Satu hari, rekan-rekan di Lembaga Amil
Zakat Tabung Amanah Umat (Laz Tamu) turun tangan mengurus jenazah di
kawasan Tanjung Priuk. Hanya saja, mayat itu beda dari biasanya. Dua bidang
dadanya menonjol, seperti payudara wanita. Padahal, kemaluannya jelas
laki-laki.
"Dia ini
banci, Pak. Dadanya pakai silikon."
Sebelum
dimandikan, petugas Laz Tamu sedikit kerepotan. Tak mungkin ia dikuburkan dalam
kondisi dada disempal silikon. Sama halnya dengan feses (tinja), silikon itu
pun harus disingkirkan.
Pelan-pelan, dada
si mayit dipencet. Sedikit demi sedikit, cairan yang juga dikenal untuk
kebutuhan industri itu merayap keluar. Zatnya bercampur darah dan nanah. Yang
anehnya terus-menerus mengalir, seolah tak mau berhenti.
"Astaghfirullah.
Kenapa bisa begini?"
Kisah sedih tidak
sekali terjadi pada jenazah LGBT. Seolah ada i'tibar yang Allah beri.
Berulang-ulang. Sampai hari ini.
Masih ingat kisah
Adesagi Kierana? Perancang busana para artis itu dicabut nyawanya di kamar
mandi. Dalam kondisi bugil. Bersama pasangan prianya. Menurut polisi, keduanya
keracunan gas pemanas air yang mengandung karbon monoksida. Saat keduanya
sedang berbuat dosa, mereka menghirup racun di udara. Kehabisan oksigen. Lemas.
Pingsan. Mati dengan kulit bintik-bintik merah. Kuku-kuku menghitam.
Jangan lupa juga
kisah waria Mayang yang meninggal di tangan pasangannya sendiri, Marcus Peter
Volke. Bukan hanya memotong-motong tubuh, Volke memanggang Mayang di oven.
Lanjut merebusnya di panci karena terkendala aliran listrik. Sedangkan
potongan-potongan tubuh lain dimasukkan begitu saja ke dalam kantong plastik.
Sebelum polisi
meringkusnya, Volke kabur lewat balkon. Pikirannya kalut, seperti orang gila.
Tak tahan lagi, Volke menggorok lehernya sendiri. Mayatnya ditemukan di gerobak
sampah, di jalan sebelah komplek apartemennya.
Kawan, setiap
orang pasti meninggal. Persoalannya bukan kapan, tapi bagaimana kondisi kita
saat ajal tiba.
"Setiap yang
hidup akan merasakan mati, dan Kami mengujimu dengan keburukan dan kesenangan
sebagai cobaan; dan kepada Kamilah engkau akan kembali" (Q.S. al-Anbiya:
35).
LGBT perlu sampai
pada renungan ini. Bahwa kebahagiaan yang mereka kejar di dunia dapat terhenti
kapan saja.
Pertanyaannya:
Apakah mereka
benar-benar ingin meninggal dalam keadaan menuruti hawa nafsu? Inikah kematian
yang mereka idam-idamkan? Apakah kenikmatan yang mereka buru itu lebih besar
dibanding kengerian saat Izrail datang?
"Kematian
yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar
kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta
bagian kain sutera yang tersobek?" (H.R. Bukhari)
Hidup hanya
sebentar. Ujian cuma sementara. Setelah itu akhirat yang panjang, tanpa akhir,
tak berkesudahan.
Amatlah sedih jika
untuk tersenyum sejenak, harus menerima konsekuensi sengsara. Lalu, atas nama
apa, kecenderungan itu harus dibela mati-matian?
Jangan hanya ingat
hidup, tapi juga ingat mati. Ingat neraka. Ingat Allah 'Azza wa Jalla.
Yuk, tobat nasuha.
Istighfar dari hati. Minta ampun atas semua salah selama ini. Jangan ditunda
lagi. Jangan putus asa. Karena dosa sebesar apa pun, bisa dihapus dari kitab
catatan.
Jangankan LGBT,
pembunuh 100 jiwa pun dapat Allah masukkan ke dalam surga. Itu karena ia
memutuskan hijrah sebelum meninggal dunia. Padahal saat itu dia belum lagi
ibadah. Baru dalam perjalanan menemui orang yang bisa membimbingnya ke jalan
terang.
Insya Allah, harus
optimis. Insya Allah, pasti bisa. Semoga Allah menyertai kalian. Niat baik
kalian. Dan melepaskan kalian dari belenggu-belenggu syaithan.
Aamiin. Allahumma
aamiin! (riafariana/voa-islam.com)
Sumber: FP/FB Asa Mulchias (Share kisah
dari rekan-rekan di Lembaga Amil Zakat Tabung Amanah Umat (Laz Tamu)).
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan