Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam hadis
itu di jelaskan sbb:
لَيْسَ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الَّذِي
بِحِجَارَةٍ وَلَا عَلَى الْأَكَمَةِ
الَّتِي عَلَيْهَا الْمَسْجِدُ
Di situ beliau bermalam dan
beristirahat sampai pagi. Beliau tidak singgah di masjid yang berbatu dan tidak
juga di bukit yang ada masjidnya.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Boleh juga di terjemahkan dengan kalimat :
Beliau tidak singgah di
masjid yang di bangun dengan batu. Juga tidak singgah di undukan
yang ada masjidnya.
Jadi belum tentu beralaskan
batu.
Apalagi hadis itu di
gunakan alasan untuk memperkenankan shalat wajib di karpet.
Sudah tentu tdak bisa. Bila dipaksakan,
maka namanya memaksakan dalil. Maksudnya hadisnya tidak bahas shalat di tkar atau karpet tapi
digunakan untuk dalil shalat
wajib di karpet . Ini menyesatkan, tidak mengarahkan kebenaran.
Tapi malah menyalahkan
kebenaran.
Untuk shalat
dikeramik, jawabannya di belakang nanti.
Shalat wajib di karpet perlu
dalil sendiri, dan dalilnya tidak ada.
Lihat nih kisah Imam Malik.
.
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ لَمَّا قَدِمَ
الْمَدِينَةَ بَسَطَ سَجَّادَةً فَأَمَرَ مَالِكٌ بِحَبْسِهِ فَقِيلَ لَهُ :
إنَّهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ فَقَالَ : أَمَا عَلِمْت أَنَّ بَسْطَ
السَّجَّادَةِ فِي مَسْجِدِنَا بِدْعَةٌ .
Sungguh
telah di kisahkan bahwa Abd rahman bin Mahdi ketika datang ke Medinah menggelar
sajadah , lalu Imam Malik memerintah agar di tahan ( dipenjara ) . Di katakan
kepadanya : “ Dia adalah Abd Rahman bin mahdi “
Imam Malik menjawab
:” Apakah kamu tidak mengerti bahwa menggelar sajadah dimasjid kami
adalah bid`ah “.
Lihat keterangan dalam kitab Fathul bari karya Ibn Rajab 296/3
فتح الباري لابن رجب - (ج 3 / ص 296)
وفي حديث سالم : أن المسجد كان ببطن
الوادي ، وفي حديث موسى بن عقبة بن نافع -الطويل الذي خرجه البخاري هنا - ، أنه
كان مبنياً بحجارة على أكمة ،
Dalam hadis riwayat
Salim dijelaskan:
Sesungguhnya masjid tsb di
perut lembah.
Dalam hadis Musa bin Uqbah bin Nafi` yang
panjang yang diriwayatkan
oleh Bukhari disini ……………. Masjid tersebut di bangun dengan batu
di atas undukan.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Jadi masjid itu bukan
beralaskan batu tapi di bangun dengan batu .Hanya bangunan temboknya dari batu dan alasnya undukan itu.
Jadi bila hadis itu di buat
pegangan boleh shalat wajib di atas batu, maka kurang kuat, sangat
rapuh. Sebab pengertiannya sendiri adalah masjid yang di bangun dengan batu di atas undukan. Bukan
masjid yang beralaskan batu.
Saya masih mempertanyakan
apakah masjid itu dimasa Rasulullah shallahu alaihi wasallam ada atau ia di
bangun setelahnya Rasulullah shallahu alaihi wasallam.
Teka teki ini perlu di jawab.
Bila ia di bangun
sebelum Rasulullah shallahu alaihi wasallam, siapa yang bangun apakah orang jahiliyah.
Banyak masjid yang
terdapat dalam hadis - hadis
ternyata pembangunannya setelah
Rasulullah shallahu alaihi wasallam wafat seperti masjid di
dzilhulaifah sebagai petilasan
dimana Rasulullah shallahu alaihi wasallam menjalankan shalat di situ
lalu dibuatlah masjid di atasnya.
فتح الباري لابن رجب - (ج 3 / ص 295)
وقد ذكر ابن عمر في حديثه هذا أن النبي
- صلى الله عليه وسلم -كان ينزل بها تحت سمرة في موضع المسجد الذي بني بها ، وهذا
يدل على أن المسجد لم يكن حينئذ مبنيا ، إنما بني بعد ذلك في مكان منزل النبي -
صلى الله عليه وسلم - منها ،
Sungguh Ibnu Umar dalam
hadisnya menyebutkan bahwa Nabi shallahu
alaihi wasallam singgah di Dzul Khulaifah di bawah pohon Samurah di tempat masjid yang
di bangun disitu.
Hal ini menunjukkan bahwa
masjid tsb belum di bangun waktu itu. Tapi di bangun setelahnya di tempat singgah Nabi shallahu alaihi
wasallam
Komentarku ( Mahrus ali ):
Ada kemungkinan
masjid yang di bangun dengan batu
itu di bangun setelah Rasulullah
shallahu alaihi wasallam wafat. Dengan demikian, layak sekali Rasulullah shallahu alaihi wasallam dan para
sahabatnya tidak menjalankan shalat berjamaah d masjid tsb.
Untuk redaksi hadis sbb:
لَيْسَ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الَّذِي
بِحِجَارَةٍ
Beliau tidak singgah di
masjid yang di bangun dengan batu.
Kalimat tersebut tidak saya
jumpai dikitab – kitab hadis kecuali riwayat Bukhari , bukan Muslim, Nasa`I ,
Abu Dawud , Tirmidzi dll.
Jadi dalam hal ini , Imam
BUkhari menyendiri, perawi tunggal tentang kalimat itu.
Ada kemungkinan
tambahan dari perawi berikutnya. Karena itu beda dengan riwayat Imam Muslim atau Nasai .
Hal sedemikian ini termasuk
tafarrud yang mebikin tambahan itu perlu
di kaji lagi atau boleh juga di katakan lemah karenanya.
المسند الجامع - (ج 10 / ص 480)
ورواية مُسْلِم
(3021) ، والنسائي مختصره على الفقرة الثامنة.
- وروايته
(3022) مختصرة على الفقرة التاسعة.
أخرجه أحمد 2/87(5594 و5596 و5597 و5598
و5599 و5600 و5601) قال : قرأت على أبي قرة موسى بن طارق. و"البُخَارِي"
1/130(484) و1/131(485 و486 و487 و488 و489) و1/132(490 و491 و492) قال : حدثنا
إبراهيم بن المنذر. قال : حدثنا أنس بن عياض. و"مسلم" 4/62(3021)
و4/63(3022) قال : حدثنا مُحَمَّد بن إسحاق الُمسَيَّبي ، حدثني أنس ، يعني ابن
عياض. و"النَّسائي" 5/199، وفي "الكبرى" 3831 قال : أخبرنا
عبدة بن عبد الله ، قال : أنبأنا سُويد ، قال : حدثنا زهير.
ثلاثتهم (موسى بن طارق ، وأنس بن عياض ،
وزهير بن معاوية) عن موسى بن عقبة ، عن نافع ، فذكره.
Intinya hadis tsb
hanya dari Musa bin Uqbah
scr sendirian dalam meriwayatkan hadis yang
ada tambahan yang nyeleneh itu.
شرح ابن بطال - (ج 3 / ص 160)
وفى هذا الحديث ألفاظ كثيرة من الغريب
Dalam hadis ini banyak lafadh – lafadh yang
gharib ( nyeleneh ). Bukan kalimat yang
mashur di kalangan perawi – peraw hadis
tapi kalimat yang menyendiri . Hanya Imam Bukhari yang menggunakan kalimat itu bukan lainnya.
Dari segi sanad juga terdapat
tafarrud – yaitu hanya Musa bin Uqbah yang meriwayatkannya.
Siapakah Musa bin Uqbah itu .
Musa bin Uqbah adalah Yunior
Tabiin tingkat 5 ,lihat mausuah ruwatil hadis
6992. wfat 141 hijiriyah .
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan