Nama
beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang
pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah
muhadits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru
kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh
Najati al-Arnauth[1]
al-Albani –rahimahullahu-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan
dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh
beliau sebagai muhadits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak
lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang
pendusta.
Para pembaca yang budiman…
Dalam perjalanannya menuntut ilmu, al-Albani belajar
beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama
bermazhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh al-Albani
mengkhatamkan al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah
tentang Syaikh Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh
al-Muhadits Abdul Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa
Syaikh Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak
dari Syaikh al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah
ulama sembarangan, beliau temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab
Hanafi baik di negerinya maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid
Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang
menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan
tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai
muhadits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang bolong.
Bahkan al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal
mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Qs.
Ath-Thuur 21).
Ayah Syaikh al-Albani hijrah dari Albania untuk
menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari cengkraman penguasa jahat,
maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang
benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni
penolong as-Sunnah (ad-Din).
Para pembaca yang budiman…
Pada tahun-tahun berikutnya, al-Albani muda sudah
giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/
1967 M) seorang ulama Syam yang bermazhab Hanafi yang sekaligus menjadi
imam mesjid Bani Umayyah, Damaskus.[2]
Syaikh al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil
Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu
dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam
berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, al-Albani bukanlah
orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada
satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh al-Albani itu
dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.
Suatu ketika Syaikh al-Albani muda pernah membaca
dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang
terletak di Masjid Bani Ummayah yang kesimpulan pembahasannya sampai
pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan. Syaikh
al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu
kepada Syaikh Sa’id al-Burhani. Syaikh Sa’id lalu berkata kepadanya,
“Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan
ini”. Syaikh al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam
tiga atau empat halaman kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata
kepadaku, “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fitri”. Saat itu
kami berada pada bulan Ramadhan. Ketika tiba waktunya, kudatangi
beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua yang engkau tulis ini
tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu bukanlah sandaran
bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku tidak mengerti makna
ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi
seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab
madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya
Mulla Ali Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta
nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama persis seperti
sikap ayahku”.
Kejumudan yang melanda manusia dizaman itu yang
menjadi salah satu pendorong baginya untuk mempelajari sunnah lebih
dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang
diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka
seperti Syaikh al-Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir
pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat
al-Baithar (w. 1396 H) [3]
–keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah
Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang
diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat
keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi
banyak ulama seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di dan lainnya, termasuk pula al-Imam al-Albani.
Adakah al-Albani Memiliki Sanad?
Tidak sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau
adalah muhadits tanpa sanad, karena sebenarnya Syaikh al-Albani
rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4]
dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi
rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di
zamannya.[5]
Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan
sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga
merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah
ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd
ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh
berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika
sebelum orang-orang barat.[6]
Syaikh at-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh
al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “al-Anwar al-Jaliyah fi
Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan beliau
sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh al-Albani
rahimahullahu.[7]
Seorang mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim
al-‘Anqori hafizahullahu, menuturkan bahwa Syaikh Zuhair asy-Syawisy
rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung
pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu
terjadi ditahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh
al-Albani sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254),
setelah menyebutkan hadits Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu,
وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله
”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk
riwayat hadits musalsal ini Syaikh al-Fadhil Raghib at-Thabakh
rahimahullahu…”.
Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8],
satu diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin
Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan
dari setidaknya tiga Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu
al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein
bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhadits
ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat
al-Atsbat asy-Syahirah” .
Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini.
Silsilah Sanad al-Albani
Berikut diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh
al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan tersambung sampai kepada
Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab,
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu sampai
kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
Syaikh al-Albani meriwayatkan dari Syaikh Muhammad
Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk semua riwayat, yang
meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad
Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhadits as-Salafi Syaikh
Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari al-Allamah
al-Mujadid ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir Ath-Taghlabi[10].
Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad
Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin
Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad Nashr al-Hajimi
dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang
kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.
Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad
Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein
Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhadits ad-Dihlawi,
dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi, dari
Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]
Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan
Syaikh Waliyullah Muhadits ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu
Thahir al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]
Syaikh Abdulqadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh
Ibrahim al-Kurani meriwayatkan dari Abdul Baqi bin Abdul Baqi
Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa
bin Ahmad Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad
al-Maqdisi, dari Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin al-Mardawi
–penulis al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn
al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah
dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya al-Imam
Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi
al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari
al-Imam Abi al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi
Ya’la Ibn al-Fara’ dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari
al-Imam Abu Bakar Abdul Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]
Murid Beliau dalam Riwayah
Sangat ramai murid al-Albani dari berbagai negeri,
namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan
Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau
rahimahullahu berkata,
أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب
“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]
Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini:
هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين
“Ijazah tersebut tidak menarik perhatianku sedikit
pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang
dengki”.[16]
Diantara yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan
dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu
Al-Allamah al-Muhadits Muhammad Amin Bu Khubzah al-Hasani ath-Tathawani
hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]
Dikisahkan kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara
bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani
rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru kami, al-Musnid Muhammad
Ziyad Umar Tuklah[18] hafizahullahu:
Pertama, Beliau meriwayatkan dari Syaikh
Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau
rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:
1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
2. Shalat Tarawih Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
3. Shalat Ied fil Mushaliy
4. Tasdid al-Ishabah
5. Fahrisat Kitab al-Hadits bil Dhahiriyah
6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]
Photo 5 : Munawalah al-Albani kepada Syaikh Muhammad Bu Khubzah, lalu ijazah Bu Khubzah kepada Syaikh al-Hadutsi.
Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh
Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip dari kitab Sunan
Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di Tathawan,
Maghrib.
Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah,
استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه
“Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada
Imam al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam al-Albani berkata
kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku jika kamu
mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan
saya sangat ingin dan menyenanginya”.
Perkataan singkat dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala.
Maka, dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat,
dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh
Al-Albani rahimahullahu.
Diantara yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari
Imam al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna al-Musnid Musa’ad bin
Basyir as-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal
dengan Haji As-Sadirah.[20]
Berkata Syaikhuna at-Tuklah dalam Tsabat
al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad halaman 159,
“Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad al-Basyir berkali-kali,
sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun
1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Bana di Jeddah. Dan
Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah
kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata kepadaku dengan singkat,
أجزتك عن شيخي راغب الطباخ
“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,
Dan beliau (Syaikh al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.
Berkata Syaikhuna Abu al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21],
“Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib
ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah
ammah”.
Syaikhuna Abu Hajaj al-Alawi mengatakan bahwa
terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari al-Albani,
diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain,
telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian
kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i yang mana syaikh telah
memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh ar-Rifa’i kepada Syaikh
Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh
Al-Albani”.[22]
Tidak diketahui secara pasti periwayatan melalui
ijazah ammah bagi Syaikh al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb
Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah
riwayat Syaikh al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi
ahli riwayah zaman ini. Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah
saja, tapi menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda
dengan zaman sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan
guru riwayah namun tidak menghasilkan satu juz pun karya yang
berkualitas.
Disini letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh
salah satu murid al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu
al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm
Khalaf hal 58,
فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل
“Ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan
perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam
hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang
haq dengan yang batil..”. Selesai. [as-Surianji]
[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.
[2]
Beliau adalah Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id
al-Burhani ad-Dagistani al-Hanafi (1311 – 1386 H). Leluhurnya adalah
pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus,
adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk
ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya
karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani
ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin
al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan
Syaikh Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu
guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang
meriwayatkan secara langsung dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah,
dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain
an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.
[3]
Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh
Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini
benar, maka riwayat Syaikh al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin
al-Qasimi, karena Syaikh al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin
al-Qasimi.
[4]
Syaikh al-Faqih Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan
dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa
diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan
mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”.
Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan
berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.
[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.
[6] Hal. 40.
[7] Ulama wa Mufakkirun ‘araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).
[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.
[9]
Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada
kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah
Syaikh Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya
tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!.
Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh
Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah
mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad
Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin
Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru
Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.
[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.
[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.
[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.
[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.
[14] Lihat Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.
[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.
[17]
Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari,
Syaikh Abdul Hay al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi,
Syaikh Thahir bin Asyhur al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam
ijazahnya kepadaku.
[18]
Syaikh at-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih),
sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca
kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau
beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.
[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[20]
Selain dari al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh
Umar al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh
Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh
Yasin al-Fadani, dan lainnya.
[21]
Syaikh Abu al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar
150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan
kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits”
yang dikelola oleh saya sendiri.
sumber : http://as-surianji.blogspot.co.id/2014/11/imam-al-albani-muhadits-tanpa-guru-dan.html
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan