LBM NU Jember mengatakan lagi:
Hadits Sayyidina Bilal:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ
عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي
الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ
قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي
سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي
أَنْ أُصَلِّيَ
وَفِى رِوَايَةٍ قَالَ لِبِلاَلٍ : بِمَ
سَبَقْتَنِي إِلَى الْجَنَّةِ قاَلَ مَا أَذْنَبْتُ قَطُّ إِلَّا صَلَّيْتُ
رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِي حَدَثٌ قَطُّ إِلَّا تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ
للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِي صلعم( بِهِمَا )
أَيْ نِلْتَ تِلْك َالْمَنْزِلَة رواه البخاري
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bertanya kepada
Bilal ketika salat fajar, “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan
pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga.”
Ia menjawab, “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum
pernah berwudhu, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan
salat sunah dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau
berkata kepada Bilal, “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surge?” Ia menjawab,
“Aku belum pernah azan kecuali aku salat sunah dua rakaat setelahnya, dan aku
belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan
dengan salat sunah dua rakaat karena Allah.” Nabi berkata, “Dengan dua kebaikan
itu, kamu meraih derajat itu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari (1149), Muslim
(6274), Al Nasa’i dalam Fadhail al Shahabah (132), Al Baghawi (1011), Ibnu
Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibnu Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan Al
Hakim (1/313), yang menilainya sahih.
Menurut al Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al Bari (3/34),
hadits ini memberikan faedah tentang bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu
ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu
Nabi pun membenarkannya. Nabi belum pernah menyuruh atau mengerjakan salat dua
rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai azan, tetapi Bilal
melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya
kepada Nabi. Ternyata Nabi membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira
tentang derajatnya di surga, sehingga salat dua rakaat setiap selesai wudhu
menjadi sunah bagi seluruh umat.
Komentar (Mahrus Ali):
Apa yang disimpulkan oleh LBM NU Jember adalah kekeliruan
yang nyata, salah dalam memahami. Namun, sebelumnya kita telusuri dulu apakah
hadits tersebut sahih atau lemah. Seandainya sahih pun, penyimpulan yang
dilakukan oleh LBM NU Jember itu keliru apalagi bila hadits tersebut ternyata
cacat.
Kita mulai dari takhrij hadits tersebut, ternyata hadits itu tidak diketahui oleh para sahabat, dan hanya Abu Hurairah yang mengetahui hadits tersebut, bahkan Bilal sendiri tidak pernah meriwayatkan hadits tersebut. Jika kisah itu benar dari Nabi, maka Bilal akan merasa senang sekali untuk menceritakannya kepada anak, teman, atau istrinya. Akan tetapi, kisah yang pernah diceritakan oleh Bilal belum dijumpai dalam kitab manapun, dari dulu bahkan hingga kini.
Lantas, bagaimana kondisi hadits tersebut menurut penelitian sekarang. Silakan anda lihat dalam takhrij berikut ini:
Kita mulai dari takhrij hadits tersebut, ternyata hadits itu tidak diketahui oleh para sahabat, dan hanya Abu Hurairah yang mengetahui hadits tersebut, bahkan Bilal sendiri tidak pernah meriwayatkan hadits tersebut. Jika kisah itu benar dari Nabi, maka Bilal akan merasa senang sekali untuk menceritakannya kepada anak, teman, atau istrinya. Akan tetapi, kisah yang pernah diceritakan oleh Bilal belum dijumpai dalam kitab manapun, dari dulu bahkan hingga kini.
Lantas, bagaimana kondisi hadits tersebut menurut penelitian sekarang. Silakan anda lihat dalam takhrij berikut ini:
المسند
الجامع (35/ 168)
أخرجه
أحمد 2/333(8384) قال : حدَّثنا محمد بن بشر. وفي 2/439(9670) قال : حدَّثنا ابن
نُمير. و((البُخاري)) 2/67(1149) قال : حدَّثنا إسحاق بن نصر قال : حدَّثنا أبو
أسامة . و((مسلم)) 7/146 قال : حدَّثنا عُبيد بن يعيش ومحمد بن العلاء الهمداني . قالا
: حدَّثنا أبو أسامة . ح وحدثنا محمد بن عَبد اللهِ بن نُمير ، قال : حدَّثنا أبي .
و((النَّسائي)) في فضائل الصحابة (132) قال : أخبرنا محمد بن عبد اللهِ بن المبارك
، قال : حدَّثنا أبو أسامة .و((ابن خزيمة)) 1208 قال : حدَّثنا يعقوب بن إبراهيم
الدورقي وموسى بن عبد الرحمان المسروقي . قالا : حدَّثنا أبو أسامة . ح وحدثنا
عَبدة بن عَبد اللهِ الخزاعي ، قال : أخبرنا محمد ، يعني ابن بشر.
ثلاثتهم
(محمد بن بشر ، وعبد اللهِ بن نُمير ، وأبو أسامة) عَنْ أَبِي حيان التيمي يَحيى
بن سعيد ، عَنْ أَبِي زرعة ، فذكره
Komentar (Mahrus Ali):
Ternyata dalam riwayat hadis tsb terdapat tafarrud pada Abu Hayyan – dia ternasuk tingkat ke
enam dari orang yang semasa dengan yunior tabiin. Sedemikian ini menurut
pakar hadis dulu dikatakan lemah. Ya`ni hanya Abu Hayyan dari kalangan tabiin
yang tahu hadis tsb,dia seorang bukan
orang lain.
1- كراهية
المتقدمين لرواية الغريب:
كان المتقدمون من علماء الحديث يكرهون رواية الغرائب وما تفرد به الرواة، ويعدونه من شَرِّ الحديث، كما قال الإمام مالك رحمه الله: "شَرُّ العلم الغريبُ، وخيرُ العلم الظاهرُ الذي قد رواه الناس" 1،
كان المتقدمون من علماء الحديث يكرهون رواية الغرائب وما تفرد به الرواة، ويعدونه من شَرِّ الحديث، كما قال الإمام مالك رحمه الله: "شَرُّ العلم الغريبُ، وخيرُ العلم الظاهرُ الذي قد رواه الناس" 1،
Hukum hanya seorang perawi yang meriwayatkan hadis.( tafarrud )
1. Ulama hadis dahulu tidak suka atau benci terhadap riwayat gharib ( nyeleneh )
Ulama hadis dahulu benci terhadap terhadap riwayat – riwayat yang gharib ( nyeleneh ) dan hadis yang di riwayatkan oleh seorang perawi , lalu di anggap sebagai hadis yang terjelek sebagaimana di katakan oleh Imam Malik rahimahullah: Ilmu terjelek adalah yang gharib dan ilmu yang terbaik adalah yang tampak yang di riwayatkan oleh manusia. ( banyak ).
Ternayata hadits tersebut dicantumkan di dua puluh lima tempat pada
kitab-kitab dan seluruhnya, dari satu
jalur sahabat yaitu Abu Hurairah. Sahabat-sahabat yang lain sejak lahir sampai
mereka meninggal pun tidak pernah mendengar hadits tersebut, sampai-sampai
Bilal sendiri pun tidak pernah meriwayatkannya. Padahal sosok yang dibicarakan
dalam hadits ini adalah Bilal dan bukan Abu Hurairah.
Dalam kitab Al Ilal karya Daruquthni 54/9 dijelaskan:
Dalam kitab Al Ilal karya Daruquthni 54/9 dijelaskan:
الْعِلَلُ للدارقطني –( ج 9 / ص 54 )
- وَسُئِلَ عَنْ حَديثِ أَبِي زَرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيه و سَلِّمَ يا بِلالُ حَدِّثْني بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلامِ فَإِنَّي سَمِعْتُ خَشَفَ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا تَطَهَّرْتُ فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نهارٍ إلّا صَلَّيْتُ مَا كَتَبَ اللهُ لِي أَنْ أُصَلِّي فَقَالَ اُخْتُلِفَ فِيْهِ عَلَى أَبِي زَرْعَةَ فَرَوَاهُ أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زَرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ ذَلِكَ بْنُ نَمِيرِ وَأَبُو أُسَامَةً عَنْه وَتَابَعَهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ بَشَرٍ وَأَرْسَلَهُ عَبَدَةَ الصَّفَّارُ عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ بَشَرٍ عَنْ أَبِي حَيَّانَ عَنْ أَبِي زرعةَ وَلَمْ يَذْكُرْ أَبَا هُرَيْرَةَ
- وَسُئِلَ عَنْ حَديثِ أَبِي زَرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيه و سَلِّمَ يا بِلالُ حَدِّثْني بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلامِ فَإِنَّي سَمِعْتُ خَشَفَ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا تَطَهَّرْتُ فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نهارٍ إلّا صَلَّيْتُ مَا كَتَبَ اللهُ لِي أَنْ أُصَلِّي فَقَالَ اُخْتُلِفَ فِيْهِ عَلَى أَبِي زَرْعَةَ فَرَوَاهُ أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زَرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ ذَلِكَ بْنُ نَمِيرِ وَأَبُو أُسَامَةً عَنْه وَتَابَعَهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ بَشَرٍ وَأَرْسَلَهُ عَبَدَةَ الصَّفَّارُ عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ بَشَرٍ عَنْ أَبِي حَيَّانَ عَنْ أَبِي زرعةَ وَلَمْ يَذْكُرْ أَبَا هُرَيْرَةَ
Beliau ditanya tentang hadits Abu Zar’ah , dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal
yang paling kamu harapkan dalam Islam. Sesungguhnya aku mendengar bunyi dua
sandalmu di surga.”
Dia berkata, “Setiap aku berwudu baik waktu malam atau siang, aku selalu melakukan salat semampuku dengan izin Allah ….”
Dia berkata, “Setiap aku berwudu baik waktu malam atau siang, aku selalu melakukan salat semampuku dengan izin Allah ….”
Hadits tersebut terdapat khilaf dalam sanadnya. Kepada
Abu Zar’ah, Abu Hayyan meriwayatkan dari Abu Zar’ah dari Abu Hurairah, Ibnu
Numair dan Abu Usamah mengatakan seperti itu dari Abu Hayyan. Imam Ahmad bin
Hanbal juga mendukungnya dari Muhammad bin Basyar dari Abu Hayyan dari Abu
Zar’ah tanpa tambahan dari Abu Hurairah.
Komentar (Mahrus Ali):
Bilal ditanya oleh Rasulullah tentang amalan yang paling
diharapkan untuk memasukkannya ke dalam surga, lalu Bilal menjawab,
“Menjalankan salat setelah berwudhu, sebagian riwayat menyatakan setelah azan.
Redaksi hadits memang kacau balau. Dan, ini tanda kelemahan hadits. Semestinya,
amalan yang paling bisa diharapkan untuk masuk surga adalah beriman kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan salat lima waktu
dengan berjamaah, berpuasa dan mengeluarkan zakat, serta berperang di jalan
Allah. Apabila Bilal menjawab demikian ini masih dapat dikatakan rasional
(masuk akal). Masa iya, dijawab setiap berwudhu menjalankan salat. Berwudhunya
adalah sunah sementara salat setelahnya belum ada perintah dari Rasulullah.
Inilah kejanggalan dari hadits tersebut, hadits tersebut bukan berasal dari
Bilal dan bukan juga dari nabi. Apakah mungkin, hanya Abu Hurairah yang
menceritakan sementara sahabat-sahabat yang lainnya tidak, begitu pula Bilal
yang dikaitkan langsung dalam hadits tersebut. Kisah yang berasal langsung dari
Bilal bisa lebih dipercaya dan masuk akal, dibandingkan dari orang lain.
Di http://www.saaid.net/Doat/alfraih/6.htm
terdapat keterangan sebagai berikut:
أَنَّ هَذِهِ الْأَعْمَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ – رِضْوانُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ – لَيْسَتْ مِنَ السُّنَنِ الْمُسْتَحْسَنَةِ بِلَا دَليلٍ, وَإِنَّمَا مِنَ الْأَعْمَالِ الَّتِي تُعْرَضُ عَلَى الشَّرْعِ فَإِنْْ أَقَرَّهَا وَإلّا كَانَتْ ضلالًا
2 – هَذِهِ الْأَفْعَالُ وَغيرُهَا بَلَغَتْ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ – فَأُقِرَّ مِنْهَا وَأُنْكِرَ, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ بَابُ الْعِبَادَاتِ مَبْنِيَّا عَلَى التَّوْقِيفِ لَأَقَرَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ – كُلَّ أَعْمَالِ الصَّحَابَةِ – رِضْوانُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ -، فَقَدْ وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ – أَنْكَرَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْخَوْضَ فِي الْقَدَرِ ، وَإِطْراءَهُ بِشَيْءِ لايَلِيْقُ إلّا بِاللهِ عِزِّ وَجَلَّ ، وَأَنْكَرَ تَزْكِيَةَ الصَّحَابَةِ بَعْضَهُمْ لِبَعْضٍ ، وَالإِعْتِمَادَ عَلَى الْحَبْلِ لِدَفْعِ النَّوْمِ فِي قِيَامِ اللَّيْلِ, وَتَرْكَ النِّكَاحِ, وَمُوَاصَلَةَ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ, وَغَيْرَهَا مِنَ الْأَمْثِلَةِ الَّتِي فَعَلَهَا الصَّحَابَةُ مُرِيدِينَ بِهِ اللَّهَ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ ، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ فِعْلَهُمْ قَدْ يُقَرُّ وَقَدْ يُنْكَرُ فِيمَا فَعَلُوهُ اِسْتِحْسانًا.
Perbuatan sahabat itu bukan termasuk sunnah Rasul,
kecuali setelah mendapat pengakuan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam, maka bisa diterima, jika Rasulullah tidak mengakuinya maka itu termasuk
kesesatan.
Perbuatan sahabat itu banyak, terkadang dibenarkan, tetapi terkadang disalahkan oleh Rasulullah. Seandainya masalah ibadah ini tidak harus dari Allah, maka seluruh perbuatan sahabat akan dibenarkan oleh Nabi. Sungguh, Nabi pernah mengingkari perilaku para sahabat ketika mereka membicarakan masalah qadar atau memuji dengan sesuatu yang tidak pantas kecuali ditujukan kepada Allah, sebagian sahabat memuji kepada sebagian yang lainnya, berpegangan kepada tali agar bisa menghindari tidur di malam hari, tidak mau menikah, berpuasa terus menerus, tahajud di malam hari, dan lain-lain yang dilakukan oleh para sahabat dengan tujuan mencari ridha Allah dan akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan mereka terkadang dibenarkan oleh Rasulullah, tetapi terkadang tidak, terkadang beliau mengingkari apa yang mereka lakukan karena istihsan.
Perbuatan sahabat itu banyak, terkadang dibenarkan, tetapi terkadang disalahkan oleh Rasulullah. Seandainya masalah ibadah ini tidak harus dari Allah, maka seluruh perbuatan sahabat akan dibenarkan oleh Nabi. Sungguh, Nabi pernah mengingkari perilaku para sahabat ketika mereka membicarakan masalah qadar atau memuji dengan sesuatu yang tidak pantas kecuali ditujukan kepada Allah, sebagian sahabat memuji kepada sebagian yang lainnya, berpegangan kepada tali agar bisa menghindari tidur di malam hari, tidak mau menikah, berpuasa terus menerus, tahajud di malam hari, dan lain-lain yang dilakukan oleh para sahabat dengan tujuan mencari ridha Allah dan akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan mereka terkadang dibenarkan oleh Rasulullah, tetapi terkadang tidak, terkadang beliau mengingkari apa yang mereka lakukan karena istihsan.
أَنَّ مَا أَقَرَّهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ – مِنْ أَفْعَالِ الصَّحَابَةِ – رِضْوانُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ – هُوَ مِنْ قَبِيلِ السُّنَّةِ لَا الْبِدْعَةِ, فَهُوَ سُنَّةٌ تَقْرِيرِيَّةٌ وَإقْرَارُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ – سُنَّةٌ مِنْ أَجْلِ إقْرَارِهِ لَا مِنْ أَجْلِ عَمَلِ الصَّحَابِيِ.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan sahabat yang telah
dibenarkan oleh Nabi termasuk sunnah taqririyah dan bukan bid’ah. Dikatakan
sunnah karena Rasulullah mengakui perbuatan sahabat tersebut.
أَنَّ الْإقْرَارَ اِنْقَطَعَ بِمَوْتِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ – وَتَقْريرهُ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ تَشْرِيعٌ اِنْتَهَى بِوَفَاتِهِ.
Pengakuan Nabi berarti tasyri’ dan pengakuan beliau telah
berakhir seiring dengan wafatnya.
5 – أَنَّ قولَهُمْ بِأَنَّ الصَّحَابَةَ اِبْتَدَعُوا بِدَعًا حَسَنَةً وَوَافَقَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ – يَلْزَمُ مِنْه أَنْ يُقَالَ إِنَّ ابليس قَدْ اِبْتَدَعَ ( أَوْ سَنَّ ) سُنَّةً حَسَنَةً ، حِيْنَمَا أَرْشَدَ لِقِرَاءةِ آيَةِ الْكُرْسِيِّ لِمَنْ آوَى إِلَى فِرَاشِهِ وَقِصَّتِهِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حِيْنَمَا سَرَقَ الشَّيْطَانُ مِنْ مَالِ الزَّكاةِ ثَلاثَ أيَّامِ وَأَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – يُرِيدُ أَنْ يَرْفَعَهُ الى النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ
Sesungguhnya
perkataan mereka bahwa sahabat membuat bid’ah hasanah, lalu dibenarkan oleh
Nabi sama saja dengan mengatakan bahwa Iblis membuat bid’ah atau membuat sunnah
hasanah ketika menunjuki untuk membaca ayat kursi bagi mereka yang akan pergi
tidur, dan kisahnya bersama Abu Hurairah ketika setan mencuri harta zakat
selama tiga hari berturut-turut. Dan, sesungguhnya Abu Hurairah akan melaporkan
hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
-
وَفِي الْحَديثِ أَنَّ الشَّيْطَانَ عَلَّمَهُ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَفَضْلَ قَوْلِهَا عِنْدَ النَّوْمِ مُقَابِلَ أَلَا يَرْفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ – وَفَعَلَ, وَأَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمُ – وَقَالَ ( صَدَّقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ ) فَهَلْ نَقُولُ أَنَّ هَذِهِ سُنَّةٌ نَبَوِيَّةٌ تَقْرِيرِيَّةٌ, أَوْ بِدْعَةٌ إِبْلِيْسِيَّةٌ ( حَسَنَةٌ ) لَاشَكَّ أَنَّ الْقَوْلَ بِالثَّانِي ضَلاَلٌ بَعيدُ لاَيَقُوْلُهُ أَحَدٌ
Dalam
hadits dijelaskan bahwa setan mengajarinya ayat kursi dan keutamaan membacanya
ketika akan tidur sebagai imbalan agar tak dilaporkan kepada Nabi, lalu Abu
Hurairah melaksanakannya dan beliau memberitahukan kepada Nabi, kemudian beliau
bersabda, "Dia berkata benar kepadamu sekalipun dia suka berdusta."
Apakah ini dinamakan sunnah nabawiyah taqririyah atau bid'ah iblisiyah yang hasanah. Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang kedua adalah kesesatan yang jauh, yang tidak dikatakan oleh seorang pun.
Apakah ini dinamakan sunnah nabawiyah taqririyah atau bid'ah iblisiyah yang hasanah. Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang kedua adalah kesesatan yang jauh, yang tidak dikatakan oleh seorang pun.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan