Salah satu pesantren tua di Madura yang sampai
sekarang tetap berkembang. Pesantren ini telah banyak melahirkan para ulama,
birokrat, dan pemikir Islam. Santri-santri dan alumninya hingga kini bahkan
banyak pula yang menggeluti sebagai penulis, sastrawan, dan aktivis sosial.
Pesantren Annuqayah didirikan pada tahun 1887. Nama “Annuqayah” konon tercetus
ketika pesantren ini menerapkan sistem klasikal, yaitu sekitar tahun 1933 yang
diambil dari nama sebuah kitab karangan Assuyuthi yang berisi 14 fan (cabang)
ilmu pengetahuan. Annuqayah juga berarti bersih. Dengan demikian, diharapkan
santri Annuqayah dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan berhati bersih.
Pesantren ini berada di Desa Guluk-guluk, Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten
Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura. Sedangkan letak Kecamatan
Guluk-Guluk berada pada paling barat kecamatan yang ada di Kabupaten Sumenep,
berjarak sekitar 30 km dari Kota Sumenep, berbatasan dengan Kecamatan Pakong,
Kabupaten Pamekasan.
Wilayah yang cukup luas ini sebenarnya tidak memberikan harapan penghidupan
bagi masyarakat Guluk-guluk karena susunan tanahnya, sebagaimana daerah Madura
lainnya cenderung terdiri dari batu-batu berkapur (lime store rock) dan
sebagian besar tanahnya berjenis mediteran.
Pendirinya Kiai Moh. Syarqawi, lahir di Kudus Jawa Tengah. Kiai Syarqawi muda
sebelum mendirikan pesantren pernah menuntut ilmu di berbagai pesantren di
Madura, Pontianak, merantau ke Malaysia, Patani (Thailand Selatan), dan
bermukim di Mekah. Pengembaraannya dalam menuntut ilmu tersebut dilakukan
selama sekitar 13 tahun.
Di saat Kiai Syarqawi tinggal beberapa tahun di tanah suci, dia berkenalan
dengan seorang saudagar kaya, namun juga alim dari Prenduan (sebuah desa kecil
di pesisir selatan, barat laut dari Kota Sumenep) bernama Kiai Gemma.
Persahabatan dia dengan saudagar ini terus terjalin dengan baik dan sangat
akrab, hingga pada suatu saat, ketika Kiai Gemma merasa tidak lama lagi akan
pulang ke hadirat Allah, ia berpesan kepada Kiai Syarqawi agar kalau Kiai Gemma
meninggal, dia menikahi istrinya.
Tidak lama kemudian Kiai Gemma pun wafat dan Kiai Syarqawi melaksanakan wasiat
tersebut. Demikianlah, Kiai Syarqawi menikahi janda Kiai Gemma, Ny.Hj. Khodijah
(istri pertama). Kemudian pada tahun 1875 (1293 H.) ia pulang ke Madura dan
menetap bersama istrinya di Desa Prenduan, Kabupaten Sumenep.
Di Prenduan, Kiai Syarqawi mula-mula membuka pengajian al-Qur’an dan
kitab-kitab klasik. Empa belas tahun kemudian, Kiai Syarqawi bersama dua
istrinya dan Kiai Bukhari (putra dari istri pertama) pindah ke Guluk-guluk
dengan maksud mendirikan pesantren. Atas bantuan seorang saudagar kaya bernama
H. Abdul Aziz, ia diberi sebidang tanah dan bahan bangunan bekas kandang kuda.
Di atas sebidang tanah itu, dia mendirikan rumah tinggal dan sebuah langgar.
Tempat ini kemudian disebut Dalem Tenga (gedung tengah). Selain itu, Kiai
Syarqawi juga membangun tempat tinggal untuk istrinya yang ketiga, Nyai Qamariyah
berjarak sekitar 200 meter ke arah barat dari Dalem Tenga. Kediaman Nyai
Qamariyah ini kemudian dikenal dengan Lubangsa.
Di langgar itulah Kiai Syarqawi mulai mengajar membaca al-Qur’an dan
dasar-dasar ilmu agama. Tempat itulah yang merupakan cikal bakal Pesantren
Annuqayah. Sekitar 23 tahun Kiai Syarqawi memimpin pesantren Annuqayah. Setelah
Kiai Syarqawi meninggal dunia pada bulan Januari 1911, pesantren dipimpin oleh
putranya dari istri pertama, Kiai Bukhari, yang dibantu oleh Kiai Moh. Idris dan
kakak iparnya K.H. Imam.
Hubungan antara pesantren dengan masyarakat sekitar sejak masa Kiai Syarqawi
memang masih kurang begitu akrab, karena kondisi masyarakat pada waktu itu
masih sulit menerima perubahan-perubahan dan rawan konflik, sehingga harus memerlukan
pendekatan-pendekatan interpersonal agar perlahan-lahan masyarakat mulai
simpatik dan mau diajak mengubah pola-pola kehidupan mereka yang tidak sesuai
dengan syariat Islam.
Setelah kepemimpinan Kiai Bukhari, Kiai Idris dan Kiai Imam ini lambat laun
hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar tampak mulai lebih akrab, yakni
sekitar tahun1917, ketika K.H. Moh. Ilyas pulang ke Guluk-Guluk untuk juga
melanjutkan perjuangan ayahnya setelah cukup lama menimba ilmu di berbagai
pesantren baik di Madura, Jawa Timur, atau bahkan beberapa tahun tinggal di
Mekah.
Mulai tahun 1917, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh K.H. Moh. Ilyas. Pada
masa kepemimpinan Kiai Ilyas inilah, Annuqayah mengalami banyak perkembangan,
misalnya pola pendekatan masyarakat, sistem pendidikan, dan pola hubungan
dengan birokrasi pemerintah. Perkembangan lain yang terjadi adalah ketika pada
tahun 1923 Kiai Abdullah Sajjad, saudara Kiai Ilyas, membuka pesantren sendiri.
Tempat baru itu kemudian dikenal dengan nama Latee ini berjarak sekitar 100
meter di sebelah timur kediaman Kiai Ilyas.
Sejak Kiai Abdullah Sajjad membuka pesantren sendiri, pesantren-pesantren
daerah di Annuqayah terus berkembang dan bermunculan, sehingga sekarang
Annuqayah tampak sebagai “pesantren federasi”. Inisiatif untuk membuat semacam
“federasi pesantren” ini dilakukan ketika Annuqayah daerah Lubangsa yang
didirikan Kiai Syarqawi tidak mampu lagi menampung santrinya. Berdirinya daerah
Latee kemudian diikuti oleh berdirinya daerah-daerah lain, sehingga sampai saat
ini, Pesantren Annuqayah menampung sedikitnya 6000 santri, dari berbagai
jenjang pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi.
Setelah Kiai Ilyas meninggal dunia di penghujung 1959, kepemimpinan di
Annuqayah untuk selanjutnya berbentuk kolektif, yang terdiri dari para kiai
sepuh generasi ketiga. Sepeninggal Kiai Ilyas, kepemimpinan kolektif Annuqayah
diketuai oleh K.H. Moh. Amir Ilyas (w. 1996), dan kemudian dilanjutkan oleh
K.H. Ahmad Basyir AS.Pesantren ini memiliki perhatian yang sangat besar terhadap
lingkungan, berupa penanaman pohon dan pelestarian alam sekitar.
Itu sebabnya, tahun 1981 Presiden Soeharto pernah menganugerahi hadiah
Kalpataru kepada pesantren Annuqayah karena dinilai berjasa sebagai penyelamat
lingkungan. (Sumber: Ensiklopedi NU)
Komentarku ( Mahrus
ali):
Pesantren tsb masih tergolong
pesantren Nu bukan pesantren salafy tapi salafiyah.
Artikel Terkait
Kok Mantan NU ya ?Emangnya jadi orang NU ada mantannya, he he ....
BalasHapus