Oleh: Muhammad Pizaro
Peminat kajian sejarah dan Redpel Islampos.com
BELUM lama ini, penulis bertemu dengan sastrawan senior sekaligus saksi hidup kejahatan PKI tahun 1965 dalam sebuah talkshow di TV Muhammadiyah. Pak Taufik, sapaan akrabnya, bersama penulis dan Musthofa Nahrawardaya diminta membahas PKI dengan beragam perspektif.
Saat itu, Pak Taufik menerangkan Komunis Gaya Baru (KGB) mengambil kesempatan di era reformasi untuk membangkitkan PKI. Kini mereka berada di balik desakan kepada pemerintah untuk meminta maaf kepada PKI atas Tragedi 1965.
Di titik inilah, kata Taufik, PKI mencoba mengangkat kasus 1965 dengan cara menutup pembantaian PKI tahun 1948. Kepada kami yang muda, beliau memberikan salinan opininya di Republika. Di situ beliau menulis,
Taktik KGB menutupi dosa besar PKI yang berhasil sekali adalah penerapan taktik “ujug-ujug” sejak masa Reformasi. Istilah berasal dari bahasa Jawa ini maknanya “tiba-tiba”. Tiba-tiba di bulan Oktober-November-Desember 1965 dan seterusnya mereka tiba-tiba dikejar-kejar dan dizalimi. Tiba-tiba mereka ditangkapi dan dibunuhi. Hukum sebab dan akibat tidak dipakai. Yang dipakai dan disebut selalu akibat. Faktor sebab tidak disebut sama sekali. Ini taktik licin sekali.Tentu memori umat Islam tidak pernah bisa hilang dari kekejaman PKI pada tahun 1948 yang terjadi di Madiun dan Magetan.
Faktor sebab pertama yang selalu diingkari dan dilupa-lupakan KGB adalah pengkhianatan PKI terhadap revolusi Indonesia, yaitu pengumuman Proklamasi Republik Sovyet Indonesia di Madiun pada 18 September 1948 oleh Moeso (51 tahun, gagal berontak 1926, lari ke Moskow 21 tahun), yang disusul dengan penyembelihan kiai, santri, dan pamong praja di Blumbang, lubang besar yang sudah siap digali di luar Kota Madiun. [Lihat Taufik Ismail, Presiden (15/8/15) Mau Minta Maaf kepada PKI?, Opini Harian Republika, Rabu 12 Agustus]
Dalam catatan beberapa tokoh NU yang mengalami zaman itu, peristiwa ini ditulis dengan getir di mana NU menjadi salah satu korban keganasan PKI. Dalam peristiwa itu banyak ulama disiksa dan dibunuh. Pesantren-pesantren mereka dibakar. Dengan alasan itulah, NU melalui Laskar Hizbullah, turut terlibat dalam penumpasan PKI. [Lihat Hairus Salim HS, Kelompok Paramiliter NU, LKiS: Yogyakarta, 2004]
Hal ini terjadi pada seorang ulama bernama KH Imam Mursyid. Pemimpin Pesantren Sabilil Muttaqin, dan pemimpin tarekat Syathariyyah dari Takeran itu diculik pada 17 september 1948 usai melaksanakan Shalat Jum’at.
Menurut seorang saksi mata, Pesantren Takeran, saat itu, sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. Setelah Kiai Imam Mursjid dibawa dengan mobil, Iskan melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren.
“Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar saksi mata bernama Iskan seperti ditulis dalam buku Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun. [Lihat Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1990,
Menurut Iskan, sebelumnya partai pimpinan Musso Munowar itu memang sudah mengancam. Jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung PKI, maka pesantren akan dibumihanguskan.
Apabila Jum’at itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau dibawa PKI demi menghindari terjadinya jatuhnya korban lebih besar.
Penangkapan para pengasuh pesantren terus berlanjut pada tanggal 19 September 1948. Kali ini, PKI menangkap KH. Muhammad Nur, Muhammad Baidlowi, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono, dan lain sebagainya.
Para kyai itu diculik tanpa pernah kembali. Bahkan sebagian besar kyai pesantren itu ditemukan di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan.
Lain lagi kisah yang dialami KH. Hamzah. Beliau sempat ditangkap PKI ketika hendak pergi ke Magetan. Naas, ketika sampai Desa Bathokan beliau disergap oleh korps komunis itu. Saat ditahan, beliau tak diberi makan selama berhari-hari. Setelah itu, Kiai Hamzah dikubur hidup-hidup.
Kondisi mengenaskan juga turut menimpa KH. Imam Sofwan. Setelah kedua anaknya dibunuh PKI, beliau dimasukkan ke dalam sumur hidup-hidup. Dalam kondisi terjepit itulah, Kiai Sofwan mengumandangkan azan yang disaksikan beberapa santri. Tapi kemudian secara beringas, Pasukan Pesindo-PKI mengubur Kiai Sofwan hidup-hidup.
Mengetahui ada korban yang masih hidup di dalam sumur, kader-kader PKI tak mau peduli. Mereka langsung menimbuni sumur dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup.
Asmo Djumiran pada tahun 1964 ikut menggali sumur Cigrok untuk memindahkan kerangka jenazah di dalamnya. Dalam penggalian itu, dia mengaku menemukan pentungan-pentungan dari kayu. Sedang jenazah yang ditemukan hanya tinggal tumpukkan tulang belulang yang sudah tumpang tindih. Dari penggalian itu ditemukan tengkorak sebanyak 22 buah. “Semua tengkorak itu retak,” ujar Asmo.
Permusuhan PKI terhadap umat Islam terus berlanjut di tahun 1965. Kali ini menimpa seorang mubaligh kondang KH. Djufri Marzuqi di Pamekasan, Madura pada 27 Juli 1965. Ketika hendak memberikan ceramah dalam pengajian umum, kiai kharismatik itu ditikam oleh anggota PKI hingga tewas. Tentu saja pembunuhan itu menyulut kemarahan masyarakat Madura dan Jawa Timur.
Bahkan saat peringatan 40 hari wafatnya Kiai Djufri, Ketua Umum PBNU, KH. Idham Kholid datang dari Jakarta untuk memberikan rasa simpati dan sekaligus memberikan gelar tokoh ini sebagai Syahidul Kabir (Syuhada Agung). Kehadiran Idham Kholid itu dibaca PKI sebagai bentuk perlawanan. Peristiwa di Madura itupun langsung menjalar menjadi pemberitaan nasional. [Lihat: H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, PBNU dan Langgar Swadaya Nusantara: Depok, 2014]
Abdul Mun’im dalam bukunya Benturan NU PKI 1948-1965, juga mengetengahkan pelecehan para tokoh PKI terhadap ajaran Islam sebagaimana terjadi di Sumatera Utara. Para tokoh PKI mengganti berbagai kalimat suci menjadi mainan seperti bismililahirrahmanirrahim mereka ganti dengan basmi lalat yang mengotori bumi. Lalu ucapan assalamualaikum diganti asam kumbang.
Asam kumbang adalah nama sebuah rawa angker tempat buaya liar. Kalimat itu diucapkan sebagai bentuk ancaman bahwa para tokoh Islam akan dilempar ke Rawa Asam Kumbang untuk dijadikan santapan buaya.
Sejarah 1948 dan 1965 patut dibaca ulang oleh pemerintah sebagai upaya melawan lupa. Pemerintah harus bersikap adil kepada umat Islam. Selama ini kelompok Islam lah yang menjadi korban kebiadaban PKI. Luka ini belum hilang hingga kini. Terutama anak-anak kyai dan santri yang melihat ayah dan gurunya dibunuh PKI.
Sayang, semua data pembantaian terhadap umat Islam diabaikan oleh peneliti asing dan para pengikutnya, yakni para sejarawan lokal. Dengan demikian PKI tidak pernah dianggap melakukan kekejaman, sehingga PKI ditempatkan sebagai kelompok terzhalimi yang harus dibela, baik di level nasional maupun pengadilan internasional. Dengan pengabaian fakta sosial seperti itu berarti sejarah kehilangan esensi dari peristiwa sesungguhnya.
Dengan menghilangkan dimensi paling esensial yakni benturan agama dan ideologi dalam peristiwa sejarah itu dengan sendirinya akan menempatkan peristiwa 1965 sepenuhnya sebagai sebuah rekayasa. Cara pandang sepihak seperti itu sangat menguntungkan PKI, sehingga mereka bebas menuntut keadilan, bahkan balas dendam. Sedangkan umat Islam terus menjadi korban tanpa pernah dapat permintaan maaf. [Lihat: H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, PBNU dan Langgar Swadaya Nusantara: Depok, 2014]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan