POSMETRO INFO - Jelang eksekusi mati
terpidana kasus narkoba, Freddy Budiman, beredar broadcast atas nama
koordinator KontraS, Hariz Azhar tentang pengakuan gembong kelas kakap itu.
Dalam broadcast yang juga dishare ke
grup Whatsapp wartawan, tertulis bahwa dialognya dengan Freddy terjadi di lapas
Nusa Kambangan pada 2014 lalu. Freddy menggambarkan bagaimana bobroknya aparat
penegak hukum dalam menangani kasus narkoba.
Broadcast ini pun mendapat respon
dari Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyo.
"Panja Penegakan Hukum Komisi
III DPR RI
akan mendalami pengakuan Freddy Budiman tersebut sebagaimana yang ditulis oleh
Haris," tegas pria yang akrab disapa Bamsoet ini ketika dihubungi, Jumat (29/7).
Bukan hanya itu, lanjut dia, Panja
juga akan mendalami soal omongan Freddy tentang pengacara dan kepala LP
Nusakambangan, Sitinjak. Bambang menegaskan, dua nama yang disebut terakhir ini
sumber informasi untuk mengkonfirmasi pengakuan Freddy.
"Termasuk kita akan tanyakan ke
Mahkamah Agung soal pledoi Freddy," tandasnya.
Ia juga mendesak Kepala Badan
Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol Budi Waseso untuk memberikan perhatian
serius terhadap masalah ini.
"Apakah hanya karangan semata
dari Haris atau tidak. Ini harus menjadi perhatian serius bagi Kepala BNN,"
jelasnya.
Berikut pengakuan lengkap Freddy
atas nama Haris Azhar yang sudah ramai beredar di media sosial:
KESAKSIAN HARRIS AZHAR (KONTRAS)
"Cerita Busuk dari seorang
Bandit"
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di
Lapas Nusa Kambangan (2014)
Di tengah proses persiapan eksekusi
hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa
pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya
keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh
dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba
yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan
hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.
Di tengah-tengah masa kampanye
Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di
masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari
sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di
Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan
bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa
yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias
John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga
sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada
gelombang kedua (April 2015).
Saya
patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang
memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya.
Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama
stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan
narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan
sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil
sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya
membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera
selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau
pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa
Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga
muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi
Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman
sebagai penjahat kelas kakap”
justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh
cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang
mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara
langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang
diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman
bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia
lakukan.
Freddy Budiman mengatakan kurang
lebih begini pada saya:
Pak Haris, saya bukan orang yang
takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko
kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan
penegak hukumnya.
"Saya bukan bandar, saya adalah
operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia . Dia (bos
saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya
acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang
saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga
narkoba yang saya jual di Jakarta
yang pasarannya 200.000 - 300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000. Fredi langsung
menjawab:
Salah. Harganya hanya 5000 perak
keluar dari pabrik di Cina. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip
harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000
per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang
tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”
Fredy menjawab sendiri. Karena saya
bisa dapat per butir 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke
masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya
hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa
bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”
Fredy melanjutkan ceritanya. Para
polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu
barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari
informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan
oleh bos saya (yang di Cina). 'Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo
ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main
polisi atau lo?’”
Menurut Freddy, Saya tau pak, setiap
pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa.
Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya
di lapangan.”
Fredi melanjutkan lagi. Dan kenapa
hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama
beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar
ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan
saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di
samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta
dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman
tanpa gangguan apapun.
"Saya prihatin dengan pejabat
yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan
menceritakan dimana dan siapa bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah
satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA). Saya
siap nunjukin dimana pabriknya. Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak
jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya. Lalu
saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka
tidak tahu, sehingga kami pun kembali.
"Saya selalu kooperatif dengan
petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya
saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya
bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal
saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan
bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi
saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1
miliar dari harga yang disepakati 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya
keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari
kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari
awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”
Freddy juga mengekspresikan bahwa
dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang
membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang
melindungi.
Kemudian saya bertanya ke Freddy
dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini? Lalu
Freddy menjawab:
Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau
saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak
Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya
prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di
pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”
Lalu saya pun mencari pledoi Freddy
Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada
hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak
mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan
aparat negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari
kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di
internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa
pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui
pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke
berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus
tersebut.
Haris Azhar (2016). [rmol]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan