FAKTAMEDIA.NET - Wawancara MetroTV dengan kandidat calon Gubernur DKI Jakarta Yusril Ihza Mahendra.
Motivasi Anda maju di Pilkada DKI 2017?
Saya kira sudah terlalu banyak dibuat di media, jangan diulang-ulang. Saya malas jawab, pertanyaan yang lain saja.
Apa persiapan Anda menuju Pilgub DKI 2017?
Kalau sekarang sedang persiapan untuk dukungan dari partai politik dan rakyat. Pembicaraan dengan partai sudah dilakukan sangat intensif. Finalnya dicapai pada Mei dan Juni.
Selain itu, tim juga terus mendekati rakyat, sehingga nanti yang mengajukan partai, tapi juga mendapat dukungan dari rakyat, seperti perseorangan tapi yang dipakai tetap dari partai.
Memang mekanisme itu memungkinkan?
Undang-undang memungkinkan hal itu. UU mengenal dua cara, melalui parpol dengan jumlah presentase kursi di DPRD atau melalui kelompok sebagai calon perseorangan. Jadi, praktiknya bisa diajukan sebagai calon perseorangan tapi didukung oleh partai, bisa juga dicalonkan oleh partai tapi didukung oleh rakyat secara langsung.
Parpol mana yang sudah diajak atau mengajak komunikasi?
Saya sudah komunikasi dengan banyak partai, dengan PPP, PKB, PAN, PKS, dan Golkar. Dengan Gerindra juga.
Hasilnya?
Semua partai itu prinsipnya sama, mereka mau mendukung yang paling tinggi elektabilitasnya. Itu biasalah, kecuali incumbent. Biasa pula satu partai mendukung incumbent jauh sebelum proses pemetaan.
Partai mana yang sudah memberikan sinyal positif?
Saya pikir semua positif. Semua akan mengambil keputusan tepat pada waktunya dan karena saya di posisi penantang. Ingat, saat pilpres, pilgub, partai menentukan sikap melalui satu proses tahapan atau melalui pengurus partai di daerah. Itu agak memakan waktu.
PDIP bisa memudahkan Anda, karena mereka tak harus repot-repot berkoalisi untuk menyorongkan calon, apakah Anda sudah berkomunikasi dengan PDIP?
Ada, ada komunikasi, terutama setelah petahana menyatakan akan menggunakan jalur independen. PDIP kemudian akan melakukan perlawanan, istilahnya tuh deparpolisasi.
Kita terus berkomunikasi dengan PDIP. Apakah PDIP akan mengajukan calon sendiri atau mendukung calon dari luar, itu sangat mungkin terjadi. Bahkan PDIP balik mendukung petahana pun bisa terjadi.
Bagaimana respon Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri?
Belum ada keputusan. Saya kira semua partai akan sama.
(Yusril mengambil formulir pendaftaran penjaringan cagub dari PDIP pada 7 April 2016. Esok harinya dia juga mendaftar ke Partai Gerindra)
Itu tadi dari jalur parpol. Bagaimana persiapan Anda di jalur independen, apalagi saingannya banyak?
Ya enggak apa-apa (banyak calon independen). Biarkan saja. Menurut pandangan saya positif. Nanti kan lama-lama mengerucut juga. Kalau sudah Juni kan bisa dipastikan siapa yang maju, siapa yang tidak jadi.
Bagaimana cara tim Anda menjaring dukungan rakyat?
Itu berjalan. Tim yang mengerjakan jumlahnya banyak sekali, tersebar di mana-mana. Nanti, setelah satu bulan, kita evaluasi apa yang didapat.
Konkretnya, sudah berapa KTP yang terkumpul untuk Anda?
Saya tidak tahu, nanti tanya pada tim yang menangani masalah itu.
Anda pernah mengeritik Ahok karena tidak mencantumkan nama wakil dalam formulir independen, apakah Anda sudah menentukan nama cawagub?
Itu sebenarnya bisa diatasi. Ada satu form tersendiri yang ditandatangani mereka yang mendukung cagub. Isinya, `siapa pun wakil yang diajukan cagub yang saya dukung, saya setuju`. Kalau dia (Ahok-Red.) sudah tandatangani, masalah selesai.
Dan itu sudah kita konsultasikan dengan Komisi Pemilihan Umum. Jadi, kalau seperti Ahok itu, ya dia harus mengulang. Ada dua kemungkinan, pertama dia menyodorkan wakilnya; kedua, dia mengulang dengan cara yang tadi saya sebutkan. Ternyata, dia memilih menyebutkan wakilnya. Ya itu pilihan dia.
Anda pernah tiga kali jadi menteri, pernah dicalonkan sebagai presiden, lantas kini mengincar kursi gubernur. Apakah itu bukan sebuah kemunduran karier politik Anda?
Saya dicalonkan jadi presiden sebelum jadi menteri pada 1999. Waktu itu pemilihan masih dilakukan oleh MPR.
Di benak Anda, sudah adakah calon wakil yang pas buat Anda?
Belum. Biar saja keadaan ini berkembang. Bagi saya bekerja sama dengan siapa pun tidak masalah. Saya sudah biasa bekerja sama dengan orang yang berbeda-beda dalam satu tim.
Dahulu, misalnya, dalam kabinet di bawah (Presiden) Megawati (Soekarnoputri), saya bisa bekerja sangat erat sekali dengan pak Kwik Kian Gie. Padahal, secara partai, berbeda, agama beda, politik beda, tapi dalam menangani persoalan bersama kita bisa bekerja sama dengan siapa saja. Saya ini mewarisi tradisi politik Masyumi, garisnya tetap. Dia tidak bisa bekerja sama dengan orang komunis, ya yang lain bisa.
Bukankah keinginan jadi DKI-1 adalah sebuah kemunduran karier politik Anda?
Tidak juga. Saya punya kapasitas menangani persoalan secara nasional. Kalau saya turun ke daerah menangani sesuatu, yang kalau kata orang saya over-kapasitas, itu malah bagus. Yang enggak bagus adalah orang yang under-kapasitas, kapasitasnya cuma kepala daerah, tapi ingin menjadi presiden.
DKI-1 jadi batu loncatan Anda untuk Pilpres?
Tidak juga. Tapi lihat perkembangan nanti setelah jadi gubernur. Kalau sekiranya saya terpilih, sekiranya orang sudah menilai saya sukses menangani Jakarta dan rakyat menghendaki hal itu, mengapa tidak?
Jabatan presiden target puncak karier politik Anda?
Target sih enggak, biarkan saja. Tapi kenapa disalahkan? Jokowi (Presiden Joko Widodo-Red.) melakukan itu kan tidak ada komentar apa-apa. Kalau Ahok jadi gubernur, kemudian 2019 maju Pilpres, Anda kan enggak salahkan juga. Kenapa saya disalahkan, kok Jokowi sama Ahok enggak? Bakal calon lain, sebut saja Adhyaksa Dault, jauh-jauh hari sudah menyatakan tak berminat maju sebagai cawagub. Anda juga demikian?
Sama. Itu kan pilihan masing-masing, enggak perlu dipersoalkan. Saifullah Yusuf (Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) juga mantan menteri jadi wakil gubernur Jatim, enggak pernah orang persoalkan, Mahmudi (Nur Mahmudi Ismail, Menteri Kehutanan dan Perkebunan era pemerintahan Abdurrahman Wahid) juga ingin jadi Wali Kota Depok, orang enggak persoalkan. Cuma saya dipersoalkan, kenapa sih? Seolah-olah saya ini aneh, orang lain boleh, saya enggak.
Anda gencar bersafari politik, bertemu calon lain, seperti Ahmad Dhani, Lulung Lunggana, Sandiaga Uno, dan Adhyaksa Dault. Apakah Anda optimistis safari politik ini akan berhasil?
Bersilaturahim dengan siapa saja itu sah-sah saja. Kita bisa datang ke rumah orang, orang datang ke rumah kita, welcome saja. Bahkan, menurut saya, antara penantang dan petahana pun bisa melakukan silaturahim. Ini bisa berimplikasi pada pendidikan politik bahwa dalam satu kompetisi politik itu sehat dan tidak perlu jadi persoalan pribadi.
Jadi, pada hemat saya sih, kalah menang dalam pertarungan itu biasa. Beda pendapat, bahkan secara ideologi bertentangan, biasa. Tapi kan tidak usah merenggangkan hubungan pribadi antara satu dengan yang lain. Kalau saya mau melakukan tradisi yang baru kenapa itu dianggap tidak baik? Pertimbangannya apa?
Saya ingin melakukan sesuatu yang baru, yang tidak dilakukan orang lain. Itu dilakukan dulu pada tahun 50-an. Orang berbeda secara politik, tapi berusaha untuk membedakan persoalan politik dan pribadi. Jadi, saya pun biasa begitu. Saya pernah bertentangan dengan orang keras sekali, tapi itu tidak usah merenggangkan hubungan pribadi kita.
Saya dengan Panda Nababan juga keras sekali perbedaannnya di DPR, tapi tidak menghalangi hubungan pribadi antara saya dan beliau. Ketika Panda Nababan ditahan di LP Cipinang, saya datang menjenguk dan saya tanya, `apa ada yang bisa saya bantu`. Saya pikir, saya memulai suatu tradisi politik yang baik.
Anda akan menunjuk lembaga survei, sudah ada? Lembaga survei mana?
Lembaga survei yang ada. Lembaga survei yang kita gunakan adalah lembaga yang membantu kita melihat keadaan sebenarnya, agar kita tidak tertipu dengan pemberitaan di media, apalagi media sosial. Media kadang bisa membuat kita salah menduga dan salah memahami yang terjadi dalam kenyataan.
Seandainya menang kelak, program apa yang sudah Anda siapkan untuk Jakarta?
Saya ingin menyelesaikan masalah Jakarta dalam masa transisi. Karena saya punya program jangka panjang ingin melikuidasi Pemprov DKI Jakarta sehingga nanti dalam waktu lima tahun, paling lama 10 tahun, Pemprov DKI sudah tidak ada. Yang ada Pemerintah Republik Indonesia yang langsung menangani Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.
Saya menganggap istilah ibu kota negara pada satu pihak, pemerintah khusus ibu kota di lain pihak. Itu dua hal yang bertentangan. Kalau ibu kota negara kan seharusnya negara itu yang mengurusi ibu kotanya. Tapi, nyatanya Pemerintah RI tidak menangani Jakarta. Jakarta ditangani pemerintah daerah. Untuk jangka panjang, itu harus diselesaikan dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang penghapusan Pemerintah Daerah Ibu Kota khusus Jakarta dan pengintegrasiannya ke pemerintah pusat.
Jadi, tidak ada lagi gubernur DKI, yang ada adalah menteri yang menangani wilayah ibu kota. Tidak ada lagi DPRD DKI, yang ada DPR RI yang menangani masalah Jakarta. Dan, selama masa persiapan itu, tentu administrasi pemerintahan harus dipersiapkan ke arah sana. Begitu pula penanganan masalah-masalah yang masih bisa diselesaikan oleh pemerintah DKI, terutama masalah yang sifatnya jangka pendek dan menengah, yang jangka panjang diambil alih pemerintah pusat.
Masalah jangka pendek, misalnya, terkait wilayah permukiman, transportasi, kepadatan penduduk, dan penyediaan lapangan kerja. Kemudian masalah akut di Jakarta itu masalah sampah, banjir, dan lain-lain. Ambil contoh masalah lalu lintas. Dua tahun ini lalu lintas makin parah, bukan makin berhasil. Parahnya itu karena penggunaan anggaran tidak optimum. Penyerapan anggaran Pemda DKI itu di bawah 40 persen, berarti banyak proyek yang tidak bisa dikerjakan. Jadi, kalau dilihat dari skala pencapaian pembangunan daerah dengan membelanjakan anggaran, DKI urutan ke-17 di antara 35 provinsi. Tengah-tengah.
Anggaran untuk mmenangani masalah lalu lintas, banjir, bidang sosial, dan pendidikan itu ada, cuma tidak bisa dibelanjakan. Itu terjadi karena hubungan Pemda DKI dan DPRD tidak harmonis. Itu masalah akut. Padahal, pemda itu bukan hanya gubernur, Pemda itu gubernur bersama-sama dengan DPRD. Yang rugi rakyat.
Bagaimana dengan masalah kemacetan di Jakarta?
Karena itu, anggaran untuk menuntaskan masalah transportasi sebenarnya cukup, tapi tidak bisa dibelanjakan. Anggaran DKI itu hampir Rp70 triliun. Besar sekali. Tapi, cuma digunakan 40 persen. Banyak sekali anggaran tak terpakai. Yang rugi rakyat. Saya punya solusi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk menangani masalah transportasi di Jakarta. Jangka pendek itu dari mulai pengaturan jam kerja, antara pegawai negeri sipil, TNI, Polri, dan jam kerja pegawai swasta. Kalau sektor informal tentu enggak bisa diatur, tapi kalau swasta bisa.
Di kantor saya, misalnya, baru aktif jam 10.00 WIB. Di bawah jam 10.00 enggak ada kegiatan. Jadi, bisa saja swasta itu masuk kerja jam 10.00, kecuali swasta yang langsung pelayanan ke publik, itu lain. Bisa masuk jam 10.00 pulang jam 18.00. Tapi, PNS, TNI, dan Polri bisa masuk jam 08.00, jadi di jalan itu agak berkurang orang.
Jangka menengah, saya ingin mengajukan perda ke DPRD yang mengatur daerah tertentu tidak dapat dilalui semua kendaraan selama 24 jam, kecuali kendaraan itu menggunakan sticker khusus. Misalnya di Jalan Sisingamangaraja, Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, sampai ke Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gatot Subroto. Mobil yang lewat ke situ harus pakai sticker, misal Rp500 ribu atau Rp1 juta. Bukan dengan cara ganjil genap. Cara itu pasti kalah kalau ada yang menggugat di pengadilan. Soalnya kita bayar pajak kendaraan setahun, ganjil genap kan berarti cuma bisa dipakai enam bulan dong, enam bulannya dikembalikan.
Masalah sepeda motor juga merisaukan. Penjualan sepeda motor itu luar biasa karena asal punya KTP Jakarta, bisa kredit motor. Jadi jumlah motor di jalan terus bertambah dan membahayakan keselamatan jiwa.
Implikasi ledakan kendaraan di jalan bukan hanya pada Jakarta, tapi juga nasional. Mengganggu moneter karena setiap hari pemerintah harus menukar uang rupiah pada dolar Amerika Serikat untuk membayar minyak. Apalagi bukan lagi eksportir minyak, tapi importir. Setiap hari mengimpor tidak kurang dari 200 ribu barel. Bayarnya pakai dolar AS. Setiap hari itu uang kita flow ke luar negeri luar biasa.
Kalau masalah ini tak terselesaikan, secara nasional kita enggak maju-maju, itu persoalan yang harus dipikirkan nasional. Jadi program-program seperti ini saya ingin selesaikan dalam waktu yang cepat, jangka pendek, jangka menengah, kalau jangka panjang memang terintegrasi dengan daerah-daerah sekitar.
Menurut saya, terintegrasi itu bukan membangun kereta cepat model Jokowi. Itu kan bullet train. Kecepatannya 300 kilometer per jam. Jakarta - Bandung itu cuma 142 km, berhenti di delapan titik, itu kereta sia-sia. Jadi, yang perlu dibangun itu rapid train. Paling menambah satu rel lagi di rel ganda, costnya tidak terlalu mahal. Kalau bullet train harus buat rel baru, segitu banyak tanah sampai Halim pun harus digusur segala macam.
Maksud saya tuh bukan mengoneksi Jakarta - Bandung, mengoneksi Jakarta, Banten, Bekasi, Tangerang kemudian Bekasi - Karawang sampai Sukabumi. Kalau bisa menjamin orang dari Serang bisa sampai Gambir dalam 20 menit, ngapain orang tinggal di Jakarta. Bagaimana caranya membuat kota ini jadi efisien dan negara ini jadi efisien, itu yang jadi ke pikiran awal.
Kenapa saya mau maju jadi Gubernur Jakarta? Saya sudah lama memikirkan masalah Jakarta. Kalau Anda buka di twitter, tiga tahun lalu saya sudah bicara soal likuidasi pemerintah DKI jakarta. Bukan ide baru walaupun saya anggap itu ide orisinil saya. Enggak pernah ada orang berpikir seperti itu. Sutiyoso pernah berpikir dulu mau jadi gubernur Jabodetabek, orang lain bicara wacana pemindahan ibu kota, saya enggak. Jakarta ibu kota tetap di sini, hanya pemerintah DKI Jakarta dilikuidasi.
Jangka panjangnya sama juga. Misalnya Provinsi Jabar, Kota Bandung langsung dipegang gubernur, bukan wali kota. Surabaya tidak ada lagi wali kota, nanti dia akan turun sampai ke bawah, begitu negara benar-benar.
Mengapa saya mau maju, saya mengerti persoalannya. Dari segi damage saya paham. Dari segi kultur mengerti dan dari segi kapabilitas, insya Allah saya punya kemampuan untuk mengerjakan itu. Pengalaman saya banyak.
Dahulu, misalnya, saya pernah memisahkan satu departemen jadi dua, perindustrian dan perdagangan. Kemudian menyatukan dua departemen jadi satu, bahkan saya pernah menyatukan Departemen Agama, Departemen Hankam, dan Kehakiman jadi satu dirjen, disatukan ke Mahkamah Agung.
Jadi, saya pikir kalau kemampuan saya di tingkat nasional menangani masalah seperti itu, ketika di tingkat daerah jauh lebih simpel saya menanganinya. Jadi enggak usah diherankan. Yang diherankan orang yang kapasitasnya daerah tiba-tiba mau jadi nasional, lihat sajalah negara ini apa yang terjadi dua tahun sekarang ini.
Kedua, ini ibu kota negara, jadi negara harus diselesaikan dari ibu kotanya, baik Jakarta adalah gerbang dan pusat dari segalanya. Ibu kotanya bagus, bagus negaranya, ibu kotanya rusak, rusak negaranya. Jadi tidak ada salahnya saya start dari Jakarta, siapa tahu saya maju ke tingkat nasional akan jauh lebih baik.
Untuk banjir bagaimana?
Saya pernah studi tentang sungai Mekong di Kamboja. Sungai Mekong mulai dari Nepal melewati banyak negara, bermuara di Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Tapi yang paling besar di Kamboja. Jadi, persoalnya tidak bisa diselesaikan di muara saja, harus dari hilir. Sungai-sungai (di Jakarta) kan hilirnya di Jawa Barat, tapi celakanya Jakarta ini rawan, lebih rendah dari permukaan air laut. Persoalannya kalau laut lagi pasang saat musim hujan, arus sungai berbalik karena permukaan laut lebih tinggi. Maka banjir itu akan selalu terjadi.
Memang, mau tidak mau dibangun daerah aliran sungai baru yang muaranya ke laut. Sekarang, kalau saya jadi gubernur, yang paling sulit itu mengatasi pulau-pulau di teluk Jakarta itu. Menghambat air. Sementara proyek sudah berjalan. Tidak bisa dihentikan. Kalau saya hentikan bisa digugat ke pengadilan, saya kalah.
Saya melihat persoalan banjir dan lainnya tidak akan selesai dalam waktu lima tahun. Saya enggak mau gembar-gembor enam bulan saya memerintah, masalah lalu lintas beres, saya realistis saja. Persoalan itu harus ditangani lebih serius dan memang pelebaran kali serta pendalaman sungai harus dilakukan.
Saya enggak ahli teknis, tapi saya punya satu pemikiran menyelesaikan persoalan itu. Memang daya serap air di hulunya sana, makanya kalau pemerintah DKI tidak bisa bernegosiasi secara baik dengan Pemerintah Jawa Barat dan Banten, persoalan banjir enggak akan terselesaikan sepenuhnya.
Kalau terpilih, kira-kira kapan Anda mulai menyodorkan RUU soal likuidasi Pemprov DKI dan pemerintah pusat?
Dua tahun setelah saya di DKI pun saya sudah bisa mengajukan itu. Ini kan dimulai dari satu studi yang mendalam. Saya pernah mengajukan dua RUU tentang Aceh. Pertama, mengubah Daerah Istimewa Aceh menjadi Negeri Aceh Darussalam sebagai daerah otonomi khusus. Saya bikin undang-undang saja. Saya draft bersama DPRD Aceh, kemudian diajukan ke DPR dan saya mewakili pemerintah menfasilitasi UU itu sampai selesai.
Kedua adalah RUU pemerintahan Aceh, sesudah Helsinki. Kan saya juga yang mewakili. Jadi, kalau dari segi pengalaman, Anda enggak usah ragulah. Saya bisa menyelesaikan soal itu. Biasanya, dahulu dari zaman Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono, kalau RUU yang sulit-sulit itu saya yang maju. UU KPK, UU PPATK, kan saya yang bikin. (Lalu) saya dibilang enggak pro anti-pemberantasan korupsi, siapa bilang? Yang mengubah UU korupsi, yang buat UU KPK saya, tanpa itu mana ada KPK itu. Kadang orang asal omong saja.
Apa kurangnya dari Pemprov saat ini?
Dari segi manajemen pemerintahan, ketidakserasian antara gubernur dan DPRD, itu mengakibatkan pembahasan anggaran macet. Itu merugikan rakyat.
Kedua, pemerintah Ibu Kota enggak bisa jalan sendiri karena eksekutif di daerah melibatkan DPRD, beda dengan pusat. Kalau di pusat, presiden sendiri, DPR legislatif, kalau di daerah enggak. Jadi harus sama-sama sehingga banyak hal dari segi demokratis pemerintahan enggak jalan.
Kalau saya ingin lebih mendengar suara DPRD, mendengar suara rakyat, walaupun kita tidak selalu sependapat dengan mereka. Kedua, saya anggap perlu dikritik itu tidak adanya keadilan dan kepastian hukum, gitu saja.
Kira-kira kapan bapak akan deklarasi?
Belum tahu, nanti saya lihat perkembangan. Kalau negosiasi dengan partai sudah selesai. Langkah itu sedang kita kerjakan dan saya kira tidak perlu didesak-desak.
***
Latar belakang Yusril
Yusril adalah putra dari pasangan Idris Haji Zainal Abidin dan Nursiha Sandon. Keluarga dari pihak ayahnya berasal dari Johor, Malaysia. Kakek buyutnya, Haji Thaib, adalah bangsawan Kesultanan Johor. Keluarga ayahnya telah menetap di Belitung sejak awal abad ke-19. Sedangkan ibunya berasal dari Aie Tabik, Payakumbuh, Sumatera Barat. Pada abad ke-19, neneknya pergi merantau dari Minangkabau dan menetap di Belitung.
Yusril meneruskan tradisi cendikiawan Melayu yang menekuni ilmu falsafah, hukum, dan kesenian. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan juga menekuni ilmu filsafat di Fakultas Sastra UI. Kemudian ia mengambil gelar Master di University of the Punjab, Pakistan (1985) dan gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Sains Malaysia (1993).
Yusril memulai karier sebagai pengajar di UI pada mata kuliah Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Hukum, dan Filsafat Hukum. Dari universitas itu, ia memperoleh titel Guru Besar Ilmu Hukum.
Selain mengajar, ia juga aktif dan menjadi pengurus beberapa organisasi, seperti Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pada 1996, ia diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai penulis pidato presiden. Hingga 1998, ia menulis sebanyak 204 pidato untuk presiden. Ketika Reformasi 1998, Yusril menjadi salah satu pihak yang mendukung perubahan politik di Indonesia. Yusril berperan besar terutama ketika ia menuliskan pidato berhentinya Soeharto.
Bersama para reformis Muslim, dia mendirikan Partai Bulan Bintang. Partai sebagai pewaris Partai Masyumi ini digagas oleh 22 Ormas Islam. Pada Pemilu 1999, PBB meraih suara sebesar 2,84% dan menempatkan 13 wakil di parlemen. Bersama Amien Rais, dia ikut mengusung Abdurrahman Wahid untuk menjadi presiden Indonesia.
Yusril telah tiga kali menempati jabatan sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan Indonesia, yaitu Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Gotong Royong, dan terakhir sebagai Menteri Sekretaris Negara pada Kabinet Indonesia Bersatu.
Selain aktif berpolitik, Yusril juga rajin menulis buku, jurnal, dan kolom di media massa. Tulisannya terutama berkisar pada masalah hukum tata negara dan politik Islam. Bersama adiknya Yusron Ihza, ia mendirikan firma hukum Ihza & Ihza Law Firm.
*Sumber: Metrotvnews
Motivasi Anda maju di Pilkada DKI 2017?
Saya kira sudah terlalu banyak dibuat di media, jangan diulang-ulang. Saya malas jawab, pertanyaan yang lain saja.
Apa persiapan Anda menuju Pilgub DKI 2017?
Kalau sekarang sedang persiapan untuk dukungan dari partai politik dan rakyat. Pembicaraan dengan partai sudah dilakukan sangat intensif. Finalnya dicapai pada Mei dan Juni.
Selain itu, tim juga terus mendekati rakyat, sehingga nanti yang mengajukan partai, tapi juga mendapat dukungan dari rakyat, seperti perseorangan tapi yang dipakai tetap dari partai.
Memang mekanisme itu memungkinkan?
Undang-undang memungkinkan hal itu. UU mengenal dua cara, melalui parpol dengan jumlah presentase kursi di DPRD atau melalui kelompok sebagai calon perseorangan. Jadi, praktiknya bisa diajukan sebagai calon perseorangan tapi didukung oleh partai, bisa juga dicalonkan oleh partai tapi didukung oleh rakyat secara langsung.
Parpol mana yang sudah diajak atau mengajak komunikasi?
Saya sudah komunikasi dengan banyak partai, dengan PPP, PKB, PAN, PKS, dan Golkar. Dengan Gerindra juga.
Hasilnya?
Semua partai itu prinsipnya sama, mereka mau mendukung yang paling tinggi elektabilitasnya. Itu biasalah, kecuali incumbent. Biasa pula satu partai mendukung incumbent jauh sebelum proses pemetaan.
Partai mana yang sudah memberikan sinyal positif?
Saya pikir semua positif. Semua akan mengambil keputusan tepat pada waktunya dan karena saya di posisi penantang. Ingat, saat pilpres, pilgub, partai menentukan sikap melalui satu proses tahapan atau melalui pengurus partai di daerah. Itu agak memakan waktu.
PDIP bisa memudahkan Anda, karena mereka tak harus repot-repot berkoalisi untuk menyorongkan calon, apakah Anda sudah berkomunikasi dengan PDIP?
Ada, ada komunikasi, terutama setelah petahana menyatakan akan menggunakan jalur independen. PDIP kemudian akan melakukan perlawanan, istilahnya tuh deparpolisasi.
Kita terus berkomunikasi dengan PDIP. Apakah PDIP akan mengajukan calon sendiri atau mendukung calon dari luar, itu sangat mungkin terjadi. Bahkan PDIP balik mendukung petahana pun bisa terjadi.
Bagaimana respon Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri?
Belum ada keputusan. Saya kira semua partai akan sama.
(Yusril mengambil formulir pendaftaran penjaringan cagub dari PDIP pada 7 April 2016. Esok harinya dia juga mendaftar ke Partai Gerindra)
Itu tadi dari jalur parpol. Bagaimana persiapan Anda di jalur independen, apalagi saingannya banyak?
Ya enggak apa-apa (banyak calon independen). Biarkan saja. Menurut pandangan saya positif. Nanti kan lama-lama mengerucut juga. Kalau sudah Juni kan bisa dipastikan siapa yang maju, siapa yang tidak jadi.
Bagaimana cara tim Anda menjaring dukungan rakyat?
Itu berjalan. Tim yang mengerjakan jumlahnya banyak sekali, tersebar di mana-mana. Nanti, setelah satu bulan, kita evaluasi apa yang didapat.
Konkretnya, sudah berapa KTP yang terkumpul untuk Anda?
Saya tidak tahu, nanti tanya pada tim yang menangani masalah itu.
Anda pernah mengeritik Ahok karena tidak mencantumkan nama wakil dalam formulir independen, apakah Anda sudah menentukan nama cawagub?
Itu sebenarnya bisa diatasi. Ada satu form tersendiri yang ditandatangani mereka yang mendukung cagub. Isinya, `siapa pun wakil yang diajukan cagub yang saya dukung, saya setuju`. Kalau dia (Ahok-Red.) sudah tandatangani, masalah selesai.
Dan itu sudah kita konsultasikan dengan Komisi Pemilihan Umum. Jadi, kalau seperti Ahok itu, ya dia harus mengulang. Ada dua kemungkinan, pertama dia menyodorkan wakilnya; kedua, dia mengulang dengan cara yang tadi saya sebutkan. Ternyata, dia memilih menyebutkan wakilnya. Ya itu pilihan dia.
Anda pernah tiga kali jadi menteri, pernah dicalonkan sebagai presiden, lantas kini mengincar kursi gubernur. Apakah itu bukan sebuah kemunduran karier politik Anda?
Saya dicalonkan jadi presiden sebelum jadi menteri pada 1999. Waktu itu pemilihan masih dilakukan oleh MPR.
Di benak Anda, sudah adakah calon wakil yang pas buat Anda?
Belum. Biar saja keadaan ini berkembang. Bagi saya bekerja sama dengan siapa pun tidak masalah. Saya sudah biasa bekerja sama dengan orang yang berbeda-beda dalam satu tim.
Dahulu, misalnya, dalam kabinet di bawah (Presiden) Megawati (Soekarnoputri), saya bisa bekerja sangat erat sekali dengan pak Kwik Kian Gie. Padahal, secara partai, berbeda, agama beda, politik beda, tapi dalam menangani persoalan bersama kita bisa bekerja sama dengan siapa saja. Saya ini mewarisi tradisi politik Masyumi, garisnya tetap. Dia tidak bisa bekerja sama dengan orang komunis, ya yang lain bisa.
Bukankah keinginan jadi DKI-1 adalah sebuah kemunduran karier politik Anda?
Tidak juga. Saya punya kapasitas menangani persoalan secara nasional. Kalau saya turun ke daerah menangani sesuatu, yang kalau kata orang saya over-kapasitas, itu malah bagus. Yang enggak bagus adalah orang yang under-kapasitas, kapasitasnya cuma kepala daerah, tapi ingin menjadi presiden.
DKI-1 jadi batu loncatan Anda untuk Pilpres?
Tidak juga. Tapi lihat perkembangan nanti setelah jadi gubernur. Kalau sekiranya saya terpilih, sekiranya orang sudah menilai saya sukses menangani Jakarta dan rakyat menghendaki hal itu, mengapa tidak?
Jabatan presiden target puncak karier politik Anda?
Target sih enggak, biarkan saja. Tapi kenapa disalahkan? Jokowi (Presiden Joko Widodo-Red.) melakukan itu kan tidak ada komentar apa-apa. Kalau Ahok jadi gubernur, kemudian 2019 maju Pilpres, Anda kan enggak salahkan juga. Kenapa saya disalahkan, kok Jokowi sama Ahok enggak? Bakal calon lain, sebut saja Adhyaksa Dault, jauh-jauh hari sudah menyatakan tak berminat maju sebagai cawagub. Anda juga demikian?
Sama. Itu kan pilihan masing-masing, enggak perlu dipersoalkan. Saifullah Yusuf (Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) juga mantan menteri jadi wakil gubernur Jatim, enggak pernah orang persoalkan, Mahmudi (Nur Mahmudi Ismail, Menteri Kehutanan dan Perkebunan era pemerintahan Abdurrahman Wahid) juga ingin jadi Wali Kota Depok, orang enggak persoalkan. Cuma saya dipersoalkan, kenapa sih? Seolah-olah saya ini aneh, orang lain boleh, saya enggak.
Anda gencar bersafari politik, bertemu calon lain, seperti Ahmad Dhani, Lulung Lunggana, Sandiaga Uno, dan Adhyaksa Dault. Apakah Anda optimistis safari politik ini akan berhasil?
Bersilaturahim dengan siapa saja itu sah-sah saja. Kita bisa datang ke rumah orang, orang datang ke rumah kita, welcome saja. Bahkan, menurut saya, antara penantang dan petahana pun bisa melakukan silaturahim. Ini bisa berimplikasi pada pendidikan politik bahwa dalam satu kompetisi politik itu sehat dan tidak perlu jadi persoalan pribadi.
Jadi, pada hemat saya sih, kalah menang dalam pertarungan itu biasa. Beda pendapat, bahkan secara ideologi bertentangan, biasa. Tapi kan tidak usah merenggangkan hubungan pribadi antara satu dengan yang lain. Kalau saya mau melakukan tradisi yang baru kenapa itu dianggap tidak baik? Pertimbangannya apa?
Saya ingin melakukan sesuatu yang baru, yang tidak dilakukan orang lain. Itu dilakukan dulu pada tahun 50-an. Orang berbeda secara politik, tapi berusaha untuk membedakan persoalan politik dan pribadi. Jadi, saya pun biasa begitu. Saya pernah bertentangan dengan orang keras sekali, tapi itu tidak usah merenggangkan hubungan pribadi kita.
Saya dengan Panda Nababan juga keras sekali perbedaannnya di DPR, tapi tidak menghalangi hubungan pribadi antara saya dan beliau. Ketika Panda Nababan ditahan di LP Cipinang, saya datang menjenguk dan saya tanya, `apa ada yang bisa saya bantu`. Saya pikir, saya memulai suatu tradisi politik yang baik.
Anda akan menunjuk lembaga survei, sudah ada? Lembaga survei mana?
Lembaga survei yang ada. Lembaga survei yang kita gunakan adalah lembaga yang membantu kita melihat keadaan sebenarnya, agar kita tidak tertipu dengan pemberitaan di media, apalagi media sosial. Media kadang bisa membuat kita salah menduga dan salah memahami yang terjadi dalam kenyataan.
Seandainya menang kelak, program apa yang sudah Anda siapkan untuk Jakarta?
Saya ingin menyelesaikan masalah Jakarta dalam masa transisi. Karena saya punya program jangka panjang ingin melikuidasi Pemprov DKI Jakarta sehingga nanti dalam waktu lima tahun, paling lama 10 tahun, Pemprov DKI sudah tidak ada. Yang ada Pemerintah Republik Indonesia yang langsung menangani Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.
Saya menganggap istilah ibu kota negara pada satu pihak, pemerintah khusus ibu kota di lain pihak. Itu dua hal yang bertentangan. Kalau ibu kota negara kan seharusnya negara itu yang mengurusi ibu kotanya. Tapi, nyatanya Pemerintah RI tidak menangani Jakarta. Jakarta ditangani pemerintah daerah. Untuk jangka panjang, itu harus diselesaikan dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang penghapusan Pemerintah Daerah Ibu Kota khusus Jakarta dan pengintegrasiannya ke pemerintah pusat.
Jadi, tidak ada lagi gubernur DKI, yang ada adalah menteri yang menangani wilayah ibu kota. Tidak ada lagi DPRD DKI, yang ada DPR RI yang menangani masalah Jakarta. Dan, selama masa persiapan itu, tentu administrasi pemerintahan harus dipersiapkan ke arah sana. Begitu pula penanganan masalah-masalah yang masih bisa diselesaikan oleh pemerintah DKI, terutama masalah yang sifatnya jangka pendek dan menengah, yang jangka panjang diambil alih pemerintah pusat.
Masalah jangka pendek, misalnya, terkait wilayah permukiman, transportasi, kepadatan penduduk, dan penyediaan lapangan kerja. Kemudian masalah akut di Jakarta itu masalah sampah, banjir, dan lain-lain. Ambil contoh masalah lalu lintas. Dua tahun ini lalu lintas makin parah, bukan makin berhasil. Parahnya itu karena penggunaan anggaran tidak optimum. Penyerapan anggaran Pemda DKI itu di bawah 40 persen, berarti banyak proyek yang tidak bisa dikerjakan. Jadi, kalau dilihat dari skala pencapaian pembangunan daerah dengan membelanjakan anggaran, DKI urutan ke-17 di antara 35 provinsi. Tengah-tengah.
Anggaran untuk mmenangani masalah lalu lintas, banjir, bidang sosial, dan pendidikan itu ada, cuma tidak bisa dibelanjakan. Itu terjadi karena hubungan Pemda DKI dan DPRD tidak harmonis. Itu masalah akut. Padahal, pemda itu bukan hanya gubernur, Pemda itu gubernur bersama-sama dengan DPRD. Yang rugi rakyat.
Bagaimana dengan masalah kemacetan di Jakarta?
Karena itu, anggaran untuk menuntaskan masalah transportasi sebenarnya cukup, tapi tidak bisa dibelanjakan. Anggaran DKI itu hampir Rp70 triliun. Besar sekali. Tapi, cuma digunakan 40 persen. Banyak sekali anggaran tak terpakai. Yang rugi rakyat. Saya punya solusi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk menangani masalah transportasi di Jakarta. Jangka pendek itu dari mulai pengaturan jam kerja, antara pegawai negeri sipil, TNI, Polri, dan jam kerja pegawai swasta. Kalau sektor informal tentu enggak bisa diatur, tapi kalau swasta bisa.
Di kantor saya, misalnya, baru aktif jam 10.00 WIB. Di bawah jam 10.00 enggak ada kegiatan. Jadi, bisa saja swasta itu masuk kerja jam 10.00, kecuali swasta yang langsung pelayanan ke publik, itu lain. Bisa masuk jam 10.00 pulang jam 18.00. Tapi, PNS, TNI, dan Polri bisa masuk jam 08.00, jadi di jalan itu agak berkurang orang.
Jangka menengah, saya ingin mengajukan perda ke DPRD yang mengatur daerah tertentu tidak dapat dilalui semua kendaraan selama 24 jam, kecuali kendaraan itu menggunakan sticker khusus. Misalnya di Jalan Sisingamangaraja, Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, sampai ke Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gatot Subroto. Mobil yang lewat ke situ harus pakai sticker, misal Rp500 ribu atau Rp1 juta. Bukan dengan cara ganjil genap. Cara itu pasti kalah kalau ada yang menggugat di pengadilan. Soalnya kita bayar pajak kendaraan setahun, ganjil genap kan berarti cuma bisa dipakai enam bulan dong, enam bulannya dikembalikan.
Masalah sepeda motor juga merisaukan. Penjualan sepeda motor itu luar biasa karena asal punya KTP Jakarta, bisa kredit motor. Jadi jumlah motor di jalan terus bertambah dan membahayakan keselamatan jiwa.
Implikasi ledakan kendaraan di jalan bukan hanya pada Jakarta, tapi juga nasional. Mengganggu moneter karena setiap hari pemerintah harus menukar uang rupiah pada dolar Amerika Serikat untuk membayar minyak. Apalagi bukan lagi eksportir minyak, tapi importir. Setiap hari mengimpor tidak kurang dari 200 ribu barel. Bayarnya pakai dolar AS. Setiap hari itu uang kita flow ke luar negeri luar biasa.
Kalau masalah ini tak terselesaikan, secara nasional kita enggak maju-maju, itu persoalan yang harus dipikirkan nasional. Jadi program-program seperti ini saya ingin selesaikan dalam waktu yang cepat, jangka pendek, jangka menengah, kalau jangka panjang memang terintegrasi dengan daerah-daerah sekitar.
Menurut saya, terintegrasi itu bukan membangun kereta cepat model Jokowi. Itu kan bullet train. Kecepatannya 300 kilometer per jam. Jakarta - Bandung itu cuma 142 km, berhenti di delapan titik, itu kereta sia-sia. Jadi, yang perlu dibangun itu rapid train. Paling menambah satu rel lagi di rel ganda, costnya tidak terlalu mahal. Kalau bullet train harus buat rel baru, segitu banyak tanah sampai Halim pun harus digusur segala macam.
Maksud saya tuh bukan mengoneksi Jakarta - Bandung, mengoneksi Jakarta, Banten, Bekasi, Tangerang kemudian Bekasi - Karawang sampai Sukabumi. Kalau bisa menjamin orang dari Serang bisa sampai Gambir dalam 20 menit, ngapain orang tinggal di Jakarta. Bagaimana caranya membuat kota ini jadi efisien dan negara ini jadi efisien, itu yang jadi ke pikiran awal.
Kenapa saya mau maju jadi Gubernur Jakarta? Saya sudah lama memikirkan masalah Jakarta. Kalau Anda buka di twitter, tiga tahun lalu saya sudah bicara soal likuidasi pemerintah DKI jakarta. Bukan ide baru walaupun saya anggap itu ide orisinil saya. Enggak pernah ada orang berpikir seperti itu. Sutiyoso pernah berpikir dulu mau jadi gubernur Jabodetabek, orang lain bicara wacana pemindahan ibu kota, saya enggak. Jakarta ibu kota tetap di sini, hanya pemerintah DKI Jakarta dilikuidasi.
Jangka panjangnya sama juga. Misalnya Provinsi Jabar, Kota Bandung langsung dipegang gubernur, bukan wali kota. Surabaya tidak ada lagi wali kota, nanti dia akan turun sampai ke bawah, begitu negara benar-benar.
Mengapa saya mau maju, saya mengerti persoalannya. Dari segi damage saya paham. Dari segi kultur mengerti dan dari segi kapabilitas, insya Allah saya punya kemampuan untuk mengerjakan itu. Pengalaman saya banyak.
Dahulu, misalnya, saya pernah memisahkan satu departemen jadi dua, perindustrian dan perdagangan. Kemudian menyatukan dua departemen jadi satu, bahkan saya pernah menyatukan Departemen Agama, Departemen Hankam, dan Kehakiman jadi satu dirjen, disatukan ke Mahkamah Agung.
Jadi, saya pikir kalau kemampuan saya di tingkat nasional menangani masalah seperti itu, ketika di tingkat daerah jauh lebih simpel saya menanganinya. Jadi enggak usah diherankan. Yang diherankan orang yang kapasitasnya daerah tiba-tiba mau jadi nasional, lihat sajalah negara ini apa yang terjadi dua tahun sekarang ini.
Kedua, ini ibu kota negara, jadi negara harus diselesaikan dari ibu kotanya, baik Jakarta adalah gerbang dan pusat dari segalanya. Ibu kotanya bagus, bagus negaranya, ibu kotanya rusak, rusak negaranya. Jadi tidak ada salahnya saya start dari Jakarta, siapa tahu saya maju ke tingkat nasional akan jauh lebih baik.
Untuk banjir bagaimana?
Saya pernah studi tentang sungai Mekong di Kamboja. Sungai Mekong mulai dari Nepal melewati banyak negara, bermuara di Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Tapi yang paling besar di Kamboja. Jadi, persoalnya tidak bisa diselesaikan di muara saja, harus dari hilir. Sungai-sungai (di Jakarta) kan hilirnya di Jawa Barat, tapi celakanya Jakarta ini rawan, lebih rendah dari permukaan air laut. Persoalannya kalau laut lagi pasang saat musim hujan, arus sungai berbalik karena permukaan laut lebih tinggi. Maka banjir itu akan selalu terjadi.
Memang, mau tidak mau dibangun daerah aliran sungai baru yang muaranya ke laut. Sekarang, kalau saya jadi gubernur, yang paling sulit itu mengatasi pulau-pulau di teluk Jakarta itu. Menghambat air. Sementara proyek sudah berjalan. Tidak bisa dihentikan. Kalau saya hentikan bisa digugat ke pengadilan, saya kalah.
Saya melihat persoalan banjir dan lainnya tidak akan selesai dalam waktu lima tahun. Saya enggak mau gembar-gembor enam bulan saya memerintah, masalah lalu lintas beres, saya realistis saja. Persoalan itu harus ditangani lebih serius dan memang pelebaran kali serta pendalaman sungai harus dilakukan.
Saya enggak ahli teknis, tapi saya punya satu pemikiran menyelesaikan persoalan itu. Memang daya serap air di hulunya sana, makanya kalau pemerintah DKI tidak bisa bernegosiasi secara baik dengan Pemerintah Jawa Barat dan Banten, persoalan banjir enggak akan terselesaikan sepenuhnya.
Kalau terpilih, kira-kira kapan Anda mulai menyodorkan RUU soal likuidasi Pemprov DKI dan pemerintah pusat?
Dua tahun setelah saya di DKI pun saya sudah bisa mengajukan itu. Ini kan dimulai dari satu studi yang mendalam. Saya pernah mengajukan dua RUU tentang Aceh. Pertama, mengubah Daerah Istimewa Aceh menjadi Negeri Aceh Darussalam sebagai daerah otonomi khusus. Saya bikin undang-undang saja. Saya draft bersama DPRD Aceh, kemudian diajukan ke DPR dan saya mewakili pemerintah menfasilitasi UU itu sampai selesai.
Kedua adalah RUU pemerintahan Aceh, sesudah Helsinki. Kan saya juga yang mewakili. Jadi, kalau dari segi pengalaman, Anda enggak usah ragulah. Saya bisa menyelesaikan soal itu. Biasanya, dahulu dari zaman Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono, kalau RUU yang sulit-sulit itu saya yang maju. UU KPK, UU PPATK, kan saya yang bikin. (Lalu) saya dibilang enggak pro anti-pemberantasan korupsi, siapa bilang? Yang mengubah UU korupsi, yang buat UU KPK saya, tanpa itu mana ada KPK itu. Kadang orang asal omong saja.
Apa kurangnya dari Pemprov saat ini?
Dari segi manajemen pemerintahan, ketidakserasian antara gubernur dan DPRD, itu mengakibatkan pembahasan anggaran macet. Itu merugikan rakyat.
Kedua, pemerintah Ibu Kota enggak bisa jalan sendiri karena eksekutif di daerah melibatkan DPRD, beda dengan pusat. Kalau di pusat, presiden sendiri, DPR legislatif, kalau di daerah enggak. Jadi harus sama-sama sehingga banyak hal dari segi demokratis pemerintahan enggak jalan.
Kalau saya ingin lebih mendengar suara DPRD, mendengar suara rakyat, walaupun kita tidak selalu sependapat dengan mereka. Kedua, saya anggap perlu dikritik itu tidak adanya keadilan dan kepastian hukum, gitu saja.
Kira-kira kapan bapak akan deklarasi?
Belum tahu, nanti saya lihat perkembangan. Kalau negosiasi dengan partai sudah selesai. Langkah itu sedang kita kerjakan dan saya kira tidak perlu didesak-desak.
***
Latar belakang Yusril
Yusril adalah putra dari pasangan Idris Haji Zainal Abidin dan Nursiha Sandon. Keluarga dari pihak ayahnya berasal dari Johor, Malaysia. Kakek buyutnya, Haji Thaib, adalah bangsawan Kesultanan Johor. Keluarga ayahnya telah menetap di Belitung sejak awal abad ke-19. Sedangkan ibunya berasal dari Aie Tabik, Payakumbuh, Sumatera Barat. Pada abad ke-19, neneknya pergi merantau dari Minangkabau dan menetap di Belitung.
Yusril meneruskan tradisi cendikiawan Melayu yang menekuni ilmu falsafah, hukum, dan kesenian. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan juga menekuni ilmu filsafat di Fakultas Sastra UI. Kemudian ia mengambil gelar Master di University of the Punjab, Pakistan (1985) dan gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Sains Malaysia (1993).
Yusril memulai karier sebagai pengajar di UI pada mata kuliah Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Hukum, dan Filsafat Hukum. Dari universitas itu, ia memperoleh titel Guru Besar Ilmu Hukum.
Selain mengajar, ia juga aktif dan menjadi pengurus beberapa organisasi, seperti Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pada 1996, ia diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai penulis pidato presiden. Hingga 1998, ia menulis sebanyak 204 pidato untuk presiden. Ketika Reformasi 1998, Yusril menjadi salah satu pihak yang mendukung perubahan politik di Indonesia. Yusril berperan besar terutama ketika ia menuliskan pidato berhentinya Soeharto.
Bersama para reformis Muslim, dia mendirikan Partai Bulan Bintang. Partai sebagai pewaris Partai Masyumi ini digagas oleh 22 Ormas Islam. Pada Pemilu 1999, PBB meraih suara sebesar 2,84% dan menempatkan 13 wakil di parlemen. Bersama Amien Rais, dia ikut mengusung Abdurrahman Wahid untuk menjadi presiden Indonesia.
Yusril telah tiga kali menempati jabatan sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan Indonesia, yaitu Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Gotong Royong, dan terakhir sebagai Menteri Sekretaris Negara pada Kabinet Indonesia Bersatu.
Selain aktif berpolitik, Yusril juga rajin menulis buku, jurnal, dan kolom di media massa. Tulisannya terutama berkisar pada masalah hukum tata negara dan politik Islam. Bersama adiknya Yusron Ihza, ia mendirikan firma hukum Ihza & Ihza Law Firm.
*Sumber: Metrotvnews
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan