Selasa, Maret 29, 2011

Polemik ke dua puluh tujuh tentang salat tanpa alas ( salat di tanah langsung ,bukan di keramik )

Di tulis oleh H.Mahrus ali
Abu Fariz dalam situs ummati menulis :
6 Januari 2011 pukul 1:43 pm | #35
Aiman,
Sunnah itu bukan sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Yang wajib pun kita melaksanakan sesuai kadar kemampuan atau tepatnya kalau syarat-syaratnya terpenuhi. Nah, bagaimaan dengan yang Sunnah? Begini Mas Aiman, kalau kita tidak menjalankan SUNNAH, itu bukan berarti kita ahlul bid’ah sebagaimana yang didoktrinkan oleh Wahabi. Sebab sebagai muslim, kita tidak akan mampu mengikuti sunnah Nabi secara keseluruhan, tapi sebaiknya kita berusaha mengikuti sebanyak-banyaknya sunnah-sunnah Rasul SAW.
Jadi kalau saya umpamanya tidak memanjangkan jenggot, tidak mengatungkan celana, bukan berarti saya sebagai ahlul bid’ah sebagaimana antum suka menjuluki Ummat Islam sebagai ahlul Bid’ah. Sebab mereka tidak ikut sunnah berjenggot atau bercelana ngatung (Nabi Pakai Celana Ngatung ya), tapi ummat Islam mengikuti sunnah-sunnah yang lainnnya, misalnya puasa senin-kamis, bersiwak, merapikan kuku, menyingkirkan duri di jalan, berdzikir, shalat tahajjud, berdo’a, menikah, membaca Qur’an, bershalawat, mengurus anak yatim, mencintai orang miskin. Dan masih banyak sejali sunnah-sunnah Nabi, kita akan dapat pahala mengikuti sunnah-sunnah Nabi.
Tapi tidak otomatis kita jadi ahlul bid’ah kalau kita tidak mengikuti sebagian sunnah-sunnah Nabi Saw. Bahkan demi keselamatan kita boleh melanggar sunnah Nabi. Contohnya begini, kalau kita turun dari kendaraan, sunnahnya adalah mendahulukan kaki kanan, betul nggak Mas Aiman? Tapi demi keselamatan kita, boleh kita mendahulukan kaki kiri. Umpamanya antum turun dari bus umum dengan mendahulukan kaki kanan karena ikut sunnah Nabi, kira-kira apa yang akan terjadi, Mas Aiman? Antum akan terjatuh bergulingan Mas, coba deh kalau nggak percaya, apalagi kalau turunnya diburu-buru dan busnya masih berjalan pelan seperti kebiasaan bus umum. Banyak kejadian orang jatuh terguling gara-gara mendahulukan kaki kanan.
Pelajaran apa dari contoh sederhana itu? Kita boleh menyalahi sunnah pada sikon tertentu, sebab sunnah itu bukan hal wajib. Jadi jangan sembarangan menuduh orang lain sebagai ahlul bid’ah, karena bisa jadi yang antum tuduh bid’ah itu ternyata menjalankan sunnh-sunnah yang lainnya yang tidak antum ketahui.
Begitu juga shalat sujud di tanah tanpa alas, kalau mengikuti ijtihadnya Mahrus Ali, terus masjid-masjid yang sudah ada, ubinnya mau diurug pakai tanah? Sebab bukankah Wahabi memandang kalau tidak ikut sunnah Nabi disebut ahlul bid’ah? Mau nggak kira-kira syaikh-syaikh wahabi Saudi mengurug lantai masjid-masjidnya dengan tanah? Bukankah mereka harus mengikuti sunnah Nabi Saw jika tidak mau disebut ahlul bid’ah? Please, renungkan Mas Aiman.

     Komentarku ( Mahrus ali ) :
      Artikel di atas dalam rangka menjawab tulisan Aiman di situs ummati  dan disini saya yang menjawabnya .
Anda menyatakan :
Sunnah itu bukan sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Yang wajib pun kita melaksanakan sesuai kadar kemampuan atau tepatnya kalau syarat-syaratnya terpenuhi. Nah, bagaimaan dengan yang Sunnah?
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Kita ittiba` kepada  Rasulullah SAW berdasarkan ayat :
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)
 Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.[1]
                Anda menyatakan lagi :
Begini Mas Aiman, kalau kita tidak menjalankan SUNNAH, itu bukan berarti kita ahlul bid’ah sebagaimana yang didoktrinkan oleh Wahabi. Sebab sebagai muslim, kita tidak akan mampu mengikuti sunnah Nabi secara keseluruhan, tapi sebaiknya kita berusaha mengikuti sebanyak-banyaknya sunnah-sunnah Rasul SAW.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Biasanya orang yang tidak menjalankan sunnah akan menjalankan kebid`ahan . Suatu misal , setelah kematian , tuntunannya tanpa tahlilan , lalu orang tidak menjalankan sunnah Rasulullah SAW tapi ikut budaya  Hindu . Di sinilah dia di juluki ahli bid`ah yang sesat.
Acara Rebowekasan , harus di tinggalkan . Karena tuntunannya tidak ada . lalu orang mengadakan acara rebowekasan. Disini dia  di katakan ahli  bid`ah .
Jadi kalau saya umpamanya tidak memanjangkan jenggot, tidak mengatungkan celana, bukan berarti saya sebagai ahlul bid’ah sebagaimana antum suka menjuluki Ummat Islam sebagai ahlul Bid’ah. Sebab mereka tidak ikut sunnah berjenggot atau bercelana ngatung (Nabi Pakai Celana Ngatung ya),
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Kamu meninggalkan tuntunan menggantungkan celana , lalu kamu bikin  celana selor yang menyapu jalan , kamu akan  terancam hadis  sbb :
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قُلْنَا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَدْ خَابُوا وَخَسِرُوا فَقَالَ الْمَنَّانُ وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
  Tiga orang , Allah tidak melihat kepada mereka  di hari kiamat , dan tidak mengampun dosanya . Mereka mendapat siksaan yang amat pedih . Kami berkata :” Siapakah mereka  wahai Rasulullah ! Sungguh mereka sia – sia dan rugi . Rasulullah SAW  bersabda : “Orang yang suka mengungkit – ungkit pemberian , orang yang menurunkan kainnya  hingga di bawah mata kaki dan orang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu [2]

                         Dosamu tidak di ampun , Allah benci kepadamu , kamu tidak di beri rahmat  di akhirat , lalu kamu disitu butuh pertolonganNya . Disitu kamu berbahaya  sekali .
      Kamu  tidak memanjangkan jenggot , kamu tidak menjalankan perintah Rasulullah SAW sebagaimana hadis :
. جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ *
“Guntinglah kumis, peliharalah jenggot dan berbedalah dengan orang majusi,”[3]
  Lebih jelas , lihat dalam bab : "Haram mengenakan celana yang menyapunjalan " dlm blog ini .
Kamu menyerupai majusi dan di ancam dengan hadis ini :
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
 Saya di utus dekat dengan kiamat dengan membawa pedang hingga  Allah yang Maha Esa di sembah , tidak ada  sekutu bagiNya,rizekiku  dijadikan di bawah naungan  panahku , kenistaan  dan kehinaan untuk orang  yang menyalahi perintahku  dan Barangsiapa  menyerupai  suatu kaum , termasuk mereka [4]
 Anda menyatakan lagi :
 tapi ummat Islam mengikuti sunnah-sunnah yang lainnnya, misalnya puasa senin-kamis, bersiwak, merapikan kuku, menyingkirkan duri di jalan, berdzikir, shalat tahajjud, berdo’a, menikah, membaca Qur’an, bershalawat, mengurus anak yatim, mencintai orang miskin. Dan masih banyak sejali sunnah-sunnah Nabi, kita akan dapat pahala mengikuti sunnah-sunnah Nabi.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
   Apa gunanya mengerjakan hal itu ,bila kamu termasuk ahli bid`ah dan syirik . lihat dlm buku saya "Mantan kiyai NU menggugat sholawat dan dzikir syirik ". Seluruh amal perbuatanmu sia – sia belaka  sebagaimana ayat :
  لئن أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. ( 65 Azzumar )
    Lihat dalam buku tersebut tentang kesyrrikan tahlil , diba` dan maulid .
Anda menyatakan :

Tapi tidak otomatis kita jadi ahlul bid’ah kalau kita tidak mengikuti sebagian sunnah-sunnah Nabi Saw. Bahkan demi keselamatan kita boleh melanggar sunnah Nabi. Contohnya begini, kalau kita turun dari kendaraan, sunnahnya adalah mendahulukan kaki kanan, betul nggak Mas Aiman? Tapi demi keselamatan kita, boleh kita mendahulukan kaki kiri. Umpamanya antum turun dari bus umum dengan mendahulukan kaki kanan karena ikut sunnah Nabi, kira-kira apa yang akan terjadi, Mas Aiman? Antum akan terjatuh bergulingan Mas, coba deh kalau nggak percaya, apalagi kalau turunnya diburu-buru dan busnya masih berjalan pelan seperti kebiasaan bus umum. Banyak kejadian orang jatuh terguling gara-gara mendahulukan kaki kanan.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Saya itu geli sekali membaca tulisanmu ini , begitu lucunya anda punya ilmu dari guru – gurumu .
Mendahulukan kaki kanan sewaktu turun dari kendaraan itu ,mana dalilnya , kamu tidak akan menjumpainya sampai lelah mencarinya.
Bagaimana kamu katakan sunnah atau bid`ah  sedang kamu ngawur dalam memberikan keterangan – maksud saya kamu tidak menggunakan dalil .
 Anda menyatakan :
Pelajaran apa dari contoh sederhana itu? Kita boleh menyalahi sunnah pada sikon tertentu, sebab sunnah itu bukan hal wajib. Jadi jangan sembarangan menuduh orang lain sebagai ahlul bid’ah, karena bisa jadi yang antum tuduh bid’ah itu ternyata menjalankan sunnh-sunnah yang lainnya yang tidak antum ketahui.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Contoh keliru di buat pelajaran sederhana  akan menyesatkan dan membawa kepada kekeliruan lagi yang lebih berbahaya. Menyalahi sunnah kok di perbolehkan , kami  hanya ikut ayat :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.  ( Al Ahzab 21 ) .
          Anda menyatakan lagi :
Begitu juga shalat sujud di tanah tanpa alas, kalau mengikuti ijtihadnya Mahrus Ali, terus masjid-masjid yang sudah ada, ubinnya mau diurug pakai tanah? Sebab bukankah Wahabi memandang kalau tidak ikut sunnah Nabi disebut ahlul bid’ah?
Komentarku ( Mahrus ali ) :
 Salat di tanah bukan ijtihad saya, saya hanya ittiba` dan saya  tidak mau ijtihad , lihat bab : Larangan ijtihad dalam blog ini . Lihat polemik – polemik sebelumnya tentang dalil salat di tanah bukan di keramik .  Dan ikutilah masjid Rasulullah SAW yang lantainya masih berupa tanah .  Dalam polemik yang lalu telah saya jelaskan bahwa sarat sujud untuk salat wajib adalah tanah  karena ada hadis :
وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ  أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَذَكَرَ الحَدِيْثَ
 Bumi di jadikan  tempat sujud dan alat suci ( untuk tayammum )Setiap lelaki  yg menjumpai waktu salat   , salat lah ( di tempat itu ) ………[5]

Anda menyatakan :
 Mau nggak kira-kira syaikh-syaikh wahabi Saudi mengurug lantai masjid-masjidnya dengan tanah? Bukankah mereka harus mengikuti sunnah Nabi Saw jika tidak mau disebut ahlul bid’ah? Please, renungkan Mas Aiman.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Perkara mereka tidak mau itu urusan mereka di hadapan Allah . Apakah bila mereka  tidak mau , lalu saya harus ikut mereka tidak ikut tuntunan . Ataukah bila mereka mau lalu ahli bid`ah dan syirik baru membenarkan salat di tanah. Ingat tuntunan kita ini bukan mereka tapi Nabi SAW.




[1] Al ahzab 36
[2] Muttafaq alaih . 
[3] HR Muslim/Thoharah/260.Ahmad / Baqi musnad muksirin /8560., Nailul author /137/1
[4] HR Ahmad / 5093/ Musnad muktsirin / Imam  Suyuthi mencantumkan dalam kitab Jamius shoghir /127/1 . Beliau berkata : Ia juga di riwayatkan oleh Thobroni  dan Abu Ya`la dalam  kitab musnadnya . Seluruh perawinya terpercaya kecuali Abdur rahman bin Tsabit  yang berobah hafalannya  ketika usia lansia dan terkadang keliru , tapi dia selalu berkata  benar .

[5] HR Bukhori /Tayammum/ 335. Muslim / Masajid dan tempat salat  /521. Nasa`I / Ghusl wattayammu 432. Masajid/Nasa`I . Ahmad bin Hambal / Baqi  musnad muktsirin /13852. 1389.

Artikel Terkait

2 komentar:

  1. Bid'ah akan mematikan sunnah. Sunnah itu banyak sekali.. Tapi kenapa ya orang lebih cenderung suka mengamalkan bid'ah. Padahal tenaga dan pikirannya akan lebih berguna bila digunakan untuk mengamalkan sunnah

    BalasHapus
  2. Benar apa yang anda katakan , semoga Allah menambah rahmat kepada anda

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan