LBM NU Jember mengatakan lagi:
Hadits Al ‘Ash bin Wa’il
: قَدِمَ بَكْرُ بن وَائِلٍ
مَكَّةَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Al ‘Ash bin Wa’il berkata, “Pada saat suku Bakr bin Wa’il
datang ke Mekah. Nabi berkata kepada Abu Bakar, ‘Datangi mereka dan tawarkan
agama Islam pada mereka.”’ Lalu Abu Bakar mendatangi dan mengajak mereka
memeluk agama Islam. Mereka menjawab, “Sampai pemimpin kami dating.” Setelah
pemimpin mereka dating, Abu Bakar bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka
menjawab, “Suku Dzuhl bin Syaiban.” Lalu Abu Bakar menjelaskan tentang Islam
kepada mereka, dan mereka menjawab, “Sesungguhnya di antara kami dengan Persia terjadi
peperangan, maka bila kami telah menyelesaikan urusan kami dengan mereka, kami
akan kembali dan memikirkan ajakan anda.” Abu Bakar berkata, “Apakah bila
kalian dapat mengalahkan mereka, maka kalian akan mengikuti agama kami?” Mereka
menjawab, “Kami tidak berjanji memgikuti agama kalian, tetapi bila kami telah
menyelesaikan urusan dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan ajakanmu.”
Setelah suku Dzuhl bin Syaiban berhadapan dengan Persia, pemimpin mereka
berkata, “Siapa nama orang yang mengajak kamu kepada agama Allah?” Mereka
menjawab, “Muhammad.” Ia berkata, “Kalau begitu, nama Muhammad itu jadikan
slogan (syiar) dalam peperangan.” Kemudian suku Dzuhl bin Syaiban itu
mengalahkan Persia.
Mendengar itu Rasulullah bersabda, “Dengan perantara namaku, mereka diberi
kemenangan oleh Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Haitsami –guru
al Hafizh Ibnu Hajar-, mengatakan dalam Majmu al Zawa’id (6/10631), para perawi
hadits ini tsiqat (dipercaya) dan perawi hadits sahih.
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam peperangan melawan Persia, suku Dzuhl bin Syaiban bertawasul dengan nama nabi agar memperoleh kemenangan. Tawasul yang mereka lakukan atas inisiatif pimpinan mereka dan belum mereka pelajari dari nabi. Ternyata tawasul mereka dibenarkan oleh nabi dengan penegasan beliau. (dengan perantara namaku mereka diberi kemenangan oleh Allah). Dengan demikian, tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi selalu keliru dan buruk.[1]
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam peperangan melawan Persia, suku Dzuhl bin Syaiban bertawasul dengan nama nabi agar memperoleh kemenangan. Tawasul yang mereka lakukan atas inisiatif pimpinan mereka dan belum mereka pelajari dari nabi. Ternyata tawasul mereka dibenarkan oleh nabi dengan penegasan beliau. (dengan perantara namaku mereka diberi kemenangan oleh Allah). Dengan demikian, tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi selalu keliru dan buruk.[1]
Komentar (Mahrus Ali):
Bukan dari Al Ash bin Wa’il sebagaimana yang ditulis oleh
LBM NU Jember. Mungkin itu kekeliruan yang tidak disengaja atau salah tulis,
karena sebenarnya sanadnya adalah sebagai berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ الطَّبرَانِي ثَنَا مُحَمَّدٌ
بْنُ عُثمانَ بْنِ أَبِي شَيبَةَ ثَنَا مِنْجَابٌ بنُ الْحَارِثِ ثَنَا
خَلاَّدٌ بنُ عِيْسَى الأَحْوَلِ عَنْ خَالِدٍ بْنِ سَعِيدٍ بْنِ العَاصِ عَنْ أَبِيْهِ
عَنْ جَدِّهِ
Imam Thabrani berkata, “Bercerita kepada kami Muhammad
bin Usman bin Abi Syaibah, lalu berkata, ‘Bercerita kepada kami Minjab bin Al
Harits, lalu berkata, ‘Bercerita kepada kami Khallad bin Isa Al Ahwal dari
Khalid bin Sa’id bin Al Ash dari ayahnya, dari kakeknya.
Jika menurut sanad tersebut, maka ada sebagian teman mengkritisi sebagai berikut:
Jika menurut sanad tersebut, maka ada sebagian teman mengkritisi sebagai berikut:
وَقَدْ اِعْتَرَضَ بَعْضُ الْإِخْوَةِ عَلَى قَوْلِ الْهَيْثَمِيِ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ بِأَنَّ الْعَاصَ رَجُلٌ كَافِرٌ
وَفِي هَذَا عِدَّةُ أَخْطَاءَ أَوَّلاً العَاصُ لَيْسَ هُوَ جَدُّ خَالِدٍ الْمَقْصُودِ فِي السَّنَدِ وَنَسَبُ خَالِدٍ كَمَا يَلِي
وَفِي هَذَا عِدَّةُ أَخْطَاءَ أَوَّلاً العَاصُ لَيْسَ هُوَ جَدُّ خَالِدٍ الْمَقْصُودِ فِي السَّنَدِ وَنَسَبُ خَالِدٍ كَمَا يَلِي
Sungguh sebagian teman mengkritisi perkataan Al Haitsami
yakni, “perawi-perawinya adalah terpercaya,” sebab Al Ash adalah lelaki kafir.
Di sini terdapat beberapa kekeliruan. Pertama, Al Ash itu bukan kakek Khalid yang ada di sanad tersebut. Nasab Khalid sebagai berikut:
Di sini terdapat beberapa kekeliruan. Pertama, Al Ash itu bukan kakek Khalid yang ada di sanad tersebut. Nasab Khalid sebagai berikut:
خَالِدُ بْنُ سَعِيدٍ بْنِ عَمْروِ بْنِ سَعِيدٍ بْنِ العاص بْنِ سَعِيدٍ بْنِ العاص وَهُوَ صَدُوقٌ مِنْ رِجَالِ الْبُخَارِيِّ
Khalid bin Sa’id bin Amar bin Sa’id
bin Al Ash bin Sa’id bin Al Ash adalah perawi yang suka berkata benar dan
termasuk perawi-perawi Imam Bukhari.
وَسَعِيدُ بْنُ عَمْروِ ثِقَةٌ مِنْ صِغَارِ الثَّالِثَةِ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيحَيْنِ أَرْسَلَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيه وآله وَسَلَّمَ وَرَأَى جَمْعًا مِنَ الصَّحَابَةِ وَاُنْظُرْ التَّمْهِيدَ ج4 /
ص26
أَمَّا عُمْرُو بْنُ سَعِيدِ فَهُوَ مِنْ التَّابِعِينَ وَذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ فِي الصَّحَابَةِ وَرَدَّ ذَلِكَ اِبْنُ حَجْرِ فِي الْإصابَةِ فَذَكَرَهُ فِي الْقِسْمِ الرّابعِ
أَمَّا عُمْرُو بْنُ سَعِيدِ فَهُوَ مِنْ التَّابِعِينَ وَذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ فِي الصَّحَابَةِ وَرَدَّ ذَلِكَ اِبْنُ حَجْرِ فِي الْإصابَةِ فَذَكَرَهُ فِي الْقِسْمِ الرّابعِ
Said bin Amar adalah perawi terpercaya dan termasuk
yunior tingkat tiga dari perawi-perawi sahih Imam Bukhari dan Muslim, dia me-mursal-kan
hadits dari Nabi. Adapun Amar bin Sa’id termasuk tabi’in. Sebagian ulama
menyatakan dia termasuk sahabat. Ibnu Hajar membantahnya dalam kitab Al
Ishabah, lalu disebutkan dalam bagian ke empat.
Jadi, sanad LBM NU Jember di atas jelas salah dan bukan
kebenaran yang tersamarkan, sedangkan sanad Baihaqi pun keliru, sebab Al Ash
adalah seorang yang kafir. Dan, nasab Khalid yang benar adalah yang terakhir.
Namun, kakeknya adalah tabi’in dan bukan sahabat Nabi. Jadi, hadits tersebut mursal
dan bukan hadits yang sahih, tetapi lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah apalagi dijadikan dalil oleh
LBM NU Jember untuk memperkenankan tawasul dengan nama Nabi, seolah nama Nabi
itu sejajar dengan nama Allah atau mirip dengan Asmaul Husna yang bisa
dipakai untuk berdoa kepada Allah. Perhatikan ayat berikut:
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي
أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Asmaul Husna adalah milik Allah, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, mereka akan mendapat
balasan atas apa yang mereka kerjakan.[2]
Tidak ada sahabat yang berdoa dengan menyebut nama Nabi,
lalu dikabulkan doanya, dan Rasulullah sendiri tidak memerintahkannya dalam
hadits sahih. Ikutilah ayat berikut ini:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ
تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
Dan, sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan
Allah. Maka, janganlah kamu berdoa kepada seorang pun di dalamnya, di samping
berdoa kepada Allah.[3]
Ayat tersebut menyatakan larangan menyebut nama siapapun
untuk mendekatkan diri kepada Allah ketika berdoa. Berdoa dengan menyebut nama
makhluk untuk sang Khalik adalah bid’ah yang munkar dan tidak ada
tuntunannya. Ini mirip dengan ayat:
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا
إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan
di antara mereka tentang apa yang mereka selisihkan. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang berdusta dan sangat ingkar.[4]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan