Selasa, Maret 29, 2011

YANG PENTING TIDAK ADA LARANGAN ?


 Ditulis oleh : H Mahrus ali

Sebagian pihak yang gemar melakukan langkah-langkah kreatif dalam membuat ritual peribadatan biasanya mengusung jargon ini: kan, tidak ada larangannya. Prinsip yang penting tidak ada larangannya ini dipakai untuk alasan untuk tidak meninggalkan ritual ibadah yang kadung digemari. Betulkah dalam ibadah berlaku prinsip yang penting tidak ada larangannya?
Kalau coba kita buka bolak-balik dalam lembaran-lembaran mush-haf al-Quran atau al-Hadits didapati sekian banyak hal yang tidak dilarang secara tegas. Jelas, orang yang melaksanakan ibadah haji di luar bulan Dzulhijjah tidak ada larangannya. Orang yang sedang berhaji di bulan Dzulhijjah yang ingin melakukan wukuf di luar Aråfah juga tidak ditemukan larangannya. Shalat wajib dan sunah harian yang dilakukan tanpa rukuk pun tidak ada larangannya. Menjamak shalat di rumah saban hari juga tidak ada larangannya. Sekali lagi, masih banyak bentuk ibadah, baik yang modifikasi maupun baru sama sekali, yang tidak didapati larangan untuk melakukannya. Lantas, apakah seluruh bentuk ibadah tersebut boleh seenaknya kita lakukan? Jelas sangat keliru bila kita menjawab ya! Jadi alasan tidak adanya larangan dalam al-Quran dan al-Hadits untuk mengamankan dalam melakukan ibadah bid`ah adalah kekeliruan yang amat nyata. Mestinya sebelum beramal ibadah mencari dulu dasar tuntunannya, dan jangan melakukan sesuatu ibadah baru kemudian langkah kesepuluh mencari-cari dalilnya. Akibatnya bila ada orang yang mengritik dan menegur, saat kesulitan mencari dalil, akhirnya seenaknya memelintir dalil. Akhirnya tidak mau bertobat justru mengajak orang lain untuk melakukannya dengan dalil yang dipelintir tersebut. Persis apa yang dikatakan dalam al-Quran sebagai berikut:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allåh) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allåh menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[1]

Satu kasus adalah seperti apa yang diungkap dalam situs resmi berjuluk nu.or.id. Disebutkan dalam situs tersebut bahwa K.H. Munawwir Abdul Fattah berkata,
“Ziarah di bulan suci Råmadhån ataupun di Hari Raya sekalipun sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan. Dan karena tidak adanya larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif alangkah indahnya jika dapat kirim doa pada hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (hari-hari bulan Råmadhån) dan hari yang bahagia (Idul Fithri).”
Penulis buku berkata, “Tidak membaca tasbih waktu rukuk, sujud, tidak mengenakan baju atas, begitu pula tidak bertakbir juga tidak ada larangannya. Apakah kemudian kita tidak membaca tasbih pada waktu rukuk dan sujud? Sudah tentu kita tidak akan meninggalkan bacaan dan kita lebih baik ikut saja perilaku Råsulullåh r dan para sahabat y.
Bila Anda sendiri sudah meyakini dan menyatakan bahwa ritual ibadah tersebut memang tiada larangan dan perintahnya, berarti termasuk ibadah bid`ah. Kalau bukan bid`ah terus harus dinamakan apa? Apalagi Anda menyatakan sebelum minta ampun kepada manusia pergi dulu ke kuburan. Bila saran Anda ini diikuti orang kemudian dipraktekkan, maka setelah shålat Id seluruh jamaah akan pergi ke kuburan hingga menjadi ramailah tempat itu. Kuburan akan menjadi tempat berkumpulnya muda–mudi, akibatnya akan muncul kemungkaran baru lagi.”

K.H. A. Nuril Huda, Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), menuliskan keyakinannya sebagai berikut,
“Mendoakan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendoakan kepada yang berdoa agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdoa maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allåh. Perlu diingat bahwa bagi yang berdoa di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa. Bertawassul dengan ahli kubur artinya agar ahli kubur bersama-sama dengan pendoa memohon kepada Allåh.”

Komentarku ( Mahrus ali ),
“Masalah ahli kubur berdoa untuk orang yang hidup sekalipun tidak ada larangannya, apakah ada perintahnya? Lalu siapakah yang mengetahui bahwa ahli kubur bisa berdoa. Bila tidak ada keterangan dalam ayat maupun hadits tentang hal tersebut lebih baik diam saja dan katakan no coment. Tidak usah berpendapat dalam hal yang tidak bisa ditembus dengan pendengaran atau mata biasa agar kita tidak terjerumus hingga justru mengotori wahyu atau ajaran ilahi yang suci ini. Perlu sekali kita ini menghilangkan segala macam bid`ah dalam agama Islam agar tetap tampak indah, bijak, dan cocok dengan fitrah.
Kaidah yang penting tidak ada larangannya adalah kaidah khusus untuk urusan duniawi, bukan untuk urusan ibadah. Urusan duniawi misalnya naik mobil, naik pesawat terbang (meski untuk bepergian ke Makkah), naik sepeda motor, menggunakan teknologi komputer dan lain-lain. Dalam masalah ini, duniawi, tidak ada bid’ah yang terlarang. Berbeda dengan kaidah yang berlaku untuk ibadah: asal ibadah adalah haram sehingga ada dalil yang menunjukkan tuntunannya. Karena itu, misalnya, apabila ada orang shalat maghrib sepuluh rekaat, tentu orang yang menetapi sunnah akan menyalahkan dan mengoreksinya. Jadi, dalam hal ini bukan berkilah dengan pernyataan mana larangannya toh tidak ada larangannya, akan tetapi harus meninggalkan ritual ibadah tersebut karena tidak ada contohnya. Demikian juga ritual-ritual yang saya komentari tersebut di muka, bukan dibela dengan menanyakan mana larangan agama untuk melakukan tradisi tersebut. Karena ritual-ritual tersebut, menurut mereka sendiri, adalah ibadah. Sehingga hukumnya haram kecuali dibenarkan atau dibenarkan oleh syariat. Toh tidak ada bukti bahwa Råsulullåh r dan para sahabatnya y sedikit pun pernah mengerjakannya.
Sebagian pihak yang mati-matian membela ritual ibadah bid’ah menangkis lawannya dengan menyergah: membaca surat Yasin, membaca Tahlil, melakukan ziarah kubur atau ritual sejenis kok dilarang?! Itu, kan, sunah! Pernyataan ini sungguh menggelikan. Sebenarnya tidak membutuhkan kecerdasan yang berlebihan untuk memahami jalan pikiran Ahlussunnah sejati. Ahlussunnah tidak pernah melarang orang membaca Yasin karena itu ayat Allåh, tidak pula mengharamkan bacaan tahlil, karena itu kalimat thåyib untuk menunjukkan sikap mengesakan Allåh, demikian pula tidak melarang ziarah kubur, karena memang akan mengingatkan kita tentang mati   dan ada contoh dari Råsulullåh Tetapi, untuk ritual yang disebut dengan Yasinan atau Tahlilan yang harus dilakukan pada hari tertentu untuk merespon peristiwa tertentu dengan menekankan pengumpulan orang, jelas tidak dicontohkan oleh Råsulullåh Begitu pun ziarah kubur yang biasa dilakukan dengan berombongan, berpayah-payah dan berhari-hari, apalagi butuh waktu lama untuk menuju kuburan tertentu, yakin tidak diajarkan oleh Råsulullåh Kebiasaan-kebiasaan itu tidak pernah dicontohkan oleh sahabat y dan para tabi’in. Jika tidak ada, dan memang tidak ada, lantas mengapa diamalkan? Ada kaidah syara’ (agama) yang termasuk dalam bagian manhaj (cara beragama) yang perlu dipegang kuat-kuat: “kalau sekiranya sebuah perbuatan [ibadah, editor.] itu baik, tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya!” Kaidah ini mesti kita pegang kuat-kuat. Sebuah kaidah yang besar dan agung ini hendaknya bisa menyentuh nurani kita hingga menyadarkan diri untuk tidak mengerjakan satu ibadah pun yang tidak pernah diyakini dan diamalkan oleh para sahabat y.





[1] Al maidah 13
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan