Kata pengantar :
Setiap
orang yang menyampaikan ajaran Rasulullah SAW pasti akan mengalami nasib
sebagaimana beliau. Saya teringat ayat ini:
مَا يُقَالُ لَكَ إِلاَّ مَا قَدْ قِيلَ
لِلرُّسُلِ مِنْ قَبْلِكَ إِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغْفِرَةٍ وَذُو عِقَابٍ أَلِيمٍ
Tidaklah ada yang dikatakan
kepadamu itu selain apa yang sesungguhnya telah dikatakan kepada rasul-rasul
sebelum kamu. Sesungguhnya Tuhan kamu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman
yang pedih. Fusshilat 43
Itulah karakter masarakat di
manapun berada dan kapanpun. Bila kebenaran yang menyelisihi ajaran yang berlaku di masarakat di sampaikan
akan mengalami berbagai hujatan dan celaan. Tapi bila di sampaikan ajaran salah
yang di anggap benar dan sama dengan lingkungan atau golongan, maka akan di
terima dengan baik.
Rasul menyampaikan ajaran
yang benar di tolak dan pemimpin golongan menyampaikan ajaran salah yang di
anggap benar di dukung. Saya ingat ayat:
كَذَّبَتْ
قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ
وَازْدُجِرَ(9)
Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum
Nuh maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: "Dia seorang
gila dan dia sudah pernah diberi ancaman
Al qamar 9
Dan inilah jawabanku ke 18 terhadap para
komentator di fbku.
Ustadz
Agus Susanto mahasiswa Universitas Islam Madinah
Al-munawaroh, Saudi Arabia menulis:
HUKUM
TAFARRUDNYA SEORANG RAWI
Pak kyiai
Mahrus Ali berdalil dalam melemahkan hadist ini dengan tafarrdunya Zahdam
Al-jarmy, kemudian beliaupun beliau pun membawakan perkataan DR Abu Lubabah At
thahir Shalih Husain yang Aslinya itu terdapat pada kitab Muqaddimah Ibnu
Shalah 1/80
Berkata Ibnu Shalah dalam kitabnya Muqaddimah ulumul hadist 1/80:
Berkata Ibnu Shalah dalam kitabnya Muqaddimah ulumul hadist 1/80:
وَإِطْلَاقُ الْحُكْمِ عَلَى
التَّفَرُّدِ بِالرَّدِّ أَوِ النَّكَارَةِ أَوِ الشُّذُوذِ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ
كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ
“Mengghukumi perawi yang secara sendirian meriwayatkan tertolak , dikatakan mungkar , syadz memang ada dlm perkataan kebanyakan ahli hadis”
Akan
tetapi perkataan Ibnu Shalah tersebut hanya berlaku bagi Thabaqoh yang berada
di Shigar tabi’iin dan orang-orang, adapun untuk Thabaqah kibar At-Tabi’in dan
para sahabat maka tafaarud nya mereka sama sekali tidak membahayakan
Komentarku
( Mahrus ali ):
Anda
menyatakan:
Akan
tetapi perkataan Ibnu Shalah tersebut hanya berlaku bagi Thabaqoh yang berada
di Shigar tabi’iin dan orang-orang, adapun untuk Thabaqah kibar At-Tabi’in dan
para sahabat maka tafaarud nya mereka sama sekali tidak membahayakan".
Komentarku
( Mahrus ali ):
Perkataanmu
itu benar, tidak salah .dan itu bukan pendapat ulama dulu, tapi ulama
belakangan. Walaupun begitu, perkataanmu
itu adalah manfaat pada saya dan berbahaya padamu sendiri. Yaitu Zahdam bukan
termasuk kibarut tabiin yang
tafarrudnya tidak berbahaya .
Zahdam adalah tingkat tiga
pertengahan tabiin. Lihat mausuah ruwatut tabiin
2039.
Jadi
kalimatmu itu mendukung saya untuk menyalahkanmu .
Lihat pula
perkataan pakar – pakar hadis dahulu
yang sangat berbeda dengan keterangan anda .
بل إن الإمام أحمد بن حنبل جعل مصطلح
الغريب دليلا على الوهم، فقد نقل عنه محمد بن سهل بن عسكر أنه قال: « إذا سمعت
أصحاب الحديث يقولون: «هذا الحديث غريب» أو« فائدة» فاعلم أنه خطأ، أو دخل حديث في
حديث، أو خطأ من المحدث، أو ليس له إسناد، وإن كان قد رواه شعبة وسفيان»3.
Bahkan
imam Ahmad bin Hambal menjadikan istilah
gharib sebagai tanda kekeliruan.
Sungguh Muhammad bin Sahal bin
Askar mengutip dari Imam Ahmad bahwa
beliau menyatakan: Bila kamu mendengar ahli hadis berkata: Ini hadis gharib , atau faidah ,
ketahuilah ia adalah kekeliruan, atau hadis
masuk dalam hadis lain, atau kekeliruan dari ahli hadis
atau orang yang menceritakannya
atau ia tidak punya sanad sekalipun diriwayatkan oleh Sufyan atau
Syu`bah. 3
Imam
Ahmad bin Hambal lahir pd tahun 164 H wafat pada tahun 264 H. termasuk tokoh
yang banyak meriwayatkan dari tabaul atba`
termasuk tingkatan ke 10 . Jadi masih dekat generasi murid – murid
tabi`in masih menyatakan seperti itu. Beliau menyatakan bahwa kebanyakan hadis tafarrud adalah lemah. Dan kita tidak
diperkenankan untuk berpegangan kepadanya
atau menulisnya.
Abu bakar al bardiji berkata:
المنكرهو الذي يحدث به الرجل عن الصحابة ، أو عن التابعين ، عن الصحابة ، لايعرف ذلك
الحديث ـ متن الحديث ـ إلا من طريق
الذي رواه ، فيكون منكرا
Hadis munkar adalah hadis yang di sampaikan oleh seorang lelaki dari
sahabat atau dari tabi`in dari
sahabat. Hadis itu atau redaksinya tidak dikenal kecuali dari orang tsb , maka hadis itu adalah munkar.
(3) شرح
علل الترمذي (2/ 653ـ654) وانظر التعديل والتجريح للباجي (1/302)
Al bardiji
adalah penghuni Baghdad
yang dilahirkan 230 H , jadi masih
berdekatan dengan Imam Ahmad. Beliau juga menyatakan hadis yang tafarrud
termasuk munkar. Sekalipun dari Tabiin.
Al Hakim
berkata:
فأما الشاذ فإنه الحديث يتفرد به ثقة من
الثقات وليس للحديث
أصل متابع لذلك الثقة
Adapun
hadis Syadz ( ganjil ) adalah hadis yang
diriwayatkan seorang perawi terpercaya
dari beberapa perawi terpercaya.
Dan hadis itu tidak memiliki asal yang mendukung kepada perawi
terpercaya itu.
معرفة علوم الحديث ص 119
Ma`rifat ulumil hadis.
DR Abd
Kadir al Muhammadi menulis:
الدكتور
عبد القادر المحمدي
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=
ومن يتتبع صنيع الأئمة المتقدمين في
تعليلهم لأحاديث الثقات يرى أنهم
يصرحون بذلك فيقولون لك مثلاً : انفرد
به مالك ولم يتابع ؟ أو أخطأ فيه
شعبة إذ رواه موصولاً والجماعة رووه ولم
يتابع على وصله، من يتتبع كل ذلك
يجد أنَّ الإمام ابن الصلاح ومن نحا
نحوه في مفهوم التفرد قد ضيقوا واسعاً ، وتحدث عن جزئية من جزئيات التفرد ،
فمقاييس القبول أو الرد في الأفراد
ليست أحوال الرواة كونهم ثقات أو ضعفاء
، بل هناك قرائن تدلل على كون أفراد
الثقات تقبل هنا ، وترد هناك ، وإلا
لأصبح قيد انتفاء الشذوذ والنكارة في
حد الحديث الصحيح من قبيل اللغو ! ،
والذي حدا بالحافظ ابن الصلاح أن يقول
ذلك هو : أنَّ المتأخرين يتعاملون مع
الأسانيد مجردة عن المتون – غالباً – إذ
فصلوا الأسانيد عن المتون، وأصبح تصحيحهم الحديث يعتمد على صحة السند،وهذا خلاف منهج
الأئمة المتقدمين(.
Barang
siapa yang mengamati perbuatan para pakar – pakar hadis yang dahulu dalam memberikan cacat kepada hadis – hadis
dari perawi terpercaya, bahwa mereka menjelaskan seperti itu lalu mereka
berkata padamu , misalnya:
Imam Malik
sendiri yang meriwayatkannya dan tiada
perawi lain yang mendukung.
Syu`bah
keliru ketika meriwayatkan nya dengan bersambung sanadnya. Pada hal jamaah meriwayatkannya . Dan tidak
mendukung atas sanad yang bersambung
yang diriwayatkan oleh Syu`bah itu.
Barang
siapa yang mengamati hal itu akan menjumpai bahwa Imam Ibn Shalah dan orang
yang sepaham dengannya dlm memahami tafarrud
telah menyempitkan perkara yang luas. Dan beliau memperbencangkan masalah
detil – detil tafarrud itu. Jadi ukuran di terima atau ditolaknya karena seorang perawi , bukan dipandang dari kondisi perawi itu
terpercaya atau tidak.
Bahkan ada
tanda – tanda yang menunjukkan bahwa perawi – perawi terpercaya itu diterima disini dan di tolak
disana.
Bila
tidak, maka sarat tiada keganjilan da nyeleneh dalam definisi hadis sahih termasuk tiada gunanya. Al Hafidh
Ibn Shalah menyatakan seperti itu karena
faktor bahwa kebanyakan ulama belakangan
ini selalu menilai sanad bukan redaksi
hadis. Mereka memisahkan antara sanad dan redaksi hadis itu. Jadi
penilaian sahih mereka terhadap suatu hadis hanya terfokus pada
sanad yang sahih. Dan ini beda sekali
dengan manhaj para pakar hadis yang
dulu.
Jasim
Dawud menyatakan:
-
حرصهم
على النص على ما يوجد في الأسانيد من تفرد وغرابة ونكارة، وأن وجود التفرد مظنة
قوية على خطأ الراوي وإن كان ثقة
-
Ulama dahulu suka sekali kepada nas atas apa yang terdapat dalam sanad
berupa tafarrud , redaksi nyeleneh atau ganjil . Dan sesungguhnya keberadaan
tafarrud dugaan yang kuat atas kekeliruan perawi sekalipun terpercaya.
DR Abd
Kadir al Muhammadi dalam karyanya al tafarrud fi al riwayah :
فالمتقدمون يعلون الأحاديث التي ينفرد
بها الراوي ولو كان ثقة، إذا كان هذا الحديث ليس معروفاً عندهم.
Ulama hadis yang dulu menyatakan cacat kepada hadis - hadis
yang hanya seorang perawi yang meriwayatkan sekalipun terpercaya bila hadis tsb tidak populer.
Hadis
Rasul makan Ayam adalah termasuk hadis
yang hanya seorang perawi yang meriwayatkannya ( tafarrud ). Jadi termasuk
cacat, bukan hadis yang sahih. Juga
tidak populer saat itu.
البيقونية لابن العثيمين - (ج 1 / ص 1)
أولها( الصحيح) وهو مااتصل إسناده ولم يشذ أويعل
Yang
pertama adalah sahih. Ia adalah hadis yang sanadnya bersambung,
tidak syadz dan tidak pula cacat.
Zahdam
sendiri adalah orang Kufah – Irak. Tafarrudnya
dalam meriwayatkan hadis Rasulullah
SAW makan Ayam adalah bisa membikin hadisnya cacat.
ولهذا نقول إنه ينبغي
لطالب العلم أن ينظر أن من قرائن الإعلال والرد للأحاديث، في تفردات الكوفيين
والعراقيين على وجه العموم،
مجلة البحوث الإسلامية
مجلة البحوث الإسلامية
Karena
ini, kami katakan: Layak sekali bagi thalib ilm untuk melihat bahwa sebagian
tanda cacat dan tertolaknya beberapa hadis adalah tafarrudnya perawi Kufah dan
Irak secara umum ( seperti Zahdam – orang Basrah ).
Majalah buhus Islamiyah.
Majalah buhus Islamiyah.
Abu
Musa al asy ari sendiri pernah menjabat sebagai
wali – seperti wali kota.
ولي الكوفة، ولي البصرة، الأمير :
ولي زبيد، ولي عدن[1]
Beliau
pernah menjadi wali di Kufah , Basrah , Zubaidah dan And.
Jadi
sahabat – sahabat dan tabiin di Medinah tidak mengerti Rasulullah SAW makan
Ayam sampai mereka meninggal dunia. Anehnya
kita telah paham hadis tsb di
saat kita hidup dan belum mati. Kita seolah lebih tahu tentang Rasulullah SAW dari pada
para sahabat. Pada hal mereka
bergaul dengan beliau dan kita hanya tahu kabarnya saja.
Anda
menyatakan lagi:
Berkata
Syeih Mahir Yasiin Al-Fahl dalam kitabnya atsar iktlaful mutun wal asaniid fii
ikhtilaaf Al-fuqohaa 1/130
تفرد في الطبقات المتقدمة :كطبقة الصَّحَابَة ، وطبقة كبار التَّابِعِيْنَ ، وهذا التفرد مقبول إذا كَانَ راويه ثقة
“Tafarrud pada thobaqoh muqoddimah, seperti thobaqoh shahabat dan thobaqoh kibaarut taabiin, maka tafarrud ini di terima tetkala rawinya tsiqqoh.”
Komentarku
( Mahrus ali ):
Syaikh
Mahir Yasiin Al-Fahl adalah ulama belakangan , ia lahir di tahun 1971. Termasuk ulama
hadis belakangan. Jadi maklum sekali pendapatnya beda dengan ulama
hadis yang dulu. Dan saya
ikut ulama hadis yang dulu saja.
Bila kita ikut kaidah yang anda bawakan itu, maka
Zahdam tidak termasuk kibarut tabiin . Tapi dia adalah thabqah wustho minat tabiin. ( Tingkatan 3
tengah dari tabiin ). Jadi kalau kaidah
itu anda datangkan untuk memenangkan pendapatmu, ternyata senjata makan tuan.
Kaidah itu malah mendukung saya. Yaitu Zahdam tidak termasuk kibarut tabiin
yang tafarrudnya ( menyendirinya dalam meriwayatkan ) di terima. Tapi harus di
tolak. Lihat dalam mausuah ruwatil hadis 2039.
Anda
menyatakan:
Bahkan
Ibnu Shalah yang berkata seperti itu sendiri tidak menolak tafarrudnya seorang
rawi secara mutlak melainkan terdapat perinciannya
Beliau berkata:
“Apabila seorang rawi bersendirian di dalam periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabit-nya, maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud (tertolak).
2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang bersendirian ini :
1. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
2. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.”
Beliau berkata:
“Apabila seorang rawi bersendirian di dalam periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabit-nya, maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud (tertolak).
2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang bersendirian ini :
1. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
2. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.”
Komentarku
( Mahrus ali ):
Sebetulnya
mudah sekali saya menjawabnya, tapi maaf karena redaksi arabnya tidak di tampakkan,
entah mengapa di sembunyikan. Pada hal
lebih fair di tampakkan. Dan saya hawatir
ada pengurangan , penambahan yang kurang pas. Saya malas menjawabnya.
Saya hanya
menyatakan; Redaksi hadis Rasulullah
SAW makan Ayam ini termasuk nyeleneh sekali, tiada hadis lain yang mendukung.
Dan ini menurut pakar hadis adalah
cacat bukan keistimewaan . ia
tertolak.
Anda menyatakan;
Lalu
bagaimana sebenarnya status tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut??
Ketahuilah bahwa tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut sama sekali tidak membahayakan hadist Abu Musa diatas dengan alasan:
Ketahuilah bahwa tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut sama sekali tidak membahayakan hadist Abu Musa diatas dengan alasan:
1. Bahwa
Zahdam Al-Jarmy bukanlah bukan termasuk Shigor tabi’in karena beliau banyak
meriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya, Abu Musa al-Asy’ary, Ibnu Abbas
,Imrob bin Husain dan lain-lain.
2. Zahdam
Al-Jarmy adalah seorang rawi yang tsiqot, dan perawi yang dipakai oleh Bukhari
dan Muslim,
Berkata
Al-Hafidz Ibnu Hajar:
إن تفرد الثقة المتقن يعد صحيحاً غريباً ، وإن تفرد الصدوق ومن دونه يعد منكراً
“ Apabila Seorang rawi yang Tsiqoh Dan Mutqin bersendirian dalam meriwayatkan hadist maka hadistnya dinilai Shahih Gharib, Dan apabila seorang rawi yang statusnya Shodduq maka hadistnya di nilai Munkar.” Lihat Miznul I’tidal 3/144
Terjemahan
keliru . Mestinya sbb:
“
Apabila Seorang rawi yang Tsiqoh dan Mutqin bersendirian dalam meriwayatkan
hadist maka hadistnya dinilai Shahih Gharib, Dan apabila seorang rawi yang
statusnya Shodduq dan sebawahnya bersendirian maka hadistnya di nilai Munkar.” Lihat
Mizanul I’tidal 3/144
Yang
saya tulis dengan miring dan huruf tebal
itulah kekeliruan terjemahannya.
Komentarku
( Mahrus ali ):
Keterangan
dari Ibn Hajar itu sekedar pendapat, mungkin benar, mungkin keliru dan
bertentangan dengan keterangan sbb:
Dalam
Syarah Abu Dawud karya
al aini 41/1 dijelaskan:
شرح أبي داود للعيني - (ج 1 / ص 41)
جاء بعد هذه الكلمة في " توجيه
النظر " : " وأما الحديث الغريب فإنه لا يحتج به ولوكان من رواية الثقات
من أئمة العلم "
Dalam " Taujihun nadhar " ada kalimat
setelah kalimat itu :
Adapun
hadis gharib ( nyeleneh) tidak boleh
dibuat pegangan sekalipun dari riwayat perawi – perawi terpercaya dari
kalangan imam – imam ilmu ( tokoh – tokoh
ulama ).
Sebetulnya
masalahnya sangat sederhana. Kalau para
sahabat dan istri – istri Rasulullah
SAW tidak pernah memotong Ayam atau Burung
, maka kita ikut mereka lebih selamat
dari pada kita memakannya dengan
dalil Zahdam yang masih dipertentangkan
atau kalimat mikhlab dipelintir artinya.
Masih banyak daging yang di halalkan
seperti daging Sapi, kambing Unta
dan ikan. Saya hawatir termasuk ayat
ini:
وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي اْلإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi)
bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat
buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Al Maidah 62
Mayoritas Yahudi melakukan
hal itu dan amat jeleklah perbuatan mereka, sekarang mayoritas umat Islam juga terjangkit penyakit seperti
itu kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan mengikuti sariatnya dan
sedikitlah mereka. Anehnya umat Islam
yang mengikuti prilaku Yahudi itu di anggap baik. Pada hal paling jelek.
Anda
menyatakan:
3.dalam riwayat Zahdam Al-Jarmy tidak ada satupun riwayat yang menyelisihinya
3.dalam riwayat Zahdam Al-Jarmy tidak ada satupun riwayat yang menyelisihinya
Komentarku
( Mahrus ali ):
Tapi
ia juga tidak didukung oleh hadis lain, dan ini tanda kelemahan. Lihat
komentar Imam Tirmidzi ketika ada hadis
yang tidak didukung oleh hadis lain,
namun bukan masalah hadis Zahdam ini sbb:
وقال الترمذي بعد أن ذكره معلقا عن ضمرة
( لم يتُابع ضمرة على هذا الحديث ، وهو حديث خطأ عند أهل الحديث ) (8)
Imam
Tirmidzi berkata setelah menyebut hadis
tanpa sanad dari Dhomroh : Sesungguhnya Dhomroh meriwayatkan hadis ini tanpa ada dukungan dari hadis lain. Ia adalah hadis yang keliru
menurut ahli hadis.
(8) إكمال
تهذيب الكمال (7/37)
Hadis Rasulullah
SAW makan Ayam itupun tidak didukung
hadis lain. Malah ada hadis yang lebih
sahih menyelisihinya yaitu hadis
Rasul melarang hewan yang
bercakar itu. Tapi di selewengkan artinya
oleh mereka yang menghalalkannya.
Anda menyatakan:
Lalu
bagaimana dengan hadist Ibnu ‘Abbas ???
Hadist Abu
Musa ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadist Ibnu Abbas yang di
bawakan pak kyiai dalam mengharamkan ayam kemarin, karena memang MIKHLAB yang
di maksud Ibnu Abbas itu bukanlah ayam?
Komentarku
( Mahrus ali ):
Lantas
bahasa arab yang berlaku Mikhlabud dajaj itu apa artinya ? kalau bukan cakar
Ayam. Jadi sudah tentu hadis Zahdam itu
bertentangan dengan hadis Ibn Abbas.
Anda
menyatakan lagi:
Dan tidak ada seoarang ulamapun yang mentafsirkan mikhlab pada hadist itu dengan ayam kecuali seorang ulama nyeleneh dari indonesia yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddits Mahrus Ali.
Jadi mana mungkin bisa di pertentangkan antara kedua hadist itu.
Dan tidak ada seoarang ulamapun yang mentafsirkan mikhlab pada hadist itu dengan ayam kecuali seorang ulama nyeleneh dari indonesia yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddits Mahrus Ali.
Jadi mana mungkin bisa di pertentangkan antara kedua hadist itu.
Komentarku
( Mahrus ali ):
Tapi
banyak ulama yang membenarkan arti
mikhlab dalam kamus yaitu cakar secara mutlak bukan hanya yang memangsa, tapi
cakar Ayam pun dimasukkan. Dan tiada
ulama yang mengkritisi atau menyalahkan bahasa harian mikhlabud dajaj.
Jadi aneh
juga anda menghalalkan Ayam, dalilnya
pentafsiran ulama tentang mikhlab adalah
yang memangsa. Pendapat ulama itu tidak bisa menghalalkan atau
mengharamkan. Hanya al quran dan hadis sahihlah yang mengharamkan atau menghalalkan.
Apakah anda tidak ingat ayat :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ
يَأْذَنْ بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ
الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
Apakah mereka mempunyai sekutu - sekutu selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat
pedih. Syura 21
Saya
berpegangan kepada hadis larangan hewan bercakar secara mutlak, lalu anda
membolehkan Ayam dengan dalil
pentafsiran ulama tentang mikhlab.
Jadi hadis
Rasulullah
SAW makan Ayam itu di katakan tidak
bertentangan dengan hadis larangan hewan bercakar kalau cakarnya di takwil dulu, di artikan tidak apa adanya,
tapi dengan cara meng ada – adakan arti . Yaitu
cakar yang memangsa.
Dua hadis itu dikatakan
bertentangan kalau cakar diartikan apa adanya. Saya
juga ingat ayat ini:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ
قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا
ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلًا
مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan
Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah)
dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang
mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan
melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik. Maidah 13
Anda
menyatakan:
Dan
kesimpulan dari pembahasan kita ini bahwa hadist Abu Musa Al-Jarmiy ini adalah
SHAHIH dari tinjauan ilmu hadist dan musthalah, dan tidak ada seorang maklukpun
di kolong langit ini yang melemahkannya melainkan seorang ahli yang merasa
dirinya telah menjadi muhaddist yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddist Mahrus
Ali.
Komentarku
( Mahrus ali ):
Itulah
kesimpulan pembahasanmu menurut ilmu hadis dan musthalah. Lantas apakah para pakar hadis yang dulu yang melemahkan hadis yang tafarrud, tiada yang mendukung dari hadis lain, syadz itu apakah mereka tidak
menggunakan ilmu hadis ? Ini yang harus di kaji ulang. Jadi yang melemahkan
hadis tafarrud , apalagi kalimat mudraj
dalam hadis " Rasul makan Ayam " itu adalah kalangan ahli
hadis yang dulu, bukan saya sendirian.
Ikutilah
hadis ini:
خَيْرُكُمْ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Orang
yang terbaik diantaramu adalah masaku kemudian
orang – orang setelah mereka lalu generasi sesudahnya Muttafaq alaih
Inilah
jawaban yang saya tulis di Tambak sumur Sidoarjo Jatim untuk menjawab
Ustadz Agus Susanto Bin Sanusi yang menulis naskahnya di Madinah Nabawiyah 7 Muharram 1436
Ustadz Agus Susanto Bin Sanusi yang menulis naskahnya di Madinah Nabawiyah 7 Muharram 1436
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan