Bagi kaum Hawa, belanja adalah kebutuhan. Terutama untuk para ibu-ibu yang suka belanja di supermarket lebih baik berhati-hati saja. Bukan menakut-nakuti tapi banyak kejadian ada beberapa pencopet berkerah putih beraksi di tengah-tengah supermarket. Jangan bayangkan mereka ini adalah laki-laki berwajah kotor dan menakutkan. Sebaliknya, mereka ini adalah para perempuan yang berdandan layaknya ibu-ibu secara umum. Bahkan bisa jadi penampilan mereka lebih cantik dan bergaya daripada ibu rumah tangga sebenarnya.
Saya pernah mengalami kejadian ini ketika berbelanja buah di salah satu supermarket di Surabaya. Saat itu suasana cukup ramai. Tapi tidak cukup ramai untuk berdesak-desakan hingga saya sulit bergerak. Di tengah keterdesakan, saya merasa ada tangan yang meraba-raba dan masuk kantong jilbab (baju terusan tanpa potongan seperti jubah) saya. Secepat kilat saya cek kantong itu dan ternyata dompet saya raib! Secara otomatis, saya bereaksi, “Loh, dompetku, dompetku!” dengan suara yang cukup terdengar oleh orang-orang di sekitar saya. Anehnya, pada saat itu juga kerumunan orang yang berdesak-desakan tadi langsung semburat seketika.
Di saat saya masih panik karena dompet raib, seorang ibu dengan nada jengkel berkata, “Itu loh mbak, dompetnya. Belum dicari dulu sudah rame.” Ternyata dompet saya tergeletak dengan pasrah di dekat tanaman plastik agak jauh dari tempat saya berdiri. Terang saja saya menjawab, “Gak mungkin dompet saya bisa jalan sendiri kalo gak ada yang ngambil.”
“Bisa saja kan jatuh dari kantong.”
“Bu, baju saya ini bikinan ibu saya sendiri. Kantong yang dijahit ibu saya cukup dalam bagi sebuah dompet untuk bisa melompat keluar,” jawab saya dengan masih agak gemetar, sedikit jengkel dan agak kaget juga. Tanpa menjawab ibu tadi melengos pergi.
Sepertinya si calon pencopet kaget dengan reaksi saya yang langsung berteriak seperti tadi. Tak mau menanggung resiko pintu keluar diblokir yang nantinya bisa mengakibatkan ia tertangkap basah, sepertinya si pencopet juga sadar bahwa dompet saya tidak senilai dengan perjuangannya. Harap pembaca tahu bahwa bentuk dompet saya itu sering mengecoh banyak orang. Dengan warna hitam yang mengkilat dan body gemuk, orang sering mengira isinya banyak. Padahal seringkali uang di dalamnya tak lebih dari dua puluh ribu rupiah.
Bukan sekali itu saja nasib dompet itu raib dari peraduan si pemiliknya. Sebelumnya si dompet juga pernah jalan-jalan sebentar. Kejadiannya waktu saya baru saja kehilangan sepeda motor di halaman depan kantor padahal baru dua bulan kerja. Karena tak ada motor, jadilah saya kemana-mana naik angkutan kota mikrolet yang kalau di Surabaya disebut bemo. Begitu juga ketika ke kampus (saya sempat bekerja di perusahaan forwarding export import mulai sebelum lulus kuliah hingga akhir tahun 2005).
Pada pagi hari itu saya ada keperluan mengurus skripsi ke kampus Unesa (Universitas Negeri Surabaya) di jalan Lidah Wetan. Saya harus ganti angkot sekitar tiga kali untuk mencapainya. Ketika mau ganti bemo di terminal lama Joyoboyo, ada seorang laki-laki yang berjalan mepet saya. Bahkan saya sempat mendorong punggungnya karena membuat saya tak bisa melangkah sambil mengatakan, “Koyok opo sih, Pak. Wong sik akeh dalan kok nyesek-nyesek.” (bagaimana sih, Pak. Kan masih banyak jalan kok mendesak-desak).
Lalu orang itu pun minggir. Saya melanjutkan langkah sambil tangan saya merogoh ke dalam tas. TAP! Dompet saya raib, sodara-sodara! Saya langsung balik kanan dan menuding orang di belakang saya secara naluri saja, pakai insting karena jujur saya sebetulnya tak yakin siapa yang mengambil dompet itu.
“He Pak, balekno dompetku!” (Pak, kembalikan dompetku).
Sebetulnya saya agak was-was ketika mengatakan demikian karena itu tadi, saya tak yakin siapa yang mengambilnya. Tidak dinyana, bapak tadi malah lari. Keraguan yang semula ada, berubah jadi keyakinan bahwa orang itulah yang telah mengambil dompet dari tas saya.
Karena saya tidak terima harta benda saya diambil sedemikian rupa, saya berusaha mengejarnya. Jadilah adegan kejar-kejaran dengan pencopet di terminal Joyoboyo di pagi hari sekitar pukul 10.00 itu. Kerudung saya yang cukup lebar (umumnya orang menyebutnya jilbab) sempat tersangkut kaca spion bemo-bemo yang berjejer rapi ketika saya berlari. Belum lagi tangan kanan saya memegang tas berisi skripsi yang akan difotokopi, sedangkan tangan yang kiri memegangi tas selempang yang ikut melonjak-lonjak mengikuti irama lari saya.
Benar-benar perjuangan seorang diri di saat makhluk-makhluk bernama manusia menjadi egois dan tak peduli dengan kesusahan orang lain. Sambil berlari itu tak henti-hentinya saya mencoba menggugah hati si pencopet.
“Ya Allah Pak, tolong balekno dompetku. Wis, jupuken duikke wis gak po-po. Tapi surat-surate loh, Pak balekno.” (Ya Allah Pak, tolong kembalikan dompetku. Sudah, ambil saja uangnya gak pa-pa, tapi surat-suratnya, kembalikan).
Kalimat di atas saya ulang-ulang di tengah kejar-kejaran kami. Saya masih berusaha menyentuh hatinya.
“Ya Allah Pak, cik tegone seh” (Ya Allah Pak, betapa teganya sih anda itu.)
Bapak pencopet itu tak bisa berlari cepat karena ia harus zig-zag di sela-sela antrian bemo mikrolet yang berjajar-jajar. Itu menjadi keuntungan tersendiri bagi saya untuk mengejarnya karena bayangan dirinya terlihat melalui kaca jendela bemo-bemo itu. Ternyata yang saya hadapi adalah pencopet agak cerdas, tahu saya begitu gigih mengejarnya, ia langsung membungkukkan badan sehingga bayangan tubuhnya tak lagi bisa saya ikuti.
Saya pun tak kalah cerdas darinya. Tahu tak bisa lagi mengejar karena sosok pencopet itu hilang ditelan puluhan bahkan ratusan bemo, saya keluar dari arena dan lari ke depan dekat para penjual yang berjejer. Di situ lebih lapang dan saya mulai berteriak-teriak lagi.
“Ya Allah, tolong-tolong. Dompet saya diambil orang itu,” sambil kaki saya tanpa sadar menghentak-hentak (kalau kata orang Jawa mancal-mancal) menunjukkan jengkel.
Untuk beberapa saat saya cuma dilihati saja dari kejauhan oleh para sopir bemo and the gank. Akhirnya ada satu orang yang berjalan mendekati saya dan bertanya, “Ono opo Mbak, kok bengok-bengok?” (Ada apa Mbak, kok teriak-teriak?)
“Itu loh Pak, dompet saya diambil sama orang yang tadi.” Oya, karena paniknya saat itu saya kehilangan kosakata ‘copet dan pencopet’ sehingga saya mencari kata padanannya saja.
“Wonge koyok opo?” (seperti apa orangnya?)
“Ya kayak bapak itu,” tanpa sadar saya menunjuk bapak yang bertanya itu yang kebetulan kemeja polos telur asin yang dipakainya sama persis warnanya dengan pencopet tadi. Sepertinya memang itu adalah seragam untuk orang-orang dengan profesi tertentu di sana. Satu demi satu orang-orang berdatangan mengikuti bapak tadi dan mengerubungi saya. Ada ibu yang baik hati penjual makanan kecil menggandeng tangan saya untuk duduk di warungnya.
“Diunjuk rumiyin Mbak, niki.” (Diminum dulu Mbak, ini.)
Sambil diberikannya segelas teh hangat pada saya.
“Matur nuwun Bu.” (terima kasih).
Masih banyak orang yang merubungi saya dan bertanya hal ihwal kejadian tadi. Saya hanya menjawab,” Uang dalam dompet itu untuk membayar biaya kuliah dan skripsi. Ini saya mau ke kampus Unesa di Lidah Wetan. Duitnya masih bias dicari lagi tapi surat-suratnya itu penting sekali.” saya menjelaskan dengan bahasa campur aduk antara Jawa dan Indonesia.
“Oalah, saknone.” (Oh…kasihan).
Tiba-tiba kerumunan itu tersibak dan datanglah seorang bapak laki-laki yang lain sambi berkata,
“Wis Mbak, ojok rame-rame. Iki ta dompete?” (Sudah Mbak, jangan ramai-ramai Ini ya dompetnya?)
“Wah, iya pak iya. Matur nuwun. Alhamdulillah,” seru saya kegirangan.
“Oh…dompete wis mbalik. Gak po-po yo duite ilang sing penting surat-surate utuh.” (Oh…dompetnya sudah kembali. Gak pa-pa yah uangnya hilang yang penting surat-suratnya utuh), kata ibu yang memberi saya teh tadi.
Sebelum sempat menjawab, saya intip isi dompet saya tadi dan menghitungnya sekilas.
“Uangnya ya utuh kok, bu,” kata saya kalem.
Ohh…yo sukur. Banyak suara-suara itu saya dengar dengan berbagai nada. Kenapa banyak nada? Karena saya yakin suara-suara itu campuran antara yang heran, bahagia dengan kembalinya dompet saya, atau bahkan mungkin menyesalkan. Kok bisa dompet yang sudah lepas dari tangan saya dengan tempo waktu yang bisa dibilang tidak sebentar, uangnya bisa kembali utuh? Saya memutuskan untuk jujur mengatakan uang itu utuh karena saya tidak mau ada anggapan pencopet itu telah mengambil uang di saat ia mengembalikannya utuh.
Setelah itu saya tidak berlama-lama lagi duduk di sana. Segera saya berdiri dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke kampus.
“Pinten, bu?” tanya saya ke ibu yang baik hati itu untuk harga teh-nya.
“Mpun, mboten usah.” (Sudah, tidak usah).
Saya lupa berapa harga teh hangat di tahun 2001, mungkin sekitar lima ratus atau enam ratus rupiah. Saya berikan ke ibu itu uang teh yang berlebih, entah seribu atau dua ribu, saya sudah lupa. Agak saya paksakan ke ibu itu yang sepertinya akan menolak pemberian saya.
“Susuke Mbak,” katanya. (kembaliannya Mbak.)
“Sudah bu, mboten nopo-nopo. Matur nuwun.” (sudah bu, tak apa-apa. Terima kasih).
Saya pun melangkah dengan hati gembira dan agak berjingkit-jingkit seperti kebiasaan saya kalau hati lagi riang. Sungguh, tak henti hati saya penuh rasa syukur. Bisa juga ini adalah hikmah ketika selama di perjalanan tadi saya melantunkan ayat kursi berulang-ulang. Salah satu dari banyak ayat favorit saya (bukannya pilih-pilih tapi saya memang cuma hapal sedikit ayat saja ^_^)
Sesampai di rumah sore harinya ketika urusan kampus sudah selesai, saya berbagi cerita dengan ibu dan kakak-kakak saya. Sebelum saya memulai cerita, salah satu kakak saya sudah berkomentar, “Ketemu calon suami cakep yah kok antusias banget gitu.” Tentu saja dengan bahasa Jawa dan sudah saya terjemahkan ke bahasa Indonesia. Huh…kakak-kakak ini masih saja sempat menggoda adiknya yang hampir saja kecopetan.
Usai saya bercerita, kakak saya yang komentar tadi bilang, “Pantas saja dompetmu kembali dengan uangnya utuh. Lha wong kamu menyebut nama Allah berkali-kali kayak gitu. Si pencopet jelas aja grogi.”
Hihi, iya ‘kali. Banyak juga teman-teman yang tahu peristiwa ini juga pada bilang begitu. Bahkan ada teman yang bilang bahwa kejadian ini langka dan ajaib. Yang namanya dompet dicopet belum pernah ada cerita kembali ke pemiliknya utuh apalagi dengan uang yang tidak berkurang serupiah pun. Apalagi di area terminal yang memang seringkali menjadi surga bagi para pencopet.
Saya yakin apa yang dikatakan kakak saya maupun teman saya benar adanya. Bisa jadi dompet itu tak akan kembali terlebih uangnya bila kata-kata yang keluar dari mulut saya berbeda. Padahal umumnya orang akan lebih cenderung mengumpat bila kaget dan jengkel atau berada dalam kondisi saya di atas. Alhamdulillah, kosakata umpatan, cacian, makian apalagi kata-kata kotor tidak tersedia dalam bentuk refleks dalam benak saya. Apakah itu artinya kata-kata makian ada dalam benak saya? Tentu saja!
Surabaya terkenal dengan kata-kata kasar dan makian, hampir semua orang tahu itu. Jadi mustahil saya tak mempunyai persediaan kata-kata itu dalam memory saya. Apalagi saya kuliah di jurusan bahasa dan sastra yang di salah satu mata kuliahnya adalah menyingkap perilaku berbahasa secara sosial. Jadi contoh-contoh kata umpatan, makian dan cacian baik itu yang karena marah atau senang ada semua dalam buku dan file benak saya. Tapi gerak refleks apabila saya berada dalam kondisi terdesak seperti di atas, kata-kata itu tadi menguap. Sebagai gantinya, lidah dan otak saya langsung penuh dengan kata-kata sebaliknya.
Bagaimana pun saya yakin, sejahat apa pun perilaku orang terhadap kita, tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan doa dan kata-kata terpilih untuk menyentuh hatinya. Dan menurut saya asma Allah adalah satu-satunya senjata ampuh untuk menyentuh hati siapa pun juga. Siapa tahu, pencopet itu saat ini sudah insaf setelah kejadian kejar-kejaran di pagi hari yang panas itu. Yah…mari kita doakan saja ^_^
(riafariana/voa-islam.id)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan