29 Oktober 2015
POSMETRO INFO - Aliansi Tarik Mandat (ATM) Jokowi-JK yang
berjumlah ribuan menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Senayan,
Jakarta, Rabu (28/10).
Aksi yang berlangsung hingga lepas maghrib itu sempat menimbulkan
kericuhan dengan pihak kepolisian, yang berbuntut penangkapan terhadap
delapan aktivis ATM berikut seorang wartawan. Mereka yang ditangkap
digiring ke Mapolda Metro Jaya.
"Momentum peringatan Soempah Pemuda ini, ATM melakukan tuntutan kepada
pihak DPR guna penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR terkait pencabutan
mandat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,"
ujar Karman BM, Presidium Aliansi Tarik Mandat, dalam rilis yang
diterima redaksi Rakyat Merdeka Online Sumsel, Jumat (29/10).
ATM mendesak DPR/MPR RI untuk meluruskan kiblat bangsa dengan melakukan
amandemen UU 1945 kepada sebelumnya (pra amandemen), termasuk memutuskan
langkah nasionalisasi aset-aset bangsa yang dikuasai asing.
"Meski menghadapi sikap represif aparat keamanan dan penangkapan
sejumlah rekan kami, Kami tidak akan pernah surut dalam mengupayakan
aksi-aksi lanjutan," ungkapnya.
ATM tetap fokus pada pengepungan Gedung DPR sampai dapat digelar Sidang
Istimewa MPR, sebagai wujud pelaksanaan aspirasi rakyat untuk menurunkan
Jokowi-JK.
Sementara itu, Gerakan Buruh Siap Kepung Istana, Jumat besok (30/10)
akan terus bergelombang menggelar aksi unjuk rasa. Bentuk perlawanan
elemen buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah (KAU) terhadap
pemerintahan kian tak terbendung.
Demikian rilis yang diterima redaksi dari Arief Poyuono, Ketua FSP BUMN Bersatu, Kamis (29/10).
Kata dia, PP Pengupahan No 78 /2015 yang baru disahkan oleh Presiden Jokowi awal pemiskinan bagi buruh Indonesia.
"Bagaimana tidak, pendapatan buruh Indonesia yang berbasis Upah minimum
hanya sebesar 1,1 juta-2,9 juta, akan makin jauh tertinggal dari
negara-negara lainnya seperti Filipina, Thailand, Cina yang upahnya
telah mencapai 3,5-4 jutaan," paparnya.
PP 78 ditolak kaum bukan hanya pada kontennya, melainkan pada proses penetapanya yang tidak melibatkan aspirasi kaum buruh.
Melalui PP Pengupahan no 78 penetapan upah minimum oleh Gubernur/ Bupati
tidak lagi menggunakan acuan utama yang diatur dalam pasal 84 ayat 4
UU Ketengakerjaan No 13/2013 yakni Gubernur/Bupati menetapkan upah
minimum berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan berbasis survey
Kebutuhan hidup layak (KHL) dan angka pertumbuhan ekonomi serta
produktivitas dan tentu saja angka inflasi.
"Survei KHL yang dilakukan berdasarkan survei KHL di tahun sebelumnya," imbuhnya.
Pemerintah Jokowi- JK harusnya merespon keinginan buruh merevisi KHL.
Bukan malah menghilangkan komponen KHL dalam formula penetapan kenaikan
upah minimum.
"Melalui PP 78 ini, kenaikan upah hanya berdasar angka pertumbuhan
ekonomi dan angka inflasi saja tidak lebih 10-11% ( inflasi 6%,
pertumbuhan ekonomi 5%)," tandasnya. [rmolsumsel]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan