Selama puluhan tahun opini
kita telah digiring untuk menempatkan Jenderal Suharto sebagai Dalang dari
peristiwa G30S/PKI. Selama puluhan tahun pula opini kita digiring untuk memuduh
Jenderal Suharto sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian
jutaan rakyat tidak berdosa yang menjadi korban sebagai dampak dari peristiwa
pembantaian 7 perwira TNI AD di Lubang Buaya. Bahkan julukan Sang Penjagal
disematkan pada diri jenderal Suharto.
Berbagai versi cerita
dikarang pihak-pihak tertentu untuk memojokan jenderal Suharto. Ada juga versi
cerita yang menunjukan bila sebelum peristiwa pembantaian ke 7 perwira TNI AD
ternyata Kolonel Latief yang juga mantan bawahan Suharto ketika masih di Kodam
Diponegoro telah melakukan beberapa pertemuan dengan Suharto bahkan hingga
malam kejadian yaitu tanggal 18, 28, 29 dan 30 September 1965. Bahkan kondisi
Tommy Suharto yang masuk Rumah Sakit dituduh sebagai akal-akalan Suharto agar
tetap berada di Jakarta. Semua versi cerita dikarang dengan satu tujuan untuk
menunjukan kalau Suharto yang terlihat santun hanyalah pura-pura atau kamuflase
untuk menutupi kelakuannya yang buruk.
nggiring opini kita agar
membenci Suharto. Berbagai versi cerita tentang masa lalu Suharto yang buruk
dikarang agar versi cerita yang mereka karang terlihat kapabel. Ada cerita yang
dikarang seolah-olah Suharto memiliki dendam pribadi kepada semua korban yang
terbunuh di Lubang Buaya. Ada versi cerita yang dikarang seolah-olah Suharto
berkelakuan asusila karena memiliki hubungan gelap dengan seorang artis bernama
Rahayu Effendi. Bahkan dikarang cerita seolah-olah telah terjadi wawancara
dengan para tetangga Rahayu Effendi di Bogor kalau memang pernah terjadi
penyiraman tinja kerumah Rahayu Effendi yang di Bogor. Ada juga versi cerita
yang mempertanyakan mengapa Suharto tidak menjadi bagian dari target pembunuhan
dimalam itu. Bahkan ada versi cerita yang memasukan nama Jenderal Gatot Subroto
sebagai pihak yang paling membela Suharto dengan alasan Suharto memiliki
potensi yang masih bisa dibina.
Disini penulis akan
menunjukan kalau semua cerita tersebut hanyalah cerita bohong atau cerita
Fitnah yang bertujuan mendiskreditkan sosok Suharto agar dibenci rakyat
Indonesia.
Pertama kita membahas tentang
"Dendam Suharto". Versi cerita ini menceritakan bila ditahun1959, Suharto
ditangkap oleh Nasution dan Ahmad Yani atas kasus pencurian pentil dan ban
sewaktu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dengan pangkat Kolonel. Versi
cerita ini tidak tanggung-tanggung memasukan semua nama perwira yang menjadi
korban G30S/PKI menjadi anggota oditur yang akan menghakimi kasus Suharto. Nama
Pranoto juga dimasukan sebagai orang yang dituduh Suharto sebagai orang yang
melaporkan kejadian ini pada Ahmad Yani. Versi cerita ini malah berusaha
menggambarkan bila Ahmad Yani sempat menampar Suharto karena telah melakukan
tindakan tercela yang memalukan korps TNI AD. Disini penulis melihat satu
kejanggalan dalam cerita tersebut. Penulis lalu mempertanyakan, apakah begitu
bodohkah korps TNI AD dalam mempromosikan prajuritnya yang terbukti melakukan
tindakan pidana kriminil untuk menduduki jabatan pening yang strategis ? Penulis
juga melihat satu keanehan yang sangat fatal, ternyata saat diangkat menjadi
Panglima Trikora ditahun1961, pangkat Suharto sudah menjadi Mayjen. Lalu muncul
pertanyaan, "untuk seorang prajurit yang terbukti bersalah melakukan
tindak pidana kriminil, kog bisa ya naik pangkat secara cepat dalam temo 2
tahun naik pangkat 2x bahkan mendapat promosi jabatan strategis". Berarti
versi cerita ini terbukti hanyalah cerita bohong dengan tujuan memfitnah
Suharto agar dibenci rakyat Indonesia.
Kedua mari kita bahas lagi
tentang versi kelakuan asusila dari sosok Suharto. Versi cerita ini
menggambarkan ternyata dibalik sikap santun Suharto tersembunyi sifat buruk
dengan kelakuan yang amoral. Versi cerita ini dikarang agar Suharto terlihat
sama atau malah lebih buruk dibanding sosok Sukarno. Versi cerita ini malah
menunjukan kalau dari kelakuan asusila Suharto telah melahirkan satu anak
manusia yang bernama Dede Yusuf. Versi cerita ini dikarang dengan mengaitkan
kemiripn wajah Dede Yusuf dengan wajah Tommy Suharto ataupun wajah Bambang
Trihatmodjo. Disini penulis juga melihat satu kejanggalan saat menelusuri
biografi aktor Dede Yusuf. Ternyata aktor Dede Yusuf lahir pada tanggal 14
September 1966. Itu artinya bila memang telah terjadi affair, berarti affair
tersebut terjadi sebelum tahun 1966. Lalu penulis berpikir, apakah mungkin hal
itu terjadi disaat suasana negeri ini genting Suharto sempat-sempatnya
melakukan affair seperti Sukarno yang memang biadab dalam hal urusan perempuan.
Dari versi cerita ini kembali dibuktikan bahwa telah terjadi character
assasination kepada Suharto dengan tujuan agar Suharto semakin dibenci rakyat
Indonesia.
Mari lagi kita membahas
perihal pertanyaan "mengapa Suharto tidak menjadi target dari operasi".
Kita semua tentu tahu kalau semua perwira TNI AD yang menjadi korban kebrutalan
PKI adalah mereka yang menolak proposal yang diajukan PKI mengenai Angkatan ke
V. Mereka yang menjadi korban adalah para petinggi di Markas Besar AD. Suharto yang
ketika itu menjabat sebagai Pangkostrad bukanlah bagian dari Mabes AD yang
dapat memberi keputusan tapi Suharto hanyalah bagian dari mereka yang
menjalankan keputusan yang diambil Mabes AD. Sebagai Pangkostrad, Suharto
selalu siap menjalankan setiap perintah yang dikeluarkan Mabes AD. Itulah yang
menjadi alasan kalau Suharto bukanlah orang penting yang pantas dijadikan
target operasi.
Terakhir mari kita membahas
perihal pertemuan-pertemuan antara Suharto dengan Kolonel Latief yang "katanya"
terjadi pada tanggal 18, 28, 29 & 30 September 1965. Disini penulis ingin
mengajak pembaca untuk berpikir lebih kritis dengan situasi yang dihadapi
Suharto saat itu. Kalaupun benar telah terjadi beberapa pertemuan antara
Suharto dengan Kolonel Latief yang berkaitan dengan rencana penjemputan paksa
para perwira TNI AD, maka cobalah kondisikan keadaan kita sebagai Suharto kala
itu. Apakah yang akan dilakukan Suharto dengan situasi seperti itu ? Ada
beberapa kemungkinan untuk menggambarkan situasi yang dihadapi Suharto saat itu
;
1. Apakah Suharto harus
melaporkan kepada para atasannya seperti Nasution, Ahmad Yani dll bahwa akan
terjadi suatu penindakan kepada diri mereka yang akan dilakukan oleh pasukan
Cakrabirawa atas perintah Sukarno ? (sesuai dengan kesaksian Kolonel Untung
saat dipersidangan yang mengaku mendapat perintah namun tidak menyebut nama
sang pemberi perintah)
2. Apakah Suharto harus
melaporkan kepada Sukarno yang secara implisit diketahui yang memberi perintah
kepada Kolonel Untung untuk "memberi pelajaran" kepada para perwira
TNI AD yang dianggap tidak loyal kepada Sukarno ?
3. Haruskah Suharto mencoba
menghentikan tindakan yang akan dilakukan Kolonel Untung dkk sementara Suharto
mengetahui bila yang memberi perintah adalah orang no 1 di negeri ini ? Bisa
anda bayangkan akibat dari tindakan Suharto bila dirinya mencoba menghalangi
tindakan yang akan diambil Kolonel Untung ?
Dari 3 kondisi yang harus
dilakukan Suharto maka dapat diambil kesimpulan bahwa sikap diam dan menunggu
tindakan apa yang kira-kira dilakukan Kolonel Untung adalah yang terbaik
dilakukan Suharto. Perlu diketahui jika operasi "memberi pelajaran" pada
para perwira TNI AD yang dilakukan Kolonel Untung yang dibagi dalam 3 tim juga
didukung oleh anggota TNI dari angkatan yang lain seperti Mayor KKO Soedarno, Mayor
Udara Sudjono dan Kombes Pol Imam Soepojo. Dari kondisi ini juga akan
memunculkan pertanyaan yang lain, Mungkinkah seorang Suharto mampu menggerakan
anggota prajurit dari Korps yang berbeda untuk melakukan perintahnya ? Penulis
mempersilahkan pembaca untuk memikirkannya dengan cermat.
Setelah membahas beberapa
Fitnah yang ditujukan kepada Suharto, penulis ingin mengajak pembaca untuk
merenung sejenak dan bertanya, "APAKAH MAKSUD dan TUJUAN DARI SEMUA FITNAH
YANG DITUJUKAN KEPADA SUHARTO ? Kita semua tentu tahu dan faham kalau setiap
cerita fitnah yang dibangun/diciptakan pasti memiliki maksud dan tujuan.
Sekarang penulis ingin
mengajak pembaca keperistwa tragedy G30S/PKI. Kita tentu sepakat mengatakan
kalau orang yang merancang peristiwa tersebut sebagai dalang yang harus
bertanggung jawaab atas peristiwa pembantaian yang terjadi selajutnya. Setelah
mencermati berbagai fakta sejarah yang terjadi diseputar peristiwa G30S/PKI, sebelum
dan sesudah peristiwa serta karakter dari tokoh-tokoh yang memungkinkan untuk
melakukan tindakan tersebut maka penulis mengambil kesimpulan bila tokoh yang
paling memungkinkan untuk melakukan itu adalah tokoh yang memiliki karakter "Raja
Tega". Setelah mencermati karakter dan masa lalu dari tiap tokoh maka
penulis megambil satu kesimpulan bahwa hanya Sukarno yang memiliki karakter
seperti itu. Penulis juga menelusuri fakta-fakta yang terjadi diseputar
perstiwa tersebut. Penulis menelusuri fakta peristiwa yang terjadi sebelum
peristiwa G30S/PKI meletus serta fakta peristiwa yang terjadi pasca perstiwa
tersebut terjadi.
Mari kita membahas karakter
dari Sukarno. Penulis tadi mengatakan kalau Sukarno memiliki karakter yang tega
melakukan apapun demi mencapai ambisi pribadinya. Pada masa penjajahan Jepang, Sukarno
adalah salah satu Kolaborator Jepang yang tega mengirim rakyat Indonesia menuju
neraka kematian mereka sebagai Romusha. Sukarno juga tega mengirim perempuan-perempuan
Indonesia untuk menjadi pemuas nafsu birahi para tentara Jepang. Lalu kita
lihat lagi kasus yang menimpa Dr Suwondo, suami dari Hartini. Sukarno juga tega
memenjarakan Dr Suwondo demi mendapatkan pujaan hatinya (sebenarnya sih, pujaan
isi celana dalamnya). Lalu kita juga melihat bagaimana tindakan Sukarno kepada
Mayor Shakir yang merupakan tunangan dari Haryatie. Sukarno juga tega
memenjarakan Mayor Shakir demi mendapatkan Haryatie. Dari 2 kejadian terakhir
kita dapat melihat bagaimana Sukarno tega melakukan sesuatu yang brutal kepada
rakyat Indonesia demi kepuasan pribadinya dengan memanfaatkan kekuasaan yang
dia miliki.
Sekarang penulis ingin
mengajak pembaca untuk menelusuri karakter Suharto. Sampai hari ini penulis
belum pernah menemukan atau mengetahui ada kelakuan pribadi Suharto yang
menyimpang dari norma etika dan kesusilaan. Kesetiaan cintanya pada isteri
tercintanya ibu Tien membuat dugaan penulis semakin kuat kalau Suharto bukanlah
type manusia yang tega melakukan sesuatu diluar norma etika dan susila. Bukti-bukti
cerita fitnah yang dikarang untuk mendiskreditkan Suharto malah semakin
menguatkan keyakinan penulis bahwa mereka yang menebar cerita fitnah kepada
Suharto pasti sudah kehilangan akal sehat untuk mencari-cari kesalahan Suharto
yang berupa fakta, akhirnya mereka mengarang-ngarang cerita bohong tentang
Suharto. Mereka memanfaatkan filosofi yang diterapkan Suharto, filosofi Mikhul
Dhuwur Mendhem Jero serta filosofi Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang
Menghormati jasa para Pahlawannya. Bertahun-tahun mereka menebar cerita fitnah
ini tanpa mengenal lelah sehingga terbukti para generasi muda saat ini mulai
dan sudah menganggap kalau semua cerita bohong yang mereka sebarkan selama ini
sebagai sebuah kebenaran yang hakiki.
Berikut ini penulis akan
memaparkan beberapa fakta peristiwa sejarah yang terjadi sebelum dan sesudah
peristiwa G30S/PKI yang menjadi indikasi keterlibatan Sukarno.
1. Tindakan anarkis para
anggota PKI yang tdk direspon pemerintah.
Selama kurun beberapa tahun
sebelum peristiwa G30S/PKI meletus telah terjadi beberapa peristiwa tragis yang
menimpa rakyat Indonesia yang dilakukan oleh para anggota PKI beserta
organisasi sayap yang berada dibawahnya seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani
Indonesia, Gerwani, Lekra dll. Ratusan Ulama NU telah dibantai PKI tanpa ada
tindakan berarti dari pemerintah dalam hal ini Sukarno. Pada berbagai peristiwa
berdarah yang memakan korban jiwa, Sukarno seolah-olah melaakukan pembiaran karena
tidakpernah mengeluarkan kebijakan yang berarti untuk menghentikan peristiwa
tersebut terjadi.
2. TNI AD tidak menyerahkan
pasukan Elitnya, RPKAD untuk menjadi bagian dari pasukan Cakrabirawa
Tidak seperti Angkatan yang
lain, ternyata TNI AD menyerahkan pasukan kelas duanya sebagai bagian dari
pasukan Cakrabirawa. Kita semua tentu tahu bila semua Angkatan ketika itu telah
menyerahakan pasukan terbaiknya untuk menjadi bagian dari pasukan Cakrabirawa
sebagai bentuk ketaatan dan kesetiaan kepada "Yang Mulia Sri Paduka, Bapak
Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Putra Sang Fajar, Panglima
Tertinggi dll, dll, dll". TNI AL menyerahkan pasukan KKO, TNI AU
menyerahkan PGT dan Kepolisian menyerahkan Brimob, tapi TNI AD hanya
menyerahkan pasukan reguler biasa yang telah dilatih keahlian setingkat para
komando yang diberi nama pasukan Banteng Raider untuk menjadi bagian dari
pasukan Cakrabirawa. Bisa anda bayangkan bagaimana perasaan Sukarno saat
mengetahui hal tersebut. Ini juga menjadi bukti kalau Sukarno melihat TNI AD
memang tidak sepenuhnya loyal kepada dirinya.
3. Peristiwa Bandar Besty
yang menewaskan satu anggota TNI AD
Peristiwa tragedy Bandar
Betsy yang menewaskan seorang prajurit TNI AD yang bernama Peltu Sudjono pada
tangga 14 Mei 1965 yang dilakukan para anggota Pemuda Rakyat dan Barisan Tani
Indonesia yang merupakan organisasi sayap dari PKI. Peristiwa ini mengundang
reaksi keras dari para petinggi TNI AD terutama Jenderal Ahmad Yani selaku
Menpangad waktu itu. Bayak pihak mengatakan kalau peristiwa tragedy Bandar
Betsy merupakan cikal bakal dari peristiwa-peristiwa selanjutnya yang memuncak
pada peristiwa berdarah Tragedy Lubang Buaya.
4. Pidato Jenderal Ahmad Yani
di Markas RPKAD di Cijantung saat HUT RPKAD
Pidato Jenderal Ahmad Yani di
Markas RPKAD di Cijantung saat perayaan HUT RPKAD ditahun1965. Jenderal Ahmad
Yani dengan terang-terangan meminta para prajurit RPKAD untuk mempersiapkan
diri mereka dengan segala kemungkina yang akan terjadi. Pada kesempatan ini
Jenderal Ahmad Yani secara terbuka mengatakan akan menuntut balas atas kematian
salah satu prajuritnya yang tewas di Bandar Betsy, Sumut.
5. Sukarno mengaku sudah
sakit-sakitan tapi disaat yang sama menjalin hubungan dengan Heldy Jaffar
Pada bulan Juli 1965
diketahui bila Sukarno pernah memberikan amanat agar kelak Jenderal Ahmad Yani
yang akan menggantikan dirinya bila suatu waktu kondisi kesehatannya kian
memburuk. Ada beberapa kesaksian yang memperkuat pernyataan ini. Sukarno
mengatakan hal tersebut saat melakukan rapat dengan para petinggi di negeri ini.
Dikabarkan Soebandrio, Nasution dan beberapa yang lainnya juga mendengar
permintaan ini. Kita semua tentu tahu kalau Sukarno adalah typikal orang yang
mampu meyakinkan lawan bicaranya untuk mempercayainya. Namun banyak yang tidak
mengetahui bila disaat yang sama Sukarno juga ternyata sedang mendekati seorang
gadis belia yang bernama Heldy Jaffar. Disini penulis bingung dengan pernyataan
"sakit keras" tapi masih sempat-sempatnya melakukan affair.
6. Pada malam kejadian, Sukarno
berkeliling Jakarta bersama Ratna Sari Dewi namun pagi dini hari sudah berada
di pangkalan udara Halim Perdana Kusumah.
Pada malam peristiwa
pembantaian 7 perwira TNI AD terjadi, semua tahu bila dimalam itu Sukarno
bersama Ratna Sari Dewi berkeliling Jakarta menikmati malam hingga menjelang
dini hari. Lalu pada dini harinya Sukarno sudah berada di pangkalan udara Halim
Perdana Kusumah. Tidak ada yang tahu dalam rangka urusan apa Sukarno berada di
pangkalan udara Halim Perdana Kusumah sepagi itu. Hanya Sukarno dan Tuhan yang
tahu alasan Sukarno berada di Halim dipagi buta.
7. Sukarno tidak pernah
menunjukan rasa empaty atas kematian 7 putra terbaik bangsa.
Pasca tragedy G30S/PKI, tidak
sekalipun Sukarno menunjukan rasa simpatik dan empaty atas peristiwa yang
menimpa 7 putra terbaik bangsa itu. Sukarno malah menganggap peristiwa
pembantaian ke 7 perwira TNI AD bagai Riak Kecil Ditenga Samudera Yang Luas. Itu
merupakan bentuk pernyataan yang mengecilkan arti kematian mereka yang dibantai
di Lubang Buaya. Sukarno seolah-olah menganggap kematian mereka sebagai hal
yang sepele dan tidak ada artinya. Penulis jadi teringat dengan nasib jutaan
rakyat Indonesia yang dikirim Sukarno sebagai Romusha dan Jugun Ianfu. Arti
nyawaa mereka juga tidak ada artinya dimata seorang Sukarno.
8. Sukarno selalu & tetap
membela PKI diberbagai kesempatan.
Diberbagai kesempatan, Sukarno
selalu membela keberadaan PKI dan tidak berkeinginan untuk membubarkannya. Bahkan
pada bulan Februari 1966 dalam satu kesempatan dihadapan para simpatisan PKI
Sukarno dengan tegas mengatakan akan menghabisi orang-orang atau kelompok-kelompok
yang Fhobia kepada Komunis. Ini menjadi momen bagi rakyat kalau Sukarno memang
cenderung membela PKI dibanding membela mereka yang dibantai atau didzolimi PKI.
9. Sikap bangga & terhormat
Kolonel Untung karena mampu menjalankan tugasnya.
Kolonel Untung saat
persidangan.
Harus diketahui, Kolonel
Untung sebagai komandan eksekutor dari peristiwa pembantaian 7 perwira TNI AD di
Lubang Buaya pantas mendapat apresiasi. Sebagai prajurit Sapta Marga, Kolonel
Untung telah menunjukan sifat ksatrianya. Dari keterangan Kolonel Untung
diketahui nama-nama anggota TNI yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut.
Dari keterangan Kolonel Untung juga diketahui cara kerja dan pembagian tim
penjemputan para korban. Hanya satu nama yang tidak disebutkan oleh Kolonel
Untung yaitu nama tokoh yang memberi perintah untuk melakukan operasi tersebut.Namun
dari sikap bangga Kolonel Untung yang merasa terhormat karena telah menjalankan
tugasnya dengan baik memunculkan dugaan pada satu tokoh, yaitu Sukarno. Semua
prajurit pasti akan merasa bangga dan merasa terhormat bila mampu menjalankan
perintah "Yang Mulia Sri Paduka Bapak Pemimpin Besar Revolusi, Panglima
Tertinggi ABRI, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Putra Sang Fajar, dll, dll, dll".
10. Sikap percaya diri
Sukarno saat mengawini Heldy Jaffar.
Inilah peristiwa yang menjadi
titik balik keangkuhan dan rasa percaya diri Sukarno. Sukarno yang melihat
kalau rakyat Indonesia masih percaya pada dirinya melakukan Blunder yang paling
fatal. Pada bulan Mei 1966, dengan rasa percaya diri Sukarno mengawini seorang
gadis belia yang telah diincar selama setahun ini yang bernama Heldy Jaffar. Pasca
perkawinan ini, rakyat Indonesia yang dianggap Sukarno masih bodoh karena
mayoritas masih buta huruf ternyata bisa melihat fakta yang sebenarnya. Rakyat
melihat ternyata Sukarno yang selama ini mereka sanjung lebih mementingkan
kepentingan isi celana dalamnya dibanding isi perut rakyatnya. Rakyat Indonesia
seolah tersadar dari hipnotis orasi-orasi fantastis Sukarno yang selalu
diselipi kata-kata berbau bahasa Bealanda dan jargon yang menggunakan bahasa
Sansekerta. Demo rakyat yang semula hanya menuntut keadilan dan pemenuhan
kebutuhan hidup mulai berubah menjadi demo menuntut pelengseran Sukarno.
Akhirnya pada bulan Juni 1966
Sukarno diseret ke Sidang Istimewa MPRS untuk mempertanggung jawabkan
kinerjanya sebagai Presiden RI dihadapan para anggota MPRS. Ternyata cara yag
dilakukan Sukarno ditahun 1959 pasca Dekrit Presiden menjadi bumerang bagi
dirinya. Jika ditahun 1959, Sukarno dengan ujung jari telunjuknya mengangkat anggota Dewan maka ditahun 1966
Nasution dan Suharto melakukan hal yang sama melakukan penunjukan untuk menjadi
anggota Dewan. Ini namanya "Senjata Makan Tuan".
by : Elya Agustiati
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan