Kata
pengantar:
Mulut
pencela yang hina, bukan mulut yang mulia.
Mencela kepada
kebenaran adalah tindakan yang tak terpuji. Ia biasanya di lakukan
oleh orang kafir ketika menolak kebenaran. Saya ingat firmanNya:
وَلَا تُطِعْ كُلَّ
حَلَّافٍ مَهِينٍ(10)هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ(11)مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ
أَثِيمٍ(12)عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ
Dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,yang banyak
mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,yang sangat enggan berbuat baik,
yang melampaui batas lagi banyak dosa,yang kaku kasar, selain dari itu, yang
terkenal kejahatannya, Qalam 10- 13
Seorang muslim
mesti tidak suka mencela kepada ajaran yang di sampaikan kepadanya ,apalagi
yang berdalil. Seorang muslim akan berterima kasih di beri tahu sesuatu yang
bermanfaat padanya, karena dia ingat perkataan Imam Syafii:
مَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ
أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ فَبَلَغَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ
مَا قُلْتُ، فَالْقَوْلُ مَا قَالَهُ صلى الله عليه وسلم
Sekalipun
saya sudah mengatakan sesuatu atau telah ku bikin suatu kaidah, lalu ada hadis
Rasulullah SAW yang bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka perkataan yang benar adalah sabda Rasulullah SAW.
Kita
cukup menjalankan ayat:
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ(2)إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran. Surat al ashr
Dan
kita diperintahkan untuk kembali kepada
al Quran dan hadis sebagaimana ayat:
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ
فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ والرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
والْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَاْوِيْلاً.
"Jika
kamu saling berbantah-bantahan dalam sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunah) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya". An-Nisa,
4:59.
Zikrullah
Al-Marthayadi As-Sakri dari Forum
Kajian Ekonomi Islam, Unram dan UKMI Al-Iqtishad Fe Unram ,
tinggal di Lombok,
Nusa Tenggara Barat, Indonesia menulis sbb:
Ini ada link
membahas tentang faedah tentang ayam. Didalamnya disebutkan hadits bahwa nabi
pernah makan ayam. Coba dicek ustadz.. Semoga Allah mempermudah
kepada
kebenaran. http://abul-jauzaa.blogspot.com/.../beberapa-faedah...
Komentarku
( Mahrus ali ):
Saya
kutipkan sedikit saja yang berkaitan dengan tema kita ini, bukan hal yang tiada kaitannya. Bila ingin detilnya bisa di rujuk ke link aslinya di atas :
Anda
tentu kenal dengan ayam. Bahkan mungkin memeliharanya. Ayam adalah hewan unggas
yang telah terdomestikasi hidup bersama manusia. Ayam peliharaan merupakan
keturunan langsung dari salah satu subspesies ayam hutan yang dikenal
sebagai ayam hutan merah (Gallus gallus) atau ayam bangkiwa (bankiva
fowl). Kawin silang antarras ayam telah menghasilkan ratusan galur unggul
atau galur murni dengan bermacam-macam fungsi; yang paling umum adalah ayam
potong (untuk dipotong) dan ayam petelur (untuk diambil telurnya). Ayam biasa
dapat pula dikawin silang dengan kerabat dekatnya, ayam hutan hijau, yang
menghasilkan hibrida mandul yang jantannya dikenal sebagai ayam bekisar.
Dengan populasi lebih dari 24 miliar pada tahun 2003, Firefly's Bird
Encyclopaedia menyatakan ada lebih banyak ayam di dunia ini daripada
burung lainnya. Ayam memasok dua sumber protein dalam pangan: daging
ayam dan telur . Baca : http://id.wikipedia.org/wiki/Ayam
Berikut
akan disajikan sedikit faedah
tentang ayam bagi saudara-saudaraku kaum muslimin, terutama sekali
tertuju bagi Anda : penggemar
ayam, pemelihara ayam, peternak ayam, penggemar daging ayam, penggemar mie ayam, dan
penggemar telor ayam. Sebagaimana kata pepatah : tak kenal, maka tak sayang….
1.
Daging ayam adalah halal.
Hal
itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memakannya.
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ،
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ
زَهْدَمٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ لَحْمَ دَجَاجٍ "،
قَالَ: وَفِي
الْحَدِيثِ كَلَامٌ أَكْثَرُ مِنْ هَذَا، وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ
رَوَى أَيُّوبُ السَّخْتِيَانِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ أَيْضًا عَنْ الْقَاسِمِ
التَّمِيمِيِّ، وَعَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ زَهْدَمٍ
Telah
menceritakan kepada kami Hannaad : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari
Sufyaan, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Zahdam, dari Abu Muusaa, ia
berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakan
daging ayam”.
At-Tirmidziy
berkata : “Di dalam hadits ini terdapat perkataan yang lebih banyak dari ini.
Hadits ini hasan shahih. Ayyuub As-Sukhtiyaaniy juga meriwayatkan hadits ini
dari Al-Qaasim At-Tamiimiy, dari Abu Qilaabah, dari Zahdam” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 1827; shahih].
Diriwayatkan
juga oleh Al-Bukhaariy no. 5518 & 6649 & 6721 & 7555, Muslim no.
1649, An-Nasaa’iy no. 4347 dan dalam Al-Kubraa no. 4840, At-Tirmidziy no. 1826,
Al-Huamidiy no. 783, Ad-Daarimiy no. 2055-2056, Ahmad 4/394 & 397 & 401
& 406, Ibnu Hibbaan no. 5255, Abu ‘Awaanah no. 5926-5935, Ibnul-Jaaruud
dalam Al-Muntaqaa no. 864, dan yang lainnya; dari beberapa jalan, dari Zahdam,
dari Abu Muusaa radliyallaahu ’anhu.
Para ulama tidak berbeda pendapat
tentang kehalalan daging ayam.
Adapun
larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakan burung yang mempunyai cakar,
maka maksudnya adalah burung yang memburu mangsanya dengan menggunakan cakarnya
[Al-Hayawaanaat, hal. 23].
Maksudnya hadis
sbb :
Sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
عَنْ الْحَكَمِ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
" نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي
نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ "
Telah menceritakan
kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepada
kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam, dari
Maimuun bin Mihraan, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melarang memakan semua jenis hewan buas yang memiliki taring
dan burung yang mempunyai cakar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1934].
Komentarku
( Mahrus ali ):
Hadis
yang digunakan untuk menghalalkan Ayam juga hadis yang telah kita kaji bersama,
bukan saya kaji sendiri. Tapi anda sebagai pembaca juga urun rembuk dan saya cantumkan apa yang
menjadi unek – unek anda lalu saya jawab
dan saya tunjukkan solusinya.
Tiada lain, hadis yang di buat landasan untuk menghalalkan Ayam
adalah hadis Zahdam yang tafarrud, nyeleneh dan tidak ditopang
oleh hadis lain. Sudah kita bahas di
jawaban yang lalu dan sekarang tidak perlu di bahas lagi. Kita butuh dalil yang sahih untuk menghalalkan
Ayam. Ternyata kita bersama dalam membahas ini, ingat bukan saya sendiri –
tidak menjumpai hadis selain itu.
Tentang mikhlab di artikan cakar yang memangsa juga
telah sering dibahas di jawaban yang lalu. Lalu bila di tanya
cakar yang tidak memangsa bahasa
arabnya apa ? Maka orang akan diam seribu bahasa. Seandainya mampu , akan menjawab dengan lantang.
Dalam
masalah tidak boleh mentakwil ini,
saya ingat Syaikh
Athiyah bin Muhammad Salim berkata :
ِلأَنَّ السَّلَفَ
يَقُوْلُوْنَ: نَحْنُ لاَ نُئَوِّلُ آيَاتِ الصِّفَاتِ، مِثْلُ: { يَدُ اللهِ
فَوْقَ أَيْدِيهِمْ } [الفتح:10]، { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Karena sesungguhnya generasi
salaf ( para sahabat ) tidak pernah mentakwil ayat – ayat sifat seperti ayat :
يَدُ اللهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ
Tangan Allah di atas tangan mereka. Al fath 10
Dan ayat :
الرَّحْمَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
Allah yang Maha pengasih bersemayam di Arasy. Syarah
Bulughul maram 209/9
Komentarku ( Mahrus ali ):
Aneh bin ajaib juga bila mengartikan mikhlab, mereka yang
menghalalkan Ayam mentakwil. Dari
kalangan ulama yang anti takwil dalam
masalah asma` dan sifat, kini mengharuskan
takwil dalam masalah mikhlab Ayam
ini dengan berbagai argumentasinya.
Mengapa mereka tidak konsis tanpa
takwil terhadap kata mikhlab sebagaimana mereka anti pati
takwil dalam masalah asma` was sifat ( sifat dan asma Allah ).
Itulah agama hawa nafsu bukan dengan landasan wahyu. Kita ini butuh dalil tanpa pendapat bukan pendapat tanpa dalil
agar agama Islam ini dimurnikan lagi setelah dikotori pendapat manusia. Dan
islam tidak menjadi agama yang sudah
dirobah – robah oleh pendapat manusia
sebagaimana apa yang dialami oleh agama kristen dan Yahudi yang sudah
kotor dan tidak bersih lagi. Saya ingat ayat :
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا
قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا
مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ
قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Tetapi)
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati
mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka
telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan
dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka
maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. Maidah 13
Elfizon Anwar yang Tinggal di Kota
Tangerang menulis :
ada dua mslh yg cukup rumit yakni shalat di
tanah dan makan ayam, ya smg kita mampu menyikapinya dng arif bijaksana.
Komentarku
( Mahrus ali ):
Arif dan Bijak itu wahai shahibku Elfizon Anwar itu mengikuti
dalil langsung tanpa di tunda
lagi untuk mengikuti ayat :
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا
رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka (para nabi dan orang – orang saleh ) adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap rahmat Allah dan takut kepada siksaanNya. Dan
mereka adalah orang-orang yang tunduk kepada Kami. Al Anbiya` 90
Arif dan bijak mengikuti al Quran dan orang yang
serong atau serampangan, bromocorah adalah orang yang menyelisihinya, dimanapun
dan kapanpun dia berada.
Saya
ini menjalankan salat di atas tanah dan tidak makan Ayam , Telor dan cuka
sudah sepuluh tahun bukan dua atau tiga tahun. Kenyataannya mudah saja,
tidak sulit. Saya berkata jujur, bukan dusta atau meng ada – ada.
Karena Rasulullah SAW selalau menjalankan salat wajib bukan salat sunat di tanah dan tidak
pernah di sajadah, maka saya jalankan bersama
jamaah saya. Bila saya tidak
menjalankannya seperti tata
cara salat Rasulullah SAW, saya hawatir
termasuk menyelisihi beliau. Saya ingat ayat:
وَيَا قَوْمِ لَا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِي أَن
يُصِيبَكُم مِّثْلُ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوحٍ أَوْ قَوْمَ هُودٍ أَوْ قَوْمَ
صَالِحٍ ۚ وَمَا قَوْمُ لُوطٍ مِّنكُم بِبَعِيدٍ
Hai kaumku,
janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi
jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau
kaum Shaleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. 89 Hud
Kadang
kalimat Syiqaqi itu di artikan menyelisihi
أيسر التفاسير للجزائري - (ج 2 / ص 186)
{ لا يجرمنكم شقاقي } : أي لا تكسبنكم مخالفتي
أن يحل بكم من العذاب ما حل يقوم نوح والأقوام من بعدهم
Jangan sampai
anda menyelisihi aku membikin anda kalian
tertima azab yang pernah di alami
oleh kaum Nuh dan kaum – kaum setelahnya. Aisarut tafasir 186/2
Ulama Salaf
Atha` bin Abi Rabah mewajibkan salat di tanah dan mengharamkan salat di sajadah
فَقَدْ نَقَلَ ابْنُ حَزْمٍ فِي الْمُحَلَّى
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ : أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ الصَّلاَةُ فِي مَسْجِدٍ
إلاَّ عَلَى اْلأَرْضِ
Sungguh Ibnu
Hazem ( lahir 353 , wafat 456 H ) dalam kitab Al Muhalla telah mengutip
pernyataan Atho` bin Abu Robah haram melakukan salat di masjid kecuali diatas
tanah
Menjelang wafat
, Rasulullah saw masih tetap melakukan salat di atas tanah sebagaimana hadis
sbb : Aisyah ra berkata :
لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَاشْتَدَّ بِهِ وَجَعُهُ اسْتَأْذَنَ أَزْوَاجَهُ فِي أَنْ يُمَرَّضَ
فِي بَيْتِي فَأَذِنَّ لَهُ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَيْنَ رَجُلَيْنِ تَخُطُّ رِجْلاَهُ فِي اْلأَرْضِ بَيْنَ عَبَّاسٍ وَرَجُلٍ
آخَرَ
Ketika sakit
parah,Nabi saw, minta izin kepada istri-istri beliau agar di rawat di rumah ku
,lalu mereka memberikan izin padanya . Beliau keluar bersandar diantara dua
orang ,kedua kakinya menyeret ditanah ( tanah masjid ) antara Abbas dan lelaki
lain ( Ali bin Abu Tholib )
Ibnu Rajab pengarang Fathul bari mengharuskan
salat wajib di tanah, bukan keramik,karpet,koran
فتح الباري لابن رجب - (ج 3 / ص 150)
الْمُرَادُ مِنْ هَذَا اْلحَدِيْثِ
هَاهُنَا : أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي
اْلمَكْتُوْبَةَ إِلاَّ عَلَى اْلأَرْضِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ ، فَأَمَّا
صَلاَةُ الْفَرِيْضَةِ عَلَى اْلأَرْضِ فَوَاجِبٌ لاَ يَسْقُطُ إِلاَّ فِي صَلاَةِ
شِدَّةِ اْلخَوْفِ ، كما قال تعالى: { فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً
} [البقرة :239] .
Ibnu
Rajab berkata dalam kitab Fathul bari 150/3 sbb:
Maksud
hadis tsb ( hadis Nabi turun dari kendaraan ketika menjalankan salat wajib )
adalah sesungguhnya Nabi SAW tidak akan menjalankan salat wajib kecuali di
tanah dengan menghadap kiblat. Untuk menjalankan salat fardhu di atas tanah (
langsung bukan di sajadah atau keramik ) adalah wajib kecuali dalam salat waktu
peperangan atau keadaan yang menakutkan sebagaimana firman Allah taala sbb:
Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan
Saya ambilkan artikel di link ini: http://mantankyainu.blogspot.com/2013/10/postingan-yang-menarik-perhatian.html
Tadi siang ketika membuka
facebook, saya berkunjung ke sebuah halaman fanspage muslim, Maarif Islam.
Dari sekian postingan yang dipublikasikannya, ada satu di antaranya yang
menyita perhatian saya. Postingan tersebut mengungkap perkara kening yang
bersentuhan tanah di saat sujud dalam pelaksanaan shalat.
Hal menarik yang saya tangkap
dari postingan tersebut adalah soal perkara “menyentuh tanah” dan “tanpa
penghalang”. Di sana disebutkan bahwa Untuk lebih lengkapnya, mari kita simak
bersama isi postingan tersebut yang sudah saya kutip di bawah ini:
- - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - kutipan - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - -
[Tahukah Anda?]
[
Sujud dalam shalat itu wajib
dilakukan di atas tanah. Wajib hukumnya menyentuhkan kening langsung di atas
tanah tanpa penghalang.
Ini dalil-dalilnya:
~Dari literatur SYIAH:
1.
Imam ash-Shadiq as berkata, “Sujud di atas tanah adalah suatu kewajiban.”
(Wasail Syiah juz 3 hal.)2. Berkata Imam Ja’far ash-Shadiq as, “Janganlah kamu sujud kecuali di atas tanah atau apa-apa yang… tumbuh dari tanah.” (Biharul Anwar juz 85 hal. 149, al-Kafi juz 3 hal. 330).
3. Seseorang bertanya tentang sujud di atas sorban sedangkan dahinya tidak menyentuh tanah.Berkata Imam ash-Shadiq as, “Tidak boleh sehingga sampai mengena dahinya ke tanah.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 609).
4. “Hisyam bin hakam bertanya kepada Imam ash-Shadiq as, ‘Beritahu aku wahai putra Rasulullah tentang apa-apa yang boleh sujud di atasnya dan apa-apa yang tidak boleh?’ Beliau menjawab, ‘Boleh sujud di atas tanah atau apa-apa yang tumbuh dari tanah, kecuali yang dapat dimakan atau yang dapat dipakai‘.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 591).
~Dari literatur SUNNI:
1.
Dari Anas bin Malik berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah SAW di musim yang
sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di
tangannya, apabila kerikil tadi sudah dingin lalu kerikil tersebut diletakkan
dan dipakai untuk sujud di atasnya.” (Sunan Baihaqi juz 2 halo 105, Nailul
authar juz 2 hal. 268).2. Dari Abdullah bin Abbas, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW shalat di atas Khumroh -tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah-.” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 1 hal. 269/ 309/29/358; Sahih Tirmizi juz 2 hal. 151).
3. Dari Abdullah bin Umar, “Bahwasannya Rasulullah SAW shalat di atas Khumroh (tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah).” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 2 haI. 92; Sunan Tirmizdi juz 2 hal. 151)
4. Dari Wail berkata, “Aku melihat Nabi SAW apabila beliau sujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.” (Ahkamul Qur ‘an lil Jash Shoh, juz 3 hal. 36 Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz 4 hal. 315).
Kesimpulannya, meski saat itu
telah ada kain, namun Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya tidak sujud di
atasnya kecuali langsung di atas tanah atau apa-apa yang tumbuh darinya.
- - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nah, yang hendak saya tanyakan adalah..
- Apakah isi riwayat dari Sunni dan Syiah seperti yang dituliskan di atas adalah benar demikian?
- Bila benar demikian, bagaimana dengan kesahihan sajadah yang umumnya digunakan sebagai alas kening sujud dalam shalat selama ini?
Mohon pencerahannya… :)
Komentarku ( Mahrus ali ):
1. Berkata Imam Ja’far ash-Shadiq as, “Janganlah kamu sujud kecuali di atas tanah atau apa-apa yang… tumbuh dari tanah.” (Biharul Anwar juz 85 hal. 149, al-Kafi juz 3 hal. 330).
Komentarku ( Mahrus ali ):
Tentang sujud di tanah sudah benar, tidak salah, bahkan begitulah realita perbuatan Rasulullah SAW. Namun tentang sujud diprkenankan ke sesuatu yang tumbuh dari tanah ini yang baru bagi saya, bukan barang lama> ia mungkin di ambilkan dari Rasul pernah melakukan sujud di atas khumrah – yaitu tikar kecil atau sajadah yang cukup digunakan untuk muka, sedang tangan dan seluruh aggota sujud masih tetap menyentuh tanah.
Setahu saya, Rasul bersujud ke khumrah itu ketika salat sunah dan tidak pernah sepengetahuan saya, beliau melakukan ketika menjalankan salat wajib. Ini point yang tidak boeh diabaikan, tapi perlu mendapat perhatian yang lebih. Dan kita hanya mengikuti Rasu da tidak boleh menyelesihinya di bidang salat atau lainnya.
Beliau dalam salat wajib selalu sujud ke tanah
Di katakan lagi dalam artikel tsb.
2. “Hisyam bin hakam bertanya kepada Imam ash-Shadiq as, ‘Beritahu aku wahai putra Rasulullah tentang apa-apa yang boleh sujud di atasnya dan apa-apa yang tidak boleh?’ Beliau menjawab, ‘Boleh sujud di atas tanah atau apa-apa yang tumbuh dari tanah, kecuali yang dapat dimakan atau yang dapat dipakai‘.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 591).
Komentarku ( Mahrus ali):
Ini masalah baru, bukan masalah lama. Maksudnya baru saya tahu, dimana sejak kecil, saya belum mendengar atau membacanya. Ini ber arti pengalaman baru yang jelek bukan yang baik. Mengapa demikian, dan mengapa harus begitu?
Karena setahu saya dalam salat wajib, Rasulullah SAW tidak pernah menjalankannya di atas khumrah, sajadah atau tikar, lalu bagaimanakan bisa di katakan boleh.Lihat di polemik saya tentang salat ditanah. Klik disini: http://mantankyainu.blogspot.com/2011/02/polemik-ke-i-tentang-salat-tanpa-alas.html
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
3. Dari Anas bin Malik berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah SAW di musim yang sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan dipakai untuk sujud di atasnya.” (Sunan Baihaqi juz 2 halo 105, Nailul authar juz 2 hal. 268).
أَخْبَرَنَا
قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ
بْنِ الْحَارِثِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ فَآخُذُ قَبْضَةً
مِنْ حَصًى فِي كَفِّي أُبَرِّدُهُ ثُمَّ أُحَوِّلُهُ فِي كَفِّي الْآخَرِ فَإِذَا
سَجَدْتُ وَضَعْتُهُ لِجَبْهَتِي
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata; telah
menceritakan kepada kami 'Abbad dari Muhammad bin 'Amr dari Sa'id bin Al Harits
dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata; "Kami pernah shalat Zhuhur bersama
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, lalu aku mengambil segenggam kerikil di
telapak tanganku untuk kudinginkan. Kemudian aku pindahkan ke telapak tanganku
yang lain, dan jika aku sujud maka aku letakkan kerikil itu pada dahiku."
HR Nasai 1071 .
مشكاة
المصابيح - (ج 1 / ص 221)
1011 - [ 34 ] (
حسن
Dalam kitab Misykatul mashabih 221/1 Al bani menyatakan
hadis tsb hasan. Komentarku ( Mahrus ali):
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi tidak meriwayatkannya.
وعلّق
عليه البيهقي بقوله قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ : وَلَوْ جَازَ السُّجُودُ
عَلَى ثَوْبٍ مُتَّصِلٍ بِهِ لَكَانَ ذَلِكَ أَسْهَلُ مِنْ تَبْرِيدِ الْحَصَا فِى
الْكَفِّ ، وَوَضْعِهَا لِلسُّجُودِ عَلَيْهَا وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ. السنن
الكبرى للبيهقي [ مشكول ] - (ج 2 / ص 239)
Imam Baihaqi memberikan komentar: Syaikh Rahimahullah
berkata: Seandainya boleh sujud di atas pakaian yang di pakai, maka akan lebih
mudah dari pada mendinginkan kerikil di tapak tangan, lalu di letakkan ke
tempat sujud untuk disujudi, wabillahit taufik
Sunan Kubro lil baihaqi 239/2. Komentarku ( Mahrus ali):
Karena itu, sujud di sajadah jelas tidak diperkenankan. Dimana para sahabat yang melakukan salat di tanah yang sangat panas saja tidak mau mengenakan tikar atau kain untuk hamparan sujud. Mengapa mereka tidak mau, pada hal layak sekali mereka mengenakan hamparan sujud dengan alasan tanah sangat panas. Tapi mereka tidak mau mengenakannya , karena mereka anggap kain untuk sujud itu tidak diperkenankan. Bila diperkenankan, maka mereka akan mengambil yang ringan dan mudah bukan yang berat dan sulit.
Bila sujud di hamparan kain diperbolehkan, maka mereka akan membawa sajadah, tikar, sapu tangan atau lainnya dari pada menggemgam kerikil seperti itu.
المستدرك
على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص - (ج 1 / ص 268)
هذا
حديث صحيح على شرط مسلم
تعليق
الذهبي قي التلخيص : على شرط مسلم
Al Hakim menyatakan : Ini hads sahih dengan menggunakan
persaratan periwayatan perawi Muslim dan dibenarkan oleh Dzahabi.
Mustadrak ……. 268/1Di katakan dalam artikel tsb sbb:
4. Dari Abdullah bin Abbas, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW shalat di atas Khumroh -tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah-.” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 1 hal. 269/ 309/29/358; Sahih Tirmizi juz 2 hal. 151).
5. Dari Abdullah bin Umar, “Bahwasannya Rasulullah SAW shalat di atas Khumroh (tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah).” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 2 haI. 92; Sunan Tirmizdi juz 2 hal. 151)
Komentarku ( Mahrus ali):
Untuk hadis riwayat Ibn Abbas itu masih mutlak, tiada keterangan saat itu Rasulullah SAW menjalankan salat wajib atau sunat, begitu juga hadis riwayat Ibnu Umar. Jadi masih belum bisa di buat pegangan untuk memperbolehkan menjalankan salat wajib di atas sajadah. Untuk hadis riwayat Ibn Umar, maka penyusun kitab al Kamil menyatakan sbb:
الكامل
5 - (ج 1 / ص 396)
حدثنا
أبو عبد الرحمن النسائي ثنا قتيبة ثنا العطاف بن خالد عن نافع عن بن عمر قال كان
النبي صلى الله عليه وسلم يصلي على الخمرة وهذا ما أعلم رواه عن العطاف بهذا
الإسناد غير قتيبة
Iintinya tiada yang meriwayatkan hadis Ibnu Umar
itu Al atthaf dengan sanad ini kecuali Kutaibah. Kalimat ini menunjukkan hadis tsb gharib menurut beliau.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan