Oleh:
Ustadz Abu Husein At-Thuwailibi dan Ustadz Abi Syakir
(Arrahmah.com) – Kalau bisa
menasehati secara damai, lembut, santun, lakukanlah. Kalau tidak bisa karena
tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan
menghasilkan pengaruh nyata.
Kalau
mengkiritik pemimpin negara dianggap khawarij, maka ini benar-benar perlu
dibahas duduk soalnya. Mengkritik pemerintah atau pemimpin negara dikatakan
“Hizbi”, “Khawarij”, “Takfiri”, dan lain-lain.. Aneh!
Perlu
diingat, Khawarij dikatakan khawarij bukan semata-mata tindakan kritisnya
terhadap pemerintah, akan tetapi khawarij di katakan khawarij karena ia Keluar
Dari Ketaatan Pada Ulil Amri Yang Syar’i Yang Berhukum Pada Hukum Allah Dan
Rasul-Nya, dan Mengkafirkan Ummat Islam Secara Membabi Buta. Makanya ia di
katakan Khawarij !
Kami
teringat dengan perkataan Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat dalam kitabnya
Al-Masaa’il bahwa Mentaati Ulil Amri itu adalah mentaati Ulil Amri yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, mentaati Ulil Amri yang tunduk dan patuh pada Allah
dan Rasul-Nya, mentaati Ulil Amri yang memberlakukan syari’at Allah dan
Rasul-Nya, sehingga mentaati Ulil Amri yang tidak patuh kepada Syari’at Allah
dan Rasul-Nya maka itu merupakan tindakan yang menjadikan Ulil Amri itu
tuhan-tuhan selain Allah.
Na’am.
Demikian pernyataan Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat (secara makna) yang masih
termaktub dalam kitabnya Al-Masail dan tidak dimansukh (dihapus-red NM) sampai
sekarang.
Mari
kita lihat kenyataan. Sebelum Pilpres Juli 2014 (Pemilu Presiden pada tanggal 9
Juli 2014), banyak penuntut ilmu (baik Salafi maupun Haroki) yang mengkritik
calon pemimpin tertentu. Katanya, banyak mafsadat, madharat, sudah maklum
keadaannya, dan seterusnya, termasuk Al-Ustadz yang aktif di FB pun turut
berpartisipasi dalam mengkiritik dan mentahdzir “si calon pemimpin” yang
dianggap membahayakan itu.
Tapi
anehnya, setelah pemimpin “ahlul mafsadat” (pembawa marabahaya) itu terpilih,
seketika berubah hukum baginya: Tidak boleh dikritik, tidak boleh dicela di
depan umum, harus didoakan, harus sabar, dinasehati diam-diam, dan sterusnya.
“Kalau dia mau nurut, itulah yang kita inginkan. Kalau dia keras kepala,
setidaknya Anda sudah menyampaikan.” Begitu kaidah populernya.
Ada
satu lagi argumen, argumen yang tak kalah populer, seperti retorika Khalifah
Umar Bin Abdul Aziz Rahimahullah di masa lalu saat beliau dikritik keras oleh
seseorang. Sang Khalifah pun berkata: “Aku tidak sejahat Fir’aun, sedang Anda
tidak sebaik Musa; tapi Musa diperintah untuk menasehati Fir’aun dengan qaulan
layyinan, kata-kata yang baik.” Bukan kritik, cela, hinaan, dll.
Thoyyib,
mari kita bahas, Muncul pertanyaan: Bagaimana hukum mencela, mengkritik,
mengejek pemimpin sekuler (non pemimpin Syari’at), khususnya “ahlul mafsadah”
(Pemimpin Sekuler yang rusak) lewat media-media? Apakah mencela pemimpin
seperti itu termasuk mencela Ulil Amri?
Mari
kita saling berbagi, dan sekali lagi, tolong fahami, semoga Allah merahmati
kita semua.
Na’am,
Ulil Amri adalah pemimpin yang mengurus hajat hidup orang-orang MUSLIM di atas
panduan Syariat Islam. Sekali lagi saya ulang: Ulil Amri adalah Pempimpin yang
Mengurus Hajat Hidup Orang-Orang Muslim Dengan Panduan Syari’at Islam. Itu lah
definisi Ulil Amri secara Syar’i. Na’am, ibaratnya: “Dari Muslim, oleh Muslim,
untuk Muslim.” Hal ini perlu ditegaskan agar hukum-hukum Syariat tidak diambil
keuntungan oleh para politisi sekuler (Islamphobia) atau bahkan kaum kafir!
Ber-KTP
Muslim tidak menjamin seseorang otomatis jadi Ulil Amri; karena di zaman Salaf
(baik zaman Sahabat dan Tabi’in) manusia dilihat dengan kaidah keyakinan,
ucapan, dan perbuatan. Inilah yang dinamakan IMAN. Bukan dilihat KTP-nya. Di
zaman Salaf, tidak ada “kaidah KTP”.
“Tapi
kan kita
tetap harus taat pada pemimpin buruk sekalipun selagi ia masih mengerjakan
shalat sebagaimana hadist Nabi ?”
Jawab:
Amal shalat seorang pemimpin tidak jadi ukuran jika AQIDAH-nya sudah bermasalah
alias menyimpang. Dalilnya: Di masa Imam Ahmad Bin Hanbal ada pemimpin yang
diingkari karena sesat aqidah-nya; dialah Khalifah Al-Makmun, meskipun khalifah
tetap mengerjakan shalat, tetapi Imam Ahmad Bin Hanbal tetap mengingkarinya
secara terang-terangan. Harus dipahami, sikap Islamphobia adalah termasuk
bentuk kesesatan yang nyata, karena bermakna memusuhi Islam.!!! Fahami itu !!
Ingat, Imam Ahmad Bin Hanbal dan para pengikutnya mengkritik dan mengingkari
pemimpin sesat itu karena memaksa aqidah kufriyah bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk, bukan mengkafirkan dan bukan pula memberontak.
Meskipun
seorang pemimpin beraqidah lurus, tidak mengandung kesesatan; dia tetap bisa
jatuh ke dalam kekafiran; Jika membela orang kuffar untuk memerangi Muslimin,
membenci sebagian atau seluruh Syariat Islam, tidak ridho dengan berlakunya
Syariat Allah di muka bumi, selalu memusuhi dan menyusahkan orang-orang Mukmin,
bercanda melecehkan agama Allah alias Istihza’, apalagi mengucapkan demikian
banyak ucapan-ucapan kufur.
Dalilnya
silahkan baca Qur’an surat Al-Maa’idah ayat 51 dan At-Taubah ayat 65-66.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١)
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS Al-Maaidah:
51).
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ
النَّعِيمِ (٦٥)
Dan
Sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus)
kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam
surga-surga yang penuh kenikmatan.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا
التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لأكَلُوا
مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ (٦٦)
Dan
Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al
Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka[428]. diantara mereka ada
golongan yang pertengahan[429]. dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka. (QS At-Taubah: 65-66).
[428]
Maksudnya: Allah akan melimpahkan rahmat-Nya dari langit dengan menurunkan
hujan dan menimbulkan rahmat-Nya dari bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
yang buahnya melimpah ruah.
[429] Maksudnya: orang yang Berlaku jujur dan Lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran.
[429] Maksudnya: orang yang Berlaku jujur dan Lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran.
Kaidah
dasar yang harus diketahui seorang Mukmin adalah bisa membedakan antara
pemimpin yang membawa maslahat dan yang membawa madharat bagi kehidupan Islam
dan Muslimin. Sebagaimana Dr. Muhammad Arifin Baderi, MA ketika mampu
membedakan pemimpin yang membawa mudhorot dan mendatangkan maslahat. Kalau
mereka tidak tahu, hendaklah melihat mayoritas sikap ulama-ulama Islam, tokoh
Ummat Islam, lembaga-lembaga Islam yang kredibel.
Muncul
pertanyaan: “Jika seorang pemimpin berdasarkan bukti-bukti kuat bahwa dia
adalah bagian dari kaum Islamphobia atau anti Islam; apakah harus kita mencela,
mengkritik, menghinanya ?
Jawabannya:
Ya tidak harus! Tidak harus menghina atau mencelanya, atau sampai mengedit
fotonya dengan foto porno dan sebagainya, tidak…. Akan tetapi dilihat mana yang
lebih maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin. Kalau dengan dikritik dia jadi
bengis, menumpahkan darah Umat; hindari kritik terbuka. Kalau dengan dikritik
dia semakin melunak kezhaliman dan maksiatnya, ya lakukan hal itu! Inilah
aplikasi yang tepat sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Bin Shalih
Al-Utsaimin Rahimahullah berikut ini:
مسألة مناصحة الولاة، من الناس من يريد
أن يأخذ بجانب من النصوص وهو إعلان النكير على ولاة الأمور، مهما تمخض عنه من
المفاسد، ومنهم من يقول: لا يمكن أن نعلن مطلقاً، والواجب أن نناصح ولاة الأمور
سراً كما جاء في النص الذي ذكره السائل، ونحن نقول: النصوص لا يكذب بعضها بعضاً،
ولا يصادم بعضها بعضاً، فيكون الإنكار معلناً عند المصلحة، والمصلحة هي أن يزول
الشر ويحل الخير، ويكون سراً إذا كان إعلان الإنكار لا يخدم المصلحة، لا يزول به
الشر ولا يحل به الخير.
“Masalah
menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegang dengan
sebagian dalil yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap
tersebut hanya mendatangkan mafsadah/kerusakan. Di sisi lain ada pula sebagian
orang yang beranggapan bahwa mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara
terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya. Namun
demikian, saya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada tidaklah saling
menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Oleh karena itu, Boleh
Mengingkari Penguasa Secara Terbuka Bila Dianggap Dapat Mewujudkan Maslahat,
yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan boleh pula
mengingkari secara tersembunyi atau rahasia bila hal itu dapat mewujudkan
maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula
berganti dengan kebaikan.
(Liqa’ Al-Baabul-Maftuh)
(Liqa’ Al-Baabul-Maftuh)
Jadi,
inti dari urusan ini adalah amar ma’ruf dan nahyul munkar. Menyampaikan yang
ma’ruf dan mengingkari yang mungkar. Kita tunaikan urusan ini kepada siapa
saja, baik rakyat atau pemimpin. Karena agama itu kan NASEHAT bagi siapa saja,
atasan atau bawahan, rakyat sampai pemimpin. Dalilnya surat Ali-Imran 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah
orang-orang yang beruntung. (QS Ali ‘Imran: 104).
[217]
Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar
ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
“Bagaimana
dengan argumen raja Muslim (Khalifah Umar Bin Abdil Aziz) yang membawa istilah qaulan
layyinan itu ?”
Jawabannya:
Argumen itu hanya mengkritik sikap kasar dalam menasehati pemimpin; bukan
menghilangkan hak menasehati pemimpin itu sendiri .
Maksudnya
begini, kritikan Umar Bin Abdil Aziz itu mengkiritik cara menasehati pemimpin
dengan kasar, yakni cara menasehati pemimpin dengan kasar dan tak beradab,
bukan menghilangkan Hak dan Kewajiban menasehati Pemimpin itu sendiri. Karena
menasehati pemimpin dijamin sepenuhnya oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun, lakukanlah. Kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata. Allahu A’lam.
Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun, lakukanlah. Kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata. Allahu A’lam.
(arrahmah.com)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan