Oleh: M Hatta Taliwang
PERISTIWA Gerakan 30 September sudah 48 tahun berlalu.
Tokoh-tokoh yang terlibat atau dituduh terlibat mungkin semuanya sudah tiada
(meninggal-red). Saat peristiwa itu terjadi, saya sendiri masih duduk dikelas 5
Sekolah Rakyat (sekarang SD) dipedalaman Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Jenderal AH Nasution adalah salah satu yang menjadi target
utama penculikan dalam peristiwa tersebut, namun ia berhasil menyelamatkan
diri, meskipun anak bungsunya, Adek Irma Suryani, dan ajudannya Lettu P Tendean
turut menjadi korban terbunuh.
Sejak awal 1960-an, konflik antara Angkatan Darat (AD)
dengan PKI sudah mulai memanas. Soekarno dengan politik anti
imperialisme/neokolonialisme-nya lebih merapat ke PKI.
Seiring mesranya hubungan Soekarno dengan PKI/Blok Timur, seiring
itu pula hubungan Soekarno dengan Nasution merenggang, hingga akhirnya Nasution
disingkirkan. Menurut Nasution, sebelum tahun 1960, politik Soekarno relatif
netral dan belum anti barat.
Sepanjang tahun 1965, saling curiga antara Angkatan Darat
dengan PKI semakin memuncak, hingga akhirnya terjadilah peristiwa G30S yang
memakan korban terbunuhnya 6 (enam) Jenderal AD.
Dalam buku yang ditulis Julius Pour “G30S Fakta Atau
Rekayasa” terbitan Kata Hasta Pustaka
2013 tertulis, bahwa pada tanggal 13 Februari 1967, Jenderal Nasution secara
terbuka menuduh Presiden Soekarno terlibat dalam peristiwa 30 September.
Minimal Bung Karno telah mengetahui, bahwa akan terjadi aksi penculikan
terhadap 7 Jenderal Angkatan Darat (Halaman 378).
Bagaimana mungkin Jenderal Nasution yang sejak 1955 hingga
1962 menjadi KSAD kepercayaan Soekarno, dan bersama-sama berdjoang mendekritkan
kembali ke UUD 1945 sampai pada kesimpulan demikian?
Seandainya Nasution yang wafat pada 06 September 2000
membaca apa yang ditulis dalam buku Julius Pour, dimana banyak fakta dan
penjelasan-penjelasan baru dari berbagai sumber dan tokoh, mungkinkah Jenderal
AH Nasution akan meralat kecurigaannya pada Soekarno?
Untuk lebih mendalami argumentasi Nasution, sebaiknya kita
ikuti potongan-potongan tulisan dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas” Jilid
VI terbitan CV.Haji Masagung 1986.
Mungkin argumentasi telah menimbulkan perdebatan, tapi biarlah itu
menjadi urusan ahli sejarah.
Berikut ini beberapa petikan penting: “Biar engkau dahulu
Jenderal Petak di tahun 1945, tetapi kalau sekarang memecah persatuan nasional
revolusioner, kalau sekarang mengacaukan front Nasakom, kalau sekarang memusuhi
sokoguru-sokoguru revolusi, engkau jadi tenaga reaksi” (pidato kenegaraan Bung
Karno 17 Agustus 1965, hal 165).
“Saya mendengar dari Muallif Nasution (Alm), yang kerap
menjadi penghubung pribadi Bung Karno dengan Peking, betapa pihak Cina semakin
menuding saya sebagai tokoh militer yang negatif terhadap Bung Karno, dan perlu
diselesaikan” (Hal 166).
Usai menghadap Bung Karno pada 29 September 1965, Jaksa
Agung Muda Sunaryo menemui Jenderal Sabur (Ajudan Bung Karno), dan meneruskan
desakan dari Bung Karno, agar selekasnya menindak saya dan Jenderal-Jenderal
lainnya (Hal 178).
Sebagian dialog antara Brigjen Sugandhi dengan DN Aidit (27
September 1965) adalah sebagai berikut; SUGANDHI: “Sudisman sudah bicara dengan
saya, tapi saya tak mau ikut PKI. Memangnya PKI mau adakan Kup? Saya (AB) punya
doktrin sendiri, ialah Saptamarga”.
DN AIDIT: “Bung, jangan bilang kup. Itu perkataan jahat. PKI
akan perbaiki revolusi yang dirongrong oleh Dewan Jenderal. Dan tiga hari ini
akan mulai. Bung ikut apa ndak? Ini semua Bung Karno saya sudah beritahu
semuanya”.
Lalu tanggal 30 September 1965, Sugandhi bertemu Bung Karno.
Berikut potongan dialognya; SUGANDHI: “Betul pak, Dewan Jenderal itu tidak ada.
Kan pak Yani sudah bicara sendiri, dan menjelaskan pada bapak, bahwa Dewan
Jenderal tidak ada. Dan lagi pak Yani itu kan orang yang sangat setia kepada
bapak, boleh dibilang rechterhand”.
PRESIDEN: “Sudah, kamu jangan banyak bicara. Jangan
ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang bapak dapat
memakan anaknya sendiri. Kamu tahu?” (Hal 175).
“Demikianlah, maka akhirnya isu “Dewan Jenderal” menumbuhkan
kesatuan niat dan rencana antara Bung Karno dan PKI. Pembicaraan-pembicaraan
Bung Karno tentang isu itu, dan dipihak lain pembicaraan-pembicaraan beliau
dengan Jenderal Syafiudin, Sudirgo, Sabur dan Sunaryo, memperkuat keyakinan
Presiden soal adanya Jenderal-Jenderal yang tidak loyal”.
Pada tanggal 29 September 1965, Jenderal Supardjo sendiri
menghadap Presiden di Istana, dan cukup lama berbicara. Dari penelitian,
kemudian dapatlah disimpulkan, bahwa Supardjo lah yang menjadi tokoh utama
militer dalam “operasi bersama” terhadap Jenderal-Jenderal Angkatan Darat, Yani
dkk dan saya sendiri. Tapi Letkol Untung lah (dari Cakrabirawa) yang ditunjuk
menjadi Ketua Dewan Revolusi, yang adalah logis, karena titik tolak bahwa saya
dan Yani di fitnah akan meng-kup Presiden, sehingga pengawal Presiden lah yang
pertama tampil membela” (Hal 177-178).
Kemudian pada tanggal 30 September 1965 malam lk pukul
23:00, sekembali Presiden dari Musyawarah Besar Tehnik di Senayan, beliau
meninggalkan Istana secara mendadak, setidak-tidaknya tidak menurut kebiasaan.
Seterrusnya beliau menginap dirumah Ibu Dewi. Sementara itu, DN Aidit lk pukul
22:00, dan Omar Dhani lk pukul 24:00 meninggalkan rumahnya masing-masing untuk
tidur di Halim dengan alasan untuk keamanan diri” (Hal 178-179).
Hampir semua yang ditulis pak Nasution sebagai bagian dari
kecurigaannya terhadap Soekarno dijelaskan dalam buku Julius Pour yang
bersumber dari Bung Karno, Aidit, Subandrio, Jenderal Supardjo, Kolonel Latief,
Mangil, Soeharto, Omar Dhani, Untung dan lain-lain.
Memang tidak mudah menyimpulkan peristiwa itu. Terlebih
dengan adanya dugaan keterlibatan pihak ke tiga, bahkan pihak asing yang
menunggangi dengan agendanya masing-masing. Juga sumber-sumber yang dikutip
Nasution tidak dapat diklarifikasi pada saat ini, lantaran kuatnya cengkeraman
rezim militer pasca G30S.
Dikutip dari :
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan