Berikut Pendapat Imam Syafi’i ;
“Adapun membaca Al-Qur’an dan menjadikan
pahalanya untuk mayat, sholat atas mayat dan juga yang semisal keduanya maka madzhab Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya hal hal tersebut tidak akan sampai kepada mayat” (Al- Minhaaj syarh Shahih Muslim 11/58).
pahalanya untuk mayat, sholat atas mayat dan juga yang semisal keduanya maka madzhab Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya hal hal tersebut tidak akan sampai kepada mayat” (Al- Minhaaj syarh Shahih Muslim 11/58).
Berikut penjelasan Tahlilan dari Wali Sanga;
HET BOOK VAN BONANG buku ini
ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo .Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap .
Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran- ajaran Islam . Dalam naskah kuno itu diantara nya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ” Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk BIDA’H ” .
Sunan Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu ”.
ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo .Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap .
Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran- ajaran Islam . Dalam naskah kuno itu diantara nya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ” Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk BIDA’H ” .
Sunan Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu ”.
Sunan Ampel : “ Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa
adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal
dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi BID’AH ?
Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang
hari ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64) .
Sunan Ampel , Sunan Bonang , Sunan Drajat , Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni , baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme / mencampurkan , memadukan ajaran Hindu dan Budha dengan Islam. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita , seperti sekatenan , ruwatan , shalawatan , tahlilan , upacara tujuh bulanan dll . [ Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia ] , hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu .
Sunan Ampel , Sunan Bonang , Sunan Drajat , Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni , baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme / mencampurkan , memadukan ajaran Hindu dan Budha dengan Islam. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita , seperti sekatenan , ruwatan , shalawatan , tahlilan , upacara tujuh bulanan dll . [ Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia ] , hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu .
NASEHAT SUNAN BONANG
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “ Het Book van Mbonang ” itu adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih , dan mencegah diri dari kesesatan dan BID’AH .
Bunyinya sebagai berikut :
“ Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“. Artinya : “ Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan BIDA’H .
Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid , yang tersimpan di Museum Leiden , Belanda . Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti . Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816 , dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881 , Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun 1935
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “ Het Book van Mbonang ” itu adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih , dan mencegah diri dari kesesatan dan BID’AH .
Bunyinya sebagai berikut :
“ Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“. Artinya : “ Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan BIDA’H .
Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid , yang tersimpan di Museum Leiden , Belanda . Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti . Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816 , dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881 , Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun 1935
Berikut Penjelasan dari Syaik Nawawi Al Bantani ;
Syekh Nawawi al-Bantani , Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu .
“ Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara ’ adalah dianjurkan , namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya , sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh , atau ke duapuluh, atau ke empatpuluh , atau ke seratus dan sesudah nya hingga di biasakan tiap tahun dari kematian nya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukum hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim ”. (an-Nawawy al-Bantani , Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281) .
Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50)
Syekh Nawawi al-Bantani , Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu .
“ Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara ’ adalah dianjurkan , namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya , sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh , atau ke duapuluh, atau ke empatpuluh , atau ke seratus dan sesudah nya hingga di biasakan tiap tahun dari kematian nya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukum hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim ”. (an-Nawawy al-Bantani , Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281) .
Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50)
* Semoga Bermanfaat –
Nodiey Nodi
Nodie via fp nahimunkar.com
***
Bagaimana hukum Tahlilan Menurut Imam Syafii?
Benarkah bahwa imam Syafi’i yang diklaim sebagai madzab yang diikuti
oleh sebahagian besar oleh umat Islam di negeri ini menganjurkan tahlilan/
selamatan kematian atau justru MELARANGNYA?
Ternyata kegiatan (semacam) tahlilan ini dari sejak jaman sahabat
dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam.
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami (yakni para
Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat)
bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah
ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat
yang shahih.
Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang
dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu.
bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Ada
dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan
bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.
Pandangan Imam Syafii.
Nah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya-
mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat
dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang
kegiatan tahlilan ini?
Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata Imam Syafii berkaitan
dengan hal ini;
“Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan
memperbaharui kesedihan.”
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang
dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
Membaca Al Qur’an untuk orang mati (menurut Imam Syafi’i).
Dalam Al Qur’an, di surat
An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.
Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya
sebagai berikut;
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,
demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa
yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama
yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan
sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena
itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya
(untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga
pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik
dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat
(sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah
mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).
Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului
kita mengamalkannya.
Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak boleh
dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”
Jadi, dari keterangan Ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al
Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai,
dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum
muslimin di negeri ini.
Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?
Wallahu a’lam.
Rujukan: Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzab &
Hukum Membaca al Qur’an untuk Mayit bersama Imam Syafii, karya ust. Abdul Hakim
bin Amir Abdat./ http://aslibumiayu.wordpress.com,
diringkas.
(nahimunkar.com)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan