Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali di majalal al furqan menyatakan lagi:
Ibroh Ketujuh " 1
Maksud sujud adalah melaksanakan Ibadah
dengan merendah kepada Alloh
dengan cara yang diperintahkan sesuai
dengan contoh dari Rosulullah . dan bukan ber arti maksud sujud adalah menempelkan debu dan
kerikil yang
masih asli kepada keningnya. Kalau seandainya maksud sujud adalah seperti demikian, niscaya Rosululloh akan memerintahkan para sahabatnya yang hendak pergi jauh atau hendak berlayar mengarungi lautan agar membawa bekal berupa tanah yang asli sehingga dapat melaksanakan sujud di atas tanah yang dibawa. Akan tetapi, ini tidak pernah kita dengar dari hadits-haditsyang shohih.
masih asli kepada keningnya. Kalau seandainya maksud sujud adalah seperti demikian, niscaya Rosululloh akan memerintahkan para sahabatnya yang hendak pergi jauh atau hendak berlayar mengarungi lautan agar membawa bekal berupa tanah yang asli sehingga dapat melaksanakan sujud di atas tanah yang dibawa. Akan tetapi, ini tidak pernah kita dengar dari hadits-haditsyang shohih.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Anda menyatakan:
Maksud sujud adalah melaksanakan Ibadah
dengan merendah kepada Alloh
dengan cara yang diperintahkan sesuai
dengan contoh dari Rosulullah.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Bila anda telah menyatakan
begitu, maka saya salut sekali, acc tanpa menolak atau membantah. Kita harus
menjalankan sujud sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bukan contoh shalat orang sekarang yang
menyalahi tuntunan, cocok dengan
tontonan shalat di masjid –masjid yang berkarpet sekarang. Pernahkan anda dengar suatu hadis contoh
sujud Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat wajib di sajadah , kramik atau di
karpet. Saya sendiri belum pernah mengetahui hadis dimana
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjalankan shalat wajib di tikar, tapi
langsung tanah.
Jadi sujud ditanah itulah
pelaksanaan sujud sesuai dengan contoh untuk shalat wajib bukan untuk
shalat sunat. Dan itulah perendahan diri manusia yang paling rendah kepada
Allah yang Maha Tinggi.
Banyak teman yang merasakan bahwa sujud di tanah adalah
membikin diri kita tiada harganya disisi Allah.
Sekarang kita lihat
kamus bahasa arab tentang makna husyu` sbb:
النُّكَتُ وَاْلعُيُوْنُ
- (ج 3 / ص 131)
قَوْلُهُ تَعَالَى
: { الَّذِيِنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ } فِيْهِ خَمْسَةُ أَوْجُهٍ :
أَحَدُهَا : خَائِفُوْنَ
، وَهُوَقَوْلُ الْحَسَنِ ، وَقَتَادَة .
والثَّانِي : خَاضِعُوْنَ
، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عِيْسَى .
والثالث : تَائِبُونَ
، وَهُوَ قَوْلُ إِبْرَاهِيْم .
وَالرَّابِعُ :
أَنَّهُ غَضُّ اْلبَصَرِ ، وَخَفْضُ الْجَنَاحِ ، قَاَلهُ مُجَاهِدٌ .
الْخَامِسُ : هُوَ
أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَوْضِعِ سُجُوْدِهِ مِنَ اْلأَرْضِ ، وَلاَ يُجَوِّزُ بَصَرَهُ
مُصَلاَّهُ ، فقد روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كاَنَ يَرْفَعُ بَصَرَهُ إِلَى
السَّمَاءِ فَنَزَلَتْ : { الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ } فَصَارَ يُجَوِّزُ
بَصَرَهُ مُصَلاَّهُ
Dalam kitab al nukat wa al uyun 131/3
terdapat keterangan sbb:
FirmanNya :
Orang – orang yang husyu` dalam salat nya terdapat
lima
pandangan;
1.
Orang – orang yang takut. Itulah
perkataan al Hasan dan Qatadah
2.
Orang yang tunduk merunduk. Itulah pendapat Ibnu Isa
3.
Orang – orang yang bertobat. Itulah pendapat Ibrahim
4.
Memejamkan mata dan tawadhu` . kata
Mujahid.
5.
Memandan tempat sujudnya dari tanah
dan tidak pandangannya tidak melewati tempat salatnya.
Sungguh dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW memandang
ke atas atau langit m lalu turunlah ayat
:
الَّذِينَ هُمْ
فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ
Orang - orang yang husyu` ketika
salat. Lantas Rasulullah SAW hanya memandang tempat salatnya ( yaitu
tanah bukan tikar atau sajadah ).
Saya mengatakan:
Sepengetahuan saya , untuk pendapat pertama tiada
dalilnya. Untuk pendapat kedua, ada dalilnya . Dan ketiga tidak dalilnya. Untuk pendapat ke empat,
tiada dalilnya. Dan yang kelima
cocok dengan hadis dan perilaku Rasulullah SAW
atau tuntunan beliau dalam salat.
Boleh juga dilihat dalam kitab Zadul
masir 403/4
العين - (ج 1 /
ص 18)
الخشُوْعُ: رَمْيُكَ بِبِصَرِكَ ِإلَى اْلأَرْضِ
Husyu` adalah mengarahkan pandanganmu ke tanah ( bukan
tikar atau sajadah ). Lihat kitab al ain
18/1 , al Mukhasshis 170/3
لسان العرب -
(ج 3 / ص 385)
وَفيِ حَدِيْثِ
قَتَادَةَ الخُشُوْعُ فِي اْلقَلْبِ وَإِلْباَدِ اْلبَصَرِ فِي الصَّلاَةِ أَيْ إِلزَامِهِ
مَوْضِعَ السُّجُوْدِ مِنَ اْلأَرْضِ
Dalam
hadis Qatadah , husyu` di hati,
pandangannya dalam salat
selalu ke tempat sujudnya dari tanah ( bukan karpet atau sajadah ).
Lihat Lisanul arab 385/3 Tajul arus
2250/1
Anda menyatakan lagi :
.............., dan bukan ber
arti maksud sujud adalah menempelkan
debu dan kerikil yang masih asli kepada keningnya.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Barang kali ada kesalahan tulis
atau cetak , hingga dia menyatakan
: " keningnya. " . Mestinya
dahinya bukan kening dan tidak sama atau mirip pengertian kening dan
dahi. Biasanya dahi yang menempel ke tanah ketika sujud bukan kening apalagi
telinga.
Memang contohnya dari Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dan
para sahabatnya ketika sujud adalah
langsung ketanah dalam shalat wajib bukan shalat sunah. Kalau orang sekarang
tidak dibedakan antara shalat wajib dan sunah lalu mereka lakukan di sajadah ,
karpet dan keramik. Ini adalah kekeliruan yang nyata bukan kebenaran yang
samar. Ada hadis sbb:
724-
حَدِيْثُ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ:
اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ،
فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ،
فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلْيَرْجِعْ فَرَجَعْنَا وَمَا نَرَى فِي
السَّمَاءٍ قَزَعَةَ؛ فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ
الْمَسْجِدِ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ، وَأَقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَرَأَيْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي
جَبْهَتِهِ
أَخْرَجَهُ اْلبُخَارِيّ فِي : 32 كِتَابُ
فَضْلِ لَيْلَةِ اْلقَدْرِ : 2 2 بَابُ الْتِمَاسِ لَيْلَةِ اْلقَدْرِ فِي السَّبْعِ
اْلأَوَاخِرِ
724.Abu Said
menuturkan: “Kami pernah beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan di bulan Ramadhan. Pada pagi hari
tgl dua puluh, beliau keluar lalu berpidato kepada kami: “Aku diperlihatkan malam Qadar , tetapi aku lupa atau aku dilupakan
kepadanya. Karena itu, carilah pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dan
aku melihat seolah-olah aku bersujud di atas air dan tanah. Barangsiapa yang
beri’tikaf bersama Rasulullah saw, maka kembalilah.”
Kami kembali bei’tikaf dan tidak melihat sepotong awanpun di langit.
Tiba-tiba datanglah awan dan turunlah hujan sampai air menetes dari atap masjid
yang terbuat dari pelepah pohon kurma. Ketika shalat didirikan, maka aku lihat
Rasulullah saw bersujud di atas air dan tanah sampai aku lihat di dahi beliau
saw terdapat bekas tanah.” (Bukhari, 32, Kitab Fadlu Lailatul Qadr, 2, bab
mencari Lailatul Qadar pada malam tujuh terakhir di bulan Ramadhan).
Allu`lu` wal marjan
343/1
al albani berkata : Sahih
Lihat di kitab karyanya :
Sahih wa dho`if sunan Abu Dawud 382/3
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam hadis itu dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam melakukan shalat subuh dan tanah masjidnya masih berupa lumpur yang bercampur dengan
air. Disni ada hal yang perlu di perhatikan, jangan di abaikan. Mengapa saat
itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak menggunakan tikar, sajadah. Tapi
beliau tetap menjalankan shalat di tanah sekalipun ber air bukan tanah kering. Begitu juga para sahabat beliau tidak ada yang menggunakan tikar atau
sajadah seperti orang muslim sekarang yang menjalankan shalat di masjid yang berkarpet.
فتح الباري
لابن رجب - (ج 3 / ص 150)
الْمُرَادُ
مِنْ هَذَا اْلحَدِيْثِ هَاهُنَا : أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - لَمْ
يَكُنْ يُصَلِّي اْلمَكْتُوْبَةَ إِلاَّ عَلَى اْلأَرْضِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ
، فَأَمَّا صَلاَةُ الْفَرِيْضَةِ عَلَى اْلأَرْضِ فَوَاجِبٌ لاَ يَسْقُطُ إِلاَّ
فِي صَلاَةِ شِدَّةِ اْلخَوْفِ ، كما قال تعالى: { فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً
أَوْ رُكْبَاناً } [البقرة :239] .
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul bari 150/3 sbb:
Maksud hadis tsb ( hadis Nabi turun dari kendaraan
ketika menjalankan salat wajib ) adalah sesungguhnya Nabi SAW tidak akan
menjalankan salat wajib kecuali di tanah dengan menghadap kiblat. Untuk
menjalankan salat fardhu di atas tanah ( langsung bukan di sajadah atau keramik
) adalah wajib kecuali dalam salat waktu peperangan atau keadaan yang
menakutkan sebagaimana firman Allah taala sbb:
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah
sambil berjalan atau berkendaraan.
Anda menyatakan lagi:
Kalau
seandainya maksud sujud adalah seperti demikian, niscaya Rosululloh akan memerintahkan para sahabatnya yang
hendak pergi jauh atau hendak berlayar mengarungi lautan agar membawa bekal
berupa tanah yang asli sehingga dapat melaksanakan sujud di atas tanah yang
dibawa. Akan tetapi, ini tidak pernah kita dengar dari hadits-hadits yang
shohih.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Bila Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam tidak
pernah mengatakan seperti itu, maka apakah ber arti tuntunan salat wajib beliau
yang langsung ke tanah tanpa tikar perlu ditinggalkan, lalu kita mengambil
tontonan shalat di masarakat yang selalu dilakukan di karpet. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyuruh membawa tanah, sebab
kemanapun anda pergi, disitu terbentang tanah yang luas, baik di dalam negri
atau diluar negri.
Saya dan jamaah saya telah pergi ke Jakarta, Belitar,
Kediri,Kebumen, Pekalongan, Mediun
bahkan saya pergi ke Bali dan
Bengkulu untuk mendatangi pengajian dan saya dan jamaah saya tidak membawa
tanah, tapi saya dan mereka masih tetap
menjalankan shalat jamaah ke tanah
langsung tanpa tikar atau sajadah.
Lantas saya juga tidak
mendengar dari hadis sahih, bahwa
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya selama hidupnya menjalankan
shalat wajib berjamaah di tikar sekali saja bukan dua atau tiga kali.
Seandainya Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam dan para sahabatnya pernah
berjamaah shalat wajib sekali saja di
tikar , maka sudah bisa di buat pegangan oleh jutaan muslim untuk beberapa kali shalat wajib di tikar.
Saya akan menjalankan shalat wajib
di karpet, tapi saya tidak menjumpai dalilnya yang sahih bukan yang lemah. Dan
dalil yang ada hanya untuk shalat sunat.
Karena itu, saya perbolehkan untuk shalat sunat dilakukan di atas tikar. Oleh karena
itu, sejak sepuluh tahun yang lalu saya
melakukan shalat dengan berjamaah di
tanah langsung dan tidak pernah berjamaah di masjid yang berkarpet. Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan