selamatan 3,7,100 adalah budaya hindu
Pertanyaan dari: Kus Anwaruddin, Sekretaris PC Pemuda
Muhammadiyah Tersono, Mangunsari, Tersono, Batang, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Sebagai warga Muhammadiyah walaupun belum punya KTA saya
ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini menjadi ganjalan dalam benak saya:
Bagaimana sikap resmi PP Muhammadiyah mengenai tradisi
Upacara Tahlilandalam rangkaian upacara kematian?
Sebagai warga Muhammadiyah bagaimana sikap saya bila
diundang dalam upacara tahlilan yang di dalamnya ada jamuan makanannya? (Biasanya
makanan tersebut dikumpulkan oleh warga RT/jamaah lalu diserahkan kepada
keluarga yang terkena musibah dan selanjutnya dimakan bersama dalam upacara
tahlilan tersebut).
Apa hukumnya bila saya menghadiri undangan tahlilan tersebut
dengan alasan untuk kerukunan sebagai warga masyarakat? (Perlu diketahui bahwa,
sepengetahuan saya di daerah saya masih banyak para PCM yang menghadiri
undangan tahlilan tersebut).
Apa pula hukumnya makan bersama dalam perjamuan tahlilan
tersebut dengan alasan yang meninggal dunia tidak punya anak yatim / anaknya
sudah dewasa dan sudah berkeluarga semua serta makanan tersebut berasal dari
para jamaah tahlil yang hadir/dari warga RT? (Biasanya hal ini sudah menjadi
program RT).
Saya sangat mengharapkan atas jawaban yang memuaskan dan
disertai dalil-dalil yang sohih sehingga sebagai warga Muhammadiyah saya tidak
ragu-ragu dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Jawaban:
Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang
saudara sampaikan sudah sangat sering ditanyakan dan sekaligus dijawab dalam
rubrik fatwa agama ini. Di antaranya adalah seperti yang ditanyakan oleh
Saudara Ruslan Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry al-Firdaus,
Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato, Gorontalo (SM
No. 3 Th. Ke-92/2007). Saudara dapat membaca secara lengkap dalam edisi-edisi
Majalah Suara Muhammadiyah sebagaimana yang kami sebutkan.
Namun demikian, tidak ada salahnya kami jelaskan kembali secara
ringkas tentang persoalan tahlilan tersebut, agar saudara dapat lebih mudah
memahaminya.
Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa
Allah” (tiada Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan
menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Dalam al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ
تَكْفُرُونِ
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku
ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]
Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab (33):
41, QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47): 19.
Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha
illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat
Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ
مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا
مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ
مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ
وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ.
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika
lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu
hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan
memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan
dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya
menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak
ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa
yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan
barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan Maha
Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus kesalahan-kesalahannya,
sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” [Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab
az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691]
Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti hadits
riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab as-Shalah
(420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam
Shahih Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695.
Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan
pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang
sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan
haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau
melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan
merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal
shalih dan meninggalkan segala macam syirik. Jika masih berbuat syirik, dan
tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada
manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus
benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya
yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus
hari dan sebagainya.
Selamatan tiga hari, lima
hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme,
dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam
masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus
kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi, upacara semacam itu harus mengeluarkan
biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga
terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal
dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena
musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela
sungkawa. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para
shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah
keluarga Ja’far untuk makan dan minum.
Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak
ada tuntunan dari Rasulullah saw untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang
ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada kubur agar diketahui siapa yang
berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi
Dawud, Bab Fi Jam’i al-Mauta fi Qabr …, Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau
memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari ‘Utsman ibn ‘Affan dan
dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud, Bab al-Istighfar ‘inda al-Qabr
lil-Mayyit …, Juz 9, hlm. 41) dan dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari
Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi …, Juz 13, hlm.
113).
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan :
Sebagai warga Muhammadiyah sikap yang harus diambil adalah
menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan oleh
Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang ma’ruf (mauidlah
hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah pada khususnya
dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan praktek-praktek yang tidak
dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
Dalam menjaga hubungan bermasyarakat, menurut hemat kami
tidaklah tepat jika tolok ukurnya hanya kehadiran pada upacara/hajatan kematian.
Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti rapat RT, kerja bakti, ronda
malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga perlu mendapat perhatian. Dengan
aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan
satu kegiatan saja (tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi
oleh masyarakat di mana kita tinggal.
Mengenai makan dan minum pada perjamuan tahlilan, sekalipun
makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT, namun tetap saja dapat
digolongkan pada perbuatan tabzir, sehingga layak untuk ditinggalkan.
Wallahu a’lam bish-shawab
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
===============================
Sumber : Fatwa-fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah/ sangpencerah.id/
(nahimunkar.com)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan