أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا
اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهُ
Setiap
perempuan yang nikah tanpa izin walinya
maka nikahnya tidak sah X3. Bila
bersetubuh dengannya, maka perempuan tersebut mendapat maskawinya karena
telah bersetubuh dengannya. Bila para wali bercekcok,( tidak mau menjadi wali ) maka pemerintah
adalah wali bagi orng yang tidak
punya wali
Imam Turmudzi yang meriwayatkan hadis
tersebut berkata : Hadis tersebut masih
hilaf di antara ulama` ahli hadis. Ibnu Hajar berkata dlm kitab Talkhis sebagaian ulama` menyatakan hadis
tersebut lemah karena Ibnu Juraij perawi hadis tsb bertemu dengan Azzuhri perawi hadis tsb pula lalu di tanya tentang hadis di atas tapi beliau
menjawab: “ Aku tidak mengetahuinya dan ingkar kepadanya. Al baihaqi
membicarakan hadis tersebut dengan
panjang lebar dlm kitab Al Hilafiyat,
begitu juga Ibnul Jauzi dlm kitab Tahkik
Al albani
menyatakan bahwa hadis tersebut sahih.
Komentarku
:
Tapi di
tempat lain, Al bani juga menyatakan ;
Yang populer adalah maukuf ( perkataan Ibnu Abbas sendiri
bukan dari Nabi ) Ya`ni lemah
tidak bisa di buat pegangan. Al albani berkata :
تَفَرَّدَ
بِهِ الْقَوَارِيْرِي مَرْفُوْعًا وَاْلقَوَارِيْرِي ثِقَةٌ إِلاَّ أَنَّ
الْمَشْهُوْرُ ِبَهذَا اْلاِسْنَادِ مَوْقُوْفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ "
Al
Qawariri secara sendirian meriwayatkan hadis tsb secara marfu` dan ia
terpercaya, namun yang mashur sanad ini
adalah maukuf kepada Ibnu Abbas ( bukan hadis dan tidak bisa di buat
pegangan ).
Al
baihaqi berkata :
وَالْمَحْفُوظُ
الْمَوْقُوفُ
Yang
terpelihara adalah maukuf ( bukan hadis Nabi
). Karena itu tidak bisa di buat pegangan, apa lagi di katakan sahih, tambah keliru.
Seluruh
sanadnya hanya dari satu jalur yaitu sbb :
عَنْ
ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
…………..Dari
Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri
dari Urwah dari Aisyah dari Nabi
……………………
Saya
tidak menjumpai sanad lainnya untuk redaksi hadis seperti itu. ………... seluruhnya dari jalur itu ……….., Bahkan Ibnu Hajar
menyatakan :
وَكُلُّهَا مَعْلُولَةٌ.
Seluruh
riwayatnya adalah cacat
Muhammad
Al amin berkata :
Sulaiman
bin Musa di nyatakan terpercaya oleh
sebagian ulama, begitu juga Ibnu Ma`in dari Zuhri.
Tapi Abu
hatim menyatakan bahwa Sulaiman bin Musa
kacau dalam sebagian hadisnya.
Imam Bukhari menyatakan : Banyak hadis mungkarnya
Imam
Nasa`I menyatakan : Hadis – hadisnya tidak kuat.
Jadi
Sulaiman bin Musa meriwayatkan hadis ini dari Az zuhri jelas tidak bisa di
terima
Dimanakah
sahabat – sahabat az zuhri yang
terpercaya tentang hadis terpenting dalam bab nikah dan inilah yang di butuhkan
banyak orang. Sulaiman mendengar hadis tsb dari Zuhri masih di perbencangkan di
kalangan ulama.
Dalam
kitab al ilal Abu hatim berkata kepada anaknya 408/1 Saya bertanya kepada Imam Ahmad bin hambal tentang hadis
Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah
dari Aisyah dari Nabi …………… Tiada nikah kecuali dengan wali
Lalu aku
menuturkan kisah Ibnu Aliyyah, lalu berkata :
Ibnu
Juraij menulis kitab yang terdapat hadis
– hadis riwayatnya dari guru – gurunya .
Aku
berjumpa dengan Atha`, lalu aku berjumpa dengan fulan. Bila hadis tsb
terpelihara, maka hadis itu akan di
masukkan dalam kitab karyanya dan kitab induknya …….
Di
katakan : Dia tidak sendirian, bahkan
ada hadis pendukungnya yang di riwayatkan oleh Hajjaj bin Artha, tapi
lemah dan Hajjaj termasuk perawi yang
suka menyelinapkan perawi lemah dan
tidak pernah melihat Zuhri, dia mengaku demikian sebagaimana keterangan di kitab tahdzib.
Lalu di
dukung oleh riwayat Ja`far bin Rabiah, tapi Abu Dawud berkata : Dia tidak
pernah mendengar dari Zuhri
Jadi
hadis tsb, permasalahannya di kembalikan kepada Ibnu Musa. Karena itu, Tirmidzi cukup menghasankan Dan ini menunjukkan sanadnya yang lemah.
Komentarku
:
Syekh
Muqbil Al wadi`I murid Al bani
mengatakan :
غَالِبُ
تَحْسِيْنَاتِ التِّرْمِذِي ضِعَافٌ.
Kebanyakan
hadis yang di hasankan oleh Tirmidzi adalah lemah.
Jadi
penghasanan Tirmidzi itu belum bisa di buat pegangan atau landasan mutlak.
Sungguh
Imam Al albani menyatakan hadis tsb
adalah hasan
Hadis tsb
adalah hasan, bukan sahih,. Masih
jauh sekali di nyatakan sahih, sekalipun
telah di nyatakan oleh segolongan ulama
seperti Ibnu Ma`in
sebagaimana di riwayatkan oleh
Ibnu Ady
Al
Hakim juga berkata : Ia sahih menurut sarat perawi sahih Bukhari dan Muslim.
Pada hal Sulaiman
sendiri bukan perawi Bukhari
Komentarku
: Jadi pernyataan al albani yang pernah menjadi dosen di Universitas Islam
Medinah ini juga berbeda, hadis tsb sahih, hasan, maukuf ( lemah ). Hal itu
menunjukkan sulitnya memberikan penilaian
suatu hadis dan banyak ulama yang keliru dalam hal ini. Untuk saya sendiri tetap saya
katakan lemah karena perawi Sulaiman bin Musa yang di nilai Bukhari sebagai perawi yang mungkarul hadis, atau
tidak kuat sebagaimana di katakan oleh Imam
Nasai dan Imam Bukhari dan Muslim tidak memasukkannya dalam kitab sahih mereka.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa
perkawinan tanpa wali tidak sah, mestinya
bila terjadi setubuh antara dua mempelai berarti dihukumi zina, tapi
mengapa kok diperbolehkan, malah perempuan mendapat maskawin. Imam
Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud
tidak menyatakan hadis tersebut sahih. Jadi seorang sulthon ( penguasa )
menjadi wali tidak memiliki dalil yang kuat. Karena itu,di masa khilafah Abu bakar tidak pernah beliau mengawinkan sebagai ganti
wali perempuan, begitu juga Umar, Usman dan Ali
sebagaimana yang di lakukan oleh
Naib atau kiyai, ustad dll.. Para sahabat yang
lainpun yang menjadi wali tidak pernah
mewakilkan kepada wali lain. Imam
Madzhab empat juga tidak pernah menjalankan.
Situasi pernikahan yang kita lihat saat ini telah
menyalahi tuntunan dan serong. Karena itu seorang wali hendaknya mengawinkan
putrinya sendiri. Dialah yang
mengijabi walaupun dengan bahasa Indonesia, jawa
dll.
Imam
ahmad menyatakan :Bila ayah tiada maka
saudara lelakinya yang mengawinkan si mempelai putri Ya`ni bila ayah mati, tapi bila ayah tidak
mau, ber arti masih punya hak untuk menjadi wali dan jangan langsung
diwakili sebab ayah mesti punya kepentingan
yang akan bermanfaat kepada anak
perempuannya di saat dia tidak mau mengawinkan. Jadi tidak boleh kakak
perempuan menjadi wali bila ayah masih hidup
dan bila ternyata harus di wakili oleh kakaknya, maka tidak di
benarkan dan tidak ada dalilnya .
Yang menikahkan harus seorang
wali, inilah pendapat Umar bin Al Khotthob, Ali bin Abu Tholib, Abdullah bin
Abbas, Abu Hurairah, Said bin Al Musayyab, Al Hasan Al Basri,Syuraih, Ibrahim,
Annakhoi, Umar bin Abdul aziz, Sufyan
Ats sauri. Auzai, Abdullah bin Mubarak, Malik, Syafi`I, Ishak, Ahmad dll. kata
Turmudzi Allah berfirman :
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ
إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ
أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصبَّالِحِينَ
Berkatalah
dia (Wali ): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,
maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang baik”.
Disini
Allah memberikan gambaran pernikahan yang sah yaitu si wali yang menikahkan
kepada putrinya. Jadi sang ayah langsung berkata kepada mempelai : “ Saya mengawinkan putriku bernama …………. Dengan kamu dengan maskawin …………….. Jangan sekali
- kali sang ayah mewakilkan kepada Naib atau kiyai atau kakak menjadi
wali tanpa minta izin kepada ayahnya.. Tidak ada aturannya dalam hadis maupun
Al Quran tentang hal itu. Allah berfirman lagi :
وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman. ( Al Baqarah 221
) Rasul bersabda sbb :
َإِنِّي
أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي
Sesungguhnya akulah yang
mengawinkan putriku dengan Abul ash bin Arrabi`,lalu dia bicara dengan ku
dengan benar
Jadi
para wali tidak diperkenankan untuk mengawinkan putrinya dengan lelaki yang
musrik, karena lelaki mukmin lebih baik, seakidah, bisa saling menghormat dan
satu tujuan. Dia bisa membikin harmunis rumah tangga. Lihat dalam ayat tersebut,
hanya wali yang di larang, bukan kiyai
atau Naib.
Harus
wali sendiri dalam akad nikah
sebagaimana pendapat Said bin Al Musayyab, hasan basri, Syuraih, Ibrahim an
nakhoi, Umar bin Abd aziz, Sofyan at
tsauri, Auzai, Abdullah bin Al Mubarak,
Imam Malik, Imam Syafi`I, Imam Ahmad dan
Ishak.
Ali bin
Abu Bakar Al Haitami, wafat 807 H berkata :
Hadis
pemerintah/ sulthon menjadi Wali lemah
karena ada perawi bernama Sulaiman bin
Musa
صَدُوْقٌ
فِيْهِ لَيِّنٌ وَخُوْلِطَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِقَلِيْلٍ
Dia
perawi yang selalu berkata benar tapi
lemah dan hafalannya kabur menjelang
meninggalnya.
Imam
Nasai menyatakan : Dia tidak kuat dan
Imam Bukhari berkata ; Banyak mungkar riwayatnya.
Hadis tsb
juga di riwayatkan oleh Thabrani dari
Jabir, namun Ali bin Abu Bakar Al Haitami, wafat 807 H berkata :
وَفِيْهِ
عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ الرِّقِّي وَهُوَ مَتْرُوكٌ وَقَدْ وَثَّقَهُ ابْنُ
حِبَّانَ.
Sanadnya terdapat Amar bin Usman Arriqqi . Dia perawi yang di tinggalkan ulama. Ia
telah di katakan terpercaya oleh Ibnu Hibban.
Komentarku
: Pernyataan Ibnu Hibban terpercaya
kepada seorang perawi itu masih perlu di
kaji ulang. Al albani menyatakan :
وَيُعْرَفُ
أَنَّ تَوْثِيْقَ ابْنِ حِبَّانَ لِلرَّجُلِ بِمُجَرَّدِ ذِكْرِهِ فِي هَذَا
اْلكِتَابِ مِنْ أَدْنَى دَرَجَاتِ التَّوْثِيْقِ
Telah di
maklumin Ibnu Hibban menyatakan terperpaya kepada seorang lelaki karena di
sebut dalam kitab ini termasuk derajat yang terendah
وَلِهَذَا
نَجِدُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ كَالذَّهَبِي وَالْعَسْقَلاَنِي
وَغَيْرِهِمَا لاَ يُوَثِّقُوْنَ مَنْ تَفَرَّدَ بِتَوْثِيْقِهِ ابْنُ حِبَّانَ
Karena
Ini,para ahli – ahli hadis yang ahli tahkik
seperti Imam Dzahabi dan al asqalani
tidak mau mendukung atau menyetujui kepada kepada orang – orang yang
telah di percaya oleh Ibnu Hibban sendiri.
اَلْخُلاَصَةُ
أَنَّ تَوْثِيْقَ ابْنِ حِبَّانَ يَجِبُ أَنْ يَتَلَقَّى بِكَثِيْرٍ مِنَ
التَّحَفُّظِ وَالْحَذَرِ لِمُخَالَفَتِهِ اْلعُلَمَاءِ فِي تَوْثِيْقِهِ
ِللْمَجْهُوْلِيْنَ
Kesimpulan
: Pernyataan terpercaya dari Ibnu
Hibban kepada seorang perawi perlu di
perhatikan, hati – hati yang sangat karena banyak menyalahi ulama dalam masalah menyatakan terpercaya terhadap perawi – perawi yang
tidak di ketahu identitasnya.
Redaksi
Asy-Syariah menyatakan :
( Hadis
tsb di riwayatkan oleh Abu Dawud,
At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban,
Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i
dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493)).
Komentarku
: Di sahihkan oleh siapapun tetap jalur sanadnya ada perawi bernama Sulaiman bin Musa yang lemah bahkan Imam Bukhari menyatakan mungkar hadisnya.
Ash-Shan’ani
rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan
bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam
pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak
mau menikahkannya7.”
Komentarku
: Dasarnya hanya hadis lemah itu, dan
tiada hadis lain yang mendukungnya. Bila
walinya tidak mau mengawinkan karena ada
sebab yang tidak di inginkan lalu
di ganti dengan na`ib atau kiyai,
ini jelas tidak di benarkan. Mestinya harus di carikan lelaki yang di setujui
oleh pihak penganten wanita dan wali. Jangan langsung wali di tinggalkan, lalu di ganti dengan wali naib dari KUA. Jadi pernyataan
Shan`ani yang menyatakan bila wali tidak
mau, lalu di ganti sulton adalah
pendapat peribadi tanpa dalil. Sekarang tunjukkan dalil di mana ada wanita
sahabat yang di kawinkan oleh
Umar, Abu Bakar atau Usman saat menjadi
khalifah atau salah satu dari aparat bawahannya. Yang penting kita belum
menjumpai dalilnya atau realita di kalangan generasi pertama.
Bukahri,
Muslim tidak berani memasukkan hadis tsb
dalam kitab sahihnya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan