Senin, Desember 29, 2014

Perusahaan Nakal Mewajibkan Karyawannya Menggunakan Atribut Natal




 Perusahaan  Nakal Mewajibkan Karyawannya Menggunakan Atribut Natal


JAKARTA (voa-islam) - Natal sudah usai, tapi tetap saja karyawan masihs ada yang menggunakan  atribut sinterklas. Terlihat masih adanya ada beberapa perusahaan yang nakal dan masih mewajibkan karyawan muslimnya mengenakan atribut Natal. Hal ini terlihat di beberapa gerai atau outlet di beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta. 

Saat wartawan situs voa-islam mengunjungi pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (28/12) kemarin, terlihat dua kawaryawan gerai makanan ringan D'Crepes memakai topi santa claus saat melayani konsumennya. Ketika ditanya apa keyakinanya, dua karyawan ini mengaku beragama Islam. "Saya Islam pak," jawab Ilham singkat 

Dia mengaku bahwa pihak perusahaan yang mewajibkan dirinya memakai atribut Natal. Belum diketahui secara pasti kapan atribut itu mulai dan sampai kapan dipakainya. Menurut Ilham, atribut itu sengaja dipakainya guna menarik konsumen. 

"Saya nggak tau pak soal surat (larangan) itu. Suruh perusahaan pakai, saya pakai," ujar Ilham ketika ditanya soal surat larangan bagi perusahaan untuk memaksakan pemakaian atribut Natal. 

Pemandangan serupa juga terlihat di restoran "Remboelan" yang berada di lantai empat pusat berbelanjaan tersebut. Bahkan, seluruh karyawan baik laki-laki dan perempuan di restoran bagi kalangan atas ini terlihat memakai atribut Natal. 

Sebelumnya, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris berkirim surat kepada perusahaan ritel, restoran, cafe, dan pusat perbelanjaan. Isi surat itu melarang pihak perusahaan untuk memaksakan karyawannya, khususnya karyawan muslimah yang mengenakan hijab memakai atribut Natal. 

Menurutnya, pemaksaan pemakainya atribut natal terhadap karyawan tanpa terkecuali, merupakan sikap intoleran dan bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945. 

"Menurut saya ini tindakan yang intoleran. Karena tidak menghargai hak dan keyakinan beragama bahkan bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945," ujar Fahira.

Terkait dengan sikap sinis terhadap upayanya ini, senator asal DKI ini mengaku bisa memahaminya. Sebab baru pertama kali persoalan pemakaian atribut natal terjadi di Indonesia. Untuk itu Fahira berharap kepada semua anggota senator maupun parlemen di seluruh Indonesia, khususnya beragama muslim untuk ikut berjuang bersamanya. 

"Saya berharap semua pihak bisa paham dan membantu apa yang saya perjuangkan. Jika memang ingin bersikap toleran jangan memaksakan kehendaknya sendiri terhadap suatu kelompok atau golongan," pungkas Fahira.  [robiawan/voa-islam.com]
Komentarku ( Mahrus  ali ):
Layak sekali, bukan masalah aneh lagi bila kalangan kristen meminta pegawainya  untuk mengenakan atribut sinterklas. Mereka memperjuangkan keyakinannya untuk menampakkan budaya itu tampak banyak yang melakukannya. Mereka bersemangat untuk itu , takkan melewatkan kesempatan natal ini. Bahkan bila perlu masih mencari kesempatan yang lain. Pada hal, kaum muslimin saling berebutan untuk menanggalkan busana khas muslimahnya.  Lalu mengenakan  rok busana wanita kafir. Kalangan kafirin paling benci syiar busana Islami ini.  Kafirin  sangat suka kaum muslimah tinggalkan  busananya  yang Islami. Apalagi bila banyak wanita yang mengenakannya di kota atau desa. Ingat saja ayat ini:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.  Ali imran 120


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan