KIBLAT.NET — Menyusul somasi sekelompok orang pendukung LGBT ke
Harian Umum Republika, Dubes AS untuk Indonesia, Robert O Blake
mengunjungi kantor harian tersebut. Dalam “ceramahnya,” Blake
menceritakan demokrasi di AS memandang kaum LGBT sebagai kelompok
minoritas yang penting. Karenanya, sekarang, pasangan sesama jenis bisa
menikah, memiliki anak, dan memiliki kesetaraan hukum dan hak.
Sulit melepas keterkaitan kunjungan Blake ini dengan geliat penganut dan pengusung LGBT akhir-akhir ini. Apalagi perusahaan Amerika seperti Facebook dan Nike tidak kenal ampun terhadap siapapun yang menyerang LGBT.
Bahkan, belakangan diketahui bahwa UNDP, lembaga PBB bidang pengembangan program telah mengucurkan dana Rp108 milyar untuk mendukung kampanye LGBT di Indonesia dan tiga negara lainnya di Asia. Semua tahu, dari sejak didirikan hingga hari ini, PBB adalah duplikasi dari wajah Amerika.
Kasus LGBT ini semakin membuka lebar tabir campur tangan asing dalam tata kelola dan kehidupan bernegara di negeri kita. Skandal Freeport, zona perdagangan bebas, bahkan campur tangan asing dalam pembuatan regulasi dan undang-undang di negera kita. Jangan ditanya lagi intervensi dalam penanganan (apa yang disebut) radikalisme yang digembar-gemborkan akhir-akhir ini.
Pada 24 Desember 2015 lalu, PBB merilis Plan of Action to Prevent Violent Extrimism (PVE). Sebuah panduan yang mewajibkan negara-negara di bawah PBB untuk serius menangani kasus ekstrimisme. Diksi yang dipakai bukan lagi teroris yang menyasar ke kelompok khusus. Tetapi ekstrimis, yang definisi dan cakupannya lebih luas ketimbang teroris.
PVE tersebut, selain memuat analisis tentang berbagai hal yang dianggap memicu terjadinya ekstrimisme, juga merumuskan langkah-langkah strategis dan menyeluruh. Misalnya tentang penguatan fungsi pemerintah, regulasi undang-undang dan sorotan terhadap pendidikan serta peranan wanita dalam tumbuh kembang radikalisme.
Istilah Foreign Fighter yang sebelumnya dipakai untuk pejuang asing yang datang ke Suriah melawan Bashar Asad, sekarang diganti Foreign Terrorist Fighter.
Definisi kombatan—yang tidak dilindung dalam undang-undang perang—pun diubah. Yang disebut kombatan dan boleh dibunuh serta diperlakukan sewenang-wenang adalah: setiap orang dewasa yang berada di wilayah konflik. Maka, dokter, relawan kemanusiaan dan wartawan pun otomatis dianggap sebagai kombatan.
Munculnya PVE PBB ini memang membuat kita mengelus dada. Namun di sisi lain, menggambarkan kebulatan tekad seluruh dunia untuk melawan ajaran Islam, dan membuat aktivisnya mikir-mikir lagi. Mengingatkan kita akan kisah dalam Al-Qur’an tentang sekelompok orang yang menakut-nakuti kaum beriman, bahwa seluruh dunia sudah bersekutu hendak membabat mereka (Ali Imran: 174).
Kehadiran PVE PBB ini membuat kita akhirnya mudah memahami, kenapa aksi teror Sarinah yang tak jelas maksud dan sasarannya, bisa terjadi. Kita pun paham, mengapa tak lama setelah itu muncul rencana revisi UU Antiterorisme, dan akhirnya pundi-pundi Densus 88 pun tiba-tiba menggelembung hingga Rp1,9 trilyun!
PVE juga membuat kita mengerti, mengapa sekadar buku ajar tulis yang memuat kata-kata jihad, harus dibredel. Juga, kenapa tiba-tiba BNPT menyebut 19 pondok pesantren terindikasi gerakan radikal. Sebab, dunia pendidikan menjadi sorotan utama dalam PVE tersebut, selain faktor-faktor lainnya.
Akhirnya, kita pantas berterimakasih kepada PBB yang telah membuat peta yang selama ini ruwet, menjadi gamblang. Termasuk menyibak kepentingan proyek dan uang pihak-pihak tertentu yang berlindung di balik topeng nasionalisme, namun membebek begitu saja apa yang didiktekan bangsa asing bernama PBB dan Amerika.
Kita pun tersadar, bangun dari mimpi dan harapan. Mimpi tentang sokongan PBB dan Amerika dalam soal ekonomi dan keamanan yang (katanya) akan membawa arah hidup berbangsa lebih baik. Namun pupus seketika, manakala genderang perang terhadap moral dan fitrah manusia ditabuh, demi membela kaum Sodom.
Sulit melepas keterkaitan kunjungan Blake ini dengan geliat penganut dan pengusung LGBT akhir-akhir ini. Apalagi perusahaan Amerika seperti Facebook dan Nike tidak kenal ampun terhadap siapapun yang menyerang LGBT.
Bahkan, belakangan diketahui bahwa UNDP, lembaga PBB bidang pengembangan program telah mengucurkan dana Rp108 milyar untuk mendukung kampanye LGBT di Indonesia dan tiga negara lainnya di Asia. Semua tahu, dari sejak didirikan hingga hari ini, PBB adalah duplikasi dari wajah Amerika.
Kasus LGBT ini semakin membuka lebar tabir campur tangan asing dalam tata kelola dan kehidupan bernegara di negeri kita. Skandal Freeport, zona perdagangan bebas, bahkan campur tangan asing dalam pembuatan regulasi dan undang-undang di negera kita. Jangan ditanya lagi intervensi dalam penanganan (apa yang disebut) radikalisme yang digembar-gemborkan akhir-akhir ini.
Pada 24 Desember 2015 lalu, PBB merilis Plan of Action to Prevent Violent Extrimism (PVE). Sebuah panduan yang mewajibkan negara-negara di bawah PBB untuk serius menangani kasus ekstrimisme. Diksi yang dipakai bukan lagi teroris yang menyasar ke kelompok khusus. Tetapi ekstrimis, yang definisi dan cakupannya lebih luas ketimbang teroris.
PVE tersebut, selain memuat analisis tentang berbagai hal yang dianggap memicu terjadinya ekstrimisme, juga merumuskan langkah-langkah strategis dan menyeluruh. Misalnya tentang penguatan fungsi pemerintah, regulasi undang-undang dan sorotan terhadap pendidikan serta peranan wanita dalam tumbuh kembang radikalisme.
Istilah Foreign Fighter yang sebelumnya dipakai untuk pejuang asing yang datang ke Suriah melawan Bashar Asad, sekarang diganti Foreign Terrorist Fighter.
Definisi kombatan—yang tidak dilindung dalam undang-undang perang—pun diubah. Yang disebut kombatan dan boleh dibunuh serta diperlakukan sewenang-wenang adalah: setiap orang dewasa yang berada di wilayah konflik. Maka, dokter, relawan kemanusiaan dan wartawan pun otomatis dianggap sebagai kombatan.
Munculnya PVE PBB ini memang membuat kita mengelus dada. Namun di sisi lain, menggambarkan kebulatan tekad seluruh dunia untuk melawan ajaran Islam, dan membuat aktivisnya mikir-mikir lagi. Mengingatkan kita akan kisah dalam Al-Qur’an tentang sekelompok orang yang menakut-nakuti kaum beriman, bahwa seluruh dunia sudah bersekutu hendak membabat mereka (Ali Imran: 174).
Kehadiran PVE PBB ini membuat kita akhirnya mudah memahami, kenapa aksi teror Sarinah yang tak jelas maksud dan sasarannya, bisa terjadi. Kita pun paham, mengapa tak lama setelah itu muncul rencana revisi UU Antiterorisme, dan akhirnya pundi-pundi Densus 88 pun tiba-tiba menggelembung hingga Rp1,9 trilyun!
PVE juga membuat kita mengerti, mengapa sekadar buku ajar tulis yang memuat kata-kata jihad, harus dibredel. Juga, kenapa tiba-tiba BNPT menyebut 19 pondok pesantren terindikasi gerakan radikal. Sebab, dunia pendidikan menjadi sorotan utama dalam PVE tersebut, selain faktor-faktor lainnya.
Akhirnya, kita pantas berterimakasih kepada PBB yang telah membuat peta yang selama ini ruwet, menjadi gamblang. Termasuk menyibak kepentingan proyek dan uang pihak-pihak tertentu yang berlindung di balik topeng nasionalisme, namun membebek begitu saja apa yang didiktekan bangsa asing bernama PBB dan Amerika.
Kita pun tersadar, bangun dari mimpi dan harapan. Mimpi tentang sokongan PBB dan Amerika dalam soal ekonomi dan keamanan yang (katanya) akan membawa arah hidup berbangsa lebih baik. Namun pupus seketika, manakala genderang perang terhadap moral dan fitrah manusia ditabuh, demi membela kaum Sodom.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan