Selasa, Desember 02, 2014

Ketika mengkritik pemimpin Negara dianggap Khawarij (bagian 1)

Oleh: Ustadz Abu Husein At-Thuwailibi dan Ustadz Abi Syakir
(Arrahmah.com) – Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun, lakukanlah. Kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata.
Kalau mengkiritik pemimpin negara dianggap khawarij, maka ini benar-benar perlu dibahas duduk soalnya. Mengkritik pemerintah atau pemimpin negara dikatakan “Hizbi”, “Khawarij”, “Takfiri”, dan lain-lain.. Aneh!
Perlu diingat, Khawarij dikatakan khawarij bukan semata-mata tindakan kritisnya terhadap pemerintah, akan tetapi khawarij di katakan khawarij karena ia Keluar Dari Ketaatan Pada Ulil Amri Yang Syar’i Yang Berhukum Pada Hukum Allah Dan Rasul-Nya, dan Mengkafirkan Ummat Islam Secara Membabi Buta. Makanya ia di katakan Khawarij !
Kami teringat dengan perkataan Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat dalam kitabnya Al-Masaa’il bahwa Mentaati Ulil Amri itu adalah mentaati Ulil Amri yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mentaati Ulil Amri yang tunduk dan patuh pada Allah dan Rasul-Nya, mentaati Ulil Amri yang memberlakukan syari’at Allah dan Rasul-Nya, sehingga mentaati Ulil Amri yang tidak patuh kepada Syari’at Allah dan Rasul-Nya maka itu merupakan tindakan yang menjadikan Ulil Amri itu tuhan-tuhan selain Allah.
Na’am. Demikian pernyataan Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat (secara makna) yang masih termaktub dalam kitabnya Al-Masail dan tidak dimansukh (dihapus-red NM) sampai sekarang.
Mari kita lihat kenyataan. Sebelum Pilpres Juli 2014 (Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014), banyak penuntut ilmu (baik Salafi maupun Haroki) yang mengkritik calon pemimpin tertentu. Katanya, banyak mafsadat, madharat, sudah maklum keadaannya, dan seterusnya, termasuk Al-Ustadz yang aktif di FB pun turut berpartisipasi dalam mengkiritik dan mentahdzir “si calon pemimpin” yang dianggap membahayakan itu.
Tapi anehnya, setelah pemimpin “ahlul mafsadat” (pembawa marabahaya) itu terpilih, seketika berubah hukum baginya: Tidak boleh dikritik, tidak boleh dicela di depan umum, harus didoakan, harus sabar, dinasehati diam-diam, dan sterusnya. “Kalau dia mau nurut, itulah yang kita inginkan. Kalau dia keras kepala, setidaknya Anda sudah menyampaikan.” Begitu kaidah populernya.
Ada satu lagi argumen, argumen yang tak kalah populer, seperti retorika Khalifah Umar Bin Abdul Aziz Rahimahullah di masa lalu saat beliau dikritik keras oleh seseorang. Sang Khalifah pun berkata: “Aku tidak sejahat Fir’aun, sedang Anda tidak sebaik Musa; tapi Musa diperintah untuk menasehati Fir’aun dengan qaulan layyinan, kata-kata yang baik.” Bukan kritik, cela, hinaan, dll.
Thoyyib, mari kita bahas, Muncul pertanyaan: Bagaimana hukum mencela, mengkritik, mengejek pemimpin sekuler (non pemimpin Syari’at), khususnya “ahlul mafsadah” (Pemimpin Sekuler yang rusak) lewat media-media? Apakah mencela pemimpin seperti itu termasuk mencela Ulil Amri?
Mari kita saling berbagi, dan sekali lagi, tolong fahami, semoga Allah merahmati kita semua.
Na’am, Ulil Amri adalah pemimpin yang mengurus hajat hidup orang-orang MUSLIM di atas panduan Syariat Islam. Sekali lagi saya ulang: Ulil Amri adalah Pempimpin yang Mengurus Hajat Hidup Orang-Orang Muslim Dengan Panduan Syari’at Islam. Itu lah definisi Ulil Amri secara Syar’i. Na’am, ibaratnya: “Dari Muslim, oleh Muslim, untuk Muslim.” Hal ini perlu ditegaskan agar hukum-hukum Syariat tidak diambil keuntungan oleh para politisi sekuler (Islamphobia) atau bahkan kaum kafir!
Ber-KTP Muslim tidak menjamin seseorang otomatis jadi Ulil Amri; karena di zaman Salaf (baik zaman Sahabat dan Tabi’in) manusia dilihat dengan kaidah keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Inilah yang dinamakan IMAN. Bukan dilihat KTP-nya. Di zaman Salaf, tidak ada “kaidah KTP”.
“Tapi kan kita tetap harus taat pada pemimpin buruk sekalipun selagi ia masih mengerjakan shalat sebagaimana hadist Nabi ?”
Jawab: Amal shalat seorang pemimpin tidak jadi ukuran jika AQIDAH-nya sudah bermasalah alias menyimpang. Dalilnya: Di masa Imam Ahmad Bin Hanbal ada pemimpin yang diingkari karena sesat aqidah-nya; dialah Khalifah Al-Makmun, meskipun khalifah tetap mengerjakan shalat, tetapi Imam Ahmad Bin Hanbal tetap mengingkarinya secara terang-terangan. Harus dipahami, sikap Islamphobia adalah termasuk bentuk kesesatan yang nyata, karena bermakna memusuhi Islam.!!! Fahami itu !! Ingat, Imam Ahmad Bin Hanbal dan para pengikutnya mengkritik dan mengingkari pemimpin sesat itu karena memaksa aqidah kufriyah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan mengkafirkan dan bukan pula memberontak.
Meskipun seorang pemimpin beraqidah lurus, tidak mengandung kesesatan; dia tetap bisa jatuh ke dalam kekafiran; Jika membela orang kuffar untuk memerangi Muslimin, membenci sebagian atau seluruh Syariat Islam, tidak ridho dengan berlakunya Syariat Allah di muka bumi, selalu memusuhi dan menyusahkan orang-orang Mukmin, bercanda melecehkan agama Allah alias Istihza’, apalagi mengucapkan demikian banyak ucapan-ucapan kufur.
Dalilnya silahkan baca Qur’an surat Al-Maa’idah ayat 51 dan At-Taubah ayat 65-66.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS Al-Maaidah: 51).
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ (٦٥)
Dan Sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لأكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ (٦٦)
Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka[428]. diantara mereka ada golongan yang pertengahan[429]. dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (QS At-Taubah: 65-66).
[428] Maksudnya: Allah akan melimpahkan rahmat-Nya dari langit dengan menurunkan hujan dan menimbulkan rahmat-Nya dari bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang buahnya melimpah ruah.
[429] Maksudnya: orang yang Berlaku jujur dan Lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran.
Kaidah dasar yang harus diketahui seorang Mukmin adalah bisa membedakan antara pemimpin yang membawa maslahat dan yang membawa madharat bagi kehidupan Islam dan Muslimin. Sebagaimana Dr. Muhammad Arifin Baderi, MA ketika mampu membedakan pemimpin yang membawa mudhorot dan mendatangkan maslahat. Kalau mereka tidak tahu, hendaklah melihat mayoritas sikap ulama-ulama Islam, tokoh Ummat Islam, lembaga-lembaga Islam yang kredibel.
Muncul pertanyaan: “Jika seorang pemimpin berdasarkan bukti-bukti kuat bahwa dia adalah bagian dari kaum Islamphobia atau anti Islam; apakah harus kita mencela, mengkritik, menghinanya ?
Jawabannya: Ya tidak harus! Tidak harus menghina atau mencelanya, atau sampai mengedit fotonya dengan foto porno dan sebagainya, tidak…. Akan tetapi dilihat mana yang lebih maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin. Kalau dengan dikritik dia jadi bengis, menumpahkan darah Umat; hindari kritik terbuka. Kalau dengan dikritik dia semakin melunak kezhaliman dan maksiatnya, ya lakukan hal itu! Inilah aplikasi yang tepat sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berikut ini:
مسألة مناصحة الولاة، من الناس من يريد أن يأخذ بجانب من النصوص وهو إعلان النكير على ولاة الأمور، مهما تمخض عنه من المفاسد، ومنهم من يقول: لا يمكن أن نعلن مطلقاً، والواجب أن نناصح ولاة الأمور سراً كما جاء في النص الذي ذكره السائل، ونحن نقول: النصوص لا يكذب بعضها بعضاً، ولا يصادم بعضها بعضاً، فيكون الإنكار معلناً عند المصلحة، والمصلحة هي أن يزول الشر ويحل الخير، ويكون سراً إذا كان إعلان الإنكار لا يخدم المصلحة، لا يزول به الشر ولا يحل به الخير.
“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegang dengan sebagian dalil yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan mafsadah/kerusakan. Di sisi lain ada pula sebagian orang yang beranggapan bahwa mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya. Namun demikian, saya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Oleh karena itu, Boleh Mengingkari Penguasa Secara Terbuka Bila Dianggap Dapat Mewujudkan Maslahat, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan boleh pula mengingkari secara tersembunyi atau rahasia bila hal itu dapat mewujudkan maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan.
(Liqa’ Al-Baabul-Maftuh)
Jadi, inti dari urusan ini adalah amar ma’ruf dan nahyul munkar. Menyampaikan yang ma’ruf dan mengingkari yang mungkar. Kita tunaikan urusan ini kepada siapa saja, baik rakyat atau pemimpin. Karena agama itu kan NASEHAT bagi siapa saja, atasan atau bawahan, rakyat sampai pemimpin. Dalilnya surat Ali-Imran 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali ‘Imran: 104).
[217] Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
“Bagaimana dengan argumen raja Muslim (Khalifah Umar Bin Abdil Aziz) yang membawa istilah qaulan layyinan itu ?”
Jawabannya: Argumen itu hanya mengkritik sikap kasar dalam menasehati pemimpin; bukan menghilangkan hak menasehati pemimpin itu sendiri .
Maksudnya begini, kritikan Umar Bin Abdil Aziz itu mengkiritik cara menasehati pemimpin dengan kasar, yakni cara menasehati pemimpin dengan kasar dan tak beradab, bukan menghilangkan Hak dan Kewajiban menasehati Pemimpin itu sendiri. Karena menasehati pemimpin dijamin sepenuhnya oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun, lakukanlah. Kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya silahkan lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata. Allahu A’lam.
(arrahmah.com)
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan