LBM
NU Jember menulis lagi:
Bid’ah
Hasanah Pada Masa Rasulullah.
1. Hadits Sayyidina Muadz bin Jabal:
1. Hadits Sayyidina Muadz bin Jabal:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى
قَالَ : كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَىْءٌ مِنَ
الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ
حَتَّى جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَم يَنْتَظِرْ
مَا قَالوُا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِى -
صلى الله عليه وسلم - ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ
فَقَالَ النَّبِى - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ
رواه أبو داود وأحمد ( 233ظ5 وابن أبي
شيبة والطبراني فى الكبير ( 271/20) وقد صححه
الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم
Abdurrahman
bin Abu Laila berkata, “Pada masa Rasulullah, bila seseorang datang terlambat
beberapa rakaat mengikuti salat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu
dating akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani,
sehingga orang it akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dulu,
kemudian masuk ke dalam salat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari, Muadz
bin Jabal dating terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang
jumlah rakaat salat yang telah dilaksanakan. Akan tetapi, Muadz langsung masuk
dalam salat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah
Rasulullah selesai salat, maka Muadz segera mengganti rakaat yang tertinggal
itu. Ternyata setelah rasulullah selesai salat, mereka melaporkan perbuatan
Muadz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab,
“Muadz telah memulai cara yang baik untuk salat kalian.” Dalam riwayat Muadz bi
Jabal, beliau bersabda, “Muadz telah memulai cara yang baik untuk salat kalian,
begitulah cara salat yang harus kalian kerjakan.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh al Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir (20/271) dan al
Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah, dan lain-lain. Hadits ini
dinilai sahih oleh al Hafizh Ibn Daqiq al ‘Id (625-703 H/ 1235-1303 M) dan al
hafizh Ibn Hazm Alm Andalusi (384-456 H/ 994-1064 M).
Hadits
ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti salat atau
lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi tidak
menegur Muadz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam
salat sebelum bertanya kepadaku,” bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan
Muadz sesuai dengan kaidah berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
Komentar
(Mahrus Ali):
Pen-tashih-an
Ibn Daqiq Id dan Ibn Hazm yang dicantumkan oleh LBM NU Jember itu tanpa
referensi dan tanpa argumentasi, yang semestinya layak disebut sebagai suatu
ilmu atau keputusan. Hal ini menjadi kurang layak diterima, dan seharusnya
diberi argumentasi yang sehat.
Ibnu
Hajar berkata dalam kitab Nasbur Rayah Fii Takhriji Ahadisil Hidayah
90/2 sebagai berikut:
نصب الراية في
تخريج أحاديث الهداية - (ج 2 / ص 90)
قَالَ الْبَيْهَقِيُّ فِي " كِتَابِ الْمَعْرِفَةِ " : حَدِيثُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَدْ اُخْتُلِفَ عَلَيْهِ فِيهِ ، فَرُوِيَ
عَنْهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَرُوِيَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ ،
وَرُوِيَ عَنْهُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ ابْنُ خُزَيْمَةَ : عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي
لَيْلَى لَمْ يَسْمَعْ مِنْ مُعَاذٍ ، وَلَا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ.
Al
Baihaqi berkata dalam kitab Al MA’rifah. Hadits Abdurrahman bin Abu Laila masih
khilaf. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid dan diriwayatkan dari Muadz bin
Jabal, dan diriwayatkan padanya, kemudian berkata, “Para
sahabat Muhammad berkata, “….” Ibnu Huzaimah berkata, “Abdurrahman bin Abu
Laila tidak mendengar hadits dari Muadz, juga tidak mendengar dari Abdullah bin
Zaid.
وَقَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ : لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُمَا وَلَا مِنْ بِلَالٍ ، فَإِنَّ
مُعَاذًا تُوُفِّيَ فِي طَاعُونِ عَمَوَاسَ سَنَةَ ثَمَانَ عَشْرَةَ ، وَبِلَالٌ
تُوُفِّيَ بِدِمَشْقَ سَنَة عِشْرِينَ ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى
وُلِدَ لِسِتٍّ بَقَيْنَ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ ، وَكَذَلِكَ قَالَهُ
الْوَاقِدِيُّ.
وَمُصْعَبٌ الزُّبَيْرِيُّ ، فَثَبَتَ انْقِطَاعُ حَدِيثِهِ انْتَهَى كَلَامُهُ.
Muhammad
bin Ishaq berkata, “Bahkan tidak mendengar dari keduanya juga dari Bilal. Muadz
sendiri wafat di Thaun Amwas pada tahun 18, sementara Bilal wafat di Damaskus
pada tahun 20-an. Abdurrahman bin Abu Laila dilahirkan kurang dari enam tahun
terakhir khalifah Umar. Begitulah yang dikatakan oleh Al Waqidi dan Mus’ab
Zubairi. JAdi, hadits tersebut terputus
sanadnya….
Komentar
(Mahrus Ali):
Karena
sanadnya terputus, maka hadits tersebut derajatnya lemah sekali, sehingga tidak
bisa dijadikan hujjah. Berpeganglah kepada hadits yang sahih dan bukan
hadits yang lemah. Hadits yang lemah tidak bisa dijadikan dasar untuk bolehnya
membuat bid’ah hasanah dalam agama, sehingga membuat kemurnian agama
Islam lenyap dan berganti dengan ke-bid’ah-an. Ini adalah dalil yang
begitu dibanggakan oleh M. Idrus Ramli yang menganggap bahwa Wahabi tidak mampu
masuk ke dalam masalah ilmiah seperti itu., dia itu seperti orang bodoh yang
mengaku alim, tetapi kemudian ketahuan belangnya. Jadi, yang tampak hanya
kedunguan dan hilang alimnya, dan hakikatnya memang bukan orang alim. Berniat
menipu umat, tapi terganjal dengan orang-orang yang menyanggahnya.
Seandainya hadits tersebut sahih, itu pun tidak bisa dijadikan dasar bolehnya membuat bid’ah dan meninggalkan sunnah. Maka, untuk apakah ayat berikut ini:
Seandainya hadits tersebut sahih, itu pun tidak bisa dijadikan dasar bolehnya membuat bid’ah dan meninggalkan sunnah. Maka, untuk apakah ayat berikut ini:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ
فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ
غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Katakanlah,
“Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Apa
yang diperbuat oleh para sahabat bisa dijadikan hujjah setelah mendapat
pengakuan dari Rasulullah atas kebenarannya. Jika belum mendapat pengakuan,
maka perbuatan mereka itu sama saja dengan kita, tidak bisa dijadikan hujjah.
Maka dari itu, sangat keliru jika kita mengatakan bahwa para sahabat boleh
membuat bid’ah dan bid’ah-nya mereka bisa dijadikan hujjah
oleh kita. Ini adalah hal yang sangat keliru.
Lihat perkataan Ali radiyallahu anhu berikut:
Lihat perkataan Ali radiyallahu anhu berikut:
مَا
كُنْتُ لِأَدَعَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَوْلِ
أَحَدٍ
“Aku
tidak akan meninggalkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
karena perkataan orang lain.”
Imam
Syafi’i menyatakan:
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا
بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ
فَهِيَ قَوْلِي.
Apabila
ada hadits sahih, maka lemparkanlah perkataanku ke tembok. Bila kamu melihat
hujjah telah berada di atas jalan, maka itulah perkataanku.
لاَ
تُقَلِّدْ دِينَك الرِّجَالَ فَإِنَّهُمْ لَنْ يَسْلَمُوا مِنْ أَنْ يَغْلَطُوا
Dalam masalah agama, jangan mengikuti orang lain, karena mungkin saja
mereka salah
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan