JAKARTA (voa-islam.com) - Inilah kejutan pemilu legislatif
2014. Di mana hasil suara yang diraih PDIP, berdasarkan 'quick count' (hitungan
cepat), suara PDIP tidak seperti yang diinginkan, lebih dari 25 persen suara.
Jadi para
'bos' dan 'stakeholder' yang sudah habis-habisan mendukung, termasuk seluruh
media masssa kristen dan sekuler, seperti Kompas, Tempo, Detik, dan lainnya,
berbulan-bulan mengkampanyekan Jokowi, ternyata hasilnya 'nol besar'. Jokowi
'efect' hanyalah kayalan belaka. Jokowi yang menjadi tokoh 'jadi-jadian' gagal
mengangkat suara PDIP.
Megawati yang
hanya beberapa minggu mengumumkan pencalonan Jokowi, di kantor DPP PDIP di
Lenteng, tepat hari Jum'at, ternyata hanyalah menjadi sebuah 'joke' politik.
Megawati sudah termakan oleh 'gerpol' (gerilya politik), berbagai
kelompok kepentingan, yang melakukan pressure politik terhadap Mega, kalau
tidak mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai 'capres' maka PDIP akan
terpuruk dalam pemilu legislatif 2014.
Tetapi, ketika
Mega sudah mencalonkan Jokowi, justru suara PDIP perubahannya tidak terlalu
signifiqan. Bahkan, Mega harus meninggalkan Prabowo demi Jokowi. Sekalipun,
antara Mega dan Prabowo sudah diikat oleh sebuah fakta perjanjian, di mana PDIP
akan mencalonkan Prabowo sebagai capres dalam pilpres 2014 ini. Janji itu
dikhianati oleh Mega.
Jokowi 'efect'
tidak dapat mendongkrak suara PDIP. Kisaran suara PDIP tidak berubah. Hanyalah
antara l9-21 persen. Ini menunjukkan betapa sang 'juru selamat' Jokowi, tidak
memiliki 'efect' apapun bagi pemilih. Rakyat masih cukup rasional.
Padahal,
berbulan-bulan media massa, melalui lembaga-lembaga survei yang mereka buat,
sudah terus menerus, dan tanpa malu menempatkan Jokowi pada posisi paling atas,
dan PDIP akan menang mutlak dengan perolehan suara diatas 30 persen. Ternyata
semua hanyalah bohong alias isapan jempol belaka.
Memang, PDIP dan Golkar merupakan partai yang sudah 'karatan', dan
seharusnya sudah masuk kotak. Apalagi, kalau dilihat dari nama-nama calon
legislatif PDIP tahun 2014, namanya banyak dari kalangan Kristen, persis
seperti di tahun l999.
Di mana PDIP bukan lagi menjadi kandang “Banteng”, tetapi menjadi
kandang kaum “Salibis” alias Kristen. Sekarang, di tahun 2014, berulang
kembali. Hanya, di tahun 2014 ini, PDIP bukan menjadi kandang kaum “Salibis”,
tetapi PDIP juga menjadi kandangnya dedengkot “Syiah”, seperti Jalaluddin
Rahmat menjadi calon legislatif PDIP.
Lalu, dengan
konstalasi yang ada dalam PDIP, terutama para calon legislatif yang banyak
kalangan “Salibis” dan “Syiah”, kalau kemudian nanti Jokowi menjadi Presiden
(na'udu billah mindzalik), apa yang akan diterima oleh Muslim Indonesia? Tentu,
kemenangan PDIP dalam pemilu legislaslatif ini, pasti akan berdampak buruk bagi
masa depan Muslim di Indonesia. Kolaborasi antara minoritas “Salilbis” dan
“Syiah” dengan kekuasaan di tangannya, pasti akan menggilas Muslim, yang nota
bene, mayoritas Muslim di Indonesia Sunni dan bermadzab Syafi'i.
Dalam kasus
skala lokal yang terjadi di wilayah DKI Jakarta, betapa Jokowi telah mengangkat
seorang lurah perempuan di Kecamatan Lenteng Agung, yaitu Susan yang beragama
Kristen. Jokowi tetap keras kepala, dan tidak mau mengganti Lurah Susan,
kendati rakyat Lenteng Agung sudah menyatakan keberatannya.
Bagaimana
dalam kontek nasional seandainya Jokowi nanti memerintah Indonesia.
Jokowi selalu mengatakan bahwa Indonesia
bukan negara agama (Islam), dan membiarkan orang-orang “Salibis” menguasai
pemerintahan.
Namun, dalam
perspektif masa depan Indonesia,
tentu golongan Muslim, tidak dapat mengharapkan apapun dari pemerintahan PDIP.
Megawati sudah pernah menjadi presiden. Di mana korupsi tetap berkembang biak,
dan pelaku-pelakunya adalah kader-kader PDIP. Bukan lagi, Mega dan PDIP menjadi
pembela rakyat yang disebut sebagai 'wong cilik', tetapi ketika Mega dan PDIP
berkuasa korupsi merajalela, dan yang menikmati kekayaan dan asset
Indonesia, tak lain, adalah 'Asing dan A Seng'.
Jokowi
hanyalah sebuah 'boneka' yang tidak memiliki kemampuan mengelola negara, di
tengah-tengah kondisi yang carut-marut. Buktinya, kasus busway di DKI Jakarta,
Jokowi cuci tangan. Import 1.000 busway dari Cina yang menghabiskan dana Rp 1
triliun, tidak pertanggungjawabannya.
Bangsa
Indonesia dan Muslim harus melihat dengan sangat jelas, bagaimana kepentingan
“Asing dan A Seng” bermain dibelakang Mega, Jokowi dan PDIP, dan bertujuan
ingin melanggengkan jajahan mereka di Indonesia. SBY sudah lewat dan tamat
kekuasaannya. Jangan sampai penjajah “Asing dan A Seng” dilanjutkan melalui
tangan Mega, Jokowi dan PDIP. Bangsa Indonsia tidak boleh tertipu dengan
retorika murahan yang diucapkan tanpa bukti.
Faktanya
pemilu 2014 ini, kalau dilihat secara teliti pemenangnya bukan partai-partai
politik. PDIP sebagai 'pemenang' perolehan suaranya hanyalah 20 persen,
tampaknya suara 'Golput', bisa mencapai antara 30-40 persen. Inilah sebuah
pembrontakan politik dari rakyat Indonesia terhadap kekuasaan dan partai-partai
politik dan pemimpinnya, karena mereka banyak yang bobrok. Rakyat memilih
'Golput'. Wallahu'alam.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan