Rabu, Oktober 10, 2012

Mengenal Pesantren Annuqayah



 

 



Salah satu pesantren tua di Madura yang sampai sekarang tetap berkembang. Pesantren ini telah banyak melahirkan para ulama, birokrat, dan pemikir Islam. Santri-santri dan alumninya hingga kini bahkan banyak pula yang menggeluti sebagai penulis, sastrawan, dan aktivis sosial.

Pesantren Annuqayah didirikan pada tahun 1887. Nama “Annuqayah” konon tercetus ketika pesantren ini menerapkan sistem klasikal, yaitu sekitar tahun 1933 yang diambil dari nama sebuah kitab karangan Assuyuthi yang berisi 14 fan (cabang) ilmu pengetahuan. Annuqayah juga berarti bersih. Dengan demikian, diharapkan santri Annuqayah dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan berhati bersih.

Pesantren ini berada di Desa Guluk-guluk, Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura. Sedangkan letak Kecamatan Guluk-Guluk berada pada paling barat kecamatan yang ada di Kabupaten Sumenep, berjarak sekitar 30 km dari Kota Sumenep, berbatasan dengan Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan.

Wilayah yang cukup luas ini sebenarnya tidak memberikan harapan penghidupan bagi masyarakat Guluk-guluk karena susunan tanahnya, sebagaimana daerah Madura lainnya cenderung terdiri dari batu-batu berkapur (lime store rock) dan sebagian besar tanahnya berjenis mediteran.

Pendirinya Kiai Moh. Syarqawi, lahir di Kudus Jawa Tengah. Kiai Syarqawi muda sebelum mendirikan pesantren pernah menuntut ilmu di berbagai pesantren di Madura, Pontianak, merantau ke Malaysia, Patani (Thailand Selatan), dan bermukim di Mekah. Pengembaraannya dalam menuntut ilmu tersebut dilakukan selama sekitar 13 tahun.

Di saat Kiai Syarqawi tinggal beberapa tahun di tanah suci, dia berkenalan dengan seorang saudagar kaya, namun juga alim dari Prenduan (sebuah desa kecil di pesisir selatan, barat laut dari Kota Sumenep) bernama Kiai Gemma. Persahabatan dia dengan saudagar ini terus terjalin dengan baik dan sangat akrab, hingga pada suatu saat, ketika Kiai Gemma merasa tidak lama lagi akan pulang ke hadirat Allah, ia berpesan kepada Kiai Syarqawi agar kalau Kiai Gemma meninggal, dia menikahi istrinya.

Tidak lama kemudian Kiai Gemma pun wafat dan Kiai Syarqawi melaksanakan wasiat tersebut. Demikianlah, Kiai Syarqawi menikahi janda Kiai Gemma, Ny.Hj. Khodijah (istri pertama). Kemudian pada tahun 1875 (1293 H.) ia pulang ke Madura dan menetap bersama istrinya di Desa Prenduan, Kabupaten Sumenep.

Di Prenduan, Kiai Syarqawi mula-mula membuka pengajian al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Empa belas tahun kemudian, Kiai Syarqawi bersama dua istrinya dan Kiai Bukhari (putra dari istri pertama) pindah ke Guluk-guluk dengan maksud mendirikan pesantren. Atas bantuan seorang saudagar kaya bernama H. Abdul Aziz, ia diberi sebidang tanah dan bahan bangunan bekas kandang kuda. Di atas sebidang tanah itu, dia mendirikan rumah tinggal dan sebuah langgar. Tempat ini kemudian disebut Dalem Tenga (gedung tengah). Selain itu, Kiai Syarqawi juga membangun tempat tinggal untuk istrinya yang ketiga, Nyai Qamariyah berjarak sekitar 200 meter ke arah barat dari Dalem Tenga. Kediaman Nyai Qamariyah ini kemudian dikenal dengan Lubangsa.

Di langgar itulah Kiai Syarqawi mulai mengajar membaca al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama. Tempat itulah yang merupakan cikal bakal Pesantren Annuqayah. Sekitar 23 tahun Kiai Syarqawi memimpin pesantren Annuqayah. Setelah Kiai Syarqawi meninggal dunia pada bulan Januari 1911, pesantren dipimpin oleh putranya dari istri pertama, Kiai Bukhari, yang dibantu oleh Kiai Moh. Idris dan kakak iparnya K.H. Imam.

Hubungan antara pesantren dengan masyarakat sekitar sejak masa Kiai Syarqawi memang masih kurang begitu akrab, karena kondisi masyarakat pada waktu itu masih sulit menerima perubahan-perubahan dan rawan konflik, sehingga harus memerlukan pendekatan-pendekatan interpersonal agar perlahan-lahan masyarakat mulai simpatik dan mau diajak mengubah pola-pola kehidupan mereka yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Setelah kepemimpinan Kiai Bukhari, Kiai Idris dan Kiai Imam ini lambat laun hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar tampak mulai lebih akrab, yakni sekitar tahun1917, ketika K.H. Moh. Ilyas pulang ke Guluk-Guluk untuk juga melanjutkan perjuangan ayahnya setelah cukup lama menimba ilmu di berbagai pesantren baik di Madura, Jawa Timur, atau bahkan beberapa tahun tinggal di Mekah.

Mulai tahun 1917, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh K.H. Moh. Ilyas. Pada masa kepemimpinan Kiai Ilyas inilah, Annuqayah mengalami banyak perkembangan, misalnya pola pendekatan masyarakat, sistem pendidikan, dan pola hubungan dengan birokrasi pemerintah. Perkembangan lain yang terjadi adalah ketika pada tahun 1923 Kiai Abdullah Sajjad, saudara Kiai Ilyas, membuka pesantren sendiri. Tempat baru itu kemudian dikenal dengan nama Latee ini berjarak sekitar 100 meter di sebelah timur kediaman Kiai Ilyas.

Sejak Kiai Abdullah Sajjad membuka pesantren sendiri, pesantren-pesantren daerah di Annuqayah terus berkembang dan bermunculan, sehingga sekarang Annuqayah tampak sebagai “pesantren federasi”. Inisiatif untuk membuat semacam “federasi pesantren” ini dilakukan ketika Annuqayah daerah Lubangsa yang didirikan Kiai Syarqawi tidak mampu lagi menampung santrinya. Berdirinya daerah Latee kemudian diikuti oleh berdirinya daerah-daerah lain, sehingga sampai saat ini, Pesantren Annuqayah menampung sedikitnya 6000 santri, dari berbagai jenjang pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi.

Setelah Kiai Ilyas meninggal dunia di penghujung 1959, kepemimpinan di Annuqayah untuk selanjutnya berbentuk kolektif, yang terdiri dari para kiai sepuh generasi ketiga. Sepeninggal Kiai Ilyas, kepemimpinan kolektif Annuqayah diketuai oleh K.H. Moh. Amir Ilyas (w. 1996), dan kemudian dilanjutkan oleh K.H. Ahmad Basyir AS.Pesantren ini memiliki perhatian yang sangat besar terhadap lingkungan, berupa penanaman pohon dan pelestarian alam sekitar.

Itu sebabnya, tahun 1981 Presiden Soeharto pernah menganugerahi hadiah Kalpataru kepada pesantren Annuqayah karena dinilai berjasa sebagai penyelamat lingkungan. (Sumber: Ensiklopedi NU)


Komentarku ( Mahrus ali): 
Pesantren tsb masih tergolong pesantren Nu bukan pesantren salafy tapi salafiyah.
Artikel Terkait

1 komentar:

  1. Kok Mantan NU ya ?Emangnya jadi orang NU ada mantannya, he he ....

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan