{بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ} [الحشر: 14]
… permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka
itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (QS Al-Hasyr/59: 14).
Bila kita
melihat kondisi yang berkembang, tampaknya Jokowi bagai menghadiahkan buah
simalakama kepada Mega, PDIP, dan para cukong di belakangnya. Kondisi maju kena
mundur kena pun kemungkinan akan menimpa mereka semuanya. Itulah yang
diistilahkan buah simalakama, dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Kata
pepatah lama itu mengandung maksud, apapun yang dikerjakan akan mendapat
resiko besar sebagai akibat dari perbuatan tersebut, sementara keadaan tersebut
harus dijalani.
Dalam
hal PDIP mengusung Jokowi sebagai calon presiden, mari kita lihat gejalanya
yang bagai buah simalakama itu.
Sesaat
setelah Quick Count Pemilu Legislatif 9 April 2014 dimulai dan posisi PDIP
segera ketahuan, diberitakan bahwa Jokowi duduk termenung-menung di teras. Saat
ditanya wartawan, yang pertama keluar dari mulutnya adalah menyalahkan Bappilu,
caleg PDIP dan Puan Maharani. Semua, kecuali dirinya. Strategi marketing
internal yang tak baik. Caleg-caleg kurang bekerja di akar rumput. Jatah
beriklannya yang cuma 3 hari.
Bagaimana,
para punggawa PDIP yang sudah bertungkus lumus kata orang Melayu, terbenam
dalam susah payah menggenjot perolehan suara dalam pemilu, tahu-tahu
disalah-salahkan. Belum terdengar bagaimana pula luka para pendana dan
sebagainya, terhadap sikap Jokowi dan juga kenyataan perolehan pemilu
legislative yang ternyata PDIP menelan pil ahit karena tak seperti yang
digembar-gemborkan sebelumnya. Sehingga seolah dibopongnya Jokowi oleh PDIP
sebagai capres tidak ada daya dongkrak perolehan suara, sudah sangat terbaca.
Tambahan lagi, dia berlagu pula.
Ketika
berkampanye pun Jokowi sudah mengecewakan masyarakat. Contohnya, saat Jokowi
ditunggu masyarakat Trenggalek Jawa Timur sampai 8 jam, begitu remote control
dipencet Megawati, langsung Jokowi balik ke Jakarta. Siapapun yang masih punya perasaan
pasti dapat menilai, tingkah Jokowi itu merupakan gambaran nyata, betapa
teganya seorang Capres Jokowi melek-melekan bikin kecewa sejumlah pendukungnya
yang telah selama hampir seharian menunggunya.
Apakah
PDIP masih tetap mengusung Jokowi yang telah menyakiti orang di sana-sini
bahkan di luaran disebut sebagai pengkhianat? Karena
jelas-jelas berjanji bahkan dia katakan belasan kali bahwa tidak akan nyapres,
dan akan menyelesaikan tugas 5 tahun sebagai gubernur DKI Jakarta. Lihat
tulisan berjudul Inilah Janji Jokowi yang Kini Diingkari http://www.nahimunkar.com/inilah-janji-jokowi-yang-kini-diingkari/
Terserah
pihak PDIP, apakah ingin jeblok lagi lalu masih pula disakiti atau ambil
langkah lain lagi. Yang jelas, kini kelakuan Jokowi gambarannya seperti ini:
Mukanya seribu persen galau, sudah pelit tersenyum, guraupun hambar dan
dibuat-buat. Sungguh berat, seorang capres harus berusaha keras memperjuangkan
sendiri kepastiannya nyapres, datang seperti salesman door to door, lalu
ditolak oleh ARB dan digantung oleh Cak Imin.
Sementara
itu PDIP dan Jokowi mati-matian membantah terjadinya pertengkaran yang
diberitakan The Jakarta Post, sebuah Koran berbahasa Inggris di Jakarta
milik Jusuf Wanandi CSIS, yang bersama Cyrus adalah promotor ‘Jokowi Effect’.
The Jakarta Post, pada tanggal 12 April 2014, merilis berita bahwa Jokowi
diusir oleh Puan Maharani karena dianggap tak mampu menyundul perolehan suara
PDIP sebesar 30%, pada Pemilu Legislatif. Akibat pengusiran itu, Megawati pun
diberitakan sampai menangis. Terhadap berita itu, lucunya, pihak PDIP dan
Jokowi tampaknya tak ada koordinasi yang baik dalam menjawab. Menurut Eriko
Sotarduga, Puan ada di Kebagusan. Sementara Jokowi mengatakan bahwa dirinya tak
bertemu Puan Maharani sama sekali sampai hari ini, karena setelah mencoblos,
Puan berangkat ke Hong Kong.
Bau
kebohongan amat tajam dalam pernyataan Jokowi ini. Karena jelas-jelas Puan
mendampingi Megawati saat konpers setelah Quick Count, petang tanggal 9 April.
Demikianlah
kemelut dan hiruk pikuk PDIP dengan Jokowinya.
Pertanyaannya
kini: Bila tetap mengusung Jokowi, apakah Megawati memang memilih
mengesampingkan anak biologis dan ideologisnya (yakni Puan Maharani), demi
Jokowi si anak angkat dan boneka yang kian hari kian terbongkar topeng ambisi
dan ketamakannya…?
Berikut
ini analisa sekitar itu, dari sebuah situs.
***
Jokowi “Capres” Bak Anak Ayam Kehilangan Induknya
Posted by KabarNet pada 17/04/2014
JOKOWI CAPRES SETENGAH RONIN
Seperti
yang bisa diduga, Megawati telah meneken jalan kehancuran bagi PDIP dengan
deklarasi pencapresan Jokowi.
Pada
pemilu legislatif 9 April 2014, rakyat memberikan pelajaran telak kepada
Lembaga Survei, pengamat dan tokoh-tokoh politik seperti Luhut Pandjaitan, yang
selama ini mendorong PDIP segera mencapreskan Jokowi untuk suara 30%-35%. PDIP
memang pemenang pemilu, tapi 19% jelas bukan 35%.
Sesaat
setelah Quick Count dimulai dan posisi PDIP segera ketahuan, diberitakan bahwa
Jokowi duduk termenung-menung di teras. Saat ditanya wartawan, yang pertama
keluar dari mulutnya adalah menyalahkan Bappilu, caleg PDIP dan Puan Maharani.
Semua, kecuali dirinya. Strategi marketing internal yang tak baik. Caleg-caleg
kurang bekerja di akar rumput. Jatah beriklannya yang cuma 3 hari.
Seolah-olah
dengan tambahan beriklan 3 hari, seminggu atau 2 minggu, akan menaikkan 19%
menjadi 35%. Sementara Nasdem yang sudah beriklan 2 tahun saja hanya 7%. Jokowi
sendiri acapkali melakukan hal yang tidak efektif saat berkampanye. Misalnya,
kampanye ke Solo, ibarat kampanye di rumah sendiri, buat apa…? Atau saat ditunggu masyarakat Trenggalek sampai 8 jam, begitu
remote control dipencet Megawati, langsung balik Jakarta mengecewakan pendukungnya.
Atau berkampanye ke Papua, selain perjalanannya menghabiskan waktu, jumlah
pemilihnyapun tak seberapa.
Yang
menarik adalah ketika Jakarta Post, koran berbahasa Inggris milik Jusuf Wanandi
CSIS, yang bersama Cyrus adalah promotor ‘Jokowi Effect’, pada 2 hari yang lalu
memuat kisah ‘Infighting Could Ruin Jokowi’s Bid’. Alkisah, Puan, yang sangat
kesal karena tidak terjadinya Jokowi Effect, sementara Jokowi di luaran sibuk
menyalahkan Bappilu yang dipimpinnya dan PDIP, mengusir Jokowi dari Teuku Umar.
Pertengkaran pun pecah antara Puan dan Prananda yang membela Jokowi, sehingga
Mega menangis. Tidak terlalu terkejut mendengar Mega menangis, karena saat
konpers Quick Count pun sudah tampak berkali-kali menyusut hidung.
Kutipan :
“Puan then told Jokowi to leave. She was very disappointed, as she had expected
Jokowi’s popularity to help the PDI-P win at least 30 percent of the vote,
paving the way for her to become the party’s vice presidential candidate later
on,” the source said, adding that Megawati had broken down in tears during the
debate.
“Megawati
cried, not because she was sad to see Jokowi ousted from her home by her own
daughter, but because she was witnessing a growing gap between Puan and her
second son, Prananda Prabowo, who backs Jokowi.”
Artikel
tersebut diikuti artikel lain pada hari berikutnya ‘Jokowi Shrugs Off
Infighting’, yang isinya adalah kurang lebih sama.
Sejak
artikel tersebut terbit, PDIP dan Jokowi mati-matian membantah terjadinya
pertengkaran tersebut. Yang lucunya, tampaknya tak ada koordinasi yang baik
dalam menjawab. Menurut Eriko Sotarduga, Puan ada di Kebagusan. Sementara
Jokowi mengatakan bahwa dirinya tak bertemu Puan Maharani sama sekali sampai
hari ini, karena setelah mencoblos, Puan berangkat ke Hong
Kong.
Bau
kebohongan amat tajam dalam pernyataan Jokowi ini. Karena jelas-jelas Puan
mendampingi Megawati saat konpers setelah Quick Count, petang tanggal 9 April.
Pada pertemuan evaluasi itu, Puan disebut orang-orang PDIP tidak ada di situ,
tapi suaminya Happy Hapsoro hadir. Puan juga ditunjuk bersama Tjahjo Kumolo
untuk memimpin negosiasi koalisi. Apakah mungkin, Puan yang merupakan kepala
Bappilu, pemimpin negosiasi koalisi, akan meninggalkan partai saat yang
demikian genting, pergi sendirian entah untuk urusan apa ke Hong
Kong…?
Pada hari
Jumat tanggal 11 April, kita menyaksikan aksi safari politik Jokowi ke tiga
partai. Pagi bersama Nasdem, yang menghasilkan keputusan mendukung pencapresan
Jokowi dengan catatan, cawapres akan diajukan dalam 2-3 hari untuk dibicarakan
dengan Megawati. Ini merupakan kelanjutan dari kunjungan Tjahjo Kumolo dan
Hasto Kristiyanto sehari sebelumnya.
Dalam
safari berikutnya ke Golkar, Jokowi terpaksa menelan kekecewaan. ARB yang tampak santai sehabis berolah-raga, menolak
berkoalisi dan menyebut akan tetap capreskan dirinya. Meskipun Luhut
Pandjaitan sudah hadir untuk memuluskan, tetap tidak ada kesepakatan.
Sebuah
media menyebutkan, Jokowi adalah satu-satunya capres
yang sedemikian sibuk berkeliling sana-sini melobby. Sementara capres
lain adem-ayem, mengirimkan lapis dua atau tiganya melakukan pendekatan. Kata
Jokowi, saya butuh kepastian. Mukanya seribu persen galau, sudah pelit
tersenyum, guraupun hambar dan dibuat-buat. Sungguh berat, seorang capres harus
berusaha keras memperjuangkan sendiri kepastiannya nyapres, datang seperti
salesman door to door, lalu ditolak oleh ARB dan digantung oleh Cak Imin. Semua
itu mengingatkan pada puisi Fadli Zon tentang ikan kerempeng merah.
seekor ikan di akuarium
melompat ke sungai
bergumul di air deras
terbawa ke laut lepas
di sana ia bertemu ikan hiu, paus dan gurita
menjadi santapan ringan penguasa samudera
melompat ke sungai
bergumul di air deras
terbawa ke laut lepas
di sana ia bertemu ikan hiu, paus dan gurita
menjadi santapan ringan penguasa samudera
Isu
perpecahan internal PDIP yang diangkat oleh Jakarta Post, sebenarnya senada
dengan tulisan Jeffrey Winters ‘What Went Wrong with the PDI-P and Jokowi?‘ di
Financial Times. Tulisan Winters ini bahkan lebih awal dari Jakarta Post,
karena dimuat tanggal 10 April 2014 lalu. Jeffrey
Winters menggambarkan hubungan Jokowi dan Megawati tidak saling menyukai dan
mempercayai : ‘The core problem is that Jokowi and Megawati
Sukarnoputri, don’t really like or trust each other’ dan Megawati seperti
ditodong senapan yang tidak kelihatan saat mendeklarasikan Jokowi : ‘Megawati
sat subdued at a table and held up a hand-written note to the cameras stating,
in tortured prose, that Jokowi would be the presidential candidate. She looked
as if she had an invisible gun to her head’.
Winters,
yang dikenal anti Orba dan pada awal reformasi dekat dengan Megawati, juga
menceritakan bagaimana Jokowi tidak mendapat alokasi dana kampanye, juga
dibatasi untuk memakai pesawat jet ‘Indonesia Hebat’ yang selalu dibooking
Megawati dan Puan. Dan bagaimana seorang kandidat cawapres dari partai lain
yang diundang ke studio dimana Jokowi shooting iklan, kaget disodori bonnya.
Menurut
Winters, PDIP meminta agar donasi dari para sponsor harus masuk ke Bendahara
PDIP, partai-lah yang mengalokasikannya, termasuk ke Timses bentukan Jokowi.
Dengan alasan tidak kebagian dana tersebut, timses Jokowi meminta para cukong,
yang disebut Winters sebagai ‘tycoons’ alias pengusaha kelas kakap, agar tidak
memberikan dana kepada PDIP, dan langsung memberikannya kepada mereka : ‘Some tycoons have been warned by Jokowi’s camp not
to donate to the PDI-P and instead give directly to the Jokowi machine’.
Apabila membaca semua indikator ini, tampak jelas upaya
kudeta yang sedang dilakukan Jokowi dan timsesnya terhadap PDIP dan Megawati.
Pertama,
soal Puan. Jokowi digambarkan para promotornya seperti
Cyrus sebagai capres setengah dewa. Apabila mencapreskan Jokowi, PDIP akan
mendapat suara sampai 35%. Ini yang disebut ‘Jokowi Effect’. Efek-efek
yang banyak disebut berhari-hari setelah Pileg oleh pembela Jokowi adalah efek
definisi ngga-ngga mereka sendiri untuk membela Jokowi. Dengan mempercayai
Jokowi Effect itu, Megawati, Puan dan PDIP setuju deklarasi pencapresan, dengan
harapan suara minimum 27% akan mantap untuk memajukan duet Jokowi-Puan. Karena
itu pula, tentu tidak ada salahnya Puan mulai menonjolkan diri di billboard dan
di iklan, sebagai seseorang yang segera akan menjadi cawapres. Toh selama ini
dia setia mendampingi bundanya membangun partai. Itu tak ada artinya
dibandingkan penggorengan image Jokowi selama 1,5 tahun terakhir oleh media.
Ternyata
Puan dan Megawati tertipu. Hasil pileg jauh di bawah 35%, bahkan jauh di bawah
target Puan yang digambarkannya gede-gede di paving block dengan kapur.
Tiba-tiba saja, Jokowi Effect jadi banyak syarat. Karena cuma beriklan 3 hari
jadi tidak effect. Karena jarang pakai pesawat jet jadi tidak effect. Tetap perlu caleg PDIP untuk kerja keras, bukan
seperti yang dikira selama ini : asal memajang foto bersama Jokowi yang nyengir
lebar sudah cukup. Lebih mengenaskan lagi, Jokowi
selalu ngotot atas kelebihan dirinya dengan menyalahkan Puan dan PDIP.
Kedua,
meskipun ditunjuk menjadi pemimpin negosiasi, sejak pengusiran dan pecahnya
berita tersebut di Jakarta Post, tiba-tiba saja Puan raib. Ada banyak opini
yang ditulis di media, seperti Wimar Witoelar, yang menyebut bahwa sebaiknya
Jokowi yang didapuk untuk menego koalisi. Tiba-tiba saja Jumat itu Jokowi yang
bersafari ke sana kemari. Pertanyaannya, apakah semudah itu menyisihkan Puan…? Apakah Megawati memang memilih mengesampingkan anak biologis
dan ideologisnya, demi si anak angkat dan boneka yang kian hari kian terbongkar
topeng ambisi dan ketamakannya…?
Titik saat
ini merupakan titik paling kritis baik untuk Megawati maupun Jokowi. Jokowi
mungkin berpikir, dengan jebakan deklarasi itu, Megawati telah disudutkan pada
‘point of no return’, tetap mendukung pencapresannya atau beresiko semakin
dimusuhi rakyat. Itu bisa terjadi, kalau dia pintar mengelola persepsi publik
agar tetap positif terhadapnya, dibantu media-media yang didanai sponsornya.
Gerah manut dan dijuluki boneka, pembangkangannya terhadap Megawati meningkat.
Seiring dengan kegalauan dan kepanikannya untuk menekan Megawati memastikan
tiket pencapresannya. Andaikan pada Jumat itu, Jokowi telah mengamankan
dukungan 3 partai : NasDem, Golkar dan PKB, berarti telah memastikan definitif
pencapresannya dengan 39%-40% suara. Apa lacur, yang
dia dapat hanya 7% dari Paloh, penolakan ARB dan tarik-ulur Cak Imin.
Di
pihak lain, Megawati bukan tak punya pilihan. Bahkan kecenderungan untuk
membatalkan pencapresan Jokowi itu sudah sangat kencang. Mungkin inilah tujuan
Jakarta Post membocorkan pengusiran itu. Untuk memancing reaksi publik, supaya
Jokowi tidak dibuang diam-diam. Berita itu juga sukses mencoreng dan
mengandangkan Puan, setidaknya untuk sementara.
Sampai
dengan batas pendaftaran ke KPU, kendali sebenarnya tetap di tangan Megawati.
Manuver dari kader yang menurut Winters, tidak disukainya dan tidak menyukainya
ini, sudah semakin tidak terkendali. Boneka sudah hendak memakan tuannya.
Sebelum deklarasi, sudah membibitkan ProJo melawan ProMeg. Dan kini berani
menyabot donasi cukong agar langsung ke dirinya bukan ke kas partai. Begitu namanya didaftarkan resmi ke KPU, Jokowi tak butuh
Megawati lagi. Melihat yang terjadi pada Puan, ini bisa jadi awal pemunahan
trah Soekarno di PDIP.
Di tengah
kemelut ini, Jokowi boleh dibilang sudah bukan lagi capres setengah dewa tapi
capres setengah ronin. Mitos capres setengah dewa sudah rontok oleh hasil
pemilu. Jokowi ternyata bukan cukup dengan sandal jepit bisa menang, tapi butuh
cawapres yang kuat, butuh babysitter yang bagus, butuh koalisi dengan partai
lain. Sementara dengan segala pembangkangan dan manuvernya yang makin
telanjang, upayanya memarginalisasi Puan, juga
kepanikan dan kegalauan yang merupakan tanda-tanda dari ketidak-matangan
berpolitik dan mental yang tidak kuat; bisa semakin menguatkan resolusi
Megawati untuk membatalkan pencapresannya.
Ronin
artinya samurai tanpa shogun, tanpa tuan, tanpa rumah. Capres ronin artinya
capres tanpa partai, yang mengaku punya puluhan juta pendukung sekalipun.
Capres setengah ronin artinya apabila tidak hati-hati, selangkah lagi bernasib
ronin. Capres ronin akan berkelana sendiri mencari-cari partai yang masih percaya
mitos kekuatan dan popularitasnya. Pertanyaannya, siapa yang mau beli barang
yang sudah dibuang tuannya…?
Source: Go Teng Shin
KabarNet
***
{بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ
شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ
لَا يَعْقِلُونَ} [الحشر: 14]
…
permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu
bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (QS Al-Hasyr/59: 14).
(nahimunkar.com)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan