Rabu, April 09, 2014

Kejutan Pemilu 2014, Jokowi 'Efect' Ternyata Nihil




JAKARTA (voa-islam.com) - Inilah kejutan pemilu legislatif 2014. Di mana hasil suara yang diraih PDIP, berdasarkan 'quick count' (hitungan cepat), suara PDIP tidak seperti yang diinginkan, lebih dari 25 persen suara.
Jadi para 'bos' dan 'stakeholder' yang sudah habis-habisan mendukung, termasuk seluruh media masssa kristen dan sekuler, seperti Kompas, Tempo, Detik, dan lainnya, berbulan-bulan mengkampanyekan Jokowi, ternyata hasilnya 'nol besar'. Jokowi 'efect' hanyalah kayalan belaka. Jokowi yang menjadi tokoh 'jadi-jadian' gagal mengangkat suara PDIP.
Megawati yang hanya beberapa minggu mengumumkan pencalonan Jokowi, di kantor DPP PDIP di Lenteng, tepat hari Jum'at, ternyata hanyalah menjadi sebuah 'joke' politik. Megawati sudah termakan oleh 'gerpol' (gerilya politik), berbagai kelompok kepentingan, yang melakukan pressure politik terhadap Mega, kalau tidak mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai 'capres' maka PDIP akan terpuruk dalam pemilu legislatif 2014.
Tetapi, ketika Mega sudah mencalonkan Jokowi, justru suara PDIP perubahannya tidak terlalu signifiqan. Bahkan, Mega harus meninggalkan Prabowo demi Jokowi. Sekalipun, antara Mega dan Prabowo sudah diikat oleh sebuah fakta perjanjian, di mana PDIP akan mencalonkan Prabowo sebagai capres dalam pilpres 2014 ini. Janji itu dikhianati oleh Mega.
Jokowi 'efect' tidak dapat mendongkrak suara PDIP. Kisaran suara PDIP tidak berubah. Hanyalah antara l9-21 persen. Ini menunjukkan betapa sang 'juru selamat' Jokowi, tidak memiliki 'efect' apapun bagi pemilih. Rakyat masih cukup rasional.
Padahal, berbulan-bulan media massa, melalui lembaga-lembaga survei yang mereka buat, sudah terus menerus, dan tanpa malu menempatkan Jokowi pada posisi paling atas, dan PDIP akan menang mutlak dengan perolehan suara diatas 30 persen. Ternyata semua hanyalah bohong alias isapan jempol belaka.
Memang, PDIP dan Golkar merupakan partai yang sudah 'karatan', dan seharusnya sudah masuk kotak. Apalagi, kalau dilihat dari nama-nama calon legislatif PDIP tahun 2014, namanya banyak dari kalangan Kristen, persis seperti di tahun l999.
Di mana PDIP bukan lagi menjadi kandang “Banteng”, tetapi menjadi kandang kaum “Salibis” alias Kristen. Sekarang, di tahun 2014, berulang kembali. Hanya, di tahun 2014 ini, PDIP bukan menjadi kandang kaum “Salibis”, tetapi PDIP juga menjadi kandangnya dedengkot “Syiah”, seperti Jalaluddin Rahmat menjadi calon legislatif PDIP.
Lalu, dengan konstalasi yang ada dalam PDIP, terutama para calon legislatif yang banyak kalangan “Salibis” dan “Syiah”, kalau kemudian nanti Jokowi menjadi Presiden (na'udu billah mindzalik), apa yang akan diterima oleh Muslim Indonesia? Tentu, kemenangan PDIP dalam pemilu legislaslatif ini, pasti akan berdampak buruk bagi masa depan Muslim di Indonesia. Kolaborasi antara minoritas “Salilbis” dan “Syiah” dengan kekuasaan di tangannya, pasti akan menggilas Muslim, yang nota bene, mayoritas Muslim di Indonesia Sunni dan bermadzab Syafi'i.
Dalam kasus skala lokal yang terjadi di wilayah DKI Jakarta, betapa Jokowi telah mengangkat seorang lurah perempuan di Kecamatan Lenteng Agung, yaitu Susan yang beragama Kristen. Jokowi tetap keras kepala, dan tidak mau mengganti Lurah Susan, kendati rakyat Lenteng Agung sudah menyatakan keberatannya.
Bagaimana dalam kontek nasional seandainya Jokowi nanti memerintah Indonesia. Jokowi selalu mengatakan bahwa Indonesia bukan negara agama (Islam), dan membiarkan orang-orang “Salibis” menguasai pemerintahan.
Namun, dalam perspektif masa depan Indonesia, tentu golongan Muslim, tidak dapat mengharapkan apapun dari pemerintahan PDIP. Megawati sudah pernah menjadi presiden. Di mana korupsi tetap berkembang biak, dan pelaku-pelakunya adalah kader-kader PDIP. Bukan lagi, Mega dan PDIP menjadi pembela rakyat yang disebut sebagai 'wong cilik', tetapi ketika Mega dan PDIP berkuasa korupsi merajalela, dan  yang menikmati kekayaan dan asset Indonesia, tak lain, adalah 'Asing dan A Seng'.
Jokowi hanyalah sebuah 'boneka' yang tidak memiliki kemampuan mengelola negara, di tengah-tengah kondisi yang carut-marut. Buktinya, kasus busway di DKI Jakarta, Jokowi cuci tangan. Import 1.000 busway dari Cina yang menghabiskan dana Rp 1 triliun, tidak pertanggungjawabannya.
Bangsa Indonesia dan Muslim harus melihat dengan sangat jelas, bagaimana kepentingan “Asing dan A Seng” bermain dibelakang Mega, Jokowi dan PDIP, dan bertujuan ingin melanggengkan jajahan mereka di Indonesia. SBY sudah lewat dan tamat kekuasaannya. Jangan sampai penjajah “Asing dan A Seng” dilanjutkan melalui tangan Mega, Jokowi dan PDIP. Bangsa Indonsia tidak boleh tertipu dengan retorika murahan yang diucapkan tanpa bukti.
Faktanya pemilu 2014 ini, kalau dilihat secara teliti pemenangnya bukan partai-partai politik. PDIP sebagai 'pemenang' perolehan suaranya  hanyalah 20 persen, tampaknya suara 'Golput', bisa mencapai antara 30-40 persen. Inilah sebuah pembrontakan politik dari rakyat Indonesia terhadap kekuasaan dan partai-partai politik dan pemimpinnya, karena mereka  banyak yang bobrok. Rakyat memilih 'Golput'. Wallahu'alam.
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan