapa tidak langsung minta kepada-Nya? Apalagi sekarang Bapak di tempat mulia، tanah Haram (Masjid Nabawi, di Raudoh), pada bulan mulia (bulan haji), berdoa kepada Allah, insya Allah mustajab. Mendengar uraian indah nan renyah (cie... emangnya krupuk made in Lombok), ia menganguk-anggukkan kepala.
"Maaf, saya melakukan itu karena pesan dari rumah," katanya coba memberi alasan.
"Kalau pesan untuk mendoakan mereka, bagus," kataku menekankan, "kalau pesan ber-aroma syirik, jangan, bisa-bisa pahala haji Bapak terhapus."
"Matur nuwun, matur nuwun, mas," katanya senang. Jowo dasar, he he
Lalu kacang ijo? di Kuburan Baqi', banyak sekali burung-burung bebas berterbangan. Selain berziarah, banyak jamaah haji menyempatkan diri untuk memberi makan burung-burung itu.Tentu bukan tanpa alasan, selain sebagai kenang-kenangan, ada yang beralasan supaya burung-burung itu menyampaikan hajatnya kepada Allah. Ah, yang benar Wan?! Iya, ini menurut pengakuan mereka. Tanya saja nanti di musim haji akan datang ( he he he ).
Kacang ijo itu, dari peziarah yang jumlahnya di atas 500 orang, kalau masing-masing membawa satu plastik lalu dikumpulkan, lebih dari satu karung setiap hari. Kalau dibuat bubur lalu dijual, wah dapat riyal banyak tuh!
Ini nih pesan yang ditunggu-tunggu terkait judul risalah ini. Seperti yang sudah diatur oleh Ketupat (ketua panitia), setiap Mutarjim memiliki tempat masing-masing. Ada yang di pinggir makam A, B, C, dll. Saya yang kebetulan ditugaskan di makam A, segera mengambil posisi sambil berpayungkan sorban dan payung, maklum takut tambah hitam (he he). Di pinggir makam itu ada beton setinggi setengah meter (bukan batu nisan lho! ). Barangkali sekedar tanda jarak yang hanya dipahami oleh pegawai Baqi'.
Kadang-kadang kalau capek berdiri, saya duduk di atasnya. Suatu ketika karena di posisi saya peziarah agak sepi, saya meninggalkannya sebentar untuk menghalau peziarah yang memungut tanah di tempat yang berjarak kurang lebih lima meter (?) dari tempat saya. Ketika balik ke tempat semula, saya terperanjat. Sosok makhluk Indonesia (orang Indonesia lagi, lagi-lagi orang Indonesia) duduk di atas beton itu sambil menghisap knalpot, eh rokok. Sedikit emosi sih, tapi saya tahan karena ingat pesan Syaikh, tetap lembut dalam situasi apapun karena peziarah umumnya awam.
Siapa yang tidak emosi melihatnya, datang berziarah bukannya untuk ingat mati, mendoakan orang-orang yang ada di kuburan, eh malah merokok. Tapi lumrah sih di Indonesia, jangankan merokok, pacaran pun di atas kuburan. Abis sepi sih, bisa dokter-dokteran (eh kok nglantur). Tapi ini di Saudi, di tanah Haram, di Baqi'!
Saya hampiri pelan-pelan bak mau menangkap burung.
"Astagfirullah... Bapak bukannya ke sini untuk ingat mati, tapi malah merokok. Tolong matikan rokoknya, nanti ketahuan askar (tentara) Bapak bisa ditangkap," tegurku lembut sambil menahan emosi.
Mendengar teguran saya, lebih-lebih kata "askar", ia langsung buru-buru melumat api rokoknya sambil menyembunyikannya.Masih dalam suasana merasa bersalah, ia mengejutkanku dengan pertanyaan yang menggelitik sekaligus langka.
"Kubur Malaikat Jibril alaihissalam di mana ya?"
"Emang Bapak tahu kapan ia meninggal?" jawabku balik bertanya sambil menahan tawa.
"Oo, jadi belum meninggal ya, saya dipesan dari rumah untuk menanyakan kuburnya," jawabnya sambil menahan rasa malu.
"Untuk apa, Pak?"
"Yaa, katanya untuk minta jadi perantara kepada Allah."
"Tidak puas minta-minta kepada kuburan orang-orang saleh, kubur Jibril AS yang dicari," hatiku membatin.
Saya ber-asumsi (semoga tidak tepat), inilah gambaran sebagian besar keyakinan bathil ummat Islam, terutama ummat Islam Indonesia.
💥 Oleh: Marwan Abu Abdil Malik, Lc. حفظه الله تعالى وغفر الله له ولوالديه
dinukil via grup Halaqoh Wirausaha 3 oleh Abu Azam El Anshory
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan