TEMPO.CO, Istanbul- Presiden
Turki Recep Tayyip Erdogan telah menggunakan kudeta militer oleh lawan
politiknya untuk membenarkan pembersihan pejabat negara dan perwira militer
yang dianggap tidak loyal kepadanya. Dia diduga menggunakan momentum tersebut
sebagai jalan menuju islamisasi penuh yang tidak tampak semenjak jatuhnya
Kaisar Ottoman.
Pascainsiden kudeta berdarah
pada Jumat malam, 15 Juli 2106, pembersihan terus dilakukan dengan melakukan
pemecatan pada Senin, 18 Juli 2016, terhadap 8.000 polisi, 30 gubernur, dan 52
pejabat pegawai negeri sipil setingkat eselon. Selain itu, 70 laksamana dan
jenderal bersama dengan 3.000 tentara serta 2.700 anggota peradilan dipecat
atau ditahan sejak kudeta gagal pada Sabtu, 16 Juli 2016.
Selama pembersihan orang-orang
yang dituduh prokudeta, ada parade dari para pengikut fanatik agama di jalan-jalan
yang meneriakkan "Allahu Akbar" dengan beberapa ulama terkemuka yang
membacakan ayat-ayat Al-Quran menggunakan pengeras suara raksasa di Taksim Square di
pusat Kota Istanbul.
Seperti dilansir Independent
pada 18 Juli 2016, 85 ribu masjid Turki dilaporkan memainkan peran penting
dalam memobilisasi massa
untuk berunjuk rasa secara besar-besaran melawan kelompok prokudeta.
Area Gezi Park di Istanbul, pusat
protes sekuler dan liberal terhadap pemerintahan otoriter Erdogan tiga tahun
lalu, sekarang dipenuhi banyak orang yang setia kepada Presiden.
Islamisasi semakin
mempengaruhi adat istiadat sosial di Istanbul .
Selin Derya, 26 tahun, yang bekerja di sebuah perusahaan bisnis, mengatakan, sejak
kelompok pro-Erdogan membanjiri pusat kota
pascakudeta, dia takut keluar mengenakan gaun khas wanita Eropa. Dia khawatir
hal tersebut akan mengundang kemarahan warga ekstremis muslim yang kini seakan-akan menguasai semua lini kehidupan.
Program partai pimpinan
Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang memenangi pemilihan umum
pertamanya pada 2002, telah membalikkan sekularisasi yang diperkenalkan oleh
Kemal Ataturk, pendiri republik, pada 1923. Ketika kekuatan AKP semakin besar, banyak
lembaga-lembaga sekuler di negara tersebut yang dihilangkan. Hal itu mendorong
islamisasi pendidikan dan perilaku sosial serta berusaha menyisihkan pejabat
dan petugas non-Islam.
Dalam pernyataannya, Erdogan
pernah menuturkan ingin melihat "pertumbuhan generasi yang agamais", yang
akan menggantikan dominasi sekuler di Turki. Kebijakan luar negeri sejak Arab
Spring pada 2011 membuatnya secara nyata mendukung pemberontakan muslim Sunni
di Suriah dalam aliansi dengan Arab Saudi dan Qatar, meskipun upaya
menggulingkan Presiden Bashar al-Assad sejauh ini gagal.
Strategi ini termasuk sikap
Erdogan yang dianggap menoleransi gerakan ekstrem, seperti ISIS ,
Jabhat al-Nusra, dan Ahrar al-Sham, memungkinkan mereka membangun jaringan dukungan
di Turki. Namun, pada musim panas 2015, pemerintah Turki setuju membiarkan
Amerika Serikat dan empat negara lain, termasuk Inggris, menggunakan pangkalan
udara Incirlik di Turki tenggara untuk melancarkan serangan udara terhadap ISIS .
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan