Senin, Maret 07, 2011

Polemik ke empat tentang kurban sapi atau kurban urunan



Polemik ke empat tentang urunan korban sapi

               
                                      Jawaban dari Ust. Abu Al-Jauzaa'


     
Di tulis oleh Ust. Abu Al-Jauzaa' :

Terima kasih atas infonya.

Telah saya jawaban beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) akan artikel di atas. Ada dua point sebenarnya yang beliau anggap bid’ah dalam masalah hewan kurban. Pertama, adalah masalah berkurban selain kambing, dan yang kedua adalah masalah berserikatnya. Saya akan jawab secara ringkas sebagai berikut :

1. Allah ta’ala berfirman :


لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ


“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” [QS. Al-Hajj : 28].


وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ


“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [QS. Al-Hajj : 34].


Bahiimatul-an’aam dalam ayat tersebut maknanya (dalam bahasa ‘Arab) adalah domba, sapi, atau onta. Udlhiyyah tidaklah sah kecuali dengan tiga jenis binatang in. Ini adalah pendapat jumhur ulama [lihat Al-Mughniy 11/99, Al-Ma’uunah 1/658, dan Mukhtashar Ikhtilafil-‘Ulamaa oleh Ath-Thahawiy 3/224]. Bahkan Ibnu Rusyd dalam Bidaayatul-Mujtahid 2/435 dan Ash-Shan’aniy dalam Subulus-Salaam 4/176 menukil adanya ijma’ akan hal tersebut.

Apa yang saya tulis di atas, saya nukil dari melalui perantaraan Tanwiirul-‘Ainain hal. 366 (karya Abul-Hasan Al-Ma’ribiy).
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
on 
Dikatakan oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy bahwa Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih mengharuskan berkurban kambing. Saya kira ini harus diteliti kembali.
Penulis kitab Al-Inshaaf fii Ma’rifatir-Raajih minal-Khilaaf ‘alaa Madzhab Al-Imam Al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal (4/73) menyebutkan bahwa binatang yang paling afdlal untuk hadyu dan udlhiyyah adalah onta, kemudian sapi, kemudian kambing. Mungkin beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) berkesimpulan dari perkataan At-Tirmidziy :


والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وهو قول أحمد وإسحاق واحتجا بحديث النبي صلى الله عليه وسلم أنه ضحى بكبش فقال هذا عمن لم يضح من أمتي وقال بعض أهل العلم لا تجزئ الشاة إلا عن نفس واحدة وهو قول عبد الله بن المبارك وغيره من أهل العلم

“Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama', dan inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Keduanya berdalil dengan hadits Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam, Bahwasanya beliau pernah berkurban dengan seekor kambing, lalu beliau bersabda: "Ini untuk orang-orang yang belum berkurban dari umatku." Sebagian ulama' berpendapat bahwa seekor kambing tidak cukup kecuali untuk satu orang. Dan ini adalah pendapat Abdullah bin Al-Mubaarak dan selainnya dari kalangan para ulama'" [selesai].

Ini jelas wahm dari beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy). At-Tirmidziy menyebutkan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih bukan untuk membatasi. Lagi pula, tidak ada pernyataan : mengharuskan korban kambing seperti dikatakan oleh Ustadz Mahrus Aliy. At-Tirmidziy mengatakan hal di atas adalah untuk menyebutkan perbedaan di kalangan ulama apakah sembelihan kambing (udlhiyyah/korban) itu mencukupi satu keluarga ataukah tidak. Dan memang hadts yang disebutkan At-Tirmidziy berbicara tentang itu.

Adapun pendapat Maalik bin Anas, beliau menyebutkan sendiri dalam Al-Muwaththa’ :


واحسن ما سمعت في البدنة والبقرة والشاة الواحدة ان الرجل ينحر عنه وعن أهل بيته البدنة ويذبح البقرة والشاة الواحدة هو يملكها ويذبحها عنهم ويشركهم فيها



“Perkataan paling baik yang pernah aku dengar tentang (kurban) seekor onta, sapi, dan kambing, bahwasannya seorang laki-laki boleh menyembelih untuk dirinya dan keluarganya seekor onta, sapi, dan kambing. Dialah pemiliknya, dan ia sembelih untuk keluarganya juga, serta menyertakan mereka dalam sembelihan kurban tersebut” [selesai].

Jika Ustadz Mahrus ‘Aliy telah menyebutkan pendapat Asy-Syaafi’iy dan Abu Hanifah tentang pembolehan kurban sapi dan onta (dengan menukil Bidaayatul-Mujahid 1/349), dan di sini saya sebutkan madzhab Maalik dan Ahmad; maka nampaklah bagi Pembaca budiman dimana sebenarnya posisi imam empat dalam masalah pembolehan korban sapi dan onta.

Adapun perkataan Ibnu Qudaamah yang dinukil oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy :
فهو في القسمة لا في الأضحية إذا ثبت هذا‏

“Ia adalah dalam pembagian saja, bukan dalam udlhiyyah; seandainya hadits itu tsabit”.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
on 
Maka, Ibnu Qudaamah memaksudkannya dalam hadits Raafi’. Apa itu hadits Raafi’ yang dimaksudkan Ibnu Qudaamah ? Hadits itu sebagai berikut :


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَكَمِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ فَأَصَابَ النَّاسَ جُوعٌ فَأَصَابُوا إِبِلًا وَغَنَمًا قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُخْرَيَاتِ الْقَوْمِ فَعَجِلُوا وَذَبَحُوا وَنَصَبُوا الْقُدُورَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقُدُورِ فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ قَسَمَ فَعَدَلَ عَشَرَةً مِنْ الْغَنَمِ بِبَعِيرٍ فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌ فَطَلَبُوهُ فَأَعْيَاهُمْ وَكَانَ فِي الْقَوْمِ خَيْلٌ يَسِيرَةٌ فَأَهْوَى رَجُلٌ مِنْهُمْ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ اللَّهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا


Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hakam Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Sa’iid bin Masruuq, dari ‘Abaayah bin Rifaa’ah bin Raafi’ bin Khadiij, dari kakeknya, ia berkata : "Kami bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam di Dzul Hulaifah ketika sebagian orang terserang lapar lalu mereka mendapatkan (harta rampasan perang berupa) unta dan kambing. Saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berada di belakang bersama rombongan yang lain. Orang-orang yang lapar itu segera saja menyembelih lalu mendapatkan daging sebanyak satu kuali. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membagi rata dimana bagian setiap sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta. Namun ada seekor unta yang lari lalu mereka mencarinya hingga kelelahan. Sementara itu diantara mereka ada yang memiliki seekor kuda yang lincah lalu ia mencari unta tadi dan memburunya dengan panah hingga akhirnya Allah menakdirkannya dapat membunuh unta tersebut. Beliau bersabda: "Sesungguhnya bintang seperti ini hukumnya sama dengan binatang liar. Maka apa saja yang kabur dari kalian (lalu didapatkannya,) perlakuklanlah seperti ini......" [HR. Al-Bukhaariy].

Intinya, tidak nyambung dengan hadits yang dibahas. Dan memang hadits itu tidak membicarakan udlhiyyah. Adapun Ibnu Qudamah sendiri menguatkan mencukupinya seekor onta atau kambing untuk tujuh orang yang berserikat, yang kemudian menukil pendapat para shahabat dan tabi’iin yang menyepakati hal itu seperti Ibnu ‘Abbaas, ‘Aaisyah, ‘Athaa’, Thaawus, Saalim, Al-Hasan, ‘Amru bin Diinaar, Ats-Tsauriy, Al-Auzaa’iy, Asy-Syaafi’iy, Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Saya harap, Ustadz Mahrus ‘Aliy membaca bagian ini.

2. Kemudian dalam masalah pembahasan hadits, Pembaca dapat melihat bagaimana beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) hanya fokus pada jarh saja tanpa mempertimbangkan sisi ta’dil-nya. Ini bukanlah manhaj penilaian yang ‘adil terhadap perawi sebagaimana dikenal oleh para ahli hadits.

3. Mengenai masalah perkataan ghariib, saya kira Ustadz Mahrus ‘Aliy telah sangat berlebihan dalam membela pendapatnya yang sudah nyata-nyata salah. Ghariib, secara bahasa merupakan sifat musyabbahah yang bermakna al-munfarid, atau jauh dari kerabat. Namun menurut istilah ilmu hadits, hadiits ghariib berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian [Taisiru Mushthalahil-Hadiits, hal. 27].
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
on 
Saya contohkan hadits ghariib dalam permasalahan ini, yaitu hadits yang sudah sangat terkenal di telinga kita :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى


“Amal-amal itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu tergantung dari apa yang ia niatkan”.

Hadits ini termasuk hadits ghariib muthlaq. Ia hanya diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab; dari ‘Umar, ia hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah; dari ‘Alqamah, ia hanya diriwayatkan oleh Ibraahiim At-Taimiy; dan dari Ibraahiim, ia hanya diriwayatkan oleh Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy. Baru setelah Yahyaa, ia diriwayatkan oleh banyak perawi [lihat ulasan Ibnu Rajab dalam Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam untuk hadits no. 1].

Apakah hadits di atas lemah karena faktor ke-gharib-an ? Ingat, Ustadz Mahrus ‘Aliy menjadikan faktor keghariban sebagai kelemahan hadits. Sependek pengetahuan saya, ndak ada ulama hadits mu’tabar yang melemahkannya.

Juga, apakah hadits di atas bisa disebut sebagai “hadits nyeleneh” (meminjam istilah dari istilah Ustadz Mahrus ‘Aliy) ?

Gharabah itu tidak sepenuhnya menjadi hal yang menjatuhkan hadits. Dilihat dulu ketsiqahannya.

Dalam hadits kurban yang dibahas di atas, perawi yang disorot oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy (yaitu Al-Fadhl bin Muusaa) adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat. Oleh karena itu, keghariban hadits yang dibawakannya tersebut tidaklah mengapa.

Ustadz Mahrus ‘Aliy berkata :

Bukankah yang mengatakan bahwa Al Fadhel bin Musa suka mentengahkan hadis – hadis yang nyeleneh , asing adalah Ibnu hajar sendiri . saya jangan di serang , lalu anda hanya menutup mata bahwa perkataan tsb dari Ibnu Hajar .

Yang mengatakan “suka mengetengahkan hadits-hadits nyeleneh” adalah Anda sendiri. Adapun Ibnu Hajar mengatakan : Tsiqah tsabat, kadang meriwayatkan hadits ghariib. Telah lewat pembahasan makna gharib dalam musthalah, dan saya persilakan pada para Pembaca yang pakar bahasa Indonesia apakah sesuai istilah ‘nyleneh’ dengan ghariib sebagaimana yang telah lewat penjelasanannya. Selain itu, Ustadz Mahrus ‘Aliy juga menggunakan kata suka. Ini ekuivalen dengan sering. Dalam At-Taqriib, Ibnu Hajar menggunakan kata rubamaa , dimana dalam peristilah jarh dan ta’dil ini digunakan untuk makna kadang-kadang atau sedikit. Hal itu digunakan untuk membedakannya dengan istilah : yughrib (sering meriwayatkan hadits-hadits gharib), misalnya. Sama juga dengan sifat kesalahan (khatha’). Beda antara istilah rubamaa akhtha’ dengan yukhthi’ atau katsiirul-khathaa’. Para Pembaca tahu akan tahu sekarang letak ketidakadilan penilaian Ustadz Mahrus ‘Aliy terhadap Al-Fadhl bin Muusaa ini.

Tentang perkataan Imam Ahmad bahwa Al-Fadhl ini meriwayatkan hadits-hadits munkar (manaakir); maka dalam peristilahan mutaqaddimiin, ia dapat bermakna ghariib. Oleh karenanya Ibnu Hajar menghukuminya dengan : ‘kadang meriwayatkan hadits ghariib’.

4. Tentang Al-Husain bin Waaqid, yang dikatakan oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy ini suka nglantur. Sama seperti di atas, beliau ini mengartikannya bukan dengan pemahaman yang dikenal dalam ilmu hadits. Wahm dalam ilmu hadits berarti keliru atau ragu. Perawi yang disifati dengan wahm, maka itu menunjukkan kelemahan dalam hapalannya, karena ada kekeliruannya atau keraguan dalam periwayatan haditsnya. Bandingkan jika kita artikan ngelantur yang berkonotasi pada berangan-angan. Sangat jauh.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
on 
Kembali pada pembahasan Al-Husain. Ia disifati Ibnu Hajar dengan shaduuq lahu auhaam (yang saya artikan : jujur, namun mempunyai beberapa keraguan – atau bisa juga : jujur, namun mempunyai beberapa kekeliruan). Di atas telah saya sebutkan bahwa sumber utama penyifatan wahm itu adalah dari Imam Ahmad. Telah juga saya sebutkan bahwa wahm Al-Husain yang disebutkan dalam kitab jarh wa ta’dil adalah hadits-hadits dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar. Adapun Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa itu bukan pembatas.

Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Tidak masalah dengan apa yang dikatakan Ustadz Mahrus ‘Aliy tersebut. Akan tetapi, tolong disebutkan di sini penjelasan dari ahli hadits tentang wahm Al-Husain yang lain selain dari jalan Ayyub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar.
Atau,…. (jika berkaitan dengan hadits dalam bahasan ini), tolong berikan bukti kepada saya bahwa Al-Husain bin Waaqid telah keliru dalam periwayatan hadits berserikat kurban sapi/onta ini.

Tentu saja ini diperlukan. Telah saya sebutkan bahwa selain adanya pengingkaran Imam Ahmad terhadap hadits Al-Husain bin Waaqid, Imam Ahmad juga berkata : “Laa ba’sa bihi”, dan beliau memujinya dengan kebaikan [Al-Jarh wat-Ta’dil 3/no. 302]. ‘Abdullah bin Ahmad pun mengatakan bahwa ayahnya tidak mengingkari riwayat Al-Husain yang berasal dari Ibnu Buraidah [Al-‘Ilal no. 497]. Artinya apa ? Tidak semua hadits yang diriwayatkan oleh Al-Husain itu diingkari atau dilemahkan oleh Imam Ahmad.

Syaikh Ar-Raajihiy berkata : “Apabila dikatakan pada seorang perawi : Shaduuq lahu auhaam, maka tidak mengapa dengannya, dan status haditsnya itu adalah hasan lidzaatihi….” [http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=4534].

Dan Ibnu Hajar sendiri menyebutkan saat menyebutkan Al-Husain bin Waaqid dalam Thabaqaatul-Mudallisiin tingkat 1 :

الحسين بن واقد المروزي أحد الثقات من اتباع التابعين وصفه الدارقطني وأبو يعلى الخليلي بالتدليس

“Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy, salah seorang tsiqaat dari kalangan atbaa’ut-taabi’iin. Ad-Daaruquthniy dan Al-Khaliiliy menyifatinya dengan tadlis” [selesai].

Kembali pada permasalahan sebelumnya. Apakah ada keterangan atau bukti yang menunjukkan bahwa Al-Husain dalam periwayatan dari ‘Ilbaa’ bin Ahmad Al-Yasykuriy telah melakukan wahm ? Dari dua tulisan Ustadz Mahrus Aliy sebelumnya, nampaknya beliau gagal memberikan bukti kecuali hanya asumsi belaka bahwa hadits ini merupakan bagian wahm dari Al-Husain.

5. Ustadz Mahrus ‘Aliy dalam menguatkan pendapatnya tersebut (dalam pelemahan hadits kurban sapi dan onta) berkata :

Imam Ahmad sendiri yang meriwayatkannya tidak menyatakan hadis tsb sahih. Begitu juga Imam Nasai , tidak berani menyatakan hadis tsb sahih . Bahkan Imam Tirmidzi masih menyatakan hasan tapi nyeleneh.

……………

Imam Ahmad , Nasai ,dan Imam Tirmidzi sendiri tidak berani mensahihkan , lalu apakah Imam Bukhari , Muslim yg tidak berani memasukkan hadis tsb dlm kitab sahihnya itu di anggap mensahihkannya . Pernahkah Imam BUkhari , Tirmidzi , Muslim , Abu Dawud dan seluruh penyusun kutub tis`ah menyatakan hadis tsb sahih ?
Oh , jelas tidak akan anda temukan .


Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Sungguh sayang jika orang sekaliber Ustadz Mahrus ‘Aliy berhujjah dengan kalimat di atas !!!!

Sejak kapan ada kaedah bahwa hadits yang tidak diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dan Muslim berarti tidak shahih ? Sejak kapan kitab Sunan An-Nasaa’iy, Sunan At-Tirmidziy, Sunan Abi Daawud, Sunan Ibni Maajah, Al-Muwaththa’ Maalik, Musnad Ahmad, dan Sunan Ad-Daarimiy mensyaratkan keshahihan dalam semua hadits yang dibawakannya ?

Oleh karenanya, para Pembaca akan banyak mendapatkan hadits yang tidak dikeluarkan dalam Shahihain dan tidak dikomentari apapun oleh para penulis kitab hadits yang sembilan. Dan itu sama sekali bukan menandakanbahwa hadits itu pasti dla’if !!

At-Tirmidziy telah menghukumi hadits itu hasan ghariib. Adapun Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan telah menshahihkannya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
on 
6. Ustadz Mahrus ‘Aliy menyebutkan kaedah : Jarh lebih didahulukan daripada ta’diil.

Saya katakan : Itu benar. Tapi kaedah itu belum titik dan masih ada kelanjutannya. Ada

7. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan pengambilan hukum dari hadits Jaabir adalah qiyas. Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Benar, tidak salah. Dan itulah yang dilakukan oleh jumhur ulama. Dan itu adalah qiyas shahih. Nampaknya, Ustadz Mahrus ‘Aliy – semoga saya salah – mengambil pandangan menolak qiyas dalam hukum dimana ini adalah pendapat yang lemah yang ternukil di kalangan ulama (= merupakan pendapat masyhur Dhahiriyyah).

Akan tetapi, pendapat bolehnya berserikat onta dan sapi itu tidak sekedar qiyas, namun berdasarkan dalil sebagaimana di atas.

8. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa saya keliru mengartikan udlhiyyah dengan ‘sembelihan’.

Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Ini adalah kritik konstruktif dari beliau, dan saya ucapkan banyak terima kasih untuk itu. Sebenarnya, saya memaksudkan udlhiyyah itu dalam konteks sembelihan kurban, karena memang saya dari awal sampai akhir membahas kurban. Dan saya menukil perkataan An-Nawawiy dan juga Lajnah Daaimah dalam rangka penjelasan tentang kurban. Ma’ruf saya kira makna udlhiyyah itu adalah hewan kurban.

Sebagai informasi saja, dalam beberapa nash, digunakan kata ‘sembelihan’ untuk makna udlhiyyah (hewan kurban) atau yang semisalnya. Contoh :
beberapa syarat sehingga kaedah itu dapat berlaku. Salah satunya adalah, jarh-nya harus mufassar (dijelaskan sebabnya). Dapat kita lihat, jarh yang dialamatkan kepada Al-Fadhl dan Al-Husain, berikut pembahasannya. Pendek kata, tidak pada tempatnya Ustadz Mahrus ‘Aliy membawakan kaedah ini untuk menjatuhkan hadits Al-Fadhl dan Al-Husain, kecuali memang beliau dapat memberikan bukti kongkrit sebagaimana yang saya minta di atas, bukan sekedar asumsi-asumsi.


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ


Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa dua hari : Yaumul-Fithr (‘Iedul-Fithri) dan Yaumun-Nahr (Hari Penyembelihan/’Iedul-Adlhaa).


عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْيَوْمُ الْآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ


Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Ini adalah dua hari yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa padanya : Hari dimana kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari dimana kalian memakan hewan sembelihan kalian (=udlhiyyah/hewan kurban)”.

Dan yang lainnya.

Namun, apa yang dikatakan Ustadz Mahrus ‘Aliy itu lebih tepat, dan akan saya perbaiki sesuai dengan kritikan beliau tersebut (sebagaimana terlihat dalam artikel di atas).

9. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa beliau masih banyak ‘modal’ untuk menguatkan pendapat beliau tersebut (yaitu berkurban dengan kambing).

Saya (Abul-Jauzaa’) katakan : Saya tidak pernah mengingkari kurban dengan kambing. Dan memang banyak dalil yang mendukung hal itu. Akan tetapi pembahasannya di sini bukanlah apakah diperbolehkan berkurban kambing atau tidak, namun bolehkan berkurban selain kambing ? dan kemudian berserikat padanya ?

10. Sebenarnya ada beberapa hadits lemah lain yang dapat menjadi syahid hadits di atas. Namun saya kira, hadits Ibnu ‘Abbaas pun telah mencukupi.

Itu saja yang dapat saya tanggapi dari jawaban Ustadz Mahrus ‘Aliy. Lebih dan kurang, mohon dimaafkan.
Anonim mengatakan...
on 
Saya coba ngecek lidwa saya untuk membantu mengecek perawi yg jadi bahan perbincangan disini :

1 * Nama Lengkap : Al Husain bin Waqid
* Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
* Kuniyah : Abu 'Ali
* Negeri semasa hidup : Himsh
* Wafat : 159 H
Yahya bin Ma'in = Tsiqah
Ibnu Hibban = disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ahmad bin Hambal = la ba`sa bih
An Nasa'i = Laisa bihi ba's
Abu Zur'ah Arrazy = Laisa bihi ba's
Kesimpulan : beliau disifati dengan "tidak mengapa dengannya", dan tidak ada kata2 "suka ngelantur".

2 * Nama Lengkap : Al Fadlol bin Musa
* Kalangan : Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
* Kuniyah : Abu 'Abdullah
* Negeri semasa hidup : Himsh
* Wafat : 192 H
Ibnu Hibban = disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Syahin = disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Yahya bin Ma'in = Tsiqah
Muhammad bin Sa'd = Tsiqah
Abu Hatim = Shaduuq Shalih
Ibnu Hajar al 'Asqalani = Tsiqah Tsabat
Adz Dzahabi = Tsabat
Kesimpulan : tidak ada jarh yg diberikan ulama hadits kepada Al Fadhl bin Musa, paling rendah penilaiannya adalah shaduuq oleh imam Abu Hatim, itupun disifati lg dengan shalih. Ibnu Hajar pun mengatakan Tsiqah Tsabat.




Artikel Terkait

1 komentar:

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan