By Asqi Resnawan on 6:50 AM
Survei terbaru Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) masih mengunggulkan pasangan Jokowi-JK, sekalipun terpaut
tipis terhadap Prabowo-Hatta.
Menurut Direktur Eksekutif SMRC Djayadi
Hanan, tren kesukaan masyarakat terhadap capres Jokowi sampai April menurun 8%,
sementara tingkat kesukaan masyarakat terhadap Prabowo malah meningkat 8%.
Oleh : Rizal Amry
"Jika dirasio kan, antara 10 orang
yang suka Jokowi hanya 0.5 yang tidak suka, sekarang jadi 1.5 orang yang tidak
suka Jokowi. Maka, ada sesuatu yang bekerja selama sebulan ini sehingga
masyarakat menjadi tidak suka dengan Jokowi,"katanya dalam suatu acara diskusi,
di Jakarta, Rabu (bisnis.com, 21/5/2014).
Walhasil, setelah di bulan sebelumnya
Jokowi sempat unggul 20% diatas Prabowo dalam tingkat kesukaan masyarakat
menurut survei tersebut, kini hanya terpaut 3% saja. Fenomena ini juga
dibenarkan oleh hasil survei beberapa lembaga lainnya.
SMRC mensinyalir kampanye negatif yang
menyebabkan elektabilitas Jokowi terus tergerus cukup banyak.
Benarkah ?.
Banyak ahli dan pengamat politik tidak
meyakini kampanye negatif maupun kampanye hitam cukup efektif. Pakar komunikasi
politik Prof. Tjipta Lesmana adalah salah seorang diantaranya. Dalam sebuah
wawancara dengan Metro TV, Tjipta menyatakan hampir semua penelitian
menyimpulkan “black campaign” tidak efektif, kalaupun ada “minor” atau tidak
signifikan efeknya. Menurut Tjipta, hasilnya malah bisa berbalik, menimbulkan
“back fire effect” yang menampar muka sendiri. Untuk itu Prof. Tjipta
menyarankan pelaku “black campaign” agar membaca dulu buku-buku komunikasi, belajar
dulu komunikasi politik. Tanpa “tedeng aling-aling” beliau menyebut pemikiran
bahwa kampanye hitam bermanfaat, sebagai hal bodoh dan “damn stupid”. Boni
Hargens pada kesempatan yang sama, juga sependapat bahwa kampanye hitam bisa
menyerang balik karena masyarakat kita bersifat sentimental, bersimpati
terhadap korban. Menurut Boni, masyarakat juga sudah cerdas dan tidak akan
begitu saja mengubah preferensi politik.
Jika demikian, ikhwal apa yang
menggerogoti elektabilitas Jokowi ?.
Analisis tentu perlu diperluas, berbagai
aspek lain dan juga beberapa peristiwa terkini bisa memberi kontribusi, antara
lain sebagai berikut.
1.Sengketa Teritorial
Arogansi China
yang melakukan pengeboran minyak di laut yang masih disengketakan memicu
kerusuhan rasial di Vietnam.
Upaya Malaysia membangun
Mercusuar di Tanjung Datuk Kalimantan juga menimbulkan ketegangan dengan
pemerintah Indonesia.
Kedua peristiwa tersebut dan rentetan kejadian serupa lainnya, menyadarkan
publik bahwa sengketa teritorial akan menjadi masalah potensial negara ke depan,
dan sangat mungkin semakin memanas seperti di Vietnam. Dalam hal ini Prabowo yang
berlatar belakang militer dan jauh dari kesan “kelemer-klemer”, bisa jadi
diuntungkan. Selain dikenal sebagai tentara brilian, beliau juga pernah membawa
RI memiliki militer yang diperhitungan banyak Negara, terutama di kawasan
regional. Prabowo bisa jadi akan dipersepsikan publik sebagai satrio atau
“lelaki” yang tepat untuk zaman ini, yakni mampu melindungi setiap jengkal
tanah air Indonesia.
2.Brand “Tegas” vs “Jujur”
Salah satu kekurangan menyolok Jokowi
dibanding Prabowo adalah brand personality “tegas” yang melekat erat pada
rivalnya itu. Berpasangan dengan JK sama sekali tidak bisa menutupi kekurangan
Jokowi ini, kalau bukan memperjelas. Padahal sempat menguat wacana untuk
menyandingkan Jokowi dengan cawapres militer, sayangnya tidak menjadi kenyataan.
Keunggulan brand personality yang masih
tersisa pada Jokowi adalah muda, jujur dan sederhana. Namun brand ini terbukti
kurang kuat. Ada
banyak pemuda jujur dan sederhana di negeri ini. Hal yang lebih dibutuhkan
masyarakat dari seorang pemimpin adalah bukan sekedar jujur tapi mampu
“menularkan” kejujuran pada orang yang dipimpinnya. Kasus korupsi bis
Transjakarta, sedikit banyak memudarkan brand “jujur” pada Jokowi. Beliau bisa
dipersepsikan kurang cakap membina anak buah dan mengelola keuangan Negara.
Di sisi lain, Prabowo juga relatif muda
dan tidak punya masalah dengan kejujuran. Sulit bagi publik membayangkan
seorang yang sudah sangat kaya dan “bujangan” seperti beliau punya syahwat
untuk korupsi. Hal lainnya, beliau juga relatif sederhana untuk orang sekelas
beliau. Hobinya memelihara kuda juga tidak menjadi sebuah hal yang dianggap
glamour, kuda bukanlah ikon kemewahan bagi orang Indonesia.
3.Gagalnya Diversifikasi Brand Personality
Tim sukses Jokowi sudah mencoba
mengembangkan brand baru untuk Jokowi. Anis Baswedan membuat diferensiasi
dengan menyebut Jokowi memiliki faktor “Kebaruan”. Senada dengan itu, Boni
Hargens mengidentikkan Jokowi sebagai “masa depan” dan rivalnya Prabowo sebagai
“masa lalu”.
Dalam hal ini lagi-lagi JK menjadi faktor
penghambat. Tokoh gaek yang seangkatan dengan Megawati ini, jelas tidak identik
dengan “kebaruan”. Bahkan boleh dibilang tokoh politik daur ulang setelah
“gantung sarung tinju” di dunia pemerintahan selama 5 tahun. Beliau adalah
mantan wapres masa lalu, satu dekade sebelumnya. Kalla menjadi orang besar dan
ikut menikmati masa orde baru.
4.Pasar Menghendaki Stabilitas
Banyak pihak meyakini JK nantinya akan
lebih dominan. Jokowi hanya menang dalam hal muda dan popularitas. Sementara JK
terlalu cerdik dan piawai untuk diatur Jokowi. Tidak salah prediksi yang
mengatakan, jika menang maka “the real president” adalah JK dan Jokowi hanya
artifisial.
Pernyataan JK dalam rekaman video “Hancur
Negeri ini..”, jelas merupakan panilaian jujur JK terhadap Jokowi. Orang setua
Pak JK tidak mudah berubah sikap dalam sekejap, sekalipun bibirnya bisa berkata
lain. Kemesraan yang terlalu cepat terbentuk diantara mereka, dikuatirkan juga
akan cepat berlalu. Selain itu, pasangan ini hanya didukung 36 persen suara di
parlemen. Sulit bagi mereka untuk bergerak cepat, SBY saja dengan koalisi gemuk
tidak serta merta bisa menggolkan kebijakannya.
Situasi ini membuat JK punya “bargaining”
kuat,dia akan mendesakkan agar gerbong Golkar masuk pemerintahan dengan alasan
memperkuat dukungan parlemen. Hal ini akan dilematis bagi Jokowi maupun
Megawati yang dari awal sengaja meminta “cek kosong”, tentunya agar bebas
memilih kader dan pendukung loyal saja yang masuk kementrian.
Hal-hal di atas berpotensi menimbulkan
instabilitas, ini pula yang menyebabkan pasar tidak merespon positif terhadap
pencawapresan JK.
Hal sebaliknya, Prabowo yang diyakini
punya tangan kuat dan kepemimpinan lebih tegas dibanding SBY, dengan dukungan
mayoritas di parlemen tentu akan memerintah lebih efektif .
5.Belum Optimalnya PDIP dan Timses Jokowi
Sebagai partai yang sebelumnya beroposisi
terhadap pemerintahan SBY-JK, butuh waktu bagi PDIP untuk menyelaraskan
chemistry dengan JK. Bahkan diawal deklarasi capres-cawapres tidak sedikit
suara-suara sumbang dan resistensi kader partai terhadap JK. Bersama JK, Megawati
ibarat merajut cerita “sleeping with the enemy”. Betapa tidak, Megawati bersama
PDIP cukup garang mengkritisi kebijakan ekonomi dan energi SBY yang sebenarnya
“diotaki” JK. Ketika itu, JK pula yang menyerang balik PDIP dengan mengungkap
skandal penjualan gas murah ke China
di zaman Megawati. Publik takjub dengan angka potensi kerugian yang diungkap JK,
yakni sekitar Rp. 75 triliyun. Untuk kurun waktu 25 tahun rakyat Indonesia “bersedekah” ke negara kaya China hampir 9 milyar
rupiah per hari.
6. "Rapopo" menjadi "Popo"
Jika sebelumnya Jokowi terkesan santun
dan sabar terhadap berbagai kampanye negatif, saat ini beliau dan JK melakukan
hal yang sama. Bahkan Jokowi memerintahkan untuk mencari dan menangkap
pelakunya.Jika JK menyindir masalah pribadi Prabowo yang tidak punya istri, Jokowi
menyindir hal yang lebih remeh yakni dengan menuding rivalnya menyontek warna
baju putih yang sebelumnya beliau pakai.
Ada beberapa pemimpin dunia yang punya masalah keluarga, termasuk
Putin. Namun kepemimpinannya tetap diterima masyarakat. Oleh karenanya bisa
jadi seperti yang dibilang Prof. Tjipta, kampanye negatif tidak efektif dan
malah bisa "back fire". Boni menyebut kampanye seperti itu adalah
sinyal kurangnya percaya diri dan seakan tidak ada senjata lain untuk
mengalahkan lawan.
Fahri Hamzah menyebut itu bukan sifat
Jokowi. Jika begitu apakah Jokowi terpengaruh dengan gaya yang dimainkan pasangannya, Jusuf Kalla?.
Menarik untuk dikaji lebih lanjut, JK
“effect” terhadap elektabilitas Jokowi, belum banyak pengamat yang membahasnya.
Padahal JK adalah “penguat” sekaligus “pelemah” Jokowi
By Asqi Resnawan on 6:50 AMSurvei terbaru
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) masih mengunggulkan pasangan
Jokowi-JK, sekalipun terpaut tipis terhadap Prabowo-Hatta.
Menurut Direktur Eksekutif SMRC Djayadi
Hanan, tren kesukaan masyarakat terhadap capres Jokowi sampai April menurun 8%,
sementara tingkat kesukaan masyarakat terhadap Prabowo malah meningkat 8%.
Oleh : Rizal Amry
"Jika dirasio kan, antara 10 orang
yang suka Jokowi hanya 0.5 yang tidak suka, sekarang jadi 1.5 orang yang tidak
suka Jokowi. Maka, ada sesuatu yang bekerja selama sebulan ini sehingga
masyarakat menjadi tidak suka dengan Jokowi,"katanya dalam suatu acara diskusi,
di Jakarta, Rabu (bisnis.com, 21/5/2014).
Walhasil, setelah di bulan sebelumnya
Jokowi sempat unggul 20% diatas Prabowo dalam tingkat kesukaan masyarakat
menurut survei tersebut, kini hanya terpaut 3% saja. Fenomena ini juga
dibenarkan oleh hasil survei beberapa lembaga lainnya.SMRC mensinyalir kampanye
negatif yang menyebabkan elektabilitas Jokowi terus tergerus cukup banyak.
Benarkah ?.
Banyak ahli dan pengamat politik tidak
meyakini kampanye negatif maupun kampanye hitam cukup efektif. Pakar komunikasi
politik Prof. Tjipta Lesmana adalah salah seorang diantaranya. Dalam sebuah
wawancara dengan Metro TV, Tjipta menyatakan hampir semua penelitian
menyimpulkan “black campaign” tidak efektif, kalaupun ada “minor” atau tidak
signifikan efeknya. Menurut Tjipta, hasilnya malah bisa berbalik, menimbulkan
“back fire effect” yang menampar muka sendiri. Untuk itu Prof. Tjipta
menyarankan pelaku “black campaign” agar membaca dulu buku-buku komunikasi, belajar
dulu komunikasi politik. Tanpa “tedeng aling-aling” beliau menyebut pemikiran
bahwa kampanye hitam bermanfaat, sebagai hal bodoh dan “damn stupid”. Boni
Hargens pada kesempatan yang sama, juga sependapat bahwa kampanye hitam bisa
menyerang balik karena masyarakat kita bersifat sentimental, bersimpati
terhadap korban. Menurut Boni, masyarakat juga sudah cerdas dan tidak akan
begitu saja mengubah preferensi politik.
Jika demikian, ikhwal apa yang
menggerogoti elektabilitas Jokowi ?.
Analisis tentu perlu diperluas, berbagai
aspek lain dan juga beberapa peristiwa terkini bisa memberi kontribusi, antara
lain sebagai berikut.
1.Sengketa Teritorial
Arogansi China
yang melakukan pengeboran minyak di laut yang masih disengketakan memicu
kerusuhan rasial di Vietnam.
Upaya Malaysia membangun
Mercusuar di Tanjung Datuk Kalimantan juga menimbulkan ketegangan dengan
pemerintah Indonesia.
Kedua peristiwa tersebut dan rentetan kejadian serupa lainnya, menyadarkan
publik bahwa sengketa teritorial akan menjadi masalah potensial negara ke depan,
dan sangat mungkin semakin memanas seperti di Vietnam. Dalam hal ini Prabowo yang
berlatar belakang militer dan jauh dari kesan “kelemer-klemer”, bisa jadi
diuntungkan. Selain dikenal sebagai tentara brilian, beliau juga pernah membawa
RI memiliki militer yang diperhitungan banyak Negara, terutama di kawasan
regional. Prabowo bisa jadi akan dipersepsikan publik sebagai satrio atau
“lelaki” yang tepat untuk zaman ini, yakni mampu melindungi setiap jengkal
tanah air Indonesia.
2.Brand “Tegas” vs “Jujur”
Salah satu kekurangan menyolok Jokowi
dibanding Prabowo adalah brand personality “tegas” yang melekat erat pada
rivalnya itu. Berpasangan dengan JK sama sekali tidak bisa menutupi kekurangan
Jokowi ini, kalau bukan memperjelas. Padahal sempat menguat wacana untuk
menyandingkan Jokowi dengan cawapres militer, sayangnya tidak menjadi kenyataan.
Keunggulan brand personality yang masih
tersisa pada Jokowi adalah muda, jujur dan sederhana. Namun brand ini terbukti
kurang kuat. Ada
banyak pemuda jujur dan sederhana di negeri ini. Hal yang lebih dibutuhkan
masyarakat dari seorang pemimpin adalah bukan sekedar jujur tapi mampu
“menularkan” kejujuran pada orang yang dipimpinnya. Kasus korupsi bis
Transjakarta, sedikit banyak memudarkan brand “jujur” pada Jokowi. Beliau bisa
dipersepsikan kurang cakap membina anak buah dan mengelola keuangan Negara.
Di sisi lain, Prabowo juga relatif muda
dan tidak punya masalah dengan kejujuran. Sulit bagi publik membayangkan
seorang yang sudah sangat kaya dan “bujangan” seperti beliau punya syahwat
untuk korupsi. Hal lainnya, beliau juga relatif sederhana untuk orang sekelas
beliau. Hobinya memelihara kuda juga tidak menjadi sebuah hal yang dianggap
glamour, kuda bukanlah ikon kemewahan bagi orang Indonesia.
3.Gagalnya Diversifikasi Brand Personality
Tim sukses Jokowi sudah mencoba
mengembangkan brand baru untuk Jokowi. Anis Baswedan membuat diferensiasi
dengan menyebut Jokowi memiliki faktor “Kebaruan”. Senada dengan itu, Boni
Hargens mengidentikkan Jokowi sebagai “masa depan” dan rivalnya Prabowo sebagai
“masa lalu”.
Dalam hal ini lagi-lagi JK menjadi faktor
penghambat. Tokoh gaek yang seangkatan dengan Megawati ini, jelas tidak identik
dengan “kebaruan”. Bahkan boleh dibilang tokoh politik daur ulang setelah
“gantung sarung tinju” di dunia pemerintahan selama 5 tahun. Beliau adalah
mantan wapres masa lalu, satu dekade sebelumnya. Kalla menjadi orang besar dan
ikut menikmati masa orde baru.
4.Pasar Menghendaki Stabilitas
Banyak pihak meyakini JK nantinya akan
lebih dominan. Jokowi hanya menang dalam hal muda dan popularitas. Sementara JK
terlalu cerdik dan piawai untuk diatur Jokowi. Tidak salah prediksi yang
mengatakan, jika menang maka “the real president” adalah JK dan Jokowi hanya
artifisial.
Pernyataan JK dalam rekaman video “Hancur
Negeri ini..”, jelas merupakan panilaian jujur JK terhadap Jokowi. Orang setua
Pak JK tidak mudah berubah sikap dalam sekejap, sekalipun bibirnya bisa berkata
lain. Kemesraan yang terlalu cepat terbentuk diantara mereka, dikuatirkan juga
akan cepat berlalu. Selain itu, pasangan ini hanya didukung 36 persen suara di
parlemen. Sulit bagi mereka untuk bergerak cepat, SBY saja dengan koalisi gemuk
tidak serta merta bisa menggolkan kebijakannya.
Situasi ini membuat JK punya “bargaining”
kuat,dia akan mendesakkan agar gerbong Golkar masuk pemerintahan dengan alasan
memperkuat dukungan parlemen. Hal ini akan dilematis bagi Jokowi maupun
Megawati yang dari awal sengaja meminta “cek kosong”, tentunya agar bebas
memilih kader dan pendukung loyal saja yang masuk kementrian.
Hal-hal di atas berpotensi menimbulkan
instabilitas, ini pula yang menyebabkan pasar tidak merespon positif terhadap
pencawapresan JK.
Hal sebaliknya, Prabowo yang diyakini
punya tangan kuat dan kepemimpinan lebih tegas dibanding SBY, dengan dukungan
mayoritas di parlemen tentu akan memerintah lebih efektif .
5.Belum Optimalnya PDIP dan Timses Jokowi
Sebagai partai yang sebelumnya beroposisi
terhadap pemerintahan SBY-JK, butuh waktu bagi PDIP untuk menyelaraskan
chemistry dengan JK. Bahkan diawal deklarasi capres-cawapres tidak sedikit
suara-suara sumbang dan resistensi kader partai terhadap JK. Bersama JK, Megawati
ibarat merajut cerita “sleeping with the enemy”. Betapa tidak, Megawati bersama
PDIP cukup garang mengkritisi kebijakan ekonomi dan energi SBY yang sebenarnya
“diotaki” JK. Ketika itu, JK pula yang menyerang balik PDIP dengan mengungkap
skandal penjualan gas murah ke China
di zaman Megawati. Publik takjub dengan angka potensi kerugian yang diungkap JK,
yakni sekitar Rp. 75 triliyun. Untuk kurun waktu 25 tahun rakyat Indonesia “bersedekah” ke negara kaya China hampir 9 milyar
rupiah per hari.
6. "Rapopo" menjadi "Popo"Jika
sebelumnya Jokowi terkesan santun dan sabar terhadap berbagai kampanye negatif,
saat ini beliau dan JK melakukan hal yang sama. Bahkan Jokowi memerintahkan
untuk mencari dan menangkap pelakunya.Jika JK menyindir masalah pribadi Prabowo
yang tidak punya istri, Jokowi menyindir hal yang lebih remeh yakni dengan
menuding rivalnya menyontek warna baju putih yang sebelumnya beliau pakai.
Ada beberapa pemimpin dunia yang punya masalah keluarga, termasuk
Putin. Namun kepemimpinannya tetap diterima masyarakat. Oleh karenanya bisa
jadi seperti yang dibilang Prof. Tjipta, kampanye negatif tidak efektif dan
malah bisa "back fire". Boni menyebut kampanye seperti itu adalah
sinyal kurangnya percaya diri dan seakan tidak ada senjata lain untuk
mengalahkan lawan.
Fahri Hamzah menyebut itu bukan sifat
Jokowi. Jika begitu apakah Jokowi terpengaruh dengan gaya yang dimainkan pasangannya, Jusuf Kalla?.
Menarik untuk dikaji lebih lanjut, JK
“effect” terhadap elektabilitas Jokowi, belum banyak pengamat yang membahasnya.
Padahal JK adalah “penguat” sekaligus “pelemah” Jokowi
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan